Geliat kehidupan kampus ditandai dengan menguatnya kembali gerakan mahasiswa yang berhaluan Islam. Fenomena ini dapat dibaca jelas dengan tampilnya generasi baru Islam, paling tidak yang terefleksikan dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan kelompok-kelompok dakwah kampus (halaqah) yang banyak mengambil peran dalam berbagai momentum dan dinamika kampus.
Berbeda dari tampilan beberapa organisasi kemahasiswaan Islam lain yang sudah ada sebelumnya, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), maupun Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), kehadiran KAMMI seakan-akan mewakili sebuah spirit "Islam baru" yang mencerminkan "totalitas" dan "kesungguhan", baik dalam tujuan perjuangannya maupun dari segi perilaku politik sosialnya. Pendek kata, KAMMI terlihat betul-betul ingin merefleksikan sebuah potret generasi muda Islam yang ideal, sebagai generasi yang sholeh, menjunjung tinggi moralitas Islam dalam berbagai aspek kehidupan (kaffah).
Lazimnya, mereka tumbuh dan berkembang pesat di berbagai kampus yang berlatarbelakang negeri dan umum (bukan di perguruan tinggi berlabelkan agama, seperti IAIN maupun STAIN). Lebih spesifik lagi, biasanya perkembangannya sangat pesat di fakultas-fakultas eksakta, bidang keilmuan pasti, seperti MIPA, kimia, fisika, matematika dan lain sebagainya. Meski di fakultas-fakultas sosial juga ada, tetapi persentasenya jauh lebih kecil dibanding perkembangannya di fakultas eksakta.
Meski organisasi ini masih terhitung belia, tepatnya berusia 10 tahun, tetapi daya resonansi dan popularitasnya cukup mengagumkan. Bahkan, belakangan, karena kuatnya ruh Islam yang dipegangnya, organisasi baru ini mampu menjadi daya tarik yang cukup kuat bagi kalangan mahasiswa di kampus-kampus besar.
Efek Modernisasi
Harus diakui, arus modernisasi yang berjalan kuat dan pesat, membuat dinamika kemahasiswaan berjalan sangat dinamis dengan tingkat kebebasan berpikir yang sangat tinggi. Melalui disiplin keilmuan yang diterimanya serta jaringan pergaulan dan informasi yang mampu diaksesnya, menjadikan mahasiswa hidup dalam dunia kebebasan yang sangat lebar. Modernisasi telah benar-benar menggeser dan meruntuhkan segala pranata yang sudah mapan, termasuk pranata moral keagamaan dan sosial.
Seorang ilmuan muslim Mesir kenamaan Hassan Hanafi, mensinyalir bahwa modernisasi mampu menyuguhkan sejuta opsi dalam satu hal kecil yang sangat terbatas sekalipun. Di sana tersedia sejumlah standar dan ukuran-ukuran. Siapa pun bebas menggunakan ukuran dan standar tersebut, bahkan juga berganti-ganti dari satu standar ke standar yang lain. Kebebasan menggunakan standar inilah yang kemudian meruntuhkan segala bangunan pranata sosial-keagamaan yang sudah mapan.
Lihatlah bagaimana generasi muda kampus melakukan seks bebas, obat-obatan terlarang, dan larut dalam tuntutan-tuntutan gaya hidup modern lainnya. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang berlatarbelakang masyarakat desa dengan kultur yang sangat bertolak belakang. Alfin Tofler menyebut gejala ini dengan cultural shock, sebuah keterkejutan budaya yang tanpa disadari menyeretnya ke dalam arus kebudayaan baru yang tidak dikenal sebelumnya.
Modernisasi memang benar-benar menjadi satu persoalan tersendiri dalam kultur masyarakat praindustri, seperti Indonesia. Di dalamnya terjadi aneka kontradiksi yang berjalan dalam satu irama perubahan pada dimensi kultural dan kesadaran manusia. Dalam jeratan kultur seperti inilah, lanjut Hassan Hanafi, setiap orang berkecenderungan kembali kepada nilai-nilai primordialnya atau membangun mekanisme defensif dengan mengusung sebuah nilai-nilai fundamental yang sangat asasi. Biasanya, alternatif pengimbang terhadap modernisasi dipilihlah nilai-nilai keagamaan.
Tesis yang diajukan oleh Hanafi adalah semakin deras arus modernisasi mengguncang sendi-sendi kultural sebuah masyarakat, maka kecenderungan untuk kembali kepada nilai-nilai primordialnya juga semakin kuat. Ini yang ditemukan Hanafi tentang perkembangan fundamentalisme kristen di zaman pencerahan Eropa, atau munculnya gerakan Islam puritan di negara-negara Islam Timur Tengah, termasuk berkembangnya gerakan Islam radikal di Pakistan, Mesir dan Turki, khususnya di zaman Kemal Attaturk.
Tampaknya, sinyalemen Hanafi tidak terlalu berlebihan untuk digunakan dalam meneropong fenomena perkembangan menguatnya gerakan Islam di berbagai kampus umum di Indonesia. Setidaknya, ada dua indikasi yang menguatkannya.
Pertama, gerakan Islam kampus ini berkembang di kota-kota besar dengan tingkat modernisasi yang cukup tinggi. Sebaliknya, di kota-kota yang derajat modernisasinya sangat kecil, kehadiran mereka sulit untuk diterima. Artinya, fenomena itu menjadi kekhasan masyarakat perkotaan.
Kedua, sebagai bentuk kecenderungannya yang sangat kuat terhadap ornamen-ornamen keagamaan (Islam), nuansa puritanismenya ditonjolkan jauh lebih kental sehingga kontras dengan khazanah-khazanah lokal. Ini menjadi ciri yang paling tampak dari gerakan-gerakan Islam puritan. Biasanya mereka kesulitan membangun titik konvergensi antara tuntutan formalisme keagamaan dengan realitas aktual kebudayaan lokal yang sedang berkembang.
Mengapa modernisme, pada dimensinya yang lain, mendorong orang untuk kembali kepada nilai-nilai fundamental atau primordialismenya? Seorang ilmuan Donald Smith menengarai ada tiga sebab.
Pertama, modernisme dapat menyebabkan pemisahan politik dari ideologi-ideologi agama dan struktur eklesiastikal. Modernisme dapat menyebabkan ruang sosial pecah, tanpa terhubung antara satu dengan yang lain. Misalnya politik terpisah dari agama, ekonomi dijauhkan dari prinsip-prinsip keadilan dan lain sebagainya.
Kedua, ekspansi politik merambah ke dalam semua segmen sosial dalam menjalankan semua fungsinya, sehingga agama kehilangan peran sosialnya.
Ketiga, terjadi transvaluasi kultur politik yang lebih mengutamakan pentingnya nilai-nilai yang rasional, pragmatis, profan dan non-transendental. Ketiga hal ini, lanjut Smith terjadi secara universal di semua lapisan masyarakat modern.
Agenda yang Belum Tuntas
Begitu kuatnya pengaruh modernisme yang mampu meruntuhkan segala bangunan sistem nilai, termasuk nilai-nilai agama, maka dalam dunia Islam timbul polemik yang cukup serius, apakah modernisme sesuai dengan agama atau malah bertolak belakang.
Kelompok yang memahaminya bertolak belakang dari doktrin agama mengambil sikap resistensi dan konfrontasi, sehingga disebut sebagai kelompok fundamentalis. Ini muncul di beberapa negara seperti Iran, Sudan dan lain-lain. Mereka membangun sebuah antitesa dengan menampilkan Islam sebagai kekuatan tandingan. Di sini kesadaran keagamaan tidak semata-mata dipahami sebagai cara dan pola hidup, tetapi juga dipahami alternatif sistem yang harus diperlawankan dengan sistem mana pun juga.
Sementara kelompok yang menyetujui modernitas mengambil sikap afirmatif-kompromistik dan menganggapnya sebagai bagian dari dimensi doktrinal keagamaan. Sederhananya, menurut kelompok ini, bukankah agama sendiri menganjurkan kemajuan.
Bagaimana sebetulnya pengaruh modernitas terhadap bangunan keagamaan?
Seorang cendekiawan muslim Indonesia Prof Dr Nurcholish Madjid mengatakan bahwa esensi modernisasi sebenarnya adalah rasionalisasi. Sebuah upaya penempatan formula-formula teologis kedalam bingkai ilmiah-teoritis. Dengan demikian, dalam konteks keagamaan, modernisme diperlawankan dengan dogmatisme. Karena dogmatisme sudah pasti irrasional. Itulah sebabnya, mengapa sang cendekiawan selalu mengkampanyekan keharusan modernisasi terhadap bangunan keagamaan sejak tahun 70-an.
Tetapi rasionalisasi terhadap segala bangunan keagamaan, terutama pada anasir teo-ritualistiknya, mengakibatkan hilangnya dimensi spiritualitas agama yang menyebabkan perilaku dan praktik keagamaan itu sendiri menjadi kering dan gersang.
oleh Aminullah Yunus
Ketua Umum Badko HMI Jateng-DIY
Berbeda dari tampilan beberapa organisasi kemahasiswaan Islam lain yang sudah ada sebelumnya, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), maupun Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), kehadiran KAMMI seakan-akan mewakili sebuah spirit "Islam baru" yang mencerminkan "totalitas" dan "kesungguhan", baik dalam tujuan perjuangannya maupun dari segi perilaku politik sosialnya. Pendek kata, KAMMI terlihat betul-betul ingin merefleksikan sebuah potret generasi muda Islam yang ideal, sebagai generasi yang sholeh, menjunjung tinggi moralitas Islam dalam berbagai aspek kehidupan (kaffah).
Lazimnya, mereka tumbuh dan berkembang pesat di berbagai kampus yang berlatarbelakang negeri dan umum (bukan di perguruan tinggi berlabelkan agama, seperti IAIN maupun STAIN). Lebih spesifik lagi, biasanya perkembangannya sangat pesat di fakultas-fakultas eksakta, bidang keilmuan pasti, seperti MIPA, kimia, fisika, matematika dan lain sebagainya. Meski di fakultas-fakultas sosial juga ada, tetapi persentasenya jauh lebih kecil dibanding perkembangannya di fakultas eksakta.
Meski organisasi ini masih terhitung belia, tepatnya berusia 10 tahun, tetapi daya resonansi dan popularitasnya cukup mengagumkan. Bahkan, belakangan, karena kuatnya ruh Islam yang dipegangnya, organisasi baru ini mampu menjadi daya tarik yang cukup kuat bagi kalangan mahasiswa di kampus-kampus besar.
Efek Modernisasi
Harus diakui, arus modernisasi yang berjalan kuat dan pesat, membuat dinamika kemahasiswaan berjalan sangat dinamis dengan tingkat kebebasan berpikir yang sangat tinggi. Melalui disiplin keilmuan yang diterimanya serta jaringan pergaulan dan informasi yang mampu diaksesnya, menjadikan mahasiswa hidup dalam dunia kebebasan yang sangat lebar. Modernisasi telah benar-benar menggeser dan meruntuhkan segala pranata yang sudah mapan, termasuk pranata moral keagamaan dan sosial.
Seorang ilmuan muslim Mesir kenamaan Hassan Hanafi, mensinyalir bahwa modernisasi mampu menyuguhkan sejuta opsi dalam satu hal kecil yang sangat terbatas sekalipun. Di sana tersedia sejumlah standar dan ukuran-ukuran. Siapa pun bebas menggunakan ukuran dan standar tersebut, bahkan juga berganti-ganti dari satu standar ke standar yang lain. Kebebasan menggunakan standar inilah yang kemudian meruntuhkan segala bangunan pranata sosial-keagamaan yang sudah mapan.
Lihatlah bagaimana generasi muda kampus melakukan seks bebas, obat-obatan terlarang, dan larut dalam tuntutan-tuntutan gaya hidup modern lainnya. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang berlatarbelakang masyarakat desa dengan kultur yang sangat bertolak belakang. Alfin Tofler menyebut gejala ini dengan cultural shock, sebuah keterkejutan budaya yang tanpa disadari menyeretnya ke dalam arus kebudayaan baru yang tidak dikenal sebelumnya.
Modernisasi memang benar-benar menjadi satu persoalan tersendiri dalam kultur masyarakat praindustri, seperti Indonesia. Di dalamnya terjadi aneka kontradiksi yang berjalan dalam satu irama perubahan pada dimensi kultural dan kesadaran manusia. Dalam jeratan kultur seperti inilah, lanjut Hassan Hanafi, setiap orang berkecenderungan kembali kepada nilai-nilai primordialnya atau membangun mekanisme defensif dengan mengusung sebuah nilai-nilai fundamental yang sangat asasi. Biasanya, alternatif pengimbang terhadap modernisasi dipilihlah nilai-nilai keagamaan.
Tesis yang diajukan oleh Hanafi adalah semakin deras arus modernisasi mengguncang sendi-sendi kultural sebuah masyarakat, maka kecenderungan untuk kembali kepada nilai-nilai primordialnya juga semakin kuat. Ini yang ditemukan Hanafi tentang perkembangan fundamentalisme kristen di zaman pencerahan Eropa, atau munculnya gerakan Islam puritan di negara-negara Islam Timur Tengah, termasuk berkembangnya gerakan Islam radikal di Pakistan, Mesir dan Turki, khususnya di zaman Kemal Attaturk.
Tampaknya, sinyalemen Hanafi tidak terlalu berlebihan untuk digunakan dalam meneropong fenomena perkembangan menguatnya gerakan Islam di berbagai kampus umum di Indonesia. Setidaknya, ada dua indikasi yang menguatkannya.
Pertama, gerakan Islam kampus ini berkembang di kota-kota besar dengan tingkat modernisasi yang cukup tinggi. Sebaliknya, di kota-kota yang derajat modernisasinya sangat kecil, kehadiran mereka sulit untuk diterima. Artinya, fenomena itu menjadi kekhasan masyarakat perkotaan.
Kedua, sebagai bentuk kecenderungannya yang sangat kuat terhadap ornamen-ornamen keagamaan (Islam), nuansa puritanismenya ditonjolkan jauh lebih kental sehingga kontras dengan khazanah-khazanah lokal. Ini menjadi ciri yang paling tampak dari gerakan-gerakan Islam puritan. Biasanya mereka kesulitan membangun titik konvergensi antara tuntutan formalisme keagamaan dengan realitas aktual kebudayaan lokal yang sedang berkembang.
Mengapa modernisme, pada dimensinya yang lain, mendorong orang untuk kembali kepada nilai-nilai fundamental atau primordialismenya? Seorang ilmuan Donald Smith menengarai ada tiga sebab.
Pertama, modernisme dapat menyebabkan pemisahan politik dari ideologi-ideologi agama dan struktur eklesiastikal. Modernisme dapat menyebabkan ruang sosial pecah, tanpa terhubung antara satu dengan yang lain. Misalnya politik terpisah dari agama, ekonomi dijauhkan dari prinsip-prinsip keadilan dan lain sebagainya.
Kedua, ekspansi politik merambah ke dalam semua segmen sosial dalam menjalankan semua fungsinya, sehingga agama kehilangan peran sosialnya.
Ketiga, terjadi transvaluasi kultur politik yang lebih mengutamakan pentingnya nilai-nilai yang rasional, pragmatis, profan dan non-transendental. Ketiga hal ini, lanjut Smith terjadi secara universal di semua lapisan masyarakat modern.
Agenda yang Belum Tuntas
Begitu kuatnya pengaruh modernisme yang mampu meruntuhkan segala bangunan sistem nilai, termasuk nilai-nilai agama, maka dalam dunia Islam timbul polemik yang cukup serius, apakah modernisme sesuai dengan agama atau malah bertolak belakang.
Kelompok yang memahaminya bertolak belakang dari doktrin agama mengambil sikap resistensi dan konfrontasi, sehingga disebut sebagai kelompok fundamentalis. Ini muncul di beberapa negara seperti Iran, Sudan dan lain-lain. Mereka membangun sebuah antitesa dengan menampilkan Islam sebagai kekuatan tandingan. Di sini kesadaran keagamaan tidak semata-mata dipahami sebagai cara dan pola hidup, tetapi juga dipahami alternatif sistem yang harus diperlawankan dengan sistem mana pun juga.
Sementara kelompok yang menyetujui modernitas mengambil sikap afirmatif-kompromistik dan menganggapnya sebagai bagian dari dimensi doktrinal keagamaan. Sederhananya, menurut kelompok ini, bukankah agama sendiri menganjurkan kemajuan.
Bagaimana sebetulnya pengaruh modernitas terhadap bangunan keagamaan?
Seorang cendekiawan muslim Indonesia Prof Dr Nurcholish Madjid mengatakan bahwa esensi modernisasi sebenarnya adalah rasionalisasi. Sebuah upaya penempatan formula-formula teologis kedalam bingkai ilmiah-teoritis. Dengan demikian, dalam konteks keagamaan, modernisme diperlawankan dengan dogmatisme. Karena dogmatisme sudah pasti irrasional. Itulah sebabnya, mengapa sang cendekiawan selalu mengkampanyekan keharusan modernisasi terhadap bangunan keagamaan sejak tahun 70-an.
Tetapi rasionalisasi terhadap segala bangunan keagamaan, terutama pada anasir teo-ritualistiknya, mengakibatkan hilangnya dimensi spiritualitas agama yang menyebabkan perilaku dan praktik keagamaan itu sendiri menjadi kering dan gersang.
oleh Aminullah Yunus
Ketua Umum Badko HMI Jateng-DIY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar