Thomas Aquinas merupakan filsuf terbesar pada abad pertengahan di Eropa. Pikirannya sampai sekarang masih sangat berpengaruh. Thomas Aquinas berhasil mempersatukan ajaran-ajaran Augustinus yang sampai saat ini menentukan pemikiran di Eropa dengan filasafat Aristoteles dan dengan demikian memberikan impuls-impuls baru bagi kehidupan intelektual di Barat. Sejak itu filasafat mulai berkembang sebagai ilmu tersendiri.
Selama hampir seribu tahun pemikiran Kristiani di Eropa Barat memang amat dipengaruhi oleh sosok raksasa Santo Augustinus. Augustinus sendiri dekat dengan tradisi Neoplatonisme. Adapun Aristoteles semula kurang dikenal di Eropa Kristiani. Itu berubah karena Ibnu Sina dan lebih-lebih Ibnu Rushd dua filsuf besar Islam, serta Maimonides, filsuf Yahudi paling termasur diabad pertengahan yang tinggal di Kairo. Mereka memperkenalkan karya-karya Aristoteles ke Eropa.
Mesuknya Aristoteles menimbulkan perdebatan. Pemikirannya yang tanpa dimensi transenden, duniawi, analitis, dan bertolak belakang dari pengalaman indrawi terasa jauh kedalaman metafisik dan kehangatan teologis gaya berfilsafat Plato. Diperdebatkan apakah filasafat Aristoteles dapat disesuaikan dengan ajaran Kristiani. Orang pertama yang berhasil menunjukkan kepada pentingnya dan kedalaman pemikiran Aristotelas adalah Albertus Agung (1993-1280), seorang anggota terekat Santo Dominicus. Albertus juga berhasil menjelaskan dimana interpretasi Aristoteles oleh Ibnu Rushd berdasarkan salah pengertian terhadap teks asli Aristoteles.
Thomas Aquinas lahir pada tahun 1225 di Roccasecca, Itali. Ia masuk tarekat Santo Dominicus dan menjadi murid Albertus Agung di Koln. Ia mengajar di Koln Paris dan di Italia. Ia meninggal pada usia sekitar 50 tahun pada tahun 1274 di biara Fossanuova dalam perjalanan ke Konsili (Muktamar Gereja) di Lyon. Thomas Aquinas yang menjadikan Aristoteles dasar pemikirannya, tetapi dengan tidak menyingkirkan gagasan-gagasan dasar Augustinus. Ia memperlihatkan bahwa atas dasar kerangka pemikiran Aristoteles Teologi Augustinus dapat diberikan pendasaran yang lebih mantap.
Thomas mempunyai karya yang luas, ditulis dalam gaya yang ketat dan langsung mengena pada pokok pembicaraan, memperlihatkan keluasan pengetahuan, ketajaman analitis dan kedalaman spekulatif yang jarang ditemukan. Sumbangannya pada filsafat politik walaupun hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh tulisannya semakin diakui sebagai hakiki bagi etika kekuasaan. Thomas Aquinas membicarakan masalah etika politik dalam dua tulisan, pertama dalam Summa Theologiae I dan II, kedua dalam tulisan mungilnya De Regimine Principum (tentang pemerintahan raja).
Dalam uaraian pertama Thomas membicarakan tiga macam hukum dan hubungan yang terdapat diantara hukum-hukum ini, yang pertama adalah Lex Aterna (Hukum Abadi) atau kebijakan Ilahi sendiri sejauh merupakan dasar kodratnya, karena kodrat mahluk-mahluk mencerminkan kebijaksanaan yang menciptakannya. Bahwa mahluk itu ada dan bahwa mahluk berbentuk atau berkodrat sebagaimana adanya adalah karenaitulah yang dikehendaki Sang Pencipta.
Kenyataan ini mempunyai akibat, bahwa kodratnya aadalah normatif bagi ciptaanya. Bagi cipta tak berakal budi halnya dengan sendirinya demikian; mahluk itu dengan sendirinya tumbuh, bergerak, dan berkembang menurut hukum alam. Tetapi lain halnya dengan manusia. Manusia memiliki pengertian dan kemauan bebas dan oleh karena itu dapat menentukan sendiri bagaimana ia mau bertindak. Maka baginya kodratnya merupakan hukum dalam artiyang sungguh-sungguh : ia wajib hidup sesuai dengan kodratnya.
Hukum kodrat (Lex Naturalis) itulah dasar semua tuntutan moral. Dengan menghubungkan hukum moral dengan hukum kkodrat, Thomas mencapai dua hal sekaligus : ia mendasarkan norma-norma moral pada wewenang mutlak Sang Pencipta. Dan ia sekaligus menunjukkan rasionalitasnya. Rasionalitasnya tuntutan-tuntutan moral terletak dalam kenyataan, bahwa tuntutan-tuntutan itu sesuai, dan berdasarkan, keperluan kodrat manusia. Jadi Thomas mengatasi irasionalisme banyak etika religius yang begitu saja mengembalikan norma-norma moral pada kehendak Tuhan tanpa menjelaskan mengapa Tuhan berkehendak demikian. Menurut kodratnya Tuhan menghendaki agar manusia hidup sesuai dengan kodratnya dan itu berarti, hidup sedemikian rupa hingga ia dapat berkembang. Dapat membangun dan menemukan identitasnya, dapat menjadi bahagia. Dalam bahasan moral : hukum kodrat menuntut manusia agar hidup sesuai dengan martabatnya.
Dengan demikian Thomas pada akar hukum moral menolak segala paham kewajiban yang tidak dapat dilegitimasikan secara rasional, dari kebutuhan manusia sendiri yang sebenarnya. Prinsip itu diterapkan dengan tegas pada hukum buatan manusia, Lex Humana. Menurut Thomas suatu hukum buatan manusia hanya berlaku apabila menurut dimensinya berdasarkan hukum kodrat isinya harus seuai dengan hukum kodrat dan pihak yang memasang hukum itu memiliki wewenangnya berdasarkan hukum kodrat.
Dengan demikian Thomas Aquinas secara radikial menolak kekuasaan sebagai dasar hukum. Suatu peraturan hanya bersifat hukum, artinya hanya mengikat, apabila isinya dapat dilegitimasi secara rasional dari hukum kodrat. Suatu “hukum” yang bertentangan dengan hukum kodrat, menurut Thomas tidak memiliki status hukum, melainkan merupakan “Corruplio Legis” atau penghancuran hukum.
Jadi Thomas Aquinas secara radikal menuntut legitimasi etis penggunaan kekuasaan. Kekuasaan tidak dapat membenarkan dirinya sendiri. Kekuasaan hanyalah suatu kenyataan fiksi dan sosial, tetapi tidak memuat suatu wewenang. Bagi Thomas tak ada satu orang pun yang secara asasi mempunyai wewenang atas manusia lainnya, yang berwenang hanyalah satu ialah Sang Pencipta dan segenap wewenang atas manusia haruslah mendapat hak dan wewenang yang pertama itu. Hukum kodrat adalah tolok ukur legitimasi segala tindakan kekuasaan. Suatu ketentuan penguasa yang tidak sesuai dengan hukum kodrat, tidak mengikat. Dengan demikian filsafat Thomas Aquinas membuka fakta kekuasaan terhadap kritik dan tuntutan pertanggungjawaban. Sekaligus dipastikan bahwa segenap kekuasaan manusia terbatas sifatnya dan tidak pernah mutlak.Kekuasaan itu perlu sejauh manusia, sebagai mahluk berkodraat sosial, membutuhkan kesatuan pimpinan agar ia dapat menjalankan kemanusiaannya secara utuh. Kekuasaan adalah fungsional demi kesejahteraan masing-masing orang. Keperluan manusia dalam martabatnya adalah batas prinsipil segala kekuasaan.
Dalam buku kecil tentang “Pemerintahan Para Raja” yang ditujukan kepada Raja Hugo di Cyprus, Thomas menjelaskan perbedaan antara pemerintahan yang sah dan pemerintahan yang disebut despotik. Pemerintahan despotik adalah pemerintahan yang hanya berdasarkan kekuasaan saja, sedangkan pemerintahan politik yang sah harus sesuai dengan kodrat manusia sebagai orang yang bebas. “Jadi apabila kesatuan orang-orang bebas dibimbing kearah kesejahteraan umum masyarakat, pemerintah ini bersifat betul dan adil sebagaimana sudah semestinya bagi orang-orang yang bebas. Tetapi apabila pimpinan tidak mengusahakan kesejahteraan umum masyarakat, melainkan keuntungan pribadi sang pemimpin, pemerintahan itu tidak adil dan bertentangan dengan kodrat.” Kekuasaan pada dasarnya hanya benar dan baik sejauh berjalan dalam batas-batas yang presis, sedangkan hukum sendiri harus menunjang tujuan negara, yaitu mengusahakan kemakmuran bersama dan bukan kepentingan pribadi penguasa sendiri atau kelompok tertentu. Yang boleh disebut raja bukanlah segenap orang yang kebetulanduduk diatas tahta, melainkan hanyalah penguasa yang memerintah demi kesejahteraan umum masyarakat bukan demi kepentingan diri sendiri.
Dalam hubungan ini Thomas Aquinas mengutamakan ajaran yang termasyur tentang perjanjian pemerintahan. Bagi Aquinas tidak pernah seorang dengan sendirinya berhak untuk memerintah orang lain. Sebagai sesama ciptaan Tuhan tak ada manusia yang sebagai manusia mengungguli manusia lain. Bahwa ada orang yang memerintah dan diperintah berdasarkan kodrat manusia sebagai mahluk sosial. Fungsi suatu pemerintahan diatas masyarakat memang diperlukan agar semua prasarana yang diandaikan manusia dalam usahanya meweujudkan kehidupannya dapat tersedia. Tetapi kepada siapa pemerintahan itu dipercayakan, masyarakatlah yang berhak menentukan (rakyat, populus, dalam bahasa Thomas Aquinas). Menurut Aquinas, setiap raja atau penguasa yang sah menduduki jabatannya berdasarkan suatu perjanjian dengan rakyatnya. Dalam perjanjian itu rakyat disatu pihak berjanji akan taat kepada raja. Di lain pihak raja berjanji bahwa ia akan mempergunakan kekuasaanya demi tujuan yang sebenarnya, yaitu untuk mengusahakan kepentingan rakyat atau kesejahteraan umum. Apabila raja menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan sendiri, ia melanggar perjanjian. Dengan demikian perjanjian ini tidak berlaku lagi. Thomas Aquinas menulis, “Karena apabila termasuk hak rakyat untuk menentukan sendiri, siapa yang menjadi rajanya, maka berdasarkan hak yang sama raja yang diangkat itu dapat disingkirkan dari kedudukannya oleh rakyat yang sama, atau kekuasaannya dapat dibatasi. Dan jangan dikira bahwa rakyat itu dengan demikian melanggar kesetiannya..... karena Raja sudah sepantasnya mengalami bahwa bawahannya tidak menepati perjanjian mereka dengannya, karena ia sendiri dalam memerintah rakyatnya tidak setia kepadanya sebagaimana menjadi kewajiban seoarang raja.”
Untuk mencegah timbulnya Tiranis itu kekuasaan hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga “raja tidak memiliki kesempatan untuk mendirikan pemerintahan yang despotik. Sekaligus kekuasaannya harus dibatasi sedemikian rupa sehingga raja tidak mudah dapat menjadai Tiran.”
Pendasaran segenap kekuasaan yang sah pada legitimasi etis berdasarkan kodrat dan martabat manusia sebagai mahluk yang bebas merupakan sumbangan Thomas Aquinas yang hakiki pada etika politik.
Dalam etikanya Aquinas mengikuti kerangka dasar dari Aristoteles tapi memberikan dimensi yang baru. Bagi Aquinas pun tujuan manusia adalah kebahagiaan. Seperti menurut Aristoteles kebahagiaan dalam Conteplatio, yang memandang Ilahi. Namun ia tidak berhenti pada pikiran filsafati. Pemikiran filsuf tidak sungguh-sungguh dapat memuaskan manusia. Satu-satunya pendangan yang memuaskan manusia sepenuhnya adalah pandangan nilai tertinggi dan abadi adalah Tuhan sendiri.
Thomas Aquinas mendobrak keterbatasan etika Aristoteles pada dunia ini. Tidak mungkin manusia mencapai tujuan terakhirnya dalam dunia ini. Adapun yang diciptakan tidak dapat membahagiakan manusia sepenuhnya karena manusia berakal budi, terarah kepada yang tak terbatas. Sebagaimana akal budi terarah kepada realitas tak terbatas, begitu pula kehendak manusia barupuas apabila sampai pada nilai yang tertinggi, dan nilai tertinggi itu adalah Tuhan.
Dalam pengertian Aquinas, akal budi merupakan kemampuan yang secara hakiki terbuka bagi yang tak terhingga. Meskipun objek akal budi dianggap menurut pola objek indrawi dan memahami yang terhingga. Karena itu, manusia berakal budi dan binatang tidak.
Akal budi dapat dianggap sebagai keterbukaan yang tak terhingga atau sebagai cakrawalatak terhingga, tetapi karena cakrawala tak terhingga, manusia menangkap objek terhingga sebagai terhingga dan dengan demikian sudah mengatasi keterhinggaan (Hegel). Karena itu Tuhan dapat mewahyukan diri kepada manusia, tapi tidak kepada binatang. Binatang tidak mempunyai cakrawala tak terhingga, sehingga Tuhan tidak mungkin masuk kedalam wawasannya. Namun cakrawala pengertian manusia adalah tak terhingga, sehingga yang tak terhingga dapat mewahyukan diri kepada manusia. Manusia secara kodrati terbuka terhadap Tuhan jadi apabila ketakterhinggaan memenuhi keterbukaan manusia itu. Itulah sebabnya manusia ahnya dapat bahagia apabila memandang Tuhan jadi apabila ketakterhinggaan memenuhi keterbukaan manusia yang terarah pada yang tak terhingga.
Namun manusia hanyalah keterbukaan agar potensialitasnya tak terhingga. Oleh karena itu, manuisa dari kekuatannya sendiri tidak dapat mencapai Tuhan. Ia hanya dapat menerima Tuhan karena Tuhan memberikan diri sendiri. Pemberian diri Tuhan itu sama sekali bukan suatu hak manusia, melainkan tindak bebas Tuhan. Atasnya manusia tidak mempunyai klaim apapun. Ia hanya dapat menerimanya.
Dalam tradisi Kristiani, kerelaan Tuhan membuka diri kepada manusia disebut rahmat. Kata Rahmat memuat arti bahwa pemberian diri Tuhan itu seluruhnya atas kerelaan dan inisiatif Tuhan sendiri, dan bahwa dasarnya adalah kasih sayang Tuhan. Bahwa Tuhan memberikan diri, bahwa Tuhan bersifat maha rahim, itu diketahui dengan pasti hanya karena wahyu, karena Tuhan sendiri memberitahukannya.
Dari sini kita lihat bahwa Aquinas tidak lagi bicara murni sebagai filsuf melainkan sebagai teolog. Karena itu, dalam etikanya Thomas melampaui metode filsof murni dan bicara sebagai orang beriman, sebagai orang Kristen. Namun, tentu tidak dalam artian eksklusif. Pandangan yang membahagiakan adalah tujuan akhir segenap orang, sebagai manusia, dan segenap orang dipanggil kepandangan itu. Agama-agama lainpun menyadari bahwa Tuhan bersifat maharahim. Namun kenyataannya itu bukan hasil dari pikiran akal budi manusia saja. Bahwa tujuan manusia yang berkahir dan paling luhur bukan sekedar berfikir yang kabur, melainkan suatu tawaran nyata, tidak diketahui manusia dari filsafat murni, melainkan dari akal budi yang telah diterangi oleh cahaya sabda Allah sendiri, sebagaimana disadari dalam agama-agama yang tahu bahwa Tuhan memang menyapa manusia.
Bahwa tujuan akhir merupakan pemberian Tuhan yang berdaulat tidak berarti bahwa manusia tidak perlu berusaha sendiri. Aristoteles sudah menegaskan bahwa tindakan manusia bersifat bebas. Stoa, mendahului kant, sadar bahwa kualitas manusia akan moral ditentukan oleh kehendaknya, bukan tindakan lahiriah yang menentukan orang baik atau buruk dalam arti moral melainkan sebagai ungkapan kehendak. Manusia itu baik apabila ia berkehendak baik, jahat apabila berkehendak jahat. Augustinu berpendapat sama demikian juga Thomas.
Menurut Thomas, manusia memilih antara baik dan buruk dan itu harus. Perbuatan baik mengarahkan kepada tujuan akhir, perbuatan buruk menjauhkan daripadanya. Kebebasan itu padanan dari akal budi. Sebagai mana akal budi merupakan kemampuan kognitif manusia yang terbuka kepada yang tak terhingga begitu pula kehendak adalah dorongan manusia yang mengarah kepada yang baik, yaitu nilai yang tak terhingga.
Thomas membedakan antara dua macam kegiatan manusia yaitu kegiatan manusiawi dan kegiatan manusia.
Kegiatan manusia adalah segala macam gerak, perkembangan, dan perubahan pada manusia yang tidak disengaja, yang munri vegetatif ataau sensitif dan instingtif. Kegiatan ini diluar kuasa manusia, tidak perlu dipertanggung jawabkan, itu berarti kegiatan pada manusia itu tidak mempunyai kualitas moral mereka bukan baik atau buruk.
Kegiatan manusia justru tidak khas manusia, melainkan juga ada pada binatang dan sebagian juga pada tumbuhan. Kegiatan yang khas bagi manusia disebut kegiatan manusiawi, yaitu kegiatan sebagai manusia yang tidak ada pada organisme lain. Itulah kegiatan yang disengaja, tindakan dalam arti yang sebenarnya. Tindakan itu dikuasai. Berarti berlaku dengan bebas karena kita menentukan diri sendiri. Atas tindakan, kita bertanggung jawab. Karena itu, tindakan menentukan kualitas moral manusia. Tindakan baik berarti manusia baik, tindakan buruk berarti manusia jahat.
Apakah manusia mendekati tujuan akhir atau tidak adalah tanggung jawab manusia itu sendiri. Ia wajib bertindak kearah yang baik dan tidak bertindak kearah yang jahat. Perintah moral paling dasar menurut Thomas Aquinas adalah, “Lakukanlah yang baik, jangan melakukan yang salah. Yang baik adalah tujuan terakhir manusia, yang buruk adalah apa yang tidak sesuai. Tindakan ini didahului oleh pengertian bahwa sesudah mengetahui yang baik kita wajib menghendaki melakukan. Begitu pula, kita wajib menghindari apa yang kita ketahui sebagai jahat.”
Kemantapan dalam berbuat baik dan menolak yang jahat disebut keutamaan. Aquinas mengambil faham keutamaan dari Aristoteles. Keutamaan merupakan sikap hati yang sudah mantap, seakan-akan diandalkan. Sikap akan kebiasaan hati itu terbentuk karena tindakan. Manusia diharapkan mengusahakan keutamaan agar ia dengan mudah dapat bertindak sesuai dengan apa yang disadarinya dengan baik, agar kehendak, bagian dari jiwa yang menuju baik semakin terarah kepada apa yang diketahui dengan baik, yang sesuai dengan akal budi.
Sebagaimana bagi Aristoteles begitu juga bagi Thomas, keutamaan pada umumnya merupakan sikap yang ditengah. Artinya keutamaan berada diantara dua sikap yang ekstrim yang dua-duanya buruk (kebijaksanaan, misalnya, terletak diantara ketololan dan sikap berhati-hati yang berlebihan).
Dengan melihat pemikiran-pemikiran yang dilontarkan oleh Thomas Aquinas terutama tentang etika politiknya dengan mewariskan hukum kodratnya sangat berkembang dengan lebih meyakinkan dimana dalam negara hukum konstitusional yang keberadabannya diukur pada perlindungan yang diberikan kepada hak-hak asasi manusia. Dalam kesepakatan etika politik modern bahwa kekuasaan politik memerlukan legitimasi demokrasi dan dalam tuntutan bahwa negara dibebani tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan sosial.
Mengenai etika Thimas Aquinas adalah etika yang berkaitan erat dengan iman kepercayaan kepada Allah pencipta. Dalam arti ini, etika Aquinas memiliki unsur teologis. Namun, unsur itu tidak menghilangkan cirinya yang khas filosofis bahwa etika itu memungkinkan orang menemukan garis hidup yang masuk akal, tanpa mengandaikan kepercayaan atau keyakinan agama tertentu.
Keunggulan Etika Thomas dibandingkan dengan etika teonom lainnya adalah bahwa dia tidak sekedar merupakan etika peraturan. Kebanyakan etika yang mendasarkan kewajiban moral manusia kepada kehendak Tuhan bersifat Etika peraturan yang diberikan Tuhan dan karena itu harus ditaati oleh manusia. Meskipun tidak salah, pola etika peraturan itu tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa peraturan itu diterapkan; jadi, ada defisit dalam rasionalitas.
Orang dewasa mau saja taat pada peraturan, tetapi ia ingin tahu mengapa peraturan itu dipasang. Bahwa peraturan itu dipasang oleh yang berwenang tidak membuatnya rasional. Kecuali itu, etika peraturan mereduksi sikap moral manusia pada pertanyaan; boleh atau tidak boleh; pertanyaan itu tidak memberi ruang kepada salah satu faham moral yang paling penting dsan paling dibutuhkan pada zaman pasca tradisional, yaitu tanggung jawab.
Thomas mengatasi kelemahan itu karena hukum abadi yang diperintahkan oleh Tuhan adalah pengembangan dan penyempurnaan manusia sendiri. Jadi ada rasionalitas internal; hidup menurut hukum kodrat, hanya memenuhi perintah Tuhan melainkan memang sesuai dengan dinamika internal manusia sendiri. Dengan demikian, manusia menemukan diri menjadi nyata. Ketakwaan dan kebijaksanaan menyatu; takwa karena taat kepada Tuhan, bijaksana karena memang demi keutuhan manusia sendiri.
Thomas berhasil mengkombinasikan dua pola etika, etika teonom dan eudemodisme. Taat kepada Allah secara intrinsik menjadikan manusia bahagia karena dengan demikian ia menemukan kepenuhan dan kesempurnaannya. Berbeda dengan etika Kant yang mereduksi moralitas pada kewajiban, Etika Thomas berkaitan dengan desakan dasar hati manusia kearah kebahagiaan. Setiap orang ingin bahagia. Keinginan itu yang terlaksana lewat etika hukum kodrat.
Dengan demikian, Thomas mempertahankan faham Yunani bahwa etika mengajarkan seni hidup. Seni hidup, dalam arti bahwa orang yang mengikuti tuntutan etika menjadi semakin pandai atau bijaksana dalam cara mengurus gaya hidupnya dengan sedemikian rupa sehingga maju, bermakna, terasa bermutu, mendukung daripada mencecerkan identitas diri. Segi itu menghilang dalam pola etika kewajiban sebagaimana dicanangkan oleh Kant. Seperti Thomas Aquinas tidak memisahkan antara ketakwaan dan kebijaksanaan, begitu pula antara keutamaan moral dan kebijaksanaan. Dalam kerangka teori hukum kodrat, orang bijaksana akan hidup lebih baik karena itulah yang paling membahagiakan dan memang itulah yang paling membahagiakan dan memang itulah yang dikendaki oleh Tuhan Pencipta.
Kelemahan Etika Thomas Aquinas tidak terletak pada polanya melainkan dalam paham-pahamnya. Koodrta manusia terdiri dari apa ?. Pertanyaan ini merupakan kunci karena daripadanya tergantung bagaimana manusia harus hidup namun Thomas tidak menyediakan suatu metode untuk memastikan isi paham kodrat.
Yang kedua, kalaupun kita mencapai kesatuan paham tentang kodrat manusia, hukum kodrat juga belum berisi. Hukum kodrat menuntut agar kita bertindak sesuai dengan kodrat, tapi tindakan mana yang sesuai dengan kodrat manusia ?.
Namun demikian Etika Thomas Aquinas memilikirasionalitas tinggi. Disamping itu pula hukum kodrat mempunyai sifat yang universal karena meskipun acuan kepada Allah pencipata bersifat teologis, dalam strukturnya sendiri etika ini tidak berdasarkan iman kepercayaan atau agama tertentu. Etika hukum kodrat terbuka bagi siapa saja mengembangkan potensi-potensinya, menyempurnakan diri secara utuh, mengusahakan identitasnya, merupakan tujuan yang masuk akal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar