Kamis, 14 April 2016

DEMOKRASI DAN REFORMASI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI PERGURUAN TINGGI

Dewasa ini wacana pendidikan demokrasi melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal banyak diperbincangkan lewat tulisan di media massa maupun forum-forum diskusi dan seminar. Bahkan uji coba pendidikan demokrasi yang dimodifikasi dalam bentuk civic education (pendidikan kewarganegaraan) telah mulai dilakukan di tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan perguruan tinggi. Sementara pendidikan demokrasi lewat jalur informal sudah banyak diprakarsai oleh organisasi -- organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah serta ormas keagamaan sejenis lainnya.

Fenomena ini tidak lepas dari pengaruh trend civic education di negara-negara yang telah maju dalam berdemokrasi seperti Amerika, Inggris, Australia, dan negara-negara di Eropa. Gejala ini setidaknya merupakan indikator akan semakin besarnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya demokrasi sebagai sebuah nilai dan mekanisme hidup bersama sesama warganegara. Sejalan dengan momentum transisi menuju demokrasi seperti ini dianggap sebagai kesempatan paling baik untuk membangun demokrasi di Indonesia.

Berbarengan dengan kesadaraan tersebut, demokrasi yang seharusnya menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja bagi masyarakat dapat menjadi hal yang sangat mewah tanpa upaya untuk mewujudkannya.
Asumi ini tidaklah berlebihan bila dikaitkan dengan warisan tradisi tidak demokratis yang ditinggalkan kekuasaan masa lalu. Artinya sebagai sebuah pilihan terbaik demokrasi harus dibiasakan dan di transformasikan, khususnya bagi generasi muda melalui jalur pendidikan demokrasi yang dikemas dalam bentuk program civic education.
Program ini diharapkan dapat memberikan bekal serta pengalaman berdemokrasi kepada generasi muda, sehingga mereka mampu menyemaikan landasan kultural bagi perwujudan masyarakat sipil Indonesia yang cerdas dan kritis terhadap berbagai persoalan bangsa dan negara (smart, good and critical citizenship).

Pendidikan Demokrasi di Perguruan Tinggi
Pendidikan dinilai banyak pakar demokrasi merupakan media paling tepat untuk mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Menengok pengalaman beberapa negara Barat yang telah maju dalam berdemokrasi, kepedulian terhadap masa depan demokrasi mereka diwujudkan melalui program pengintegrasian pendidikan demokrasi ke dalam pelajaran pendidikan kewargaan (civic education) dalam pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi.
Inggris misalnya sejak 1997 telah melakukan program pendidikan kewargaan yang mereka namakan democratic citizenship yang diadakan oleh lembaga pendidikan warga negara demokratis, the Education for Democratic Citizenship (EDC).

Program serupa dijumpai pula di Amerika, Kanada, Australia dan sejumlah negara Eropa dengan nama yang berbeda namun memiliki kesamaan tujuan yakni bagaimana menjadikan demokrasi sebagai kultur dan mekanisme bermasyarakat warganegara mereka. Civic education bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah pendidikan ”demokrasi” Indonesia itu dirumuskan dalam bermacam model dan nama.

Model pertama dikenal dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang diajarkan sejak 1975. Mata pelajaran ini kemudian pada 1994 diganti dengan pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Sedangkan untuk jenjang perguruan tinggi pendidikan kewargaan tersebut di kenal dengan nama mata kuliah pendidikan Kewiraan dan Pancasila. Sayangnya bila dikaitkan dengan realitas sosial-politik sekarang ini, agenda nasional pendidikan kewarganegaraan itu lebih tepat dikatakan telah mengalami kegagalan. Tindakan tidak demokratis dengan cara kekerasan masih banyak dilakukan oleh sebagian besar masyarakat.

Politik pengerahan massa akar rumput masih dominan dijadikan modus politik oleh sebagian elit politik. Perilaku serupa terjadi pula di kalangan generasi muda dalam bentuk tawuran sesama pelajar dan bentrokan fisik antara aparat keamanan dengan mahasiswa. Kenyataan seperti ini merupakan salah satu indikator kegagalan dari pendidikan kewarganegaraan yang selama ini dilakukan.
Bertolak dari kenyataan tersebut dan peluang memanfaatkan era transisi menuju demokrasi seperti saat ini, reformasi pendidikan kewargaan nasional sudah mendesak dilakukan.
Sebagaimana banyak kalangan menilai, bahwa dalam konteks wacana global tentang demokrasi dan trend civic education serta semangat reformasi di Indonesia, kedua model pendidikan kewarganegaraan nasional di atas dianggap kurang sejalan lagi dengan dua tuntutan refromasi yakni penegakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Mempertimbangkan peran strategis mahasiswa sebagai penggerak demokratisasi, reformasi substantif dan metodologis pendidikan kewarganegaraan mendesak dilakukan tarhadap mata kuliah pendidikan Kewiraan dan Pancasila di perguruan tinggi. Hal ini penting dilakukan mengingat mahasiswa sebagai komponen vital dari gerakan reformasi merupakan aset paling potensial dan strategis bagi proses transformasi demokrasi Indonesia kini dan mendatang.

Menurut Azyumardi Azra (2001), setidaknya terdapat tiga faktor mengapa pendidikan kewarganegaraan nasional dalam beragam bentuknya mengalami kegagalan. Pertama, menyangkut substantif, PPKn, mata kuliah Pancasila dan Kewiraan tidak disiapkan sebagai materi pendidikan demokrasi dan kewargaan. Kedua, menyangkut strategi pembelajaran mata pelajaran dan kedua Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) bersifat indoktrinatif, regimentatif, monologis dan tidak partisipatif. Ketiga, ketiga subjek tersebut lebih bersifat teoritis daripada praksis. Walhasil hasil pembelajaran ketiga model pendidika kewargaan produk Orde Baru itu lebih tepat dianalogikan dengan ungkapan klasik "jauh panggang dari api"; kurang menyentuh realitas yang berkembang di masyarakat lokal maupun internasional.

Kebijakan Baru Semangat Lama
Kebijakan nasional terbaru tentang pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas N0. 267/DIKTI/Kep/2000. Keputusan ini lahir sebagai respon pemerintah terhadap perkembangan situasi politik pasca kejatuhan Orde Baru. Namun patut disayangkan, sekalipun keputusan ini lahir di era reformasi, tetapi secara substansial belum menampakkan pergeseran paradigma hubungan antara negara dan warganegara secara signifikan. Masih kuatnya semangat pendekatan keamanan (security approach) dapat dicermati pada bunyi pasal 5 keputusan tersebut. Menurut pasal tersebut materi pendidikan kewarganegaraan meliputi empat pokok bahasan yaitu: pengantar pendidikan kewarganegaraan, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dan politik dan strategi nasional. Sekalipun materi demokrasi dan HAM dijadikan salah satu unusr dari pokok bahasan yang pertama, nampaknya sampai saat ini pihak pemerintah belum merealisasikannya dengan sungguh-sungguh dalam bentuk kurikulum yang sejalan dengan tuntutan reformasi dan penegakan HAM. Kuatnya paradigma lama yang lebih mengedapankan kontrol negara (state) atas warga negara dalam keputusan itu dapat pula dicermati pada pernyataan pasal 7 tentang evaluasi belajar MKDU yang sudah diperbaharui itu. Menurut pasal tersebut, evaluasi belajar dinyatakan dengan kalimat, "dilakukan dengan cara yang memungkinkan terdeteksinya perkembangan sikap tingkah laku mahasiswa." Dari redaksi pasal ini nampaknya nuansa militeritsik masih begitu kental bersembunyi dibalik kebijakan tersebut.

Pendidikan Kewarganegaraan Model Baru
Usaha sosialisasi demokrasi di Indonesia melalui jalur pendidikan formal nampaknya masih membutuhkan jalan panjang. Reformasi orientasi pendidikan kewarganegaran sudah semestinya dilakukan baik peraturan, paradigma, materi maupun pelaksanannya di lapangan. Orientasi pendidikan kewarganegaraan yang bertujuan untuk mengembangkan sikap demokratis dan daya kritis peserta didik selayaknya di jadikan common plat-form para pengambil kebijakan pendidikan nasional. Kesamaan pandangan ini selanjutnya dapat ditungkan kedalam penyusunan kurikulum yang sejalan dengan semangat dan tuntutan demokrasi.

Dalam tataran reformasi metodologi pengajarannya, pendekatan belajar yang berpusat pada mahasiswa (learner-centered) sudah waktunya di terapkan pada perkuliahan mata kuliah pendidikan kewarganegaraan mendatang. Menurut Jhon Dewey, tokoh pendekatan belajar ini, mazhab pendekatan ini memusatkan perhatian pada kemampuan analisis mahasiswa terhadap pengetahuan dan pemahaman yang mereka miliki, dan (dosen) mengarahkannya untuk belajar mandiri dan bertanggung jawab terhadap apa yang mereka pelajari.

Sealur dengan pendekatan ini, pembelajaran pendidikan kewargaan mestilah berlangsung dalam suasana demokratis. Selama perkuliahan berlangsung dosen dituntut mampu menciptakan suasana kelas yang dinamis, kritis dan menyenangkan. Pandangan selama ini bahwa dosen sebagai satu-satunya sumber pengetahuan sudah waktunya ditinggalkan. Pemahaman kadaluarsa ini harus segera diubah melalui pembelajaran yang demokratis dimana dosen berperan sebagai fasilitator dan pemacu atau motivator dinamika kelas. Untuk mewujudkan ini semua, rasa empati terhadap beragam pandangan mahasiswa merupakan sesuatu yang harus dimiliki dosen atau siapa saja yang peduli dengan pendidikan demokrasi.

Bersandar pada pendekatan pengajaran di atas, pengembangan pendidikan kewarganegaraan di tingkat perguruan tinggi mendatang diharapkan mampu menjadikan kampus sebagai rahim bagi lahirnya civic cultur dan persemaian masyarakat beradab (civilized citizen). Tentunya semangat ini harus diawali oleh keprihatinan semua pihak, khususnya praktisi pendidikan akan nasib dan masa depan demokrasi di negeri ini.[* Penulis adalah Staf Pengajar IAIN Syarif Hidayatullah dan Presidium Indonesian Center for Civic Education (ICCE) Jakarta. (SH 290901)]

Oleh: A. Ubaidillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar