Adalah tanggungjawab sejarah generasi muda, khususnya mahasiswa, untuk terus berjuang memperbaiki nasib bangsanya. Sebagian besar rakyat kita adalah masyarakat yang belum bebas dari kebodohan dan kemiskinan, dipundak mahasiswa-lah mereka menaruh harapan akan masa depan anak-anaknya agar hidup lebih baik dimasa mendatang. Melalui kemampuan intelektualitas, seharusnya mahasiswa mampu menangkap perasaan rakyat akan pentingnya kesejahteraan dan demokrasi, yang adil dan merata, sebagai konsekuensi logis dari negara yang merdeka-berdaulat.
Kemerdekaan berarti kebebasan untuk menentukan nasib dan memiliki kesempatan yang sama untuk berkehidupan. Artinya, kemerdekaan harus mampu mengangkat harkat dan martabat rakyat untuk hidup layak, serta turut andil dalam proses ber-negara. Itulah demokrasi, rakyat memiliki hak untuk terlibat dalam urusan Negara, sesuai dengan sistem negara yang disepakatinya. Dalam hal ini, rakyat berhak mempertanyakan nasibnya dan menyuarakan pendapatnya. Secara kolektif, perikehidupan rakyat yang baik akan tercipta bila negara dikelola oleh aparat yang bersih, jujur dan transparan dalam melaksanakan tugasnya. Konsekuensinya Negara harus bebas dari praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme ekonomi yang mengorbankan kepentingan rakyat. Maka hanya dengan pemerintahan yang bersih dan kejujuran, para pengelola negara memiliki kewibawaan. Untuk menjamin Negara yang sehat, tidak lain Hukum harus ditegakkan. Supremasi hukum, merupakan fondasi yang mengikat objektifitas penyelenggaraan negara dimana pengelola negara hanya mengabdi pada kebenaran dan kepentingan umum. Hanya dengan menegakkan hukum dan moralitas kejujuran, demokrasi yang sebenarnya akan terbangun dengan kokoh.
Gerakan Reformasi
Reformasi atau pembaharuan (perubahan yang signifikan atas hal yang dianggap menyimpang), telah berlangsung diberbagai belahan dunia sejak zaman renaisan abad ke-15 Masehi. Berawal di German dengan pemikiran Martin Luther King, yang menggugat penyimpangan ajaran Kristiani, berlanjut pada pemikiran Thomas Hobbes tentang State of Nature-nya di Inggris, John Locke, Rousseau dll hingga pemikiran demokrasi modern-nya Robert A Dahl, berintikan pentingnya moralitas pemimpin untuk menjalankan demokrasi. Demokrasi tidak saja berarti kekuasaan ditangan rakyat, namun juga desakralisasi pemimpin yang dibatasi aturan konstitusi dan diawasi oleh lembaga lain dimana rakyat memiliki hak atas mandat pemimpinnya.
Gerakan reformasi acapkali terjadi, manakala seorang pemimpin berlaku korup dan manipulatif, sehingga diperlukan langkah-langkah politik yang berarti dari rakyat untuk melakukan perbaikan. Atau, bila rakyat merasakan adanya kekurangan dalam sistem konstitusi yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Dengan kedua alasan inilah, apa yang terjadi di Korea selatan dengan
Up-rising in Kwangju tahun 1986, di Cina dengan tragedi Tiananmen 1989, dan di Indonesia tahun 1998, merupakan gerakan reformasi yang berdampak pada penyelenggaraan Negara.
Secara faktual, mahasiswalah yang menjadi ujung tombak sekaligus mainstream dari gerakan perubahan yang berlangsung di manapun. Dengan nalar intelektualitasnya, mahasiswa mampu menemukan argumentasi rasionil mengenai kondisi yang bobrok dan tidak sesuai dengan semangat konstitusi atau nilai kemanusiaan . Hanya mahasiswa yang mampu menjadi pioneer perubahan, sekaligus menjadi kekuatan yang paling ditakuti oleh rezim penguasa Despotik yang korup dibelahan manapun.
Tidak mengherankan, bagi Indonesia, gerakan mahasiswa menuntut perubahan, berlangsung pasang surut sejak tahun 1966. Pemerintahan Soekarno yang mengabaikan demokrasi, tumbang oleh gerakan mahasiswa dan pemuda, tahun 1966. Soeharto yang baru berkuasa secara de-jure 4 tahun, harus menghadapi gelombang protes gerakan mahasiswa tahun 1974. Sejak saat itu, Soeharto mengerangkeng mahasiswa yang telah memberikan kedudukan padanya. Gerakan mahasiswa , bangkit kembali tahun 1977-1978 hingga mencapai puncaknya Mei 1998. Tuntutan reformasi nasional yang dikumandangkan mahasiswa, memicu kesadaran masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa. Pada saat itu, hanya mahasiswa-lah yang berani bersuara dibawah ancaman laras senjata dan berani melangkahkan kaki dibawah desingan peluru dan gas air mata. Lebih dari tigapuluhtahun dibawah rezim Soeharto, tidak ada perubahan yang berarti dalam berdemokrasi. Rezim Soeharto memanipulasi demokrasi dan membangun imperium kekuasaan ekonomi yang korup. Maka lahirlah tuntutan Demokratisasi dan berantas KKN. Dua tema inilah yang kemudian menelurkan turunan 6 visi reformasi yang berintikan Penegakan Hukum, Demokratisasi dan pemberantasan KKN, yang didalamnya terdapat tuntutan cabut dwifungsi ABRI, pengadilan Soeharto dan kroninya, revisi UU politik, perbaikan ekonomi hingga Sidang Istimewa.
Gerakan reformasi mahasiswa, tidak mempersoalkan siapa yang akan menggantikan Soeharto, namun lebih kepada proses yang demokratis dengan platform reformasi tersebut. Maka Habibie-pun dipersoalkan, bahkan Gus Dur dan Mega, dengan segala kekurangannya dibiarkan memimpin bangsa. Maka dapat disimpulkan, bahwa gerakan reformasi mahasiswa adalah gerakan yang independen, non-partisan, lebih didasarkan pada substansi perubahan daripada pelaksana perubahan. Mengingat hal tersebut, tidak ada alasan bagi gerakan mahasiswa untuk menimbang - nimbang siapa yang menjadi pelaksana reformasi, namun yang lebih penting mempertanyakan apa yang dilakukannya terhadap reformasi.
Gerakan Moral yg Independen
Dengan demikian, adalah sebuah keharusan sejarah bagi mahasiswa sebagai benteng moral kehidupan bangsa untuk menggugat praktek kekuasaan yang tidak mencerminkan Reformasi. Naiknya Presiden Wahid secara demokratis, memiliki konsekuensi logis melaksanakan agenda reformasi yang dicanangkan mahsiswa bersama rakyat, sebagai tanggungjawab moral dan tersirat secara konstitusional. Dua hal penting yang dapat disebut sebagai penghianatan terhadap reformasi yaitu pengingkaran supremasi Hukum dan terlibat KKN. Apapun alasannya, kedua hal tersebut tidak dapat diterima oleh mahasiswa dan seluruh gerakan reformasi yang memiliki saham terbesar dalam kehidupan demokrasi sekarang ini. Maka rasionalitas mahasiswa yang telah memasuki tahap konsolidasi demokrasi, memiliki argumentasi yang kuat yang tidak dapat dipatahkan untuk meluruskan kembali cita-cita reformasi.
Sebagai sebuah komunitas besar mahasiswa, logika argumentatif menuntut Presiden Wahid untuk mundur merupakan sesuatu yang seharusnya. Lepas dari ada tidaknya fakta hukum dalam kasus Bulog dan Brunei-Gate, keterlibatan Presiden dalam persoalan tersebut merupakan bentuk pengingkaran semangat reformasi yang ingin bebas dari KKN. Selain melanggar konstitusi dan Tap MPR, tentang penyelenggaraan negara yang bersih dari praktek KKN, sudah pada tempatnya diberlakukan pertanggungjawaban moral dari yang bersangkutan. Belum lagi bila kita mengurai satu per satu praktek dan perilaku penyelenggaraan kekuasaan yang tidak pantas dilakukan dalam negara yang menjunjung tinggi Hukum dan modern.
Maka dari itu, gerakan moral merupakan kekuatan yang independen, yang tidak terkait dengan kepentingan dan agenda politik orang-perorang. Gerakan mahasiswa adalah pelurus sejarah kebenaran, yang tidak pernah berubah setiap masa, walaupun pelakunya silih berganti. Sebagai gerakan moral, tidak pada tempatnya menanggapi berbagai isue sinis yang ditujukan untuk membelah kekuatan dan menyurutkan semangat idealisme. Gerakan moral tidak berkepentingan dengan siapa yang akan dimundurkan dan siapa yang akan menggantikan, sejauh dapat diterima dengan rasionalitas konstitusional. Sehingga, tuduhan bahwa gerakan mahasiswa ditunggangi atau dibiayai merupakan fitnah dan kepanikan dari para penuding yang sudah kehilangan akal untuk menghentikan gerakan reformasi mahasiswa.
Keyakinan & Idealisme
Pertikaian antar elit politik yang saling berebut, dalam kontek independensi dan substansi gerakan reformasi, samasekali tidak ada hubungannya. Sekalipun dalam implementasinya, keberhasilan gerakan reformasi mahasiswa memerlukan dukungan taktis dari kekuatan lain yang signifikan. Namun demikian, bukan berarti mahasiswa tidak dapat menentukan platform dan keberanian melakukan tindakan tanpa kekuatan lain. Gerakan moral yang sudah melampaui proses rasionalisasi dan tersosialisasi, dalam waktu yang cepat akan menjalar kerumah-rumah, ke sekolah-sekolah, ke kantor-kantor,ke tempat-tempat ibadah, ke barak-barak tentara, tersiar dari pantai hingga ke pegunungan dan masuk kedalam sanubari seluruh rakyat yang masih mendambakan kebenaran, untuk turut mendukung apa yang tengah dilakukan oleh mahasiswa. Itulah Idealisme. Idealisme mahasiswa tidak pernah dapat dihalangi oleh rintangan dan ancaman. Idealisme memiliki matahati dan nuraninya sendiri yang mandiri.
Keyakinan akan apa yang diperjuangkan, mendorong gerakan reformasi mahasiswa bertambah kuat dan meluas yang tidak dapat dihentikan oleh siapapun sebelum sampai ketujuannya. Maka, sekalipun Amin Rais, Akbar Tanjung, Megawati atau yang lainnya berpendapat sama dengan pendapat mahasiswa, namun mereka samasekali tidak dapat mengatur gerakan moral yang berlangsung. Terlebih ancaman, teror, isue, intrik dan tuduhan yang dilakukan oleh para pendukung kekuasaan, sama sekali tidak menyurutkan keyakinan mahasiswa untuk terus menegakan kebenaran dan menjalankan agenda reformasi.
Sebagai gerakan moral yang rasional, gerakan mahasiswa yang intelektual perlu ditunjukan dengan sikap yang demokratis dan anti anarkis. Kita tunjukan bahwa proses pembodohan tidak berlaku bagi mahasiswa, yang membungkus tindakan anarki dengan retorika demokrasi. Mahasiwa harus mengutuk tindakan premanisme politik kekerasan, yang menghalalkan anarkisme untuk tujuan politik, dengan memanipulasi kebodohan rakyat.
Untuk itu jelas kiranya, hanya satu kata perjuangan yaitu bersatu, rapatkan barisan, bahu membahu dan tegakan kebenaran di jalan yang benar. Akhirnya, Idealisme perjuangan mahasiswa harus mampu mengembalikan ruh perjuangan reformasi dimana kita telah merebutnya. Jangan biarkan reformasi mati suri ditangan para diktator yang berkedok demokrasi. Insya Allah, Tuhan senantiasa melindungi kita. Hidup Reformasi, Hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia !
*) Pemakalah adalah dosen Universitas Nasional dan Universitas Trisakti,
alumni Universitas Padjajaran dan Universitas Indonesia, Angg.Forum
Democratic Leaders Asia-Pacific.
Disampaikan pada Rembug Mahasiswa & Pemuda se-Indonesia
Bandung, 12 Februari 2001
Oleh : Yuddy Chrisnandi
Mhs.Program Doktor Ilmu Politik,Universitas Indonesia *)
Kemerdekaan berarti kebebasan untuk menentukan nasib dan memiliki kesempatan yang sama untuk berkehidupan. Artinya, kemerdekaan harus mampu mengangkat harkat dan martabat rakyat untuk hidup layak, serta turut andil dalam proses ber-negara. Itulah demokrasi, rakyat memiliki hak untuk terlibat dalam urusan Negara, sesuai dengan sistem negara yang disepakatinya. Dalam hal ini, rakyat berhak mempertanyakan nasibnya dan menyuarakan pendapatnya. Secara kolektif, perikehidupan rakyat yang baik akan tercipta bila negara dikelola oleh aparat yang bersih, jujur dan transparan dalam melaksanakan tugasnya. Konsekuensinya Negara harus bebas dari praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme ekonomi yang mengorbankan kepentingan rakyat. Maka hanya dengan pemerintahan yang bersih dan kejujuran, para pengelola negara memiliki kewibawaan. Untuk menjamin Negara yang sehat, tidak lain Hukum harus ditegakkan. Supremasi hukum, merupakan fondasi yang mengikat objektifitas penyelenggaraan negara dimana pengelola negara hanya mengabdi pada kebenaran dan kepentingan umum. Hanya dengan menegakkan hukum dan moralitas kejujuran, demokrasi yang sebenarnya akan terbangun dengan kokoh.
Gerakan Reformasi
Reformasi atau pembaharuan (perubahan yang signifikan atas hal yang dianggap menyimpang), telah berlangsung diberbagai belahan dunia sejak zaman renaisan abad ke-15 Masehi. Berawal di German dengan pemikiran Martin Luther King, yang menggugat penyimpangan ajaran Kristiani, berlanjut pada pemikiran Thomas Hobbes tentang State of Nature-nya di Inggris, John Locke, Rousseau dll hingga pemikiran demokrasi modern-nya Robert A Dahl, berintikan pentingnya moralitas pemimpin untuk menjalankan demokrasi. Demokrasi tidak saja berarti kekuasaan ditangan rakyat, namun juga desakralisasi pemimpin yang dibatasi aturan konstitusi dan diawasi oleh lembaga lain dimana rakyat memiliki hak atas mandat pemimpinnya.
Gerakan reformasi acapkali terjadi, manakala seorang pemimpin berlaku korup dan manipulatif, sehingga diperlukan langkah-langkah politik yang berarti dari rakyat untuk melakukan perbaikan. Atau, bila rakyat merasakan adanya kekurangan dalam sistem konstitusi yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Dengan kedua alasan inilah, apa yang terjadi di Korea selatan dengan
Up-rising in Kwangju tahun 1986, di Cina dengan tragedi Tiananmen 1989, dan di Indonesia tahun 1998, merupakan gerakan reformasi yang berdampak pada penyelenggaraan Negara.
Secara faktual, mahasiswalah yang menjadi ujung tombak sekaligus mainstream dari gerakan perubahan yang berlangsung di manapun. Dengan nalar intelektualitasnya, mahasiswa mampu menemukan argumentasi rasionil mengenai kondisi yang bobrok dan tidak sesuai dengan semangat konstitusi atau nilai kemanusiaan . Hanya mahasiswa yang mampu menjadi pioneer perubahan, sekaligus menjadi kekuatan yang paling ditakuti oleh rezim penguasa Despotik yang korup dibelahan manapun.
Tidak mengherankan, bagi Indonesia, gerakan mahasiswa menuntut perubahan, berlangsung pasang surut sejak tahun 1966. Pemerintahan Soekarno yang mengabaikan demokrasi, tumbang oleh gerakan mahasiswa dan pemuda, tahun 1966. Soeharto yang baru berkuasa secara de-jure 4 tahun, harus menghadapi gelombang protes gerakan mahasiswa tahun 1974. Sejak saat itu, Soeharto mengerangkeng mahasiswa yang telah memberikan kedudukan padanya. Gerakan mahasiswa , bangkit kembali tahun 1977-1978 hingga mencapai puncaknya Mei 1998. Tuntutan reformasi nasional yang dikumandangkan mahasiswa, memicu kesadaran masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa. Pada saat itu, hanya mahasiswa-lah yang berani bersuara dibawah ancaman laras senjata dan berani melangkahkan kaki dibawah desingan peluru dan gas air mata. Lebih dari tigapuluhtahun dibawah rezim Soeharto, tidak ada perubahan yang berarti dalam berdemokrasi. Rezim Soeharto memanipulasi demokrasi dan membangun imperium kekuasaan ekonomi yang korup. Maka lahirlah tuntutan Demokratisasi dan berantas KKN. Dua tema inilah yang kemudian menelurkan turunan 6 visi reformasi yang berintikan Penegakan Hukum, Demokratisasi dan pemberantasan KKN, yang didalamnya terdapat tuntutan cabut dwifungsi ABRI, pengadilan Soeharto dan kroninya, revisi UU politik, perbaikan ekonomi hingga Sidang Istimewa.
Gerakan reformasi mahasiswa, tidak mempersoalkan siapa yang akan menggantikan Soeharto, namun lebih kepada proses yang demokratis dengan platform reformasi tersebut. Maka Habibie-pun dipersoalkan, bahkan Gus Dur dan Mega, dengan segala kekurangannya dibiarkan memimpin bangsa. Maka dapat disimpulkan, bahwa gerakan reformasi mahasiswa adalah gerakan yang independen, non-partisan, lebih didasarkan pada substansi perubahan daripada pelaksana perubahan. Mengingat hal tersebut, tidak ada alasan bagi gerakan mahasiswa untuk menimbang - nimbang siapa yang menjadi pelaksana reformasi, namun yang lebih penting mempertanyakan apa yang dilakukannya terhadap reformasi.
Gerakan Moral yg Independen
Dengan demikian, adalah sebuah keharusan sejarah bagi mahasiswa sebagai benteng moral kehidupan bangsa untuk menggugat praktek kekuasaan yang tidak mencerminkan Reformasi. Naiknya Presiden Wahid secara demokratis, memiliki konsekuensi logis melaksanakan agenda reformasi yang dicanangkan mahsiswa bersama rakyat, sebagai tanggungjawab moral dan tersirat secara konstitusional. Dua hal penting yang dapat disebut sebagai penghianatan terhadap reformasi yaitu pengingkaran supremasi Hukum dan terlibat KKN. Apapun alasannya, kedua hal tersebut tidak dapat diterima oleh mahasiswa dan seluruh gerakan reformasi yang memiliki saham terbesar dalam kehidupan demokrasi sekarang ini. Maka rasionalitas mahasiswa yang telah memasuki tahap konsolidasi demokrasi, memiliki argumentasi yang kuat yang tidak dapat dipatahkan untuk meluruskan kembali cita-cita reformasi.
Sebagai sebuah komunitas besar mahasiswa, logika argumentatif menuntut Presiden Wahid untuk mundur merupakan sesuatu yang seharusnya. Lepas dari ada tidaknya fakta hukum dalam kasus Bulog dan Brunei-Gate, keterlibatan Presiden dalam persoalan tersebut merupakan bentuk pengingkaran semangat reformasi yang ingin bebas dari KKN. Selain melanggar konstitusi dan Tap MPR, tentang penyelenggaraan negara yang bersih dari praktek KKN, sudah pada tempatnya diberlakukan pertanggungjawaban moral dari yang bersangkutan. Belum lagi bila kita mengurai satu per satu praktek dan perilaku penyelenggaraan kekuasaan yang tidak pantas dilakukan dalam negara yang menjunjung tinggi Hukum dan modern.
Maka dari itu, gerakan moral merupakan kekuatan yang independen, yang tidak terkait dengan kepentingan dan agenda politik orang-perorang. Gerakan mahasiswa adalah pelurus sejarah kebenaran, yang tidak pernah berubah setiap masa, walaupun pelakunya silih berganti. Sebagai gerakan moral, tidak pada tempatnya menanggapi berbagai isue sinis yang ditujukan untuk membelah kekuatan dan menyurutkan semangat idealisme. Gerakan moral tidak berkepentingan dengan siapa yang akan dimundurkan dan siapa yang akan menggantikan, sejauh dapat diterima dengan rasionalitas konstitusional. Sehingga, tuduhan bahwa gerakan mahasiswa ditunggangi atau dibiayai merupakan fitnah dan kepanikan dari para penuding yang sudah kehilangan akal untuk menghentikan gerakan reformasi mahasiswa.
Keyakinan & Idealisme
Pertikaian antar elit politik yang saling berebut, dalam kontek independensi dan substansi gerakan reformasi, samasekali tidak ada hubungannya. Sekalipun dalam implementasinya, keberhasilan gerakan reformasi mahasiswa memerlukan dukungan taktis dari kekuatan lain yang signifikan. Namun demikian, bukan berarti mahasiswa tidak dapat menentukan platform dan keberanian melakukan tindakan tanpa kekuatan lain. Gerakan moral yang sudah melampaui proses rasionalisasi dan tersosialisasi, dalam waktu yang cepat akan menjalar kerumah-rumah, ke sekolah-sekolah, ke kantor-kantor,ke tempat-tempat ibadah, ke barak-barak tentara, tersiar dari pantai hingga ke pegunungan dan masuk kedalam sanubari seluruh rakyat yang masih mendambakan kebenaran, untuk turut mendukung apa yang tengah dilakukan oleh mahasiswa. Itulah Idealisme. Idealisme mahasiswa tidak pernah dapat dihalangi oleh rintangan dan ancaman. Idealisme memiliki matahati dan nuraninya sendiri yang mandiri.
Keyakinan akan apa yang diperjuangkan, mendorong gerakan reformasi mahasiswa bertambah kuat dan meluas yang tidak dapat dihentikan oleh siapapun sebelum sampai ketujuannya. Maka, sekalipun Amin Rais, Akbar Tanjung, Megawati atau yang lainnya berpendapat sama dengan pendapat mahasiswa, namun mereka samasekali tidak dapat mengatur gerakan moral yang berlangsung. Terlebih ancaman, teror, isue, intrik dan tuduhan yang dilakukan oleh para pendukung kekuasaan, sama sekali tidak menyurutkan keyakinan mahasiswa untuk terus menegakan kebenaran dan menjalankan agenda reformasi.
Sebagai gerakan moral yang rasional, gerakan mahasiswa yang intelektual perlu ditunjukan dengan sikap yang demokratis dan anti anarkis. Kita tunjukan bahwa proses pembodohan tidak berlaku bagi mahasiswa, yang membungkus tindakan anarki dengan retorika demokrasi. Mahasiwa harus mengutuk tindakan premanisme politik kekerasan, yang menghalalkan anarkisme untuk tujuan politik, dengan memanipulasi kebodohan rakyat.
Untuk itu jelas kiranya, hanya satu kata perjuangan yaitu bersatu, rapatkan barisan, bahu membahu dan tegakan kebenaran di jalan yang benar. Akhirnya, Idealisme perjuangan mahasiswa harus mampu mengembalikan ruh perjuangan reformasi dimana kita telah merebutnya. Jangan biarkan reformasi mati suri ditangan para diktator yang berkedok demokrasi. Insya Allah, Tuhan senantiasa melindungi kita. Hidup Reformasi, Hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia !
*) Pemakalah adalah dosen Universitas Nasional dan Universitas Trisakti,
alumni Universitas Padjajaran dan Universitas Indonesia, Angg.Forum
Democratic Leaders Asia-Pacific.
Disampaikan pada Rembug Mahasiswa & Pemuda se-Indonesia
Bandung, 12 Februari 2001
Oleh : Yuddy Chrisnandi
Mhs.Program Doktor Ilmu Politik,Universitas Indonesia *)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar