Perjuangan menuntut reformasi oleh mahasiswa mengalami peningkatan secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif peningkatan itu dapat dilihat dari semakin banyaknya massa-mahasiswa yang tergabung dan semakin meluasnya kampus-kampus dan kota-kota yang melakukan aksi massa. Secara kuantitatif, dapat dilihat dari meningkatnya tuntutan. , Dari sekedar reformasi meningkat sampai suksesi (Menurunkan Soeharto/Menuntut Sidang Umum Istimewa). Bentuk-bentuk aksinya juga meningkat. Dari mimbar bebas dalam kampus menjadi rally keluar kampus, bahkan terjadi bentrokan dan penyanderaan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Begitu pula upaya kediktatoran dalam menangani aksi itu. Tindakan represif dari aparat keamanan juga semakin meningkat. Semula hanya dijaga, kemudian mulai digebuki dan disemprot gas air mata, dan kini mulai meningkat menjadi penculikan terhadap aktivis serta penembakan peluru karet pada demonstran.
Pengalaman seperti ini juga terjadi di negara-negara lain saat bergolak, seperti di Philipina, Albania, Zaire, Guatemala, El Savador, Chile, dan lain-lain. Secara teoritis, proses ini diistilahkan sebagai dialektika revolusi. Dalam dialektika itu, masing-masing (baik para oposisi maupun pihak kediktatoran) terus meningkatkan aksinya.
Sekarang aksi penguasa sudah sampai melakukan penembakan peluru karet, dan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia --ABRI (Pangab) serta Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam) sudah mengancam akan menindak tegas aksi-aksi yang keluar melampaui batas teritorial dari kampus. Kalau pada tingkat ini mahasiswa mundur, artinya patuh tidak melakukan aksi di luar kampus, militer akan terus mendesak. Hal ini akan menurunkan kualitas aksi sampai pada titik tidak ada protes mahasiswa sama sekali. Memang itu yang diinginkan oleh kediktatoran.
Oleh karena itu, mahasiswa justru harus mencari kawan beraliansi, yaitu berbaur dengan rakyat. Selama ini ABRI selalu mengisolasi mahasiswa dari rakyat. Selama mahasiswa belum aksi bersama rakyat, maka pengendaliannya masih mudah, karena jumlah mahasiswa secara kuantitatif kecil (hanya sekitar 3 % dari total penduduk Indonesia).
Mereka yang berpikir dengan logika formal akan berpendapat : "Kita jangan bergabung dengan rakyat, karena itu akan membuat militer semakin brutal. Baru aksi keluar kampus saja tindakan mereka sudah seperti ini, apalagi kalau sudah bergabung dengan rakyat. Bisa-bisa terjadi kerusuhan dan militer punya legitimasi untuk memberantas kita."
Pendapat demikian, secara tidak langsung mencerminkan kemasihberharapan terhadap belas kasihan dari militer. "Kita harus kompromi dengan militer, agar mereka tidak semakin brutal terhadap kita," demikianlah sederhananya. Padahal, kita tahu mengapa selama militer tidak memberangus para mahasiswa yang aksi --misalnya dibunuh saja atau digilas dengan panser; ini bukan mustahil dilakukan-- adalah karena secara politik posisi aparat keamanan terdesak. Jika militer menggunakan cara "persuasif", ini adalah karena mereka terdesak secara politik. Begitu ada kesempatan untuk berbuat kejam, maka mereka akan berbuat sekejam-kejamnya. Ingat peristiwa Tanjung Priok, penyerbuan kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai - Rakyat Demokrasi (DPP PDI), penyerbuan terhadap jemaah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), tindakan-tindakan militer di Timor Timur, Aceh, Papua Barat, dan sebagainya.
Sekarang peluru karet ditembakkan. Mungkin suatu saat peluru timah. Ini akan mereka lakukan selama ada kesempatan, selama tidak menimbulkan pukulan balik secara politik. Mereka mempertimbangkan itu : apa akibatnya jika ini dilakukan dan apa keuntungannya.
Dengan beraliansi dengan rakyat, kesempatan-kesempatan ABRI bertindak kejam akan semakin tertutup. Tindakan kejam tersebut akan mengakibatkan bangkitnya massa yang jauh lebih banyak. Inilah yang senantiasa dihindari ABRI. Apapun akan dilakukan oleh militer dengan tujuan agar massa yang turun ke jalan tetap sedikit.
Mengapa jika terjadi aliansi mahasiswa dengan rakyat, ABRI justru tidak berkesempatan berbuat brutal ? Tidak lain karena rakyat sudah terlibat dalam perjuangan. Selama ini mahasiswa yang ditembaki peluru karet karena memperjuangkan nasib rakyat, namun tidak nampak pembelaan dari rakyat itu sendiri. Mengapa? Jelas karena rakyat sendiri belum terlibat secara langsung. Mereka baru sebatas sebagai penonton.
Masa itu harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik dinaikkan secara drastis. Akibatnya semua harga menjadi naik. Padahal dengan harga selama ini saja rakyat telah tercekik. Rakyat semakin resah, para sopir mogok, para buruh mogok, bahkan ibu-ibu Kongres Wanita Indonesia pun sudah mulai unjuk rasa. Inilah saat yang tepat untuk mengajak rakyat terlibat aktif dalam perjuangan bersama-sama mahasiswa.
Dengan terlibatnya rakyat dalam perjuangan, berarti mahasiswa tidak lagi sendirian. Rakyat akan membela jika ada penembakan terhadap peserta aksi. Rakyatlah yang akan menyediakan rumah-rumah mereka sebagai tempat perlindungan. Rakyat yang akan menyediakan kampung-kampung mereka sebagai tempat bersembunyi.***
Oleh : Ben Bella
*Penulis Adalah ketua liga mahasiswa nasional untuk demokrasi eksekutif wilayah VII region sulawesi-kalimantan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar