Jumat, 15 April 2016

REFLEKSI GERAKAN MAHASISWA DAN PEMUDA INDONESIA (PART 1)

Gerakan Mahasiswa Indonesia selama ini dalam membela dan berjuang bersama rakyat tertindas tampaknya selalu mendapat hambatan. Refleksi dan munculnya kritik semakin menyadarkan mereka bahwa untuk melakukan perubahan secara ekonomi politik perlu dibangun kerja sama yang lebih luas dengan kekuatan elemen rakyat lainnya serta membuka jaringan yang sifatnya internasional. Peran politik mahasiswa berlainan sesetiap kurun waktu yang harus disesuaikan dengan kondisi objektif yang ada di sekitarnya. Kemenangan gerakan kiri dalam parlemen Belanda secara tidak langsung merubah kebijakan pemerintahan kolonial Belanda, yang kemudian menyusun sebuah kebijakan yang bertujuan memperbaiki keadaan di Hiandia Belanda pada awal 1900-an. Kebijakan ini dikenal sebagai Politik Etis yang mempunyai tiga cakupan yaitu irigasi, edukasi dan emigrasi. Realisasi dari edukasi/pendidikan ini adalah perluasan kesempatan bagi anak-anak pribumi untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Akan tetapi sesuai dengan sifat diskriminatif kolonialisme, kesempatan itu terbatas bagi beberapa anak priyayi/bangsawan. Pendidikan ini menjadi sarana mobilitas sosial yang menembus sistem feodalisme, karena pendidikan dipakai sebagai sarana bagi pemerintah kolonial untuk dipekerjakan sebagai tenaga administratif perkebunan maupun sebagai pegawai pemerintahan. 

Hal yang paling mendasar dari perluasan pendidikan adalah meningkatnya kesadaran politik dan nasionalisme kaum terpelajar pribumi dan juga pendidikan memberikan pemahaman baru tentang arti organisasi dan identitas. Pemerintahan kolonial melihat perkembangan pendidikan sebagai keberhasilan politik etis. Tetapi lambat-laun mereka menjadi khawatir dan menyadari efek samping pendidikan. Sebagai hasilnya para para siswa dilarang terlibat dalam aktivitas politik. Mereka hanya diperbolehkan mendirikan organisasi-organisasi yang sifatnya non-politis. Walaupun demikian, secara bertahap, organisasi yang ada akhirnya terpolitisisasi, bahkan menjadi salah satu barisan terdepan kebangkitan nasionalisme Indonesia. Pada tahun 1915 Murid-murid STOVIA mencoba memulai gerakan dengan mendirikan Trikoro Dharmo. Gerakannya bukan dalam kerangka konsep mahasiswa tetapi pemuda, dan juga belum memiliki konsep nasionalisme yang jelas (kedaerahan). Demikian juga dengan berdirinya beberapa organisasi kepemudaan daerah seperti jong Celebes, Jong Sumatera dll. Para pelajar yang mendapatkan kesempatan belajar di luar negeri terutama di Belanda, mereka justru lebih bias bersentuhan langsung dengan beberapa ideologi yang dominan di Eropa seperti liberalisme, sosialisme, nasionalisme dan juga komunisme. Beberapa sejarawan berpendapat, bahwa pada tahap awal gerakan, elemen-elemen pelopor pertama-tama harus bisa merumuskan problem-problem masyarakat dan kemudian menyampaikannya dalam bentuk agitasi dan propaganda. Namun realita sejarah menghidangkan kenyataan lain: kondisi subyektif gerakan belum bisa bersatu dengan kondisi obyektif di luar gerakan, keduanya belum solid. Dengan masuknya ide-ide dari barat, seperti liberalisme, sosialisme, dan liberal belum membentuk intelektual untuk mengartikulasi problem-problem masyarakat serta rakyat dan kemudian menggerakkan massa. Tahun 1915-1930 merupakan waktu yang cukup panjang bagi pemuda dan pelajar untuk memilki penjelasan yang lebih jernih tentang nasionalisme yang melekat pada organisasi Indonesia Muda dan melepaskan dirinya dari keorganisasian sektarian pemuda dan mahasiswa guna mempertajam orientasi anti kolonial. Selain itu juga gerakan ini telah melewati masa-masa sulit: kelumpuhan pergerakan nasional akibat pemerintahan kolonial yang semakin represif, setelah pemberontakan PKI 1926 dan 1927 serta pemogokan-pemogokan buruh. Sayangnya, gerakan mahasiswa dan pemuda pada masa kolonial ini terpisah dari gerakan rakyat yang pada saat yang sama juga sedang bangkit. Aksi pemogokan pegawai penggadaian atau buruh kereta api dan perlawanan petani di beberapa daerah kenyataannya tidak ada hubungannya dengan para mahasiswa dan pemuda. 

Perlawanan massal massa rakyat pertama kali pada 1926 juga kurang memperlihatkan bukti keterlibatan pemuda dan mahasiswa di dalamnya. Di dalam kondisi kelumpuhan pergerakan nasional seperti itu muncullah alternatif Kelompok Studi (Studie-studie Club) yang politis dilihat dari orientasi dan tindakan politiknya. Terbentuknya Indonesiche Studie Club (IS) dan Algemenne Studie Club (AS) maka politis dari kelompok studi pada waktu itu adalah: Mempelajari kondisi dan persoalan konkrit yang berhubungan dengan rakyat, kemudian mengadakan ceramah-ceramah dan kursus-kursus tentang perburuhan, upah, kesejahteraan, pendidikan koperasi, arti pergerakan, kepartaian dan sebagainya. Membentuk komite dan pengumpulan bahan mengenai masyarakat Kolonial Hindia Belanda, kemudian menyebarkannya dalam bentuk brosur, pamflet atau surat kabar dan majalah seperti Soeloeh Ra'jat Indonesia dan Soeloeh Indonesia Mencari alternatif bagi perbaikan terhadap problem-problem konkrit tersebut dan kemudian dilakukan tindakan nyata. Forum ditujukan pada semua masyarakat luas dan terbuka untuk umum. Mendukung pemogokan buruh, seperti pada kasus pemogokan buruh bengkel dan elektrik Surabaya,November1925. Dalam merespon perubahan politik yang lebih liberal akibat penggantian Gubernur Jenderal De Fock oleh De Graff (pendukung Van Limburg Stirum, seorang liberal) AS dan IS berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI), kelompok studi ditransformasikan menjadi partai. Pergerakan pemuda terpelajar mulai aktif naik ke pentas perlawanan sjak 1933, setalah dilakukan serangkaian penangkapan dan pembuangan para pemimpin partai yang nonkooperasi dan berorientasi massa seperti PKI, PNI dan PNI-Baru. 

Tetapi pergerakan itu lebih bersifat intelektual dan elitis ketimbang gerakan massa. Pemerintah kolonialpun semakin represif. Boikot, mogok dan pawai yang merupakan senjata gerakan rakyat tidak terlihat lagi. Analisa terhadap Studie Club jelas memberikan kesimpulan bahwa kondisi obyektif ekonomi politik pada saat itu politik kolonial yang semakin represif, yang kemudian berubah menjadi liberal karena perubahan status ekonomi Belanda dan Hindia Belanda dapat direspon dan distimulasi oleh kondisi subyektif studie club yang bertransformasi menjadi sebuah partai. Jadi, sungguh yang kesimpulan yang spekulatif bila dikatakan bahwa mandulnya gerakan mahasiswa pada Orde Baru dan larinya mahasiswa dari kampus dengan kelompok studinya adalah diakibatkan NKK/BKK. Sungguh suatu kesimpulan yang spekulatif juga bila tidak ada NKK/BKK maka akan menjadi kuatlah gerakan mahasiswa. 

Awal maret 1942, balatentara Jepang menguasai Indonesia. Maklumat pertama yang dikeluarkan adalah melarang semua kegiatan politik, termasuk membubarkan segala macam organisasi pemuda dan mahasiswa. Selain itu, tentara pendudukan juga menutup berbagai lembaga pendidikan tinggi. Secara umum, karena mobilisasi perang yang terkendali dan represif, mahasiswa yang tertarik pada soal-soal politik hanya bisa melakukannya dengan diskusi tertutup di asrama dan mendengarkan siaran radio tentang perkembangan perang pasifik. Revolusi 1945. Masa 1945-1950 merupakan momentum yang penting dalam gerakan pemuda dan pelajar: selain melucuti senjata Jepang, juga memunculkan organisasi-organisasi seperti: Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI), Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi. Pada saat belum ada organisasi pemuda dan pelajar, yang berbentuk federasi, diselenggarakan Kongres Pemuda seluruh Indonesia I (1945) dan II (1946). Kedua kongres tersebut sangat penting artinya, karena: Melahirkan organisasi Gabungan Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO), yang merupakan peleburan dari API, PRI, GERPRI, dan AMRI. Terbentuknya Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). Kongres I sangat diwarnai semangat perjuangan bersenjata. Kongres II menghasilkan keputusan: Berpegang teguh pada Undang-Undang, membentuk dan memperkuat laskar, mengisi jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan mematuhi pemimpin yang mengajak revolusi nasional dan revolusi sosial. Menghadapi Belanda yang menyusup di belakang sekutu, sejumlah mahasiswa meninggalkan bangku kuliah dan ikut dalam mobilisasi milisi. Mahasiswa membentuk semacam satuan Corps Mahasiswa bertempur bersama massa rakyat lainnya. 

Di pihak lain, Belanda mencoba menarik sismpati Mahasiswa Indonesia. Pada Januari 1946, perguruan tinggi di masa kolonial dibangun kembali menjadi Universitas Indonesia yang fakultas-fakultasnya tersebar di berbagai kota besar di Indonesia. Kegiatan ekstrakurukuler mahasiswa dipolakan persis seperti di Belanda. Publikasi mahasiswa dijauhkan dari berita-berita politik. Organisasi-organisasi seperti Perhimpunan Mahasiswa de Jakarta (PMD), Perhimpunan Mahasiswa Jogja, Sarekat Mahasiswa Indonesia (SMI), Perhimpuan mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Himpuanan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH), Perhimpunan Mahasiwa Kristen Indonesia (PMKI) dan Persatuan Pelajar Peguruan Tinggi Malang (PPPM) setuju membentuk Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan mahasiwa Indonesia dan Badan Koordinasi Mahasiswa Indonesia (BKMI) khusus didaerah kedududkan Belanda. Yang pada perjalanannya dianggap kolaborator dan perpanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda, karena mahasiswa yang tergabung dlam BKMI hanya sibuk menyelesaikan studinya. Untuk membatasi pengaruh BKMI, mahasiswa pro-republik membentuk PPMI (perserikatan perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia) di Malang pada Maret 1947. Elemen mahasiswa pro-republik berhasil melakukan infiltrasi ke dalam tubuh BKMI. Kongres Pemuda Indonesia pada tanggal 8-14 Juni 1950 berhasil membentuk Front Pemuda Indonesia (FPI) dan hanya mengakui PPMI sebagai federasi mahasiswa universitas. Pada massa ini gerakan pemuda dan mahasiswa mencoba memperkuat penolakan terhadap usaha kolonialisme Belanda untuk kedua kalinya, dan secara umum belum sampai kepada tahap anti-imperialisme (perusahaan-perusahaan milik Belanda tetap bercokol). Parlementer Periode Demokrasi Liberal 1950-1959 ternyata tidak memberikan pendidikan politik yang berarti bagi mahasiwa. Pertemuan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) dalam bulan Desember 1955 di Bogor PPMI memutuskan untuk menarik keanggotaannya dari FPI. 

Dengan demikian jelaslah bahwa keanggotaan PPMI dan FPI yang secara sosiologis dapat memberikan dimensi lingkungan sosial yang lebih luas, dihindari oleh gerakan mahasiswa. Mahasiswa justru melumpuhkan aktivitas politik mereka. Kemudian membius diri dengan slogan-slogan "Kebebasan Akademik" dan "Kembali ke Kampus". Mahasiswa lebih aktif dalam kegitan rekreatif, perploncoan, dan mencari dana. Persiapan Pemilu 1955 menyebabkan partai-partai berusaha mencari kader-kader baru yang cakap, dan mahasiswa merupakan sasaran utama. Gerakan mahasiswa kembali mendapat momentumnya. Dan pada saat itu berdirilah organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke partai, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafliasi dibawah PNI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dengan PKI. Pertentangan lama antara Front "Kiri" dan "Kanan" mendapat momentum dalam persiapan menghadapi Pemilu, dan implementasinya disektor mahasiswa adalah peperangan antara CGMI, GMNI, GMKI di satu pihak dengan HMI, PMKRI dan GMS di lain pihak.

Dalam peperangan itu isu utama dari pihak kiri adalah Kapitalisme, Neo-Kolonialisme, Feodalisme dan Fasisme. Sedangkan isu dari pihak Kanan adalah Komunisme, Diktator, Satelit Komunis, Menghalalkan Segala Cara dsb. Sementara itu, PPMI makin condong ke kiri. Sejak tahun 1956 perpecahan dalam gerakan mahasiswa menjadi lebih terbuka, ditambah dengan situasi politik nasional sebagai berikut : Pembangunan ekonomi yang terbengkalai digilas oleh konflik politik. Daerah tertentu menekan pusat agar pendapatan pemerintah dan mata uang asing dibagikan secara lebih merata. Di parlemen, Masyumi, PSI dan oposan lain ditambah dengan pihak militer bekerja sama menentang pemerintahan. Puncaknya adalah terjadinya pemberontakan bersenjata PRRI dan PERMESTA. 

Dibubarkannnya Badan Konstituante disebabkan kontroversi yang ditimbulkan Partai-Partai Islam yang berusaha memasukkan "Piagam Jakarta" ke dalam konstitusi baru. Akibatnya di dalam PPMI perpecahan tak dapat dielakkan lagi: Pada tanggal 1 Juni 1959 beberapa anggota PPMI berangkat ke Bandung dengan tujuan memberi tekanan agar kembali ke UUD '45. Konflik Kanan-Kiri Pada tanggal 28 Februari 1957, aktivis-aktivis mahasiswa yang berbasis di UI berprakarsa menggalang senat-senat mahasiswa dari berbagai universitas dan berhasil membentuk federasi mahasiswa yang bernama Majelis Mahasiswa Idonesia (MMI). Terjadi lagi kemunduran dalam gerakan mahasiswa Indonesia, ketika politik partai lebih banyak menyerap partisipasi mereka. Mahasiswa kembali lari dari persoalan-persoalan yang ada di masyarakat, seperti misalnya: Mahasiswa tidak memandang perjuangan pembebasan Irian Barat (TRIKORA) sebagai kelanjutan dari perjuangan melawan kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme (bumi Irian sangat kaya dengan bahan-bahan tambang, hutan, dan mineral). Mereka tidak turut berpartisiapasi dalam Hari Solidaritas Internasional Menentang Kolonialisme pada tanggal 24 April 1957 (yang berpartisiapasi adalah PPMI, FPI dan Perserikatan Pemuda Indonesia/PORPISI, yang tujuannya memperkuat kerja sama negara Asia-Afrika menuntut klaim Irian Barat sebagai wilayah RI). Sementara itu peran militer dalam negara terus mengalami perluasan sejak akhir 1950-an.

Pertama: ketika diberlakukan SOB (negara darurat perang) yang semakin meningkat dalam perjuangan pembebasan Irian Barat. Kedua: Ketika Presiden Soekarno harus mengadakan pertemuan dengan Nasution dan Soekarno menunjuk dirinya sebagai Perdana Menteri karena dalam keadaan darurat perang. Dan depolitisasi gerakan pemuda dan mahasiswa bermula dari penandatanganan kerja sama antara pemuda dan Angkatan Darat 17 Juni 1957 yang ditandatangani oleh Soekatno (Sekjen Pemuda Rakyat), SM. Taher (Pemuda Demokrat), A. Buchori (GPII), Kyai Haji Wahib Wahab (Ansor), dari pihak pemuda dan Letkol. Pamurahardjo dari pihak AD. Strukturalisasi pengukuhan kerjasama ini dilakukan dalam bentuk Badan Kerja Sama Pemuda-Militer --BKS-PM. Struktur badan ini adalah vertikal Komite Eksekutif, Dewan Penasehat, dan Anggota. Eskponen gerakan sosialis dan HMI diikut sertakan dalam aktivitas-akstivitas di luar kampus. Sejak awal 1959 mereka telah mengukuhkan hubungan dengan administratur-administratur militer yang berkaitan dengan urusan pemuda dan mahasiswa. Mahasiswa Bandung yang tidak menyadari hal ini menjadi ladang oposisi mahasiswa dalam menentang Soekarno. Jadi bukan hal yang aneh bila pada tahun 1966 mahasiswa-mahasiswa Bandung adalah yang paling militan berdemonstrasi mengulingkan Soekarno. Sementara itu Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dibubarkan dengan tuduhan terlibat usaha pembunuhan atas Soekarno. HMI sampai peristiwa 1965 berhasil selamat dari pembersihan. GMNI, CGMI dan GERMINDO kemudian membentuk Biro Aksi Mahasiwa dan menyelengarakan Kongres kelima PPMI di Jakarta Juli 1961. Hasilnya adalah pembentukan presidium yang terdiri dari GMNI, PMKRI, GMKI, GMD, CGMI, PMB dan MMB. Eksekutif yang baru dianggap oleh lingkungan mahasiswa tertentu memiliki orientasi ke kiri. Pada saat yang sama GERMASOS dan HMI berhasil masuk ke dalam organisasi-organisasi lokal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Dalam tahun 1961, organisasi-organisasi lokal tersebut membentuk Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal --SOMAL. Dalam banyak kesempatan SOMAL selalu menegur PPMI agar jangan terlalu terlibat dalam isu politik. Orang akan dapat membaca dalam pernyataan-pernyataan SOMAL, ada semacam hubungan antara aspirasi SOMAL dengan aspirasi senat-senat mahasiswa yang tergabung dengan MMI. Sehubungan dengan insiden rasial di Bandung, Mei 1963, konsulat PPMI Bandung mengeluarkan pernyataan: Bahwa yang sebenarnya terjadi bukanlah bermotifkan rasial, akan tetapi merupakan isu sosial yang diakibatkan gap antara si kaya dan si miskin yang semakin dalam. Dalam masalah ini terjadi perpecahan dalam konsulat PPMI Bandung 4 anggota PPMI Bandung membentuk organisasi yang serupa dengan Biro Aksi Mahsiswa. Keadaan ini dimanfaatkan oleh MMI, mereka bergabung dengan organisasi pecahan PPMI Bandung dan mendirikan Majelis Permusyaratan Mahasiswa Indonesia –MAPEMI-- pada bulan Agustus 1965. Haruslah dicatat dalam eksekutif MMI terdapat perwakilan dari Akademi Hukum Militer (AHM) dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), sehingga tidak mengherankan bila kepemimpinannya dipegang oleh perwira tingkat menengah AD dan kepolisian. Dalam masa ini orientasi gerakan mahasiswa yang sudah mulai membaik dalam mengugat hubungan sosial kapitalisme, fasisme, imperialisme, dan sisa-sisa feodalisme dikalahkah oleh kesiapan militer --yang masuk dalam gerakan pemuda mahasiswa dan partai-partai sayap kanan. .1966 Setelah berhasil menumbangkan rejim Soekarno, sebagian besar mahasiswa mengembalikan gagasan “kembali ke kampus”. Mereka menganggap perjuangan mahasiswa telah sampai titik batas. Efuoria kemenangan menumbangkan rejim lama setalah berkolaborasi dengan tentara benar-benar memandulkan gerakan mahasiswa. Daya kritis mahasiswa pada umumnya hilang karena mereka berkesadaran rejim yang baru adalah “rekan berjuang”. Karena itu, pilihan gerakan mereka berpijak pada dasar moral yang tanpa pamrih politik sama sekali. Gerakan ini menjadikan mahasiswa sebagai pelopor tanpa pengikut. Terputusnya hubungan dengan organisasi politik di luar kampus membuat gerakan mahasiswa mengalami kesulitan dalam pengorganisasian di sekitar keresahan politik. Dengan melihat latar belakang sejarah seperti tersebut di atas, kita bisa menyadari bagaimana kondisi sosiologis gerakan pemuda dan mahasiswa pada masa Orde Baru sebelum periode 1980-an. Sebagian besar aktivis gerakan mahasiswa tahun '66 pada masanya tidak pernah bersentuhan dengan literatur-literatur kiri. Dan dalam tindakan politiknya mereka tidak memiliki pemahaman mengorganisir atau bergulat dengan rakyat bawah, tindakan politiknya elitis dan pragmatis Dengan begitu tidak mengejutkan bila pada masa-masa awal Orde Baru mereka terbius oleh sangkaan bahwa bangsa Indonesia sedang dalam proses pembangunan Demokrasi Ekonomi dan Politik. Apalagi pada waktu itu masih didukung oleh bom minyak. Sebagian dari mereka masuk ke dalam struktur kelembagaan negara; sebagian menjadi pengusaha, sebagian kecil saja dari mereka masuk di struktur kelembagaan yang secara sosiologis menumbuhkan kembali idealismenya, terutama dunia akademik. Pada yang terakhirlah daya kritis baru bisa tumbuh, apalagi sebagian besar berada dalam kelembagaan yang dapat mengakomodir sentimen idealisme dan intelektualnya lembaga keilmuan, mass media, dan LSM. Sentimen idealisme dan intelektual mereka sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari krisis demi krisis pembangunan Orde Baru yang akut akan dampak-dampak negatif dan kontradiski dari imperialisme, kapitalisme, dwi fungsi, serta sisa-sisa feodalisme. Bekas aktivis '66 berada pada status sebagai generasi yang sampai sekarang, tidak pernah menemukan alternatif kongkrit tidak ada alternatif konsep yang tegas bagi problem-problem ekonomi, politik dan budaya rakyat Indonesia, demikian juga dalam alternatif tindakan politiknya. Kalaupun ada, dan ini mayoritas, adalah alternatif konsep "tengah" reformis yang merupakan bukan jalan keluar bagi problem-problem kongkrit rakyat Indonesia. Dan itu pun direalisasi dengan strategi tindakan moral menghimbau atau "merubah dari dalam sistim". Tidak ada tindakan politik yang dapat memperkuat daya tawar mereka. Sering mereka berlindung dibalik kata "taktis", namun dalam kenyataanya di lapangan mereka memang tidak pernah melakukan tindakan politik dalam arti penggalangan massa. 1970-an Pada tahun 1970-an, tawaran LSM, literatur populis dan ada juga sedikit yang struktural terutama yang di Barat, serta belajar keluar negeri merupakan suatu kondisi objektif yang ditawarkan oleh kapitalisme yang sedang berada pada titik kontradiski ekonomi, politik, dan budayanya roduktivitas yang rendah (terutama produk yang mempunyai watak nasionalistis), kemiskinan, gap antara kaya dan miskin, pengangguran, konsumerisme, kesenjangan harga dan pendapatan, krisis kepemimpinan, rendahnya kuantitas dan kualitas pendidikan politik, kosongnya dunia pendidikan, keilmuan dan budaya yang nasionalistis dan pro-rakyat, perusakan lingkungan, dekadensi moral, dan sebagainya, yang belum pernah terjadi sedemikian membahayakan dalam sejarah bangsa Indonesia. Kondisi objektif tersebut di atas, yang sebagian besar diserap oleh bekas aktivis-aktivis tahun '66, kemudian menjadi kondisi subjektif mereka, sehinga memilih alternatif konsep ekonomi, politik, budaya "tengah', yang strategi tindakannya moral, benar-benar mandul, tak sejumputpun beban sejarah yang dipikulnya. Ada kategori lain dari bekas aktivis '66 ini, yakni yang juga "tengah" dan bergabung dengan suatu faksi ex-Partai Sosialis Indonesia (PSI), unsur-unsur birokrasi yang tidak puas, serta administratur militer. Ideal tindakan politik mereka adalah "insureksi", namun tidak mempunyai keberanian politik untuk terjun menggalang massa luas dari segala sektor masyarakat mereka biasanya hanya di belakang layar, memprovokasi sektor mahasiswa tahun 1970-an agar menyediakan kondisi insureksi. 

Hal ini terlihat jelas pada awal 1970-an, mahasiswa melancarkan aksi-aksi bersifat spontan, setempat dan hanya diikuti beberapa bekas tokoh mahasiswa yang sebelumnya turut berperan dalam peristiwa 1966. Menjelang tahun 1973, saat suhu politik semakin mengingkat, reaksi pemerintah pun berubah. Hal ini justru membuat intensitas gerakan mahasiswa meningkat sampai pada akhir 1973. Mahasiswa telah menemukan dasar oposisi mereka terhadap pemerintah. Puncak aksi protes mahasiswa terjadi bersamaan dengan kedatangan PM Jepang pada tanggal 15 Januari 1974 dan karena provokasi dari tentara aksi ini berubah menjadi kerusuhan massal, yang kemudian dikenal sebagai kasus Malari. Pada kasus Malari kondisi insureksi tersebut malahan dihindari, militansi massa kemudian diredam kembali ketika massa mengharap komandonya, massa justru disuruh mundur. Untuk beberapa lama setelah peristiwa malari, mahasiswa mengidap semacam trauma politik. Pemerintah kemudian mengeluarkan Surat Keputusan No. 28/1974 yang melarang kegiatan-kegiatan bersifat politis di kampus. Pada "gerakan 78", yang memiliki watak yang sama dengan kategori ini, tahap-tahap penggalangan massa lebih tak siap. Dan untuk mencegah bangkitnya gerakan mahasiswa, pemerintah menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus –NKK-- yang merupakan pengembangan SK 028/1974. sasarannya adalah membersihkan kegiatan politik di kampus. Mahasiswa menolak dan menentang kebijkan ini. Bagi mahasiswa kebijakan ini adalah upaya untuk menjauhkan kepekaan sosial dan kepedulian terhadap rakyat tertindas. Di lain pihak hal ini dalam sejarah pendidikan di Indonesia kepentingan negara menjadi dominan dalam setiap kebijakan pendidikan. Akibatnya perguruan tinggi tidak lagi mandiri, melainkan subordinasi di bawah kendali negara. Intervensi negara yang membuat kehidupan perguruan tinggi tidak lagi ditentukan oleh rasionalitas dan tradisi kebebasan akademis tetapi ditentukan oleh kepentingan negara. Perguruan tinggi menjadi bagian dari reproduksi sistem ekonomi-politik kapitalisme yang sedang berjalan. Perguruan tinggi tak ubahnya sebagai pabrik untuk melatih buruh, sementara mahasiswa sebagai sekrup yang akan mengisi sistem produksi tersebut.

Hukum sejarah pada periode ini memberikan kesimpulan, bahwa kondisi objektif ekonomi-politiknya belum mematangkan pemahaman, pemihakan, dan kecakapan tindakan politiknya. 1980-an Kehidupan kampus di seluruh Indonesia terlihat sepi dari kegiatan politik. Secara umum kegiatan mahasiswa yang masih berjalan adalah bersifat akademik dan rekreatif, walaupun demikian ada beberapa mahasiswa yang mencoba menyuarakan kritik politiknya. Aksi-aksi yang muncul tidaklah menyangkut politik melainkan persoalan sehari-hari seperti kenaikan SPP, kualitas dosen dll. Awal 1980-an merupakan masa yang sulit bagi gerakan mahasiswa . birokrasi kampus, yang merupakan representasi intervensi Orde Baru, mengawasi dan mengontrol setiap kegiatan mahasiswa di dalam kampus. Melihat ruang gerak di kampus yang semakin terbatas, sejumlah mantan dan aktivis mahasiswa kemudian mencari format baru yang memungkinkan mereka tetap dapat mengartikulasikan kepentingan politik. Mereka mengalihkan aktivitasnya ke luar kampus dengan membentuk LSM dan ada juga yang membentuk Kelompok Studi. Dua faktor yang mendorong sebagian aktivis mahasiswa paska 1978 memilih membentuk LSM adalah : Sebagai jawaban atas pencarian strategi atau model pembangunan alternatif yang lebih menekankan partisipasi rakyat dll. 

Sebagai jawaban terhadap kritik yang menyatakan gerakan mahasiswa bersifat elitis, jauh dari persoalan-persoalan nyata rakyat dan bersifat abstrak. Di samping itu munculnya Kelompok Studi yang awalnya hanya berkutat pada diskusi-diskusi teoritik belaka, mampu menjadi pondasi dasar bagi pemikiran mahasiswa yang kemudian melakukan aksi-aksi di penghujung 1980-an. Sampai sekarang, mahasiswa-mahasiswa yang mengambil jalan keluar kelompok studi tidak menyadari proses pembusukan yang sedang mereka alami Bahwa mereka akan terseret oleh akumulasi kondisi objektif adalah masalah lain, dimana mereka juga tak akan dapat menolaknya. Hanya ada dua pilihan: memihak rakyat dan terlibat, atau memihak status quo/rezim dan menjadi elemen konservatif. 

Pada sisi lain, perlu dicatat, bahwa mereka yang tadinya berkeras menolak jalan aksi-aksi pengalangan massa, dalam waktu relatif cepat --seperti juga pemerintah-- berbalik beramai-ramai ikut mendukung apa yang disebut sebagai gerakan "arus bawah". Sehingga, sebagai kelembagaan mereka tidak pernah memberikan respon tindakan atas terjadinya kasus Tanjung Priok, gerakan mahasiswa Unjung Pandang, dan gerakan mahasiwa akhir-akhir ini. Bila kelompok studi masih mempertahankan wataknya seperti sekarang, maka proses pembusukkan tidak akan berubah menjadi proses transformasi ke arah organisasi yang lebih politis. Yang lebih parah lagi adalah LSM, yang walaupun tidak pernah memberikan picu bagi tindakan politik, proses pembusukkannya lebih lamban ketimbang kelompok studi. Sokongan keuangan yang besar, yang terus-menerus mendemoralisasi aktivis-aktivis sosial (bahkan mahasiswa) yang diserap ke dalamnya, menyebabkan LSM bertahan dalam wataknya semula. Dalam perkembangannya LSM justru menciptakan klik diantara mereka sendiri terbentuknya gejala BINGO dan LINGO. Kelompok 13 dan INGI merupakan gejala konsentrasi BINGO yang mempersulit transformasi LSM untuk meneliti agenda politik dan melakukan reorganisasi. Sulit untuk memberikan kesimpulan adanya spektrum LSM, karena penguasaan LSM oleh Kelompok-kelompok Sosial-Demokrat. Sialnya, Kaum Sosial-Demokrat di Indonesia adalah "kanan", Sosial-Demokrat yang terbelakang, tidak sebagaimana trend politik yang muncul dan dikenal di Barat. Dimana kaum Sosial-Demokratnya terus berjuang dalam spektrum politik yang luas, sebagimana seorang Sosial-Demokrat yang konsisten; Kelompok-kelompok Protestan, Katolik dan Islam Modernis, memiliki konsep dan tindakan politik yang sama: berwatak tengah. Usaha yang telah dilakukan, yakni mengadakan persekutuan di antara mereka, pun tidak memberikan dampak berarti Konsolidasi melalui FAHAMI (Forum antar Agama dan Hak Asasi Manusia Indonesia), bahkan mengalami kegagalan, --penyunting. Tahun 1985 dan seterusnya kebekuan respon masyarakat terhadap kondisi objektif ekonomi, politik, dan budaya yang sangat negatif, berhasil oleh gerakan-gerakan mahasiswa, yang para pelakuknya banyak berasal dari kelas menengah ke bawah dan masih sektarian bila dibandingkan dengan Filipina dan Korea Selatan. 

Bila dilihat konsolidasi dan isunya, gerakan mahasiswa sekarang relatif lebih merakyat, berhasil dalam membentuk opini dan lebih kuat dalam bargain politiknya. Sewajarnya juga dalam tahap awal, konsolidasi aksi tersebut tidaklah mengisyaratkan adanya konsolidasi solid pengorganisasiannya. Ia hanya merupakan konsolidasi aksi yang insidental beraksi bila tercapai kesepakatan mengangkat isu yang sama. Isu sektarian otonomi kampus tidak menarik lagi diperjuangkan; yang lebih menentukan adalah momentum objektif ekonomi-politik dan pengkondisian subjektif oleh lingkaran kecil yang terutama berdampak bagi lingkaran itu sendiri atau pun bagi gerakan secara keseluruhan. Dan konsolidasi solid keorganisasian inilah yang dapat terus menerus merespon dan berdialektika dengan kondisi objektif ekonomi-politik Indonesia. Aksi mahasiswa Ujung Pandang (1987) adalah aksi yang baru pertama kalinya dengan turun ke jalan (rally), dengan jumlah massa yang relatif besar, dengan mengambil isu kebijaksanaan pemerintah dalam peraturan lalu lintas, judi, dan ekspresi kesulitan ekonomi. Aksi ini dihentikan dengan memakan beberapa korban. Tradisi turun ke jalan ini telah menjadi trend pada saat ini, bahkan buruh telah juga turun ke jalan dengan jumlah massa belasan ribu, seperti yang terjadi di Solo pada tahun 1994. Pengerahan massa yang relatif besar ada saat ini belum konsisten pada tujuan politiknya. Setelah penolakan terhadap UULAJ --yang pro rakyat-- yang berlangsung mulai awal 1992 sampai triwulan akhir 1993 kemudian disusul dengan aksi-aksi anti SDSB, namun dengan pembelokkan isu menjadi moral-sektarian religius. Bahwa isu-isu yang bersifat spontan tak akan bertahan lama, tak akan mendapat respon yang luas, dan memang bukan jalan keluar yang baik --lagi-lagi tidak pernah jadi pelajaran-- terlihat setelah SDSB distop peredarannya, tiba-tiba saja gerakan mahasiswa --terutama Islam, bila tidak ada kasus Bosnia dan palestina, sehingga pernah dalam suatu forum Sri Bintang Pamungkas mengusulkan untuk mengolah isu-isu kampus untuk diangkat, seolah-olah kehilangan alasannya. Celah-celah kegiatan pers dan tersebarnya masmedia kampus, kegiatan-kegiatan diskusi, aksi-aksi yang dipikirkan masak-masak, benar-benar memberikan pengalaman yang berharga, baik dari segi pematangan, pemahaman, penyatuan pikiran maupun rekonsolidasi bagi proses selanjutnya gerakan mahasiswa tahun 80-an. Kontinum gerakan mahasiswa tahun 80-an tampaknya kini lebih menggembirakan. 

Hingga sekarang mereka bisa merebut opini nasional dan internasional, isunya lebih merakyat, bargain politiknya lebih kuat, dapat menarik simpati rakyat serta tingkat kolaborasi dengan unsur-unsur administrator militer, birokrat, partai, ex-partai, ormas, LSM, kelompok studi, maupun lainnya boleh dikatakan sangat rendah. Namun kontinum tersebut belumlah sampai pada tingkat seperti yang dijelaskan sebelumnya. Status yang ada sekarang tentu saja melewati masa-masa sulit, memakan waktu yang terkadang mengesalkan, menyita pemikiran dan dana yang tidak sedikit. Dan banyak aktivis-aktivis mahasiswa yang mengorbankan kesenangan-kesenangan yang biasa mereka peroleh dan mereka nikmati sebelumnya. Dan karena isu-isu yang diturunkan sudah lebih merakyat, maka isu-isu seperti deregulasi, liberalisasi, dan swastanisasi tidak menjadi populer di kalangan mahasiswa, sebab respon yang diberikan hanya akan merubah konstelasi modal dengan cara-cara yang lebih "demokratis". Makna pendemokratisasian konstelasi modal pada kondisi struktur modal domestik dan asing seperti sekarang ini di Indonesia, hanya akan dinikmati dan dimenangkan oleh pemilik modal besar. 

Apapun jalan yang diambil oleh kelembagaan Trias Politika RI, tetap akan menimbulkan krisis hubungan sosial dalam masyarakat 1990-an Awal-awal 1990 mulai muncullah organisasi mahasiswa “ilegal” bagi rejim. Ini merupakan perkembangan dari organisasi-organisasi bentukan gerakan mahasiswa akhir 1986–1990, yang berupa komite-komite aksi. Gerakan mahasiswa mencoba melakukan konsolidasi ditingkat nasional dan mulai mempermanenkan organ yang ada. Di Yogyakarta muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), di Surabaya muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS), di Manado lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Manado (FKMM), dan organ-organ lain di Jakarta, Bandung, Solo, Semarang. Sejak munculnya organisasi-organisasi diatas, gerakan mahasiswa semakin menguat. Aksi-aksi mahasiswa mulai membesar kembali, energi perlawanan mahasiswa timbul kembali. Di Yogyakarta pertengahan tahun 1992, 12 ribu mahasiswa Universitas Gajah Mada dan universitas lain di Yogya didampingi rektor UGM -- Prof. Koesnadi Harjosoemantri -- melakukan rally dari kampus UGM menuju DPRD I Yogyakarta, memprotes diberlakukanya Undang-undang Lalu Lintas No. 14/1992. Tahun 1993 ribuan mahasiswa – mayoritas mahasiswa Islam – menduduki Gedung DPR/MPR, menuntut SDSB dihapuskan. Menteri Sosial waktu itu, Inten Soeweno, dengan menitikkan air mata mencabut pemberlakuan SDSB di depan anggota DPR sementara diluar gedung, ribuan mahasiswa terus menjalankan aksinya. Satu tahun kemudian, mahasiswa diberbagai daerah memprotes dibredelnya Tempo, Detik, dan Editor. Beberapa aksi direpresif oleh militer, seperti yang terjadi di Jakarta. Namun demikian aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut. Tahun 1996, tepatnya bulan April, di Ujung Pandang, mahasiswa yang memprotes kebijaksanaan kenaikan tarif transportasi ditembaki oleh militer, sekitar 7 mahasiswa tewas dalam insiden tersebut. Aksi ini telah menimbulkan solidaritas di kalangan mahasiswa lain di berbagai daerah, seperti Jakarta, Surabaya, Lampung, Yogyakarta, Solo, Semarang, bahkan di Yogyakarta sempat terjadi bentrokan dengan militer. Secara organisasi, gerakan mahasiswa juga mengalami proses kemajuan, konsolidasi didalam dan diluar kampus mulai dilakukan dan dibentuk organ mahasiswa nasional. Pada bulan Agustus 1994, dideklarasikan organ mahasiswa nasional, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Sejak berdirinya, organ ini merupakan momentum bagi gerakan mahasiswa Indonesia untuk kembali menjadi gerakan politik. Ini dapat kita lihat dari program-program SMID seperti menuntut di cabutnya Dwi Fungsi ABRI dan paket 5 UU Politik 1985, yang merupakan pondasi dari rejim Soeharto. Dan sejak saat ini aksi massa “dikukuhkan” menjadi metode perjuangan gerakan mahasiswa. Periode 1994 dapat dikatakan merupakan masa keterbukaan politik dan merupakan kemajuan penting dalam gerakan perlawanan rakyat. Kemajuan-kemajuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Sentimen anti kediktoran rejim Orde Baru Soeharto mulai meluas. Keberanian rakyat untuk mempertahankan hak-haknya semakin tumbuh. Jaringan dan wadah-wadah perlawanan mulai dibentuk diberbagai tempat dan sektor masyarakat. Watak kerakyatan dalam perlawanan demokratik mulai muncul sebagai pendorong utama untuk memaksakan keterbukaan dengan mulai terangkatnya isu perburuhan dan tani (pertanahan). 

Unsur-unsur demokratik dan kerakyatan dalam perlawanan telah mampu berkembang dan berdiri di garda depan, baik dalam skala sektoral maupun wilayah tertentu.

Sementara di dalam kampus mulai dibentuk organ mahasiswa sektor kampus. Sebelumnya selama kurun waktu 1979-1995 hanya ada lembaga mahasiswa formal yang diakui oleh pemerintah, yaitu Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Tahun 1995 mulai dirintis berdirnya kembali Dewan Mahasiswa (Dema), yang sejak diberlakukannya NKK/BKK dimatikan keberadaannya. Maka muncullah Dema UGM, Dema UI, Dema USD. Namun sebelum konsolidasi ini selesai, meletuslah peristiwa 27 Juli 1996. Setelah “Peristiwa Sabtu Kelabu”, rejim Soeharto memburu-buru aktivis mahasiswa radikal dan aktivis PRD yang difitnah sebagai dalang peristiwa tersebut. Dalam kurun waktu 1996-akhir 1997, dapat dikatakan gerakan mahasiswa tiarap. Kalaupun ada aksi, hanya sebatas dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa radikal dengan kembali memakai komite aksi yang bersifat “musiman” untuk terus melakukan perlawanan. Gerakan Mahasiswa 1998: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar