Maka timbullah pertanyaan para kaum tua modern: dapatkah kita menciptakan sistem pendidikan secara efektif tanpa kekerasan? Khususnya dalam bidang religius? Bukan: Tanpa hukuman. Tetapi: tanpa kekerasan. Jawabnya jelas dapat. Dan bila itu belum umum, maka cita-cita itu harus dirintis oleh para pandu yang tidak perlu banyak jumlahnya, tetapi berkualitas tinggi.
Dari sejarah kita mendapat bukti, betapa kekerasan tidak pernah berbuah baik. Kekerasan, khususnya terhadap anak, baik dalam bentuk kata-kata kasar keras maupun dalam bentuk perlakuan pukulan, sabetan, tamparan, sepakan, penganiayaan-penganiayaan lain, dan sebagainya akan menelorkan kekerasan baru. Sampai pada tingkat mahasiswa pun, penggojlogan, yang katanya dilakukan demi pendidikan mahasiswa sebelum masuk dunia kampus ternyata justru membuat lebih parah perlakuan-perlakuan sadis yang berganda, sampai untunglah itu dilarang oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Melalui kekerasan, si anak kelak dapat tumbuh menjadi kaum penganiaya dan pemeras kejam pada tingkat nasional maupun internasional.
Namun hukuman pada saatnya yang tepat masih diperlukan. Tetapi pemberian hukuman seyogyanya konstruktif menumbuhkan rasa tanggung jawab. Misalnya, terbawa oleh marahnya seorang anak mengotori lantai yang baru saja dibersihkan mengkilat oleh kakaknya. Anak dihukum menghilangkan kotoran itu, atau menyemir sepatu kakak itu. Maksudnya, agar si anak tahu bahwa dia harus MENANGGUNG perbuatan buruknya. Kedua, dia harus belajar hidup bersama dengan orang lain, dan jangan hanya mementingkan diri sendiri.
Begitu juga, kalau seorang anak bersikap tidak sopan, janganlah itu diberi landasan karena dia lebih muda, jadi menghormati kaum tua. Bukan karena tua, beliau harus dihormati, tetapi karena beliau orang baik, dan pantas bila diperlakukan secara baik. Dia sahabat Papa. Kau membuat sedih Papa karena sikapmu tidak baik kepadanya. Padahal dia belum pernah berbuat buruk kepadamu. Apa kau tidak malu? Kan Papa juga selalu baik kepada kawan-kawanmu. Mengapa kebaikan kauabalas dengan ketidakbaikan? Alasan harus mengena, karena itu yang diingat-ingat. Lebih baik anak belajar berbuat atau tidak berbuat sesuatu karena keikhlasan dan sifat keksatriaannya daripada karena motivasi takut melanggar suatu peraturan. Dan besarlah itu dampaknya pada cita rasa religiusnya terhadap Tuhan dan agama.
*Penulis adalah pemerhati masalah pendidikan, "meninggal dalam tugas" di seminar "Meningkat Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru," 10 Februari 1999. Nukilan dari "Menumbuhkan Sikap Religius Anak-anak," halaman 53,55, Penerbit Gramedia.
Oleh: YB Mangunwijaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar