Guna mengembalikan memori anak-anak yang traumatis pascakerusuhan, diperlukan sistem pembelajaran yang bersifat multigrade teaching, yakni pembelajaran terhadap satu kelompok yang terdiri dari beberapa kelas. Namun, metode yang seharusnya dijalankan secara kontinu dan konprehensif ini terbentur masalah dana. Demikian dikemukakan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Suyanto MEd PhD.
"Kita tahu bahwa dampak kerusuhan terhadap aspek pendidikan sangat luar biasa. Sebab, dalam kondisi traumatis, stigma-stigma sosial akan terkenang seumur hidup sehingga diperlukan penanganan pedagogi yang baik pula," ujarnya.
Untuk mengembalikan kondisi yang sulit itu, apalagi "mengobati" memori anak-anak yang tengah berada dalam puncak kepekaannya-di mana anak-anak disuguhi peristiwa pembunuhan yang luar biasa-diperlukan penanganan yang kontinu dan komprehensif. Menghadapi kenyataan ini, sistem pembelajaran yang diharapkan bukan sekadar memberikan ilmu-ilmu pendidikan formal, tetapi juga pendampingan psikis mereka. Karena itu, kata Suyanto, sistem pembelajaran multigrade teaching adalah yang paling mungkin dilakukan. Artinya, pembelajaran dilakukan terhadap satu kelompok yang terdiri dari beberapa kelas. Misalnya, kelas satu sampai kelas tiga digabung menjadi satu kelas dan untuk anak-anak kelas empat hingga enam juga dibuat kelompok yang berbeda. Untuk itu, masyarakat harus bisa memakluminya sebab kondisi darurat ini sedang mereka alami.
Menurut Suyanto, secara teoretis, metode pembelajaran yang digunakan harus dimulai dengan mengekspose hal-hal yang sangat menakutkan hingga menjadi sesuatu yang tidak menakutkan. "Akan tetapi, secara praktis, anak-anak itu perlu juga diajarkan tentang nilai-nilai yang mengutamakan toleransi. Kalau tidak melalui cara ini, anak-anak akan memiliki perasaan antipati terhadap etnis-etnis tertentu, yang menurut pikiran mereka telah menyebabkan malapetaka," tegasnya.
Hanya saja, demikian Suyanto mengingatkan, metode pembelajaran ini memerlukan waktu yang panjang. Kendati begitu ia juga tidak yakin sepenuhnya kalau metode pembelajaran ini dapat menyembuhkan traumatis anak-anak, apalagi jika itu tidak dilakukan secara serius. Ke depan, tambahnya, pendidikan di daerah rawan konflik tidak harus mengandalkan pendidikan persekolahan yang memberikan teori-teori atau konsep umum pendidikan. "Pendidikan dengan konsep-konsep sosiologis, antropologis, dan budaya juga harus ditempuh," tuturnya.
Ia menambahkan, sampai saat ini upaya memasukkan sikap toleransi menjadi sebuah kurikulum khusus saja masih mengalami pro dan kontra. Namun, lepas dari itu semua, upaya yang paling baik adalah bahwa dalam setiap mata pelajaran seharusnya ada pesan nilai-nilai tertentu untuk kemudian dihayati dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. "Pendidikan agama yang sudah mengajarkan nilai-nilai tidak bisa dikatakan gagal. Variabel yang menentukan perilaku manusia begitu banyak. Ia tidak bisa hanya ditentukan oleh kesanggupan murid berada di kelas selama jangka waktu tertentu secara formal," jelasnya.
(Kutipan Kompas 030301)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar