Rabu, 27 April 2016

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KERAKYATAN

Tulisan berikut adalah hasil penelusuran Bloger dalam menemukan informasi-informasi tempo doloe yang menyangkut persolan pendidikan dan demokrasi yang terjadi di masa lalu. tulisan ini diterbitkan oleh bloger sebagai bahan refleksi demi pengembangan pendidikan dan demokrasi dimasa kini dan masa depan.

Pendidikan tentu ada di setiap jaman dan kurun waktu, misalnya, pendidikan berbasis keagamaan. Sedikit melacak ke belakang. Pendidikan pada jaman kolonial disiapkan sebatas kebutuhan menciptakan tenaga kerja lokal untuk mengisi posisi-posisi clerk dan administrasi rendahan serta tenaga kesehatan untuk penyakit-penyakit tropis. Tentunya hal ini untuk menggantikan orang-orang asing yang dipekerjakan dalam posisi tersebut. Dengan demikian biaya lebih murah akan menjadi keunggulan komparatifnya. Pendidikan diadakan dalam kerangka politik balas jasa-Etische Politiek-Kerajaan Nederland terhadap wilayah koloni mereka Hindia Belanda.

Buta huruf menjadi melek huruf. Ini perkembangan sangat penting. Pemerintah kolonial berharap dengan melek huruf berbagai peraturan dan pengumuman (baca: perintah) dapat disampaikan dengan lebih mudah. Memang kemudian berita-berita berbentuk selebaran hingga koran menjadi media efektif untuk menyampaikan pesan. Sejajar dengan hal tersebut, yang hadir kemudian tidak hanya satu sisi kepentingan kolonialisme saja; di lain sisi muncul orang-orang berideologi Sosial-Demokrasi dari Belanda yang ikut "membangun pendidikan" melalui kelompok-kelompok diskusi di Hindia Belanda, seperti Sneevliet, Adolf Baars. Pendidikan alternatif yang muncul dari luar negara tersebut menghasilkan pergerakan rakyat-sebuah kesadaran baru, yang tidak dapat dipersamakan dengan jaman kerajaan/feodal.

Pemahaman tentang politik memunculkan terbentuknya perhimpunan, serikat, vakbond. Pendidikan rakyat menjadi demikian luasnya, negara kolonial perlu membatasinya dengan memunculkan apa yang dikenal dengan Wilde Schoolen Ordonantie. Ordonansi yang berusaha melarang pendidikan politik oleh dan untuk rakyat. Pendidikan rakyat ini dalam satu tulisan Moeso adalah:

"Oentoek mentjepatkan datangnja kemerdeka'an kita, haroeslah sekalian saudara membatja boekoe-boekoenja sendiri, jang ditoelis oleh orang-orang dari klasnja sendiri.

Klas jang tertindas haroes menerbitkan boekoe-boekoe jang perloe dalam pertandingan melawan kapital."6)

Pendidikan rakyat bukan saja mengganggu Rest en Orde (aman dan tertib) kolonial, tetapi menggusur kolonialisme.

Periode jaman bergerak di Hindia Belanda memang kurun paling demokratis. Di satu sisi negara kolonial berjalan dengan program-program ekonomi-politik yang tentu dengan ideologi mempertahankan untuk kemapanan investasi kapitalisme. Di lain sisi begitu hiruk-pikuk politik, ideologi dalam masyarakat luas. Setiap kelompok dengan kepentingannya masing-masing berjalan sendiri-sendiri.

Demikian pada masa tersebut dapat ditemui inisiatif pendidikan yang datang dari negara (-kolonial) dan pula dari rakyat. Pendidikan dari negara (-kolonial) menetapkan prasyarat bahwa orang tua siswa harus berlatar penguasa bumiputera (bupati, lurah, wedana, dsb.). Sementara pendidikan inisiatif rakyat tidak menetapkan prasyarat apa-apa.

Dalam jaman ini pula lahir tokoh-tokoh perlawanan terhadap negara kolonial Hindia Belanda seperti R. Oemar Said Tjokroaminoto, Mas Marco Kartodikromo, Semaoen, R.M. Soewardi Soerjaningrat, R.M. Sorjopranoto, R.P. Sosrokardono, Hadji Misbach, R.A. Kartini, R.A. Siti Soendari dan masih banyak lagi. Suratkabar radikal yang menjadi corong dan ajang berdebat adalah: Sinar Hindia, Sinar Djawa, Doenia Bergerak, API, Si Tetap, Njala, Proletar, dsb.

Pola-pola-negara dan rakyat melakukan inisiatif sendiri-sendiri-tersebut berlangsung terus hingga hari ini. Negara (dalam hal ini pemerintah) tetap menyelenggarakan pendidikan; sementara di sisi lain ada inisiatif sektor swasta yang menyelenggarakan beragam pendidikan. Memang ada yang berbeda: saat ini pendidikan adalah barang-dagangan kapitalisme pula, hal ini tidak terjadi di jaman bergerak hingga berakhirnya kekuasaan Soekarno di akhir 1960-an.

Pendidikan menjadi mahal, pendidikan menjadi barang-dagangan kapitalistik memang menjadi tak terhindarkan di Indonesia. Bila di awal Orde Baru, awal tahun 1970-an, pendidikan masih agak murah, itu disebabkan oleh saat itu oil-boom menjadi tulang-punggung perekonomian Indonesia. Pemerintah dapat menyediakan subsidi dalam jumlah memadai untuk pendidikan. Tidak hanya bersekolah di dalam negeri tetapi juga ke luar negeri. Masa tersebut beasiswa disediakan dalam jumlah cukup besar.

Sampai saat ini, dalam kenyataannya, negara tak pernah menjalankan secara konsekuen amanat UUD 1945 dalam persoalan pendidikan. Di masa Orde Baru, kecenderungan ini justru lebih terlihat dibanding periode sebelumnya. Bahkan terkesan di masa Orde Baru, pendidikan mulai secara perlahan dikomersialkan. Bertambahnya populasi manusia Indonesia semasa Orde Baru tak pernah dihadapi dengan persiapan infrastruktur sosial, termasuk dalam persoalan pendidikan. Bahkan dapat dikatakan, pemerintah justru tak pernah dengan serius memperhatikan persoalan ini. Pemerintah Orde Baru justru lebih membiarkan anak-anak Indonesia masuk ke dalam jeratan pendidikan swasta. Memang begitu banyak dibangun SD-SD Inpres, tetapi sangat jelas kelanjutan dari pendidikan dasar tersebut sangat tidak diperhatikan. Bahkan kini, program SD Inpres ini sepertinya sama sekali ditinggalkan, jika kita melihat begitu banyak gedung-gedung SD Inpres, terutama di daerah pedesaan, yang nyaris rubuh dan hanya memiliki beberapa orang guru saja untuk mendidik semua tingkat kelas yang ada. Dengan pembenaran kesulitan semacam inilah, pintu untuk pendidikan swasta, di bawah naungan yayasan-yayasan yang kebanyakan bersifat keagamaan, masuk memanfaatkan segenap potensi pasar yang ada. Berdirilah sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang kini semakin jelas terlihat tujuan mereka sebenarnya: uang!

Seiring dengan pertumbuhan industri, kebutuhan akan tenaga kerja terdidikpun muncul, terutama dengan keahlian yang benar-benar seperti yang diinginkan oleh para pemilik perusahaan. Kebutuhan tersebut ternyata tak terjawab oleh adanya sekolah-sekolah kejuruan yang ada. Untuk menjawab keinginan ini, negara memperkenalkan sistem pendidikan D1, D2, dan D3. Iming-iming cepatnya lulusan diploma mendapatkan pekerjaan, membuat program ini laku diminati orang dan berbondong-bondong lulusan SMA menyertakan dirinya ke dalam program ini. Tahun-tahun terakhir dari masa Orde Barupun kita mulai mendengar istilah “Link and Match” yang bermakna hubungan yang katanya harmonis antara dunia Industri dan Pendidikan. Tujuan dari model pendidikan seperti ini, menurut Wardiman Djojonegoro, adalah setiap peserta didik dapat langsung mendapatkan pelatihan yang menggunakan perkembangan teknologi terakhir sehingga memudahkan ia untuk bekerja nantinya dan pihak industri mendapatkan pekerja yang sesuai dengan kualifikasi yang diinginkannya.
“Link and Match” meski belum sempat diterapkan secara efektif, namun minimal ia adalah salah satu gerbang masuknya pengaruh perusahaan-perusahaan besar ke dalam sistem pendidikan Indonesia. Pemerintah begitu bersemangatnya, sehingga merasa harus memberikan insentif berupa pembebasan pajak bagi industri yang menjalankan konsep ini, atau yang sering disebut Pendidikan Sistem Ganda . Dalam kenyataannya kemudian, pelibatan dunia industri justru membuka kesadaran bagi dunia industri untuk mentenderkan riset dan pengembangan produknya di kampus-kampus. Dan juga membuka kesadaran di kalangan kampus, bahwa kampus dapat dijadikan lahan bisnis yang cukup besar. Hasil akhir dari sistem pendidikan yang dibangun oleh Orde Baru adalah sebuah mimpi buruk. Dari penelitian yang dilakukan Departemen Pendidikan dan PBB  menyatakan, di tingkat Sekolah Dasar misalnya, hanya separuh siswa SD di Indonesia yang lulus pada tahun keenam, 65 persen lulus pada tahun ketujuh, dan 70 persen yang lulus pada tahun kedelapan. 

Penyebaran kualitas pendidikan pun sangat menyedihkan. 80 persen calon mahasiswa PTN terbaik berasal dari sekolah-sekolah di Jawa. Lihat saja skor rata-rata untuk penerimaan mahasiswa baru (UMPTN) tahun 2000 yaitu 771, sedangkan di luar Jawa hanya berkisar 400-600. Salah satu argumen yang berkembang tentang sumber persoalan ini adalah karena pola kebijakan pendidikan yang sentralistis, di mana pusat mengatur mulai dari jam belajar, metode belajar, dan target yang harus dicapai. Akibatnya, terdapat keterbatasan sekolah dalam mengatasi berbagai macam masalah, karena sekolah dan guru hanyalah pelaksana yang selalu dibelenggu oleh aturan-aturan baku yang ditetapkan oleh pusat. Akan tetapi, benarkah argumen ini? Intervensi komersialisasi justru menjadi penyebab utama dari segudang persoalan di atas. Ia menyebabkan membengkaknya iuran pendidikan yang harus dibayar orang tua siswa akibat adanya pengutipan oleh birokrasi sekolah atau kampus. Ia menyebabkan adanya buku-buku tidak bermutu yang malah dipakai oleh sekolah-sekolah. Ia menyebabkan munculnya sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang materi pengajarannya harus dengan sangat terpaksa kini diragukan. Pemerintah yang cuci tangan dari kewajibannya dan pembukaan pendidikan untuk komersialisasi jelas adalah penyebab utama dari amburadulnya hasil pendidikan Orde Baru.

Pendidikan sebagai sat bagian dalam kehidpan sosial tidak pernah lepas dari pengarh hegemoni ideologi dominan (kapitalisme) yang akan selalu bersaha untuk memantapkan hegemoninya. Arus globalisasi akan masuk kedalam sistem pendidikan kita. Dalam konteks sekarang perlu pula diperhatikan masalah 'globalisasi.' Di satu sisi, globalisasi memiliki sisi positif memberi keuntungan pada pengusaha dan pedagang karena memberi mereka kesempatan memasuki pasar dunia. Dan juga, globalisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang akan memberikan tantangan untuk berkompetisi antara sesama pengusaha. Pada level internasional, kepala-kepala negara mengadakan pertemuan seperti APEC meeting (Asia-Pacific Economic Cooperation), dalam kenyataannya mereka menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembukaan pasar di setiap negara untuk barang-dagangan internasional, perdagangan dan investasi. Kerjasama regional kita dapati seperti AFTA (Asia Free-Trade Area untuk Asia Tenggara), NAFTA (North-America Free Trade Area untuk region Atlantik Utara). Sementara itu, sejak 1970an ada lingkaran pertemuan yang penting disebut GATT (General Agreements on Tariffs and Trade), suatu forum yang pada Januari 1995 berubah menjadi organisasi bernama WTO (World Trade Organization).

APEC, AFTA, NAFTA, dan WTO kenyataannya hanya urusan bisnis. Penggunaan otoritas pemerintah lokal hanya untuk memudahkan perdagangan semata. Misalnya, forum seperti APEC adalah satu forum konsultatif di tingkat regional yang mempromosikan "perdagangan lebih terbuka, kerjasama ekonomi lebih luas, ekspansi investasi dan stistem perdagangan multilateral yang lebih kuat." Atau, seperti ‘Declaration of Common Resolve’ (November 1994) dinyatakan: "melanjutkan pengurangan jurang-jurang perdagangan dan investasi memudahkan barang, jasa dan kapital untuk terbang bebas di dalam perekonomian kita."

Pada setiap pertemuan, setiap lembaga yang terlibat dipaksa untuk menerima sejumlah persetujuan yang berhubungan dengan investasi dan perdagangan internasional, khususnya demi kepentingan pengusaha. Mereka juga membicarakan soal buruh namun tidak dalam upaya melindungi kepentingan buruh. Dalam APEC Ministerial Meeting Statement dinyatakan bahwa: "APEC akan menjadi bursa tenaga kerja lebih besar membentang melampaui batas perekonomian [negara] anggotanya. Di situ kita mempersiapkan secara sederajat memfasilitasi gerak ketrampilan (skills) dan tenga kerja menyeberangi batas-batas nasional."

Masalah-masalah tenaga kerja sekilas sepertinya menjadi perhatian internasional hanya dalam batas-batas untuk menekan negara-negara Dunia Ketiga agar bersedia mengikuti skenario yang telah dipersiapkan. Tekanan seperti ini bisa dilihat, misalnya, terjadi di awal 1990an ketika pemerintah AS mengancam Indonesia menghentikan fasilitas GSP (General System of Preference), bila pemerintah Indonesia masih tidak memberi penghargaan terhadap hak berserikat buruh. "Keinginan baik" seperti ini hanya muncul bila ada masalah dalam perdagangan dan investasi.

Melambungnya harga adalah konsekuensi dari realisasi penghapusan subsidi seperti dirumuskan dalam Letter of Intent (LoI) antara International Monetary Fund (IMF) dan pemerintah Indonesia. LoI memasukkan SAP. IMF mengajukan sejumlah kondisi untuk pinjaman, termasuk kenaikan harga, penghapusan subsidi, dan penundaan proyek-proyek pembangunan pemerintah yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Hal tersebut menempatkan IMF untuk membukakan jalan bagi pembukaan ekonomi sepenuhnya di bawah kontrol multinasional, jadi mereka menuntut penghapusan/pengakhiran subsidi dan berbagai pembelanjaan sosial. Singkatnya, IMF berupaya meruntuhkan stabilitas sosial dan politik. IMF menyarankan: pemerintah Indonesia harus meningkatkan pendapatannya dari pajak.

Dengan kondisi seperti ini, dengan segala keterbatasan yang dimiliki, kita dipaksa untuk mengikuti arus pasar tanpa batas, yang kemudian membeli semua sarana dan prasarana pendidikan yang kita miliki. Ujung-ujungnya kemudian semua fasilitas tersebut harus kita bayar dengan sangat mahal untuk dapat menikmati fasilitas-fasilitas pendidikan tersebut.

Di Indonesia, mahasiswa negeri angkatan 1999 dan 2000 kini membayar uang mendekati 1 juta rupiah sebagai SPP. Sampai saat ini memang masih belum jelas untuk tingkat pendidikan di bawahnya, tetapi memang telah terlihat akibat-akibat kenaikan SPP ini, 3 juta anak usia SMTP tidak sekolah. Sementara itu, pemerintah tetap mendorong kebijakan otonomi pendidikan kepada pemda-pemda dan otonomi kampus. Untuk otonomi kampus saja, direncanakan subsidi untuk pendidikan tinggi akan terus-menerus dikurangi sampai nol dalam jangka beberapa tahun. Menjadi persoalan pelik jika di saat krisis saat ini sektor pendidikan tidak menjadi bagian perhatian pemerintah. Apabila terus-menerus seperti ini, maka bukan tidak mungkin pendidikan kembali hanya menjadi monopoli orang-orang yang memiliki modal yang hanya memberikan pendidikan kepada orang lain untuk memperlancar ekonominya.Bandingkan dengan kebijakan pemerintah terhadap sektor negara lainnya, seperti subsidi untuk militer yang nilainya jauh lebih besar dari pada subsisdi untuk pendidikan. 

Untuk meningkatkan kekuatan produksi maka biaya pendidikan harus gratis. Kalau biaya pendidikan murah subtansinya itu seperti apa? Murah itu abstrak, yang menjadi pertanyaan itu murah bagi siapa? Subtansi pendidikan gratis dalam satu gerakan perubahan adalah transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan kekuatan produksi. Arah tuntutan pendidikan gratis itu kepada keluarga buruh, tani, kaum miskin kota, yang sangat minim mendapatkan kesempatan pendidikan.

Selain harus gratis, untuk memajukan kekuatan produksi kurikulum pendidikan juga harus ilmiah. Selama masa orde baru kita ketahui dan rasakan bahwa kurikulum pendidikan yang diberikan tidak ilmiah. Karena rezim orde baru memiliki kepentingan akan keberlangsungan sistem kapitalisme yang dijalankannya. kebutuhan kapitalisme saat ini akan tenaga kerja yang terlatih dalam jumlah besar merangsang ekspansi universitas yang cepat dan menghasilkan "proletarisasi" tenaga intelektual, yang tunduk kepada tuntutan-tuntutan kapitalis dan tidak berhubungan dengan bakat perorangan atau kebutuhan manusia. mahasiswa memiliki kewajiban menerjemahkan pengetahuan teoretis, yang mereka peroleh di universitas, ke dalam kritik-kritik yang radikal terhadap keadaan masyarakat sekarang dan tentunya relevan dengan mayoritas penduduk. Sehingga kurikulum pendidikan yang diterapkan pun berkiblat pada akan kebutuhan kapitalisme untuk melanggengkan penindasannya.

Untuk itu kurikulum pendidikan harus ilmiah agar mahasiswa dapat menterjemahkan pengetahuan teoritis yang didapatkan dan menemukan formula-formula baru untuk kebutuhan masyarakat luas. Hanya dengan kurikulum yang ilmiahlah yang dapat menjawab akan tuntutan kemajuan jaman.

Sekali lagi, selain gratis dan ilmiah tentunya pendidikan juga harus demokratis. Demokratis disini yang harus diterapkan adalah sistem pendidikannya. Mahasiswa setidaknya berhak untuk ikut menentukan kehidupan mereka sendiri selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas. Sebab mahasiswa adalah elemen penting dalam menjalankan sistem pendidikan itu sendiri. Selama rezim orde baru bahkan sampai saat ini kita merasakan sistem pendidikan yang sangat tidak demokratis.

Dalam konsep pendidikan saat ini memang negara tidak terlalu dominan dibanding masa Orde Baru. Namun yang menarik, pelibatan semua unsur-unsur masyarakat di dalam Lembaga Pertimbangan Pendidikan dan Kebudayaan (LPPK) untuk SD-SMTA di pemda-pemda setempat, dan Majelis Wali Amanat (MWA) untuk perguruan tinggi negeri. Kenapa menarik? Karena di dalam setiap lembaga tersebut, unsur usahawan selalu dimasukkan sebagai daftar pertama sebagai anggotanya. Jelas, masuknya usahawan ke dalam manajemen pendidikan tidak bisa ditolak jika yang bersangkutan benar-benar ingin membantu dunia pendidikan tanpa imbalan apapun. Namun kenyataannya, ini sering kali membuat institusi-institusi pendidikan memasukkan hitungan untung rugi finansial dalam memberikan pendidikan kepada peserta didiknya. Hal ini jelas memberikan dorongan bari para birokrasi seperti birokrat kampus sampai birokrat Depdiknas menerapkan sistem pendidikan yang sangat tidak demokratis. Pola-pola militerisme terkadang sering digunakan untuk melanggengkan penghisapan guna mengabdi pada satu sistem kapitalisme. 

Untuk itu semua mau tidak mau mahasiswa harus bangkit melawan untuk menciptakan kehidupan kampus yang demokratis. Ini juga dapat mendorong kearah pembangunan sistem pendidikan yang demokratis pula. Tidak menghamba pada suatu modal, dan lebih berorientasi demi kemajuan dan pembangunan bagi masyarakat luas. Hanya dengan kekuatan organisasi sentral mahasiswa, seperti Dewan Mahasiswa yang bersifat demokratis dapat mewujudkan semua cita-cita menuju tatanan masyarakat yang demokratis.

Pendidikan adalah satu-satunya pilihan terbaik untuk menemukan masalah mendasar yang dihadapi rakyat. Melalui pendidikan kita dapat memikirkan kembali makna hubungan-hubungan antara klas-klas sosial, organisasi-organisasi dan partai-partai politik, serikat-serikat, dsb. Krisis kapitalisme telah membuat negeri kita bangkrut; meskipun negeri kita kaya berbagai sumber daya alam

Arsip File dokmentasi 2002
Penulis
Ben Bella
Ketua Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND)
Eksekutif Wilayah VII Sulawesi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar