Musang Kapitalis Berbulu Kemandirian
Mengapa pendidikan di Indonesia mahal ? Sebab ilustrasi pendidikan di Indonesia, terdapat di uang 20.000-an, bukan di uang seratusan. Berangkat dari sentilan sederhana inilah, otonomi perguruan tinggi menjadi menarik untuk dibahas. Dengan ini maka apa yang selama ini ditakutkan banyak kalangan akademis, kian mendekati kenyataan : SPP naik ratusan persen, aset-aset kampus akan dikomersialkan dan seabrek rasionalisasi lain. Ujung-ujungnya jelas : kapitalisasi pendidikan. Dilibatkannya World Bank dalam perumusannya ikut memperjelas arah otonomisasi.
Sejarah Lahirnya Ide Otonomi
Indonesia pada Orde Baru selalu menerapkan sistem yang sentralistik di segala bidang, termasuk di bidang pendidikan. Terpusatnya kebijakan pendidikan dapat dilihat dari peran serta pemerintah dalam pemilihan pimpinan universitas sampai diterapkannya kurikulum nasional. Hal ini menandai keinginan pemerintah untuk senantiasa mengontrol perguruan tinggi. Gerakan mahasiswa juga tidak lepas dari pasungan pemerintah, melalui kebijaksanaan NKK/BKK pada era Daoed Joesoef. Sehingga ketika rezim Orde Baru runtuh, sistem yang sentralistik ini juga mulai dikritisi dan digugat keberadaannya. Salah satu bentuk gugatan yang muncul adalah keinginan untuk mandiri atau otonom dari pihak perguruan tinggi negeri pada khususnya.
Dalam sistem pendidikan nasional, asas otonomi dengan kebebasan akademik secara resmi dinyatakan dalam UU No.2/1989 serta PP No.30/1990. Dalam aktualisasinya, kebebasan ini bukan yang tidak terbatas tetapi harus memperhatikan moral dan tata nilai masyarakat Indonesia. Istilah otonomi diperkenalkan Dirjen Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) tahun 1996 -saat itu dijabat oleh Bambang Soehendro- dalam makalahnya di Seminar on Management of Higher Education: Anticipating The Year 2020. Menurutnya, asas otonomi harus didampingi dengan asas akuntabilitas publik (pertanggungjawaban kepada masyarakat). Jadi istilah otonomi PTN lebih dulu digulirkan jauh sebelum pemerintahan Gus Dur menelorkan isu otonomi daerah seluas-luasnya. Namun, keluarnya PP No. 60/1999 -tentang Pendidikan Tinggi- dan PP No. 61/1999 -tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum- baru dapat memicu PTN-PTN di Indonesia untuk menempatkan isu otonomi dalam rencana strategis jangka pendek masing-masing menuju realitas kemandirian perguruan tinggi negeri.
Sebagai pilot project otonomisasi PTN dipilih 4 PTN terkemuka yakni UI, ITB, IPB dan UGM. Alasannya menurut Direktur Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Dr. Ir. Satryo Brodjonegoro, "Karena keempat PTN itulah yang selama ini mendapat pendanaan terbesar dari pemerintah." Ditambahkan juga oleh Direktur Pembinaan Sarana Akademis Dirjen Dikti, Dr. Suprodjo Pusposutardjo, bahwa pilot project dipilih bukan karena besar kecilnya kota tempat PTN itu berada, tetapi atas dasar kinerja manajemen dan akademisnya.
Otonomisasi = Subsidi Nol
Gugatan perubahan ini juga dipacu oleh berbagai krisis yang saat ini sedang melanda Indonesia. Kepercayaan masyarakat semakin menipis, baik terhadap lembaga-lembaga formal, pemerintah, maupun antar kelompok dalam masyarakat sendiri. Sedangkan proses transisi menuju masyarakat madani yang lebih demokratis membutuhkan mitra terpercaya, yang mampu berperan sebagai kekuatan moral. Perguruan Tinggi Negeri diharapkan mampu memerankannya. Tetapi saat ini peran tersebut tidak akan dapat terwujud karena PTN sendiri keberadaannya masih belum mandiri. Kekuatan moral yang mandiri dapat dimiliki apabila Perguruan Tinggi memperoleh otonomi.
Namun otonomi yang dilaksanakan di tengah krisis menimbulkan anggapan minor, bahwa PP No. 61/1999 diterbitkan karena pemerintah kesulitan keuangan. Tim Persiapan Penerapan Otonomi di PT yang dibentuk oleh Dirjen Dikti membantah anggapan tersebut. "Tidak benar bahwa PP No. 61/1999 terbit untuk mengurangi tekanan terhadap anggaran pemerintah." "Namun," lanjut mereka, "Benar bahwa berbagai krisis yang terjadi telah mendorong pemerintah menerbitkan PP tersebut."
Pernyataan Tim Persiapan Otonomi di Perguruan Tinggi tersebut senada dengan Dirjen Dikti. Dalam wawancara melalui email, Satryo menyatakan dukungan pemerintah untuk PTN tetap diberikan kepada PTN tersebut, tidak ada pengurangan terkecuali kalau PTN sangat buruk kinerjanya, sehingga tidak ada pengalihan subsidi pemerintah. Menurut Satryo dengan adanya otonomi, bukan pemerintah mengurangi dukungan akan tetapi PTN tersebut justru dapat menggali dana masyarakat lebih besar dengan berbagai keahliannya, bukan dengan menaikkan SPP. Suprodjo Pusposutardjo mendukung pernyataan itu, "Subsidi PTN tetap, hanya berubah cara memperolehnya dari input based ke bentuk academic and management performance based."
Tetapi pernyataan tersebut ditampik oleh Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Bachtiar Firdaus. Bachtiar mengakui adanya kenaikan SPP di UI mulai bulan Agustus 1999. Kenaikan ini, menurutnya disebabkan ditariknya subsidi pendidikan sebesar 80%. "Walaupun pihak rektorat menyanggah bahwa kenaikan itu merupakan bagian dari otonomi itu, tetapi setelah kita cari-cari ternyata itu bagian dari otonomi sendiri, " lanjutnya.
Seperti menyadari kondisi yang berkembang, bahwa pencerdasan bangsa tidak akan berjalan tanpa suntikan dana yang cukup, Menteri Pendidikan Nasional, Dr. Yahya Muhaimin, dalam suatu kesempatan tatap muka dengan wartawan di Yogyakarta, seperti diberitakan Kompas pada edisi 21 Desember 1999, merencanakan akan meningkatkan anggaran pendidikan sebesar 35 persen, dari sebesar Rp 18 trilyun atau 8,5 persen dari total APBN menjadi Rp 25 trilyun. Meskipun ada rencana untuk menaikkan anggaran pendidikan, jumlah itu masih terlalu kecil dibandingkan anggaran pendidikan di luar negeri. "Di Amerika Serikat sendiri (perguruan tinggi, Red.) yang paling hebat itu masih ditanggung pemerintah 20-30%. Yang paling payah masih 50-60 %. Eropa juga begitu, Australia juga begitu," ungkap Pembantu Rektor II IPB, Ir. H. Darwin Kadarisman, MS. Kendala dalam anggaran pendidikan tidak saja pada kecilnya alokasi dana. Jika nantinya PTN berubah bentuk menjadi badan hukum, pemerintah tidak bisa memberikan subsidi secara langsung kepada PTN yang bersangkutan. Karena secara hukum pemerintah tidak diperbolehkan untuk mengalokasi APBN untuk mendanai suatu badan hukum. Permasalahan ini menurut Tim Persiapan Otonomi di Perguruan Tinggi dapat diselesaikan pemerintah dengan melakukan perjanjian jual-beli dengan badan hukum itu, misalnya kontrak jual-beli lulusan dalam jumlah dan kualifikasi tertentu.
Otonomisasi PTN, Juklak Kapitalisme
Kemandirian perguruan tinggi negeri, seperti halnya ‘kebijaksanaan’ pemerintah lainnya, diteorikan dengan bahasa yang sangat ideal. Meskipun begitu, tidak sedikit pihak yang meragukan atau bahkan menolak. Rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Asman Budisantoso Ranakusuma sendiri dalam pidato wisuda bulan Agustus tahun 1999 lalu secara implisit mengaku terkejut, karena kalangan UI menyangka otonomisasi akan berlaku sekitar tahun 2009. Padahal, otonomi itu sendiri dirumuskan oleh utusan dari UI di samping beberapa utusan PTN lain yang masuk dalam pilot project otonomisasi PTN.
Mereka –para utusan tersebut- juga didampingi oleh wakil dari Bank Dunia. Menanggapi hal itu, Satryo menyatakan bahwa keterlibatan Bank Dunia sebagai donatur bagi tenaga asing yang ikut mempersiapkan kemandirian PTN. Hal ini dibenarkan oleh Pembantu Rektor II IPB, Ir. H. Darwin Kadarisman, MS, bahwa Bank Dunia akan me-review tiap PTN yang menjadi uji coba otonomisasi karena mereka agak expert di bidang ini. Namun Direktur Pengembangan Sarana Akademik (PSA) membantah pernyataan tersebut, melalui wawancara tertulis dia menyatakan, "Bank Dunia tidak bertindak sebagai apa-apa." Keterlibatan World Bank jelas menunjukkan adanya kepentingan kaum kapitalis terhadap pendidikan yang semakin amburadul di Indonesia. Seperti dikatakan Nur Yahya, aktivis Forum Studi Ekonomi dan Politik (Forstep), "Yang namanya World Bank atau lembaga internasional termasuk juklak intenasional dalam rangka kapitalisme global. Sekarang ini ‘kan Neo-Liberal, yang menggunakan bahasa Wilsonis atau paradigma ekonominya Wilson. Neo-Liberal ini yang sebenarnya mengarah ke otonomisasi."
Militer Terlibat ?
Sejak digulirkannya isu otonomi, belum banyak pihak yang merespon. Namun ketika PP No. 61 mulai diterapkan, banyak pihak yang mulai mengkritisinya. Kokok Herdiyanto salah satunya. Dalam Salah satu tulisannya –di muat di Majalah Mahasiswa Indikator FE Unibraw-, ia ‘menuduh’ kebijakan otonomi sebagai upaya kolaborasi antara militer dan pemerintah untuk menghancurkan gerakan mahasiswa. Lebih jauh lagi, otonomisasi hanya akan membunuh pendidikan itu sendiri. "Buktinya, mana ada Menteri Pendidikan yang bukan berasal dari kalangan militer. Hampir semuanya berbau tentara. Kebanyakan ‘kan dari Lemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional). Mulai dari Daoed Joesoef hingga Yahya Muhaimin", tandasnya.
Pendapat senada juga dikemukakan Ali Fahmi yang melihat adanya indikasi perubahan orientasi dari orientasi sosial menjadi orientasi pasar. Tingginya biaya pendidikan menjadikan mahasiswa lebih menekuni bangku kuliah dan mengabaikan fungsi sosialnya. PP No. 61/1999, menurut Presiden Keluarga Mahasiswa UGM ini, mengindikasikan normalisasi kehidupan kampus kedua kali setelah SK (Mendikbud, Red) No. 0457/1990 itu mengalami fase kegagalan.
Di lain pihak, menurut Nur Yahya, otonomi akan mengubah peta kekuatan pressure mahasiswa. "Jadi dengan sendirinya kekuatan-kekuatan mahasiswa berasal di daerah, bukan harus men-support dinamika politik di tingkat atas." Tetapi yang jelas, otonomisasi PTN harus dapat menciptakan kondisi yang kondusif untuk terwujudnya student government dengan memberikan otonomisasi terhadap lembaga kemahasiswaan. Sehingga mahasiswa mempunyai bargaining dengan rektorat dalam pembuatan kebijakan strategis mengenai kehidupan kampus.
Keterlibatan Mahasiswa dalam Otonomisasi
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999, terdapat 15.440 huruf yang membentuk 2.362 kata, 15 bab dan 25 pasal. Namun di dalamnya hanya tercantum satu kata ‘mahasiswa’. Kenyataan ini membuktikan, bahwa otonomisasi PTN mendudukkan mahasiswa dalam posisi yang tidak begitu penting. Padahal berdasarkan data yang dimiliki Dirjen Dikti, jumlah mahasiswa Indonesia tahun 1996 saja mencapai 2.703.896 sedangkan jumlah dosen 180.471. Memandang mahasiswa sebagai subordinat pendidikan juga terjadi dalam otonomisasi PTN. Mahasiswa sebagai mayoritas civitas cademica tidak dilibatkan dalam perumusannya. Menurut Purek II IPB, tidak dilibatkannya mahasiswa, "Karena kita menganggap lebih bagus dengan masyarakat daripada mahasiswa menilainya. Yang sering ‘nggak rasional ‘kan kita naikkan SPP untuk mahasiswa baru tapi yang ribut mahasiswa lama." Pernyataan ini bertolak belakang dengan Satryo sendiri yang dengan tegas mengiyakan ketika ditanyakan apakah ada jaminan dari Dirjen Dikti terhadap masukan dari mahasiswa. Menurutnya, "Salah satu indikator evaluasi (otonomisasi) tersebut adalah kepuasan mahasiswa terhadap proses pendidikan yang ada di PTN tersebut. Kami minta kepada setiap pimpinan PTN tersebut supaya mendengarkan pendapat mahasiswa agar supaya dalam persiapan otonomi akan lebih tepat sasaran dan tepat manfaat."
Namun berasal dari mana pun rektor kelak, setidaknya harus membuka ruang dialog bagi mahasiswa. Sehingga kesan rektor seperti diungkapkan Presiden Keluarga Mahasiswa IPB, Aly Yusuf tidak terjadi. Menurut Aly, "Rektorat belum memberikan sebuah ruang kepada kita (mahasiswa, Red.) untuk terlibat. Sehingga sekarang yang kita lakukan adalah bagaimana ini memberikan tempat bagi kita untuk melakukan. Jadi secara singkat, bahwa sampai sekarang kedudukan kita sebagai mahasiswa belum banyak menentukan otonomi itu." Seiring dengan ‘penolakan’ keterlibatan mahasiswa dan kurangnya sosialisasi justru melemahkan opini yang berkembang menjadi ke arah yang kontra produktif. Hal ini diakui oleh Aly yang juga aktivis Jaringan Mahasiswa Indonesia, "Kalau ini dilaksanakan terus-terusan tanpa ada tingkat pengertian dari rektorat saya kira otonomi ini akan memberikan wacana yang begitu negatif untuk mahasiswa. Kita sudah memberikan warning kepada rektorat, kalau tidak ada perbaikan manajemen informasi sosialisasi, maka rumor itu akan menggelembung dan mungkin akan mengalami penolakan kalau ini tidak termanajemeni dengan baik."
Senada dengan Presidennya, Maysaroh, seorang mahasiswa dari jurusan Teknologi Hasil Pertanian angkatan 1996 mengatakan penolakannya. Meski penolakan tersebut didasarkan pada tingkat pemahaman otonomi PTN yang kurang, namun sedikit banyak menggambarkan kekhawatiran di tingkat mahasiswa. Menurut Saroh –panggilan akrabnya-, "Semoga saya ‘udah lulus waktu otonomi diterapkan di IPB. Sekarang aja ketika biaya praktikum dibebankan pada mahasiswa, udah berat. Apalagi kalau semuanya…" Berdasarkan investigasi DIANNS, di IPB beban biaya praktikum memang ditanggung mahasiswa. Besarnya berkisar antara 10 hingga 25 ribu rupiah per mahasiswa untuk satu kali praktikum. "Itupun," lanjut Maysaroh, "dalam satu semester, tiap mahasiswa IPB bukan hanya sekali dua kali praktikum." Namun ketidaksiapan mahasiwa menghadapi otonomi disangkal oleh Sri Sanituti Hariadi, Dekan FISIP Unair. Menurut Sri Sanituti, dosen bermotto hidup anti kemapanan tersebut, "Mahasiswa saya kira tidak ada masalah, mereka akan dengan sendirinya menerima (kebijakan) itu."
Tidak dilibatkannya mahasiwa juga diakui oleh Rektor Unibraw Prof. Dr. Eka Afnan Troena. Ketika ditanyakan mengenai keterlibatan mahasiswa dalam proses otonomi, Rektor yang mantan aktivis HMI tahun 60-an dengan nada tinggi dan emosional berkata, "Saya juga tidak ikut pada urusan kalian (mahasiswa, Red.). Mari kita sepakati, hal-hal yang bersifat akademis itu kewenangan dari dosen, kalau nggak begitu tabrakan, mas. Urusan-urusan politik itu urusan mahasiswa ! Nah, ini jangan dicampuri oleh mahasiswa ! Jangan dicampuri ! Kalau dicampuri, nanti kau (mahasiswa, Red.) dapat nilai E, demonstrasi supaya dosennya diganti, kacaulah."
Sosialisasi Persiapan Otonomisasi Kurang ?
Menurut Direktur PSA, hingga saat ini proses otonomisasi PTN yang sudah dilakukan meliputi penyusunan PP No. 61/99 beserta Kepmen untuk pelaksanaannya, melengkapi PTN dengan berbagai fasilitas minimal untuk dapat mandiri dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi, mengembangkan semangat (etos) kompetisi di kalangan perguruan tinggi (PTN dan PTS) dalam memperoleh berbagai dana pembangunan dan penelitian berbentuk block grants (hibah dari pemerintah) dan mendorong serta memfasilitasi perguruan tinggi untuk memperoleh mitra kegiatan akademik dari dalam dan luar negeri.
Namun sayangnya, menurut Pembantu Rektor I Unair, Prof. Dr. Puruhito, Med, "Sampai sekarang Kepmen (Keputusan Menteri) itu sendiri belum ada. PP 60 sebetulnya menunggu Kepmen, kira-kira ada 20 Kepmen yang akan menyertai PP 60. Tapi paling tidak kalau Kepmen di PP 60 itu sudah turun semua otomatis itu akan mengikat kita ke PP 61. Sebagai contoh sebuah hal yang mendasar, bagaimana gaji pegawai, selama ini disebutkan gaji PNS dibayar oleh negara. Nanti kalau sudah menjadi BU (Badan Usaha) maka PTN yang otonom akan membayar gaji pegawainya sendiri, yakni oleh BU itu.
Ketidakjelasan proses otonomisasi PTN ini mengindikasikan ketidakseriusan pemerintah. Tidak adanya Kepmen sebagai juklak otonomisasi PTN juga diikuti dengan kurangnya sosialisasi di PTN. Sehingga berujung tidak dilakukannya sosialisasi oleh pihak rektorat kepada mahasiswa. Seperti diakui oleh Bachtiar Firdaus, "Terkesan pemerintah tidak mensosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat luas. Masalahnya ‘kan tidak seperti itu. PP-nya turun dulu, baru kita ribut-ribut di semua ini. Harusnya ‘kan itu (otonomisasi, Red) melalui beberapa tahap."
Ketidakjelasan otonomisasi PTN ditanggapi oleh Presiden BEM UGM, Ali Fahmi, "Makanya mahasiswa menuntut, jangan-jangan otonomisasi ini adalah kegagalan rejim yang tidak mampu menyubsidi perguruan-perguruan tinggi yang ada. Sehingga alasan mereka atau jawaban mereka terhadap kegagalan ini adalah otonomi perguruan tinggi. Padahal sebenarnya tidak ada sebuah pra kondisi. Artinya pra kondisi perguruan tinggi negeri untuk menjadi sebuah otonomi."
Dualisme Otonomisasi PTN
Dalam Seminar on Management of Higher Education: Anticipating The Year 2020 di Jakarta pada tanggal 27-28 Nopember 1996, Dirjen Dikti pada waktu itu, Bambang Soehendro, menyatakan, "Azas otonomi dalam pengelolaan perguruan tinggi antara lain tercermin dalam memilih staf akademik yang sesuai dengan tujuan. Kebebasan itu termasuk dalam memilih dan menetapkan mahasiswanya, menetapkan standar akademik serta kurikulum bagi program studi yang diselenggarakannya, menetapkan program penelitian yang dilakukan civitas akademika dalam batas tertentu. Secara manajerial termasuk pemanfaatan sumberdaya secara mandiri dalam penyelenggaraan fungsionalnya.
Tetapi azas otonomi ini kemungkinan tidak dapat berjalan seperti itu apabila kita melihat PP No. 61/1999. Dalam pengelolaan PTN setelah berubah status, menurut PP No. 61/1999, masih ada kemungkinan campur tangan pemerintah. Karena sebagai kompensasi dari kekayaan awal PTN yang berasal dari dari kekayaan negara, pemerintah mendapat hak suara 35 % dalam Majelis Wali Amanat, kekuasaan tertinggi dalam PTN ber-badan hukum. Sehingga memungkinan intervensi pemerintah dalam pemilihan pimpinan PTN dan sebagainya.
Kemungkinan intervensi pemerintah ini dibantah oleh Dirjen Dikti, "Pemerintah mempunyai kewenangan 35% agar dapat tetap menjamin misi PTN tersebut sehingga tidak menjadi komersial atau tidak membebani peserta didik terlalu berat, karena ini adalah misi pemerintah untuk pendidikan." Dalam PP No. 61/1999 sendiri disebutkan Majelis Wali Amanat merupakan organ PTN tertinggi yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Anggota Majelis Wali Amanat diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Sehingga segala kebijakan PTN yang menjadi wewenang Majelis Wali Amanat tidak akan lepas dari kontrol pemerintah Otonomisasi PTN yang terkesan setengah hati ini semakin diperkuat dengan masih dipertahankannya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Padahal, menurut PR II IPB, "Kalau perlu dibubarkan. Ya, kalau tidak terlalu bermanfaat." Ketidakjelasan posisi Dikti pasca otonomisasi PTN ditepis oleh Dirjen Dikti, "Posisi Dirjen Dikti setelah PTN menjadi otonom, lebih membuat strategi nasional untuk memajukan pendidikan, termasuk mencari peluang dana dan memfasilitasi perkembangan seluruh PTN/PTS yang ada di Indonesia. Dirjen tidak lagi mencampuri urusan dalam PTN/PTS, tetapi lebih kepada memberi peluang berkembang untuk mereka." Memang dalam otonomisasi PTN, kelak menjadi kewenangan internal PTN bukan lagi berada di Dirjen Dikti, tetapi ada di Majelis Wali Amanat yang terdiri dari unsur Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Senat Akademik, Rektor dan masyarakat.
Kewenangan internal PTN itu termasuk kewenangan pengelolaan PTN. Meskipun dalam ruang kontrol Majelis Wali Amanat, rektor tetap memegang posisi yang strategis dalam pengelolaan PTN. Posisi rektor yang menyamai pemimpin perusahaan semakin memastikan nuansa kapitalis dalam pendidikan tinggi. PR I Unair menyatakan, "Rektor itu nantinya adalah CEO (Chief Executive Officer), rektor tidak dapat lagi dipandang sebagai Rektor Akademis yang seperti kita ini. Sebab President of University itu adalah seorang manajer, seorang CEO tidak lagi harus seorang guru besar yang berpangkat tinggi seperti sekarang ini. Karena yang memilih rektor adalah Majelis Wali Amanat, Senat Universitas, tidak seperti sekarang." Senada dengan Puruhito, Dirjen Dikti mengatakan, "Mengapa tidak, seandainya dianggap mampu membawa perguruan tinggi tersebut ke arah kemajuan dan mutu yang tinggi, hal ini sepenuhnya ditentukan oleh Majelis Wali Amanat," ketika ditanyakan kemungkinan rektor bukan berasal dari kalangan praktisi akademisi, misalnya seorang manajer bisnis.
PTN Tidak Siap Otonom
Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini terjadi kesenjangan diantara PTN-PTN di Indonesia. Kesenjangan ini berimbas pada penyikapan masing-masing PTN terhadap otonomisasi. IPB sendiri yang termasuk pilot project, seperti penjelasan Darwin, mungkin tidak ikut otonomisasi kalau usul IPB agar pemerintah tetap menanggung biaya pendidikan ditolak. Kondisi ini tidak dipungkiri oleh Dirjen Dikti, "Itu adalah hak PTN tersebut, tetapi sebenarnya akan lebih baik dan lebih efisien dan juga lebih menguntungkan bagi mahasiswa, jika PTN tersebut otonom karena banyak kemudahan dan fleksibilitas. Sedangkan pemerintah tetap memberikan dukungan dana." Menurut bapak dua anak kelahiran Delf, Belanda, yang pernah mengikuti kursus reguler Lemhanas ini, "Kepada PTN yang menolak tidak perlu dipaksakan tetapi dibantu dan dibina agar nantinya dapat menjadi badan hukum yang otonom."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar