Kamis, 14 April 2016

SEKOLAH UNGGULAN VERSI OTONOMI PENDIDIKAN

Dewasa ini sering kita dengar istilah "sekolah unggulan" atau "sekolah plus". Predikat tersebut ada yang datangnya tiba-tiba (karena kepentingan birokrat pendidikan) dan ada pula yang muncul karena penilaian masyarakat. Di era otonomi pendidikan seperti sekarang, ada sebuah gagasan yang ingin saya tawarkan kepada pembaca, yaitu tentang sekolah unggulan versi otonomi pendidikan. Artinya, sekolah unggulan tersebut tetaplah sebagaimana sekolah-sekolah yang lain. Hanya saja, pada sisi tertentu mempunyai keunggulan. Begitu pula sekolah unggulan lainnya, mempunyai suatu keunggulan di bidang tertentu. Saya berpendapat bahwa tidak mungkin sekolah unggulan akan unggul segalanya. 

Suatu sekolah unggulan yang mendambakan untuk menjadi unggul segalanya akan menjadi sekolah yang "tidak sehat". Mengapa? Karena mereka telah memaksakan diri untuk menjadi unggul, padahal dalam hal tertentu tidak mungkin mengungguli sekolah yang lain. Yang perlu dilakukan adalah memetakan keunggulan masing-masing sekolah dan mengembangkan sekolah tersebut secara khusus kepada keunggulannya. Sebab, hanya sekolah yang mampu menekuni keunggulannya yang akan bisa eksis di era otonomi pendidikan. Mengapa? Karena sekolah tersebut benar-benar berupaya untuk menjadi unggul di sisi tertentu tanpa melupakan sisi lainnya. Misalnya, sebuah sekolah di lingkungan pantai, maka sekolah itu setidaknya unggul dalam hal pemberdayaan pantai dan segala sesuatu yang berhubungan dengan laut, termasuk teknologi yang dapat dikembangkan di daerah pantai. Begitu pula untuk daerah pegunungan, maka suatu sekolah haruslah memiliki keunggulan sesuai dengan letak geografis dan sosial budaya masyarakatnya.

Di sini tampak jelas bahwa otonomi pendidikan telah memberikan peluang dan tantangan yang optimal bagi berkembangnya sekolah-sekolah unggulan. Artinya, setiap sekolah dapat saja mengembangkan diri, sehingga menjadi unggul dalam hal tertentu.

Konsep semacam ini mungkin agak berbeda dengan konsep umum yang sekarang sedang menjamur, yaitu bahwa sekolah unggulan haruslah unggul segala-galanya. Saya berpandangan bahwa sekolah unggulan menurut manajemen berbasis sekolah (MBA) adalah sekolah yang unggul dalam tiga hal; yaitu (1) pelaksanaan pembelajarannya, (2) transparansi manajemennya, dan (3) partisipasi masyarakatnya.

Jika di suatu kecamatan ada dua atau tiga sekolah yang memiliki keunggulan pada tiga komponen tersebut, apakah mereka tidak berhak memperoleh predikat unggulan? Rasanya sangat tidak logis apabila keunggulan suatu sekolah hanya diukur dari sisi administratif. Harus ada pandangan yang komprehensif mengenai profil suatu sekolah. Bahkan, untuk sekolah yang hanya memiliki satu keunggulan saja (misalnya, partisipasi masyarakatnya), maka sekolah tersebut sudah bisa disebut unggulan, yaitu unggulan di bidang partisipasi masyarakat. Begitu pula sekolah yang hanya unggul transparansi manajemennya atau pembelajaran aktifnya. Tingginya otonomi sekolah telah mendorong suatu sekolah untuk dapat mengembangkan dirinya sesusai dengan potensi yang ada. Ketika saya mengadakan penelitian di daerah uji coba MBS di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, ada banyak sekolah yang memiliki keunggulan di bidang tertentu, tetapi masih kurang di bidang yang lain. Misalnya, untuk partisipasi masyarakat, maka Sekolah Dasar (SD) Mlaten II dan SD Sumbergirang II memiliki keunggulan tersendiri dibanding SD yang lain. Untuk pembelajaran aktif dan menyenangkan bisa ditemui di SD Kebonagung. Begitu seterusnya. * * * Keunggulan yang tidak merata semacam itu sebenarnya memberikan nilai tersendiri bagi suatu sekolah. Bagi sekolah yang belum unggul di bidang pembelajaran aktif misalnya, dapat mengadakan studi banding di sekolah yang sudah unggul di bidang tersebut. Begitu seterusnya. Namun yang pasti, setiap sekolah harus mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya, sehingga benar-benar ada yang dapat diunggulkan. Penyeragaman sesuatu pada semua sekolah harus mulai ditinggalkan. Artinya, tuntutan agar sekolah yang satu sama persis dengan sekolah yang lain di era otonomi pendidikan ini, hendaknya dibuang jauh-jauh. Sebab, "virus keseragaman" inilah yang terjadi di era Orde Baru, sehingga membentuk anak-anak kita menjadi "pengekor" kelas wahid. Sekarang sekolah harus benar-benar otonom, dalam arti memiliki kewenangan yang besar untuk menentukan programnya. Bersama Dewan Sekolah, maka kepala sekolah dan guru harus dapat menentukan visi dan misi, sesuai dengan keadaan lingkungannya. Jika realitas semacam ini terwujud, maka keunggulan yang dimiliki masing-masing sekolah akan menjadi pemicu untuk berkompetisi secara sehat. Selain itu, secara sportif kita akan mengakui kelebihan orang lain dan kekurangan diri sendiri. Dari aspek pendidikan, sekolah unggulan versi ini justru akan merekatkan hubungan antarsekolah, bukan sebaliknya. Di era otonomi pendidikan ini, perbedaan hendaknya dihargai, termasuk perbedaan dalam hal sekolah unggulan.

Penulis
* Achmad Sapari, pengawas TK/SD/SDLB di Probolinggo dan mahasiswa pascasarjana Universitas Negeri Malang (Kompas 130701

Tidak ada komentar:

Posting Komentar