Selasa, 12 April 2016

ANTHONY GIDDENS

Bersamaan dengan itu Giddens pasti juga mengingat pembantaian orang Yahudi oleh Hitler pada tahun 1940-an di Jerman, pembantain petani oleh Stalin pada tahun-tahun yang sama di Rusia, lalu mungkin sekali pada pembunuhan di Kamboja di bawah Pol Pot. (Apakah dia akan memasukkan juga Indonesia sekitarnya pada waktu itu ada data yang sama mengerikannya?)
Dunia zaman sekarang bagi Giddens memang dicengkeram oleh kekerasan. Akan tetapi yang lebih menggelisahkannya adalah bahwa “it’s importance has never been adequately analysed within the major traditions of social theory.”
Ambisi Giddens-kalau boleh dikatakan demikian bukan hanya memperbaiki teori sosiologi sehubungan dengan gejala perang. Dalam wawancaranya dengan Pierson, ia mengatakan: ” Saya ingin melakukan tiga hal: menafsir ulang pemikiran sosial, membangun logika serta metode ilmu-ilmu sosial, dan mengajukan analisis tentang munculnya institusi-institusi modern”. Rupanya Giddens tidak hanya ingin mengkritik dan mengecam kegagalan teoretisi pendahulunya, tetapi ia juga ingin mengajukan alternatif. Bukan sembarang alternatif, melainkan sebuah alternatif yang bersifat paradigmatic shift.
Harap dicatat bahwa proyek yang ambisius ini sebenarnya bukan cita-cita Giddens sejak muda. Cita-cita Anthony Giddens semula sederhana saja: menjadi pegawai negeri. Sebagai seorang yang dilahirkan dari keluarga pengawal jawatan kereta api, ia hanya dapat melanjutkan studi di Universitas Hull, sebuah universitas kecil yang kalah bergengsi dibandingkan Universitas Oxford atau Cambridge. Giddens sendiri memang tidak melamar ke sana karena tidak membayangkan dapat diterima di sana. Demikian pula ketika ia harus meluruskan studi lanjutannya di London School of Economics (LSE). Ia ke sana semata-mata karen adorongan dari dosennya, Peter Worsely. Perjalanan karir intelektualnya tidak pernah dirancang sejak muda, banyak hal-hal kebetulan yang terjadi. Ia mulai mengembangkan minat intelektual justru ketika ia di Leicester University, tempat kerjanya setelah lulus. Seorang sosiolog yang baru kemudian menjadi termasyhur, Norbert Elias, memberikan banyak inspirasi kepadanya.
Giddens memulai proyeknya dengan cara yang biasa. Ia mulai dengan membaca dan mempelajari pemikiran tokoh-tokoh yang menjadi tonggak besar dalam sosiologi, Karl Marx, Emili Durkheim, dan Max Weber. Semuanya dibaca dalam bahasa aslinya (Jerman atau Perancis). Hasilnya ia terbitkan sebagai buku, capitalism and Modern Social Theory. An analysis of the Writings of Marx, Durkheim and Max Weber (1971). Buku ini serta merta mendapat tanggapan hangat sebagaimana tampak pada komentar di kulit belakang buku.
Setelah tokoh-tokoh sosiologi dikuasai, Giddens melanjutkan petualangannya dengan memasuki pemikir-pemikir besar kontemporer. Dua bukunya yang memuat inti pemikirannya, New Rules of Sociological Method (1976, revisi 1993) sulit diikuti kalau orang tidak terlebih dahulu akrab dengan pemikiran filsuf-filsuf besar: Wittgenstein, Husserl, Heidegger, Popper, Gadamer. Dengan lancar ia pergi bolak balik dari satu tokoh ke tokoh yang lain.
Dari dialog dengan sedemikian banyak teori, Giddens tiba pada “teori strukturisasi” (theory of structuration). Buku The Constitution of Society (1980) barangkali dapat dikatakan sebagai buku inti dari pemikiran Giddens yang menguraikan teori strukturisasi. Teori ini sebenarnya ingin menyelesaikan konflik besar dalam ilmu sosial yang terjadi sampai sekarang, yaitu konflik antara “struktur” dan “agenda.”
Contoh paling dekat adalah segala macam kerusuhan di Tanah air selama dua tahun terakhir ini. Mereka yang berpihak ke “struktur” segera mengatakan bahwa ketertiban dapat dipulihkan dengan memanggil agamawan. Para agamawan diharapkan dapat “menginsyafkan” rakyat akan nilai-nilai agama. Adapun mereka yang berpihak ke “agensi” akan mengatakan bahwa massa yang melihat bahwa cara kekerasan tidak dihuklum, akan terus memakai kekerasan untuk mencapai tujuannya. Di sisni ada perhitungan untung-rugi. Pada kenyataannya, setelah agamawan datang dan setelah aparat keamanan datang, ketertiban tidak kunjung datang juga.
Menurut pendapat Giddens, “the Hobbesian problem of order” tidak mungkin dijelaskan oleh fungsionalisme Parson karena fungsionalisme dengan teorinya tentang “peran” malah akan terus menerus membenturkan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat. Jadi, ketika Parson ingin menjelaskan tentang consensus, ia malah tak henti-hentinya melahirkan conflict.
Teori strukturisasi ingin menyelesaikan dualisme “struktur” dan “agensi” selama-lamanya. Untuk memudahkan menerangkan teori ini, Giddens mengambil contoh bahasa. Dalam berbahasa , seorang penutur harus tahu dengan tepat tata-bahasa, bagaimana urutan subyek, predikat, obyek, bagaimana menggandengkan kata-kata, dan sebagainya. Inilah “struktur.” Orang memang tidak mungkin keluar dari struktur ini, atau kalau dia nekat, tidak seorangpun dapat memahami apa yang di katakan. Akan tetapi “struktur” bukan hanya suatu hal yang “menghambat.” Ia juga “memampukan,” sebab setelah ia menguasai tata-bahasa ia dapat berkomunikasi lancar dengan lawan bicaranya.
Demikian pula “masyarakat.” Ketertiban dan keteraturan pada masyarakat bukan hasil dari sebuah kekuasaan yang melindas setiap pengacau (Hobbes) juga bukan karena tiap-tiap orang menjalankan peran dan fungsinya, lalu diikat oleh nilai-nilai (Parson). Giddens menekan peranan individu yang menjalani hidup sehari-hari, melewati aneka macam rutin. Mereka inilah yang-katakan-berjasa dalam memproduksi dan memproduksi masyarakat. Dalam rangka inilah Giddens memperkenalkan istilah yang berakar dalam Heidegger: ontological security”. Juga masuk dalam pembahasan ini unsur time-space distanciation.
Atas dasar teori strukturisasi ini Giddens dapat melanjutkan penjelajahannya ke wilayah lain, ke sosiologi substantif. Di sini Giddens mulai dengan mengadakan observasi atas keadaan dunia modern. Seperti telah disinggung di atas, pemakaian kekerasan (yang menjadi “perang”) adalah salah satu ciri modernitas. Di samping itu masih ada tiga fenomen lain: masalah jurang kaya-miskin, masalah penghancuran lingkungan, dan masalah penindasan oleh negara. Orang tidak dapat memungkiri fakta bahwa ada sekelompok kecil orang yang memiliki kekayaan melimpah, dan sebagian besar lain yang bahkan tidak dapat menikmati kebutuhan dasar. Penghancuran lingkungan barangkali dapat dikaitkan dengan kemiskinan, tetapi hal ini oleh Giddens dilihat sebagai gejala terpisah. Hutan, gunung, sungai, danau, laut, bahkan udara dirusak oleh manusia. Sementara itu negara dengan intensif mengadakan “surveillance” (pengawasan) atas warganya dengan memakai segala macam formulir dan kartu. Di Indonesia hal ini paling jelas tampak dalam bentuk Kartu Tanda Penduduk (KTP).
* * *
Bagaimana menjelaskan munculnya hal-hal itu? Lebih jauh, bagaimana menjelaskan kaitan antara keempat hal itu? Giddens menuding “modernitas” sebagai biang keladinya. Dalam pandangan Giddens modernitas tidak mungkin muncul kalau tidak ada yang disebutnya nation-state dan ini mulai di Eropa Barat.
Ia mengamati bahwa setelah tumbangnya negara absolut pada abad ke-18, muncullah nation-state yang diiringi dengan ledakan kapitalisme dan industrialisme. Menurut pendapatnya, nation-state itu menjadi semacam “wadah” bagi kapitalisme dan industrialisme. Mengapa? Karena nation-state berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan atas sebuah wilayah dengan batas-batas tegas, diiringi dengan memonopoli penggunaan kekerasan fisik. Akibat selanjutnya adalah munculnya “internal pacification”, suatu hal yang menjadi prasyarat berbiaknya kapitalisme yang disusul dengan munculnya masyarakat berkelas. Sekali kapitalisme menemukan lahan subur, ia akan menyeret teknologi karena demi efisiensi ongkos produksi, harus selalu ditemukan teknologi yang makin maju. Pada gilirannya, teknologi dengan segala kemampuannya mengeksploitasi alam sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi alam melainkan created environment. Dari sini muncullah kemajuan modern seperti yang kita nikmati sekarang, expert system.
Akan tetapi nation-state tidak hanya berperan sebagai wadah. Ia juga menjadi penjamin bahwa internal pacification dapat bertahan lama. Hal itu diwujudkan dengan dikembangkan oleh negara sistem surveillance. Negara menjalankan sistem ini dengan mengumpulkan semua informasi tentang warga-negaranya, dan sekaligus juga mengadakan pengawasan (supervision) dengan memakai polisi dan badan intelijen. Di samping itu, kekuatan militer juga dipakai untuk menjamin internal pacification, tetapi kekuatan militer lebih diarahkan “ke luar,” untuk menghadapi negara-negara yang berusaha melanggar kedaulatannya.
Jadi, dalam pembentukan modernitas ada empat gugus institusi: kapitalisme, industrialisme, surveillance, dan kekuatan militer. Keempat institusi ini saling mempengaruhi dan saling memperkuat. Empat institusi ini pada gilirannya memunculkan empat masalah/ancaman yang ditimbulkan.
Sebenarnya Giddens tidak secara spesifik menjelaskan mana dari empat “institusi” (demikian istilahnya) yang paling menonjol atau paling berperan besar. Dari buku-bukunya muncul kemudian sesudah Nation-state and Violence, dapat dijejaki bahwa kapitalisme memberikan andil terbesar dalam kekeruhan dunia modern saat ini. Kapitalisme mendorong manusia untuk terus berkompetisi, sementara industrialisme merangsang manusia untuk berinovasi. Kompetisi mendorong untuk inovasi teknologi mengalami percepatan perkembangan akibat dukungan modal dari korporat-korporat raksasa. Para kapitalis tidak henti-hentinya menemukan produk-produk baru, demikian pula para teknologi. Dalam hal ini bata-batas teritorial negara (nation-state) tidak dihiraukan, demikian pula batas-batas kultur. Bahkan manusia sebagai individu juga tidak diperhitungkan. Yang penting adalah maju dan baru.
Giddens langsung menunjuk tiga akibat yang sekaligus mencirikan dunia modern: globalisasi, detradisionalisasi, dan social reflexivity. Globalisasi menghubungkan manusia di seluruh dunia, bukan hanya pada lingkup ekonomi, tetapi juga dalam segala hal. Komunikasi dan transportasi telah menghubungkan manusia di mana pun ia berada. Telepon (dan kemudian Internet) membuat orang “bertemu” tanpa susah payah bertatap muka. Detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi. Tradisi masih ada bahkan “diciptakan”, tetapi tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan keputusan. Tradisi mendapatkan-istilah Giddens-status baru. Kalau orang menemukan bahwa konsultasi dengan tradisi tidak memuaskannya, ia dapat berpaling dan memakai pertimbangan lain dari sumber lain.
Yang terakhir ini terkait erat dengan social reflexivity. Manusia modern memang dapat mengambil keputusan sendiri. Ia menghadapi banyak informasi, tetapi ia bebas menyeleksi informasi mana yang ia butuhkan untuk pengambilan keputusan. Arus (tepatnya: banjir) informasi memang membuatnya bingung, namun harus mengambil keputusan. Individu sering dapat menolak sebuah informasi semata-mata ia tidak suka atau tidak cocok. Ambillah contoh di bidang pengobatan. Orang dapat memilih pengobatan cara Barat tetapi ia dapat juga memilih “pengobatan alternatif.” Mengapa ia memilih yang satu dan tidak yang lain? Jawaban yang diperoleh sering berupa “tidak tahu”.
Dalam situasi ini tidak heran bahwa Giddens tiba pada kesimpulan tentang Runaway world. Dunia, baik pada tataran lokal maupun global, berlarian entah kemana. Dalam seminar tentang Antony Giddens yang diselenggarakan oleh Basis pada akhir tahun lalu (1999), diusulkan istilah “dunia yang tunnggang-langgang.” Istilah ini mungkin cukup pas untuk melukiskan dunia sekarang. Dalam bukunya The Consequences of Modernity (1990), Giddens memakai metafor “Juggernaut” (sebuah truk besar) yang lepas kendali. Metafor ini dengan tepat menggambarkan situasi dunia yang yang menakutkan. Ancaman perang, perusakan lingkungan, kekuasaan sewenang-wenang, penindasan kaum buruh. Ini semua berlangsung dalam suasana di mana tak ada lagi perlindungan yang lokal dari serbuan, tidak ada pegangan baku, dan semua orang meras yakin akan pilihannya sendiri. Individualisme sedemikian tajamnya sehingga menghancurkan solidaritas sosial. Umat manusia kini berada dalam ancaman besar. Giddens memang bicara tentang “manufactured risk”, dan masyarakat yang mengalaminya disebut “risk society”.
* * *
Apa jalan keluar dari semua ini? Sangat menarik jawabannya: utopian realism. Dua kata yang bertentangan satu sama lain ini digabung untuk menemukan sebuah visi bagi dunia yang akan datang. Dalam Beyond Left and Right (1994), Giddens mencoba merumuskan visi itu.
Salah satu teoretisasinya yang menggemparkan dunia intelektual maupun kalangan politisi adalah bukunya TheThird Way, yang terbit tahun 1999. Buku ini terkenal dengan ungkapan Giddens yang mengatakan bahwa sosialisme itu sudah mati. Giddens lalu dituduh sebagai pengikut golongan “kanan.” Akan tetapi dalam buku itu juga Giddens mengecewakan kelompok “kanan” karena ia mengatakan bahwa neoliberal atau New Right tak mungkin melanjutkan programnya. Ia terang-terangan mengkritik program ekonomi Partai Konservatif yang bernaung di bawah “Thatcherisme.” Maka, oleh sejumlah orang buku The Third Way sering ditafsirkan sebagai jalan keluar dari konflik antara sosialisme (yang menonjolkan negara) dan kapitalisme (yang mengagungkan peran pasar). The Third Way memang berusaha untuk keluar dari kebuntuan pemikiran “kiri” maupun “kanan”, tetapi berakar dalam visinya utopian realism seperti diuraikan di atas.
Akan tetapi ada satu hal yang baru dalam buku ini: Giddens secara lebih rinci dan eksplisit menguraikan tentang peran negara. Ia masih percaya bahwa negara atas dasar demokrasi merupakan pilihan terbaik yang ada sekarang, juga percaya bahwa negara harus memainkan peranan dalam masyarakat. Maka ia berseberangan dengan para pendukung teori the end of state. Akan tetapi berbeda dari konsep-konsep klasik tentang negara, Giddens menempatkan negara sebagai “rekan” (partner) dari masyarakat. Negara dan masyarakat tidak beroposisi, masing-masing memainkan perannya yang saling menunjang dan saling mengisi. Dalam bentuk program, Giddens merinci sebagai berikut: the radical centre, the new democratic state, active civil society, the democratic family, the new mixed economy, equality as inclusion, positive welfare state, the social investment state, the cosmopolitan nation, cosmopolitan democraticy.
Proyek ini jelas tidak memuaskan kelompok Marxis yang mempunyai ciri-ciri khiliastik dan mesianik, Akan tetapi bagi Giddens, kelompok Marxis sekarang sudah ketinggalan zaman. Program mereka hanya akan berhasil di zaman yang stabil, artinya di zaman yang belum dilanda oleh globalisasi dan detradisionalisasi. Kalau seratus tahun yang lalu Marx, Lenin dan Mao, masih mengangan-angankan mampu mengontrol sejarah masa depan, hal itu sudah tidak ada lagi. Begitu pula halnya dengan gerakan radikal oleh kaum fundamentalis (agama, etnis, gender, nasionalis) yang ingin melindungi tradisi dengan cara-cara tradisional. Bagi Giddens, fundamentalisme tidak mempunyai nasa depan kerena mereka menoleh ke masa lampau, sementara dunia sekarang adalah runaway world atau juggernaut yang melesat tanpa kendali melindas tradisi. Karena sifatnya yang isolasionis, fundamentalisme niscaya melahirkan pertentangan dan kekerasan. Dalam istilahnya: vicious circle of animosity and venom.
Pikiran Giddens jauh lebih kaya dan kompleks daripada yang dapat dirangkum dalam beberapa halaman. Barangkali ini yang menjadi sebab mengapa orang terus membaca bukunya dan mendatangi ceramahnya untuk dapat menangkap sisi-sisi atau titik-titik dari pemikirannya yang besar itu. Orang selalu datang ke ceramahnya yang diadakan setiap hari Rabu siang di aula LSE, entah dia mahasiswa , entah dia dosen, entah dia diplomat. Inilah kesempatan yang disebut the director’s lecture (NB: mana ada di dunia seorang rektor universitas masih sempat memberi ceramah ilmiah untuk mahasiswa dan dosennya?) Seperti dikatakan kepada Pierson: I’d like to help propel the LSE towards another golden age, and I’d like to ensure that the School has a concrete impact upon the world.
Apakah ini ambisi kosong? Tidak. Buku-bukunya menjadi referensi penting dalam banyak pembahasan dalam ilmu sosial. Teori srukturasi telah dipakai dalam banyak disertasi doktor, dan tentang teori strukturasi itu sendiri telah banyak ditulis disertasi di seluruh dunia. Kecuali lewat buku-buku dan kuliah-kuliah serta ceramah, pemikiran Giddens telah menerobos masuk para politisi. Pada saat ini, ia adalah penasihat Tony Blair, PM Inggris. Konon, Giddens ikut merancang reformasi Labour Party menjadi New Labour Party dengan menghilangkan “Pasal 4″ dari AD Dasar Partai (pasal tentang peranan negara). Reformasi ini ditunjukkan sebagai sebab kemenangan Tony Blair dalam Pemilu Inggris tahun 1997. Akan tetapi Giddens kini juga sibuk dengan undangan untuk memberi nasihat kepada banyak pemimpin dunia, termasuk Presiden AS Bill Clinton.
Kekaguman orang pada pemikiran Giddens masih belum selesai. Pada usianya yang masih di bawah 70 tahun, orang berharap Giddens masih akan terus kreatif dan inovatif, melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang segar.
 
Penulis adalah Staf Pengajar pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan Kepala Pusat Studi Cina, Jakarta
Tulisan ini dikutip dari Harian KOMPAS tanggal 28 Juni 2000

Maret 19, 2007
Oleh: Dr.I.Wibowo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar