Selasa, 12 April 2016

BILA MAHASISWA TERJUN KE DUNIA POLITIK


"Cepatlah besar matahariku,
Menangis yang keras jangan kau ragu,
Tinjulah congkaknya dunia duhai adikku,
Do'a kami di nadimu"
(Petikan lagu karya Iwan Fals berjudul Galang Rambu Anarki)

MAHASISWA adalah satu kelas tersendiri. Kelas yang dianggap bergengsi, penuh nuansa intelektual, dan hampir tidak pernah absen dalam setiap gejolak perubahan sosial yang terjadi di negaranya. Secara sosial ekonomi, mahasiswa tidak bekerja namun mempunyai penghasilan berupa uang saku dari orang tua atau sumber lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mahasiswa saling berinteraksi dalam suasana egaliter, muda, dan intelek.

Suasana seperti itu mengantarkannya pada situasi bertumpuknya pertanyaan seputar ketidaksesuaian antara yang terdapat di buku dengan kenyataan di masyarakat hingga sebagai golongan politik, mahasiswa mengesankan sebagai kekuatan unjuk rasa. Diskusi-diskusi politik secara massal memperkuat gerakan mahasiswa. Potensi radikalisme dan oposisi terhadap pemerintah atau status quo selalu melekat pada mahasiswa, tidak terkecuali dalam tatanan politik yang bagaimanapun mereka berada, dari liberal hingga Islam atau tatanan komunis sekalipun.

Keikutsertaan mahasiswa dalam sejarah bangsa ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Zaman pergerakan kemerdekaan dipelopori oleh organisasi pelajar/mahasiswa meski masih terbatas pada golongan priayi yang dikenal dengan sebutan kelompok studi. Sebutlah Boedi Oetomo 1908, Trikoro Dharmo, Indische Partij, dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tahun 1965-1966, 1974 yang populer dengan sebutan peristiwa Malari, tahun 1978 dan mencapai klimaks pada tahun 1998 melalui peristiwa reformasi.

Tiga alasan utama mengapa mahasiswa melakukan aksi protes menurut Restianrick Bachsjirun, "Aspek lingkungan dan diri mahasiswa itu sendiri dalam pendidikan; Pemerintah, kondisi sosial ekonomi dan kebudayaan; dan peluang politik dari berbagai penentu dan dukungan politik tertentu." (Restianrick, 1994:100).

Teriakan lantang mahasiswa telah mengiringi derap langkah bangsa ini pasca revolusi kemerdekaan, antara lain tahun 1966, 1974, 1978, dan 1998. Dalam setiap kurun waktu itu, setting politik yang melatarbelakangi selalu berbeda-beda. Tahun 1966 diwarnai oleh konflik politik di tingkat elite yang termanifestasikan dalam pertentangan antara militer (khususnya AD) dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehingga pada kurun waktu ini, teriakan mahasiswa hanya sebagai "ujung tombak" dari kekuatan politik militer.

Pada kurun waktu 1974 dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang cenderung korup dan mulai merasuknya dominasi asing dalam perekonomian Indonesia. Teriakan mahasiswa tahun 1978 kurang lebih sama dengan latar belakang yang terjadi pada tahun 1974, hanya pada kurun waktu ini teriakannya lebih menuding langsung terhadap Presiden Soeharto dan sedikit menyinggung peran militer dalam politik.

Reaksi pemerintah terhadap gerakan mahasiswa periode ini sangat keras dengan melakukan pendudukan terhadap kampus-kampus oleh militer. Ini adalah peristiwa pertama kali dalam sejarah, militer menduduki kampus. Setelah aksi pendudukan oleh militer, diikuti oleh pembekuan senat mahasiswa dan dewan mahasiswa pada seluruh perguruan tinggi di Indonesia dan disusul dengan dikeluarkannya kebijakan normalisasi kehidupan kampus (NKK) dan penataan organisasi mahasiswa yang dikenal dengan badan koordinasi kehidupan kampus (BKK). Semenjak itu, ruang gerak mahasiswa sangat terbatas. Skorsing, drop-out (DO) dari kampus. Buru dan bunuh sudah menjadi "makanan" mahasiswa yang mencoba untuk membangun gerakan menggugat kekuasaan.

Periode tahun 1980-an hingga 1990-an, justru mahasiswa berhamburan keluar kampus dengan membentuk kelompok-kelompok studi atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menyalurkan libido progresif intelektualnya. Isu-isu yang diusung oleh gerakan mahasiswa kurun waktu ini lebih didominasi oleh isu-isu yang berkaitan langsung dengan isu kesejahteraan rakyat, tidak lagi didominasi oleh isu-isu high profile yang kadang tidak dimengerti oleh rakyat yang diperjuangkannya.

Wacana-wacana yang muncul dalam kelompok-kelompok diskusi "gelap" yang dibangun gerakan mahasiswa dalam situasi tertekan telah menggiringnya bersentuhan dengan rakyat termarginalkan seperti buruh, petani, kaum miskin di perkotaan, dan kaum perempuan. Kasus advokasi penggusuran tanah petani kian marak pada kurun waktu ini, sebutlah kasus Badega, Cimacan, Kedung Ombo, Kacapiring, Waduk Nipah dan lain-lain. Begitu pula aksi-aksi buruh menuntut kenaikan upah, kaum miskin perkotaan yang meminta lapangan kerja dan lain-lain.

Mencapai puncaknya pada tahun 1998 yang turut dimatangkan oleh krisis ekonomi dan politik. Ketidakpuasan borjuasi lokal maupun asing terhadap rezim militer Orde Baru telah mengantarkan bangsa ini menuju reformasi. Beberapa ahli politik menilainya sebagai rangkaian demokratisasi yang terjadi di negara-negara berkembang pasca perang dingin, mengingat belum lama sebelum peristiwa reformasi 1998 juga terjadi peristiwa serupa di berbagai belahan dunia lain terutama peristiwa Tiananmen di Cina dan penggulingan rezim Marcos di Filipina yang sedikit banyak turut mengilhami gerakan mahasiswa Indonesia untuk meruntuhkan rezim otoriter.

Keterpurukan yang dialami bangsa pasca-reformasi seakan menyalahkan gerakan mahasiswa yang kini tampak kehilangan orientasi dan idealismenya. Pilihan antara gerakan moral atau gerakan politik yang ideologis dan gerakan politik praktis pragmatis masih merupakan perdebatan panjang dalam intern gerakan mahasiswa. Status sebagai kaum intelektual yang disandangnya seakan mengharuskan mahasiswa hanya berdiri sebatas gerakan moral yang berfungsi "mengingatkan" penguasa.

Situasi ekonomi sulit mencari pekerjaan, membuat mahasiswa pun terjebak dalam gerakan politik praktis yang bertujuan pragmatis. Hal ini didasari oleh sikap bahwa karier politik lebih memberikan kemungkinan untuk menjadi figur dalam waktu relatif cepat, tanpa perlu meniti karier dari bawah.

Ditambah dengan proses dehumanisasi dalam sistem pendidikan kita yang dibungkus dengan modernisasi. Pendidikan kita adalah pendidikan gaya pabrik yang mementingkan materi sebagai tolak ukurnya. Profesionalisme salah kaprah menjadikan mahasiswa disamakan dengan barang produksi yang harus dipacu untuk siap dipasarkan yang pada satu titik dapat membuatnya terasing dari peranan yang semestinya ia lakukan sehingga kehilangan daya kritis dan etisnya.

Gerakan politik mahasiswa hampir tidak ada yang ideologis. Kalaupun ada yang mengaku demikian, dalam prakteknya tidak dapat tampil elegan di depan rakyat yang harus segera diintervensi kesadarannya. Kesan terburu-buru, bicaranya blak-blakan atau lurus aja kadang tidak menguntungkan bagi gerakan. Sistem multipartai yang diterapkan juga berpengaruh terhadap kacamata gerakan mahasiswa yang berdampak lebih variatif terutama yang mendapat pengaruh dari partai-partai berideologi.

Dalam proses politik Indonesia harus diperhatikan bahwa disamping sebagai saluran untuk mengetengahkan situasi dan keinginan masyarakat, aktivitas politik mahasiswa dilihat pula sebagai salah satu ukuran kepuasan masyarakat. Sehingga, jangan sampai gerakan moral hanya jadi slogan dan kedok bagi agenda-agenda politik praktis. Dalam hal ini kejujuran moral dari lubuk nurani terdalam sangat dibutuhkan karena masyarakat luas sulit bisa mengetahui secara pasti kemurnian gerakan mahasiswa.

Jika gerakan mahasiswa berjalan terus seperti itu, perannya paling bagus hanya dapat sebagai gerakan moral anomik yaitu yang mengajukan kepentingan secara spontan dan berorientasi pada tindakan segera. Demonstrasi, pemogokan, dan huru-hara merupakan cara yang digunakan untuk memperjuangkan kepentingan. Disebut anomik karena identitasnya yang kurang jelas. Terus menerus seperti itu, gerakan mahasiswa hanya sebagai fase dari hidup manusia yang pernah menjadi mahasiswa dan pernah terenyuh oleh penderitaan manusia lainnya. Semoga tidak bermakna rekreatif.***


Penulis
LINA NURSANTY
mahasiswi Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar