MULTIKULTURA-LISME adalah isu mutakhir yang terus merambah berbagai wacana kehidupan. Pemaknaannya menyesuaikan dengan kebutuhan ruang dan waktu. Dalam konteks Indonesia, multikulturalisme berarti representasi yang lebih baik atas semua kelompok masyarakat dalam sektor privat dan publik, serta peluang yang sama dalam praktek kehidupan.
Toleransi atas kelompok-kelompok bahasa, agama, suku, etnik dan kultural adalah upaya pencarian suatu kebudayaan pelangi. Namun sebagian dari kita masih curiga. Mereka khawatir bahwa multikulturalisme akan menghancurkan gagasan tentang bangsa Indonesia, bahkan bangsa manapun. Multikulturalisme, khususnya dalam dunia pendidikan, dipandang sebagai keburukan.
Pandangan ini hanya benar dalam konteks negara-bangsa, atau bahkan dalam representasi kolektif apapun yang sifatnya eksklusif. Bagi mereka yang setia untuk menciptakan dan berpartisipasi dalam pendidikan yang membuka suara-suara otentik yang lain, pendidikan multikultural melampaui teks nasionalisme dan menciptakan tipe baru globalisme. Inilah pengakuan atas perbedaan dalam kesatuan universal.
Bagi kita, multikulturalisme meyakini bahwa perbedaan harus menjadi bagian dari kurikulum. Pandangan-pandangan kelompok keagamaan dan kebudayaan tidak boleh dilihat sebagai ancaman bagi ideologi negara namun sebagai bagian dari kekayaan nasional. Perbedaan dapat memperkuat kedirian poskolonial, bukan menghancurkannya.
Kesatuan universal bukanlah dalih sederhana bagi pluralisme. Pluralisme di dunia demokrasi berkenaan dengan banyak suara yang perlu diperhatikan. Ide terbaik akan memenangkan kompetisi. Peran guru adalah menyajikan perbedaan perspektif secara terbuka. Bagaimanapun, pluralisme di sini masih dikontektualisasi oleh liberalisme. Jadi pluralisme bersifat dangkal. Pluralisme terdalam akan bertanya: bagaimana perbedaan budaya mengartikulasikan hak-hak orang lain dan apa inti dari kesatuan dalam perbedaan ini? Misalnya, bila dalam pluralisme liberal semua nilai terbuka bagi pilihan individu, dalam kebudayaan Islam, terdapat fundamental tertentu yang membatasi apa yang mungkin. Dalam kebudayaan Tantra, sebelum pendidikan mulai adalah saat-saat untuk meditasi. Ini semua membuka jiwa intelektual terhadap intuisi diri yang bermanfaat untuk dapat lebih memahami suatu topik tertentu. Pendidikan multikultural menciptakan struktur dan proses yang memperbolehkan ekspresi berbagai kebudayaan, komunitas dan individual. Untuk memulai tugas ini, kita kali pertama harus menegakkan netralitas nilai dalam institusi-institusi pendidikan, seperti perpustakaan. Pastikan bahwa muatan teks tidak etnosentrik. Ruang-ruang dan rak-rak buku harus didekonstruksi. Sistem informasi tidak didominasi oleh kebudayaan tertentu. Perpustakaan mulikultural menyerupai world wide web, bahkan menerima alternatif bagi cara-cara lain mengetahui dan menjadi. Homogenitas perpustakaan sebagai sistem informasi terorganisir harus direkonstruksi jika kita ingin mulai mengembangkan kerangka konseptual pendidikan multikultural. Untuk melakukannya kita perlu lebih jauh memaknai perbedaan. Perbedaan bukan hanya mewakili struktur dalam, yakni bagaimana kebudayaan-kebudayaan memandang diri, orang lain, dan alam. Bahkan juga bagaimana kita membahasakan dunia. Bahasa tidaklah netral tapi membawa nilai-nilai kultural, yang secara aktif menyusun realitas. Bahasa adalah suatu praktik interaksi dalam mencipta dunia baru. Misal, banyak dari kita sekarang berbahasa Indonesia, lebih dari itu sesungguhnya ke sedang "meng-Indonesiakan" dunia menurut cara kita mengetahui dan belajar.
Jadi, pendidikan multikultural bukan semata tentang belajar dan mengajar lebih dari satu bahasa, bahkan juga melihat bagaimana bahasa-bahasa mengkonstruk pandangan dunia. Untuk menghindari jatuh dalam relativisme kultural, pendidikan kritis juga perlu menelisik biaya sosial dan kultural berkaitan dengan bahasa dan peradaban apapun. Perbedaan ini penting tidak hanya pada tingkat kultural namun juga pada tingkat nasional dan individu. Cara kita menyusun pengetahuan tidak netral tapi berdasarkan struktur berbagai kebudayaan pengetahuan. Pengetahuan yang benar adalah memahami berbagai mazhab pemikiran.
Cara individu mencari informasi dan kebenaran dalam kebudayaan-kebudayaan juga berbeda. Sebagian mencari pada perguruan tinggi terbaik, sebagian lain pada guru terbaik, dan lainnya pada pemikir terbaik. Kita tahu bahwa sebagian orang belajar dari pengalaman, sebagian dari kuliah teori, dan lainnya dari media visual. Sebagian memilih kuliah profesor, sebagian memilih kelompok kecil, dan lainnya memilih interaksi orang perorang. Sebagian belajar secara intuitif, sebagian secara inderawi, dan lainnya rasional. Sebagian fokus pada pemikiran, sebagian pada praksis, dan lainnya pada teknik. Perbedaan cara mengajar dan belajar bersifat struktural. Pendidikan holistik perlu mempertimbangkan keragaman ini. Maka, mengajar multikulturalisme lebih dari sekadar memastikan fakultas pendidikan dari berbagai latar belakang. Peradaban, bahasa, gaya etnik, cara mengetahui, dan gender perlu diakomodasi. Perbedaan pendidikan mengundang pluralisme mendalam sesuai dengan cara kita mengetahui dan belajar. Apakah kita siap untuk ini? Kebanyakan dari kita belum siap. Mengajar lintas budaya dan cara mengetahui melibatkan interaksi konstan dengan diri (gaya mengajar) dan dengan siswa (apa yang terjadi dalam pandangan dunia mereka).
Namun, mengajarkan perbedaan saja belum cukup. Bagi Shrii PR Sarkar, mengajar dan belajar harus berdasarkan humanisme baru. Kita harus belajar tentang perjuangan manusia berhadapan dengan sejarah dan bagaimana mereka mengatasi tantangan hidup. Bahkan kita tidak hanya merefleksikan sejarah kita sendiri namun juga interaksi dengan alam dan Tuhan. Pengetahuan kita tentang alam bukan sebagai yang lain, tapi sebagai makhluk yang hidup dan bernafas. Ketuhanan dikonstruksi bukan sebagai entitas yang dapat dimiliki, namun sebagai inspirasi yang membawa pada cinta yang lebih besar dan pemahaman yang lebih baik tentang orang lain. Ketuhanan mendorong sejarah menciptakan kemajuan yang terbebas dari perangkap kulturisme, genderisme dan nasionalisme sempit atau bentuk-bentuk identitas eksklusif lainnya.
Ada sejumlah landasan yang harus diajarkan tanpa memandang perbedaan. Meskipun teknologi baru mengajarkan cara kita berpikir dan belajar, namun ia tidak menghentikan proses yang lebih penting untuk menjadi manusia. Teknologi tidak dapat menghentikan proses mengetahui. Sebagaimana relativisme posmodernisme yang tidak mendasarkan pada rasionalitas kemajuan, Sarkar dan pakar lain mengajak kita untuk lebih terbuka pada berbagai tingkat rasionalitas baru. Yang benar, yang baik, dan yang indah dalam pendidikan multikultural tidak dibendung. Jalan menuju ketiganya, makna yang diberikan padanya, kerangka pengetahuan dan pembelajaran yang kita peroleh darinya, justru diperluas. Inilah budaya kebijaksanaan yang coba dicari dan ditemukan dalam pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural yang mendalam menggagas masa depan di mana keragaman bersatu dalam humanitas baru.
Oleh Zakiyuddin Baidhawy
Penulis adalah peneliti Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS, Presidium JIMM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar