Selasa, 12 April 2016

MAHASISWA DAN POLITIK KEKUASAAN

Ya! Ada yang jaya.
ada yang terhina.
Ada yang bersenjata.
ada yang terluka.
Ada yang duduk.
ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah.
ada yang terkuras.
Dan di sini kita bertanya:
''Maksud baik saudara untuk siapa?
Saudara berdiri di pihak yang mana?''

Kutipan sajak yang ditulis oleh Rendra di atas seakan menunjukkan kepada kita bahwa kontradiksi sosial selalu menjadi bagian dari kehidupan. Rendra mengingatkan kita semua bahwa dalam sebuah kekuasaan selalu ada pihak yang menguasai dan ada pihak yang dikuasai. Pada Rabu (15/12) Kalam Jabar Republika dalam rubrik ini memuat tulisan Indra Kusumah yang berjudul 'Gerakan Politik Mahasiswa'. Tulisan tersebut sangat menarik, fokus, dan tajam. Indra Kusumah melengkapi tulisannya dengan kutipan pemikiran para tokoh-tokoh penting dan peristiwa-peristiwa sejarah. Tulisan itu pun sangat menarik untuk ditanggapi. Saya memiliki pandangan yang berbeda dengan Indra Kusumah. Namun, perbedaan pendapat ini bukan untuk memvonis pemikiran seseorang, melainkan untuk menambah cakrawala pemikiran itu sendiri.

Indra Kusumah dalam tulisannya mengangkat perbedaan antara dua konsep pergerakan mahasiswa, yaitu gerakan politik nilai (value political movement) dan gerakan politik kekuasaan (power political movement). Tulisan tersebut seolah menunjukkan kepada kita bahwa ada perbedaan besar dalam pergerakan mahasiswa. Perbedaan konsep tersebut patut disayangkan karena yang dibutuhkan mahasiswa pada saat ini adalah keseragaman visi. Tentu saja kita semua rindu akan romantisme pergerakan mahasiswa bulan Mei 1998 yang dapat mengganti kepemimpinan nasional. Mereka memiliki satu tekad, yaitu reformasi.

Sejarah mencatat, mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Pergerakan bangsa Indonesia dimulai dari pergerakan mahasiswa. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, mahasiswa dan pemuda telah memiliki idealisme kebangsaan yang sangat kental dengan tekad mempersatukan wilayah nusantara sebagai satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa melalui konsep Sumpah Pemuda. Gerakan-gerakan perlawanan terhadap tindak penjajahan oleh Belanda dan Jepang telah diilhami oleh konsep Sumpah Pemuda yang merupakan salah satu karya terbaik anak bangsa. Akhirnya, upaya mahasiswa termanifestasikan dalam pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945.

Runtuhnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru tidak terlepas dari peran mahasiswa, termasuk mahasiswa dari Jawa Barat. Setelah itu, pergerakan-pergerakan mahasiswa tetap menghiasi cakrawala kehidupan berbangsa dan bernegara selama 32 tahun Orde Baru berkuasa. Sikap represif para penguasa Orde Baru menyebabkan banyak mahasiswa yang ditangkap, tindakan seperti ini seakan mengaborsi lahirnya pemikiran-pemikiran kritis mahasiswa ketika itu. Titik kulminasi pergerakan mahasiswa pada saat Orde Baru terjadi pada pada 1998. Idealisme mahasiswa yang terkubur selama 32 tahun telah mengalami kebangkitan pada tahun tersebut, ditandai oleh runtuhnya rezim Orde Baru. Peristiwa serupa bukan tidak mungkin terjadi pula di berbagai negara di dunia ini, baik di Timur maupun di Barat.

Pergerakan mahasiswa setelah bergulirnya reformasi pada 1998 nampaknya dihadapkan pada pluralitas gerakan yang sangat tinggi. Mahasiswa pada saat ini memiliki garis perjuangan dan agenda yang berbeda dengan mahasiswa lainnya. Setidaknya hal ini tercermin dalam tulisan Indra Kusumah yang membagi gerakan mahasiswa dalam dua konsep besar, yaitu nilai dan kekuasaan. Saya melihat Indra Kusumah dalam tulisan tersebut cenderung lebih sepakat terhadap konsep gerakan politik nilai. Mahasiswa seharusnya tidak disibukkan oleh sikap menilai dan memilih konsep-konsep suatu gerakan. Justru, yang terpenting adalah menjaga idealisme agar suara mahasiswa dapat merepresentasikan dan mengangkat realita sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Mahasiswa harus memiliki paradigma baru dalam melakukan suatu gerakan. Jika mahasiswa terus menajamkan konflik di antara mereka, maka hal ini akan mengganggu kemurnian penyampaian aspirasi pada penguasa. Untuk mendapatkan keseragaman visi dibutuhkan suatu basis massa yang solid, dan hal inilah yang harus dimiliki oleh mahasiswa. Perbedaan memang selalu menjadi realita kehidupan, namun hendaknya perbedaan tersebut tidak diiringi dengan sikap saling tuduh-menuduh dan menganggap konsep miliknyalah yang merupakan konsep terbaik.

Gerakan politik nilai (value political movement) dan gerakan politik kekuasaan (power political movement) menurut Indra Kusumah adalah titik temu di antara dua aliran yang berbeda, yaitu aliran moral dan aliran politik. Titik temu ini patut dipertanyakan kembali. Suatu titik temu seharusnya menyatukan dua pendapat yang berbeda, namun Indra Kusumah menyatukan dua pendapat yang berbeda dengan perbedaan yang lain. Hal ini bagaikan menyelesaikan masalah dengan masalah baru. Sebenarnya tidak ada perbedaan dalam gerakan-gerakan yang dilakukan mahasiswa. Gerakan tersebut semuanya terpusat pada satu pemahaman, namun disampaikan dengan cara yang berlainan. Setidaknya, kesamaan dalam pemahaman tersebut terlihat dari sikap dan idealisme mahasiswa yang seringkali memiliki paralelisme dengan kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Gerakan yang dilakukan oleh Hariman Siregar (seorang tokoh Malari) pada 1970-an, maupun gerakan yang dilakukan oleh Rico Marbun (mantan ketua BEM UI), keduanya memiliki esensi yang sama. Yaitu berbuat yang terbaik bagi bangsa untuk kepentingan rakyat. Garis perjuangan kedua tokoh mahasiswa tersebut memang sangat berbeda bahkan cenderung bertolak belakang. Namun perjuangan tersebut sama-sama lahir dari sebuah tanggung jawab atas kondisi bangsa yang jauh dari harapan rakyat. Mereka terpanggil untuk melakukan suatu tindakan dalam memperjuangkan aspirasi pada penguasa dengan cara mereka sendiri.
Politik kekuasaan yang dilakukan oleh mahasiswa, semata-mata dilakukan untuk mendapat kekuatan dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan politiknya. Mahasiswa yang melakukan gerakan politik kekuasaan bukan berarti ditunggangi sebuah kepentingan politik. Gerakan politik kekuasaan yang dilancarkan mahasiswa tidak selalu menjadi komparador partai politik tertentu. Justru, melalui gerakan politik kekuasaan inilah, mahasiswa dapat menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial, karena mahasiswa peduli terhadap siapa yang menjadi penguasa.

Indra Kusumah terlalu menggeneralisasi gerakan politik kekuasaan sebagai gerakan yang tidak independen. Hal ini terlihat melalui penilaian beliau terhadap gerakan Rico Marbun yang mendukung Jenderal Wiranto, gerakan CGMI yang membela PKI, dan aktivis mahasiswa yang menjadi anggota parlemen di awal orde baru, yang dianggapnya memiliki kepentingan sempit. Jika dilihat secara eksplisit memang gerakan-gerakan tadi memperlihatkan keberpihakannya terhadap seseorang atau golongan tertentu, namun di balik semua itu kita tidak pernah tahu agenda besar di belakangnya. Bukan tidak mungkin mereka memiliki kepentingan murni, yaitu memperjuangkan kepentingan rakyat. Mahasiswa seharusnya tidak memandang negatif terhadap gerakan-gerakan yang dilakukan mahasiswa lainnya.

Gerakan politik kekuasaan merupakan area concern semua pihak, termasuk mahasiswa. Sikap acuh tak acuh terhadap politik (apolitis) dapat dihilangkan dengan cara menyadari bahwa kekuasaan adalah kepentingan kita bersama. Dalam menjalankan politik kekuasaan, mahasiswa tidak harus menggabungkan dirinya dengan partai politik tertentu. Justru, gerakan mahasiswa yang masuk ke dalam suatu sistem, dapat mendukung cita-cita politik yang diharapkan. Negara Indonesia telah mempunyai sistem dalam penyampaian aspirasi, yaitu dalam Dewan Perwakilan Rakyat melalui partai politik. Sistem ini telah kita jalankan dengan baik pada pemilu legislatif beberapa bulan yang lalu. Namun, masalah kekuasaan bukan hanya tugas partai politik. 

Fungsi mahasiswa sebagai kontrol sosial salah satunya dapat dijalankan lewat kekuasaan, bahkan mahasiswa dapat memelihara dan mengawal reformasi melalui gerakan politik seperti ini. Bukan tidak mungkin bagi mahasiswa untuk terjun menjadi pemimpin atau menjadi penguasa jika kondisinya benar-benar memungkinkan. Prasangka negatif terhadap gerakan politik kekuasaan maupun terhadap gerakan politik lainnya harus kita singkirkan. Begitu pula sebaliknya, harus dihilangkan sikap yang menganggap gerakan poltik nilai maupun gerakan sejenis sebagai gerakan yang terbaik. Semua gerakan mahasiswa adalah yang terbaik, sejauh mereka tetap berpegang kepada norma-norma yang berlaku dan tetap santun dalam menyampaikan aspirasinya. Justru, gerakan yang tidak baik adalah gerakan yang acuh tak acuh terhadap politik (apolitis) dan gerakan apatis terhadap realita sosial. 

Sekarang sudah saatnya bagi mahasiswa untuk menatap lurus ke depan dengan menghilangkan berbagai perbedaan yang ada. Tujuan mulia dari suatu konsep gerakan seharusnya tidak dikotori oleh perbedaan-perbedaan yang ada dalam konsep tersebut. Sekarang merupakan saat yang tepat bagi mahasiswa untuk kembali merapatkan barisan, karena sekarang ini banyak timbul pandangan atau perkataan sinis terhadap mahasiswa seperti 'mereka dibayar' atau 'mereka ditunggangi'. Perubahan yang cepat dalam realitas politik dan sosial di negara ini menuntut sikap taktis dan strategis dari semua pihak, termasuk mahasiswa. Mahasiswa hendaknya tidak menyibukkan dirinya dengan sikap memilih dan memilah antara konsep gerakan politik nilai dengan konsep gerakan politik kekuasaan, atau dengan konsep-konsep yang lain. Gerakan yang harus dilakukan adalah satu gerakan yang prospektif ke arah masa depan untuk meluruskan berbagai ketimpangan. Gerakan seperti ini dapat kita mulai dari sekarang. Mari.

Mahasiswa dan Politik Kekuasaan
(Tanggapan Atas Tulisan Indra Kusumah)
M Ikhsan Shiddieqy
Mahasiswa Departemen Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Unpad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar