Dalam suasana krisis, dimana lebih dari 100 juta orang miskin, 13.5 juta kena PHK, harga-harga membumbung, dan lain-lain (Republika, 13 April 1998), bisa difahami kalau mahasiswa berdemonstrasi (unjuk rasa). Namun demikian sebagai mahasiswa Muslim, mereka tetap harus berpegang teguh kepada Mabda Islam, yakni aqidah dan peraturan Islam. Dalam hal ini patut disorot tuntutan pengurus KAMMI, yakni reformasi yang mengarah kepada negara modern yang demokrasi! Sebab demokrasi sendiri bertentangan dengan Islam. Sehingga tidak layak seorang Muslim, apalagi aktivis yang mengatakan didukung mahasiswa Muslim dari 70 kampus, menuntut kepada sesuatu yang bertentangan dengan Islam!.
Memang selama ini banyak terjadi penyesatan ideologi dan politik yang dilakukan negara-negara adidaya Barat ke dunia Islam. Mereka melihat semangat kebangkitan Islam yang menggelora di kalangan generasi muda kaum Muslimin. Semangat untuk hidup secara Islam pun telah begitu meluas di seluruh negeri-negeri Islam di berbagai lapisan masyarakat. Sayang semangat itu masih belum diimbangi dengan penguasaan terhadap hukum-hukum Islam (fiqh) dalam berbagai aspek kehidupan. Dari sinilah Barat dan agen-agen mereka di dunia Islam memasarkan ideologi dan sistem peraturan hidup mereka ke dunia Islam dengan terminologi Islam. Mereka memasarkan demokrasi ke dunia Islam dengan nama syuro atau musyawarah. Bahkan mereka gunakan ayat Al Qur’an untuk mendukung penyesatan itu, seperti firman Allah yang artinya:
“Sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” (QS. As Syuura: 38)
“Dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu” (QS. Ali Imran: 159)
Padahal syura jelas berbeda dengan demokrasi. Secara singkat, demokrasi’ adalah berkumpulnya manusia/suara untuk membuat hukum/undang-undang (tasyrii’ul ahkam). Sedangkan syura adalah berkumpulnya manusia/suara untuk melaksanakan hukum Allah SWT., satu-satunya dzat yang berwenang membuat hukum bagi manusia (tathbiiqu ahkaamis syar’i). Jadi, orang yang mengatakan demokrasi sama dengan syura pada hakekatnya dia tidak memahami apa itu syura dan tidak memahami pula apa itu demokrasi.
Abdul Qadim Zallum (Ad Dimuqrathiyyah Nizhamul Kufri alladzi Yahrumu Akhdzuha, hal 42) menjelaskan kontradiksi demokrasi dengan Islam sebagai berikut: Pertama, Demokrasi dari manusia. Penentu pembuatan dan perkara yang dianggap terpuji ataupun tercela adalah akal. Sedangkan Islam berasal dari Allah yang telah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad Saw.(QS. An Najm 3; Al Qodr : 1). Penentu hukum terhadap perbuatan dan perkara adalah Allah atau syara’, bukan akal. Fungsi akal terbatas hanya memahami nash-nash syara’ (QS. Yusuf 4; QS. An-Nisa’54; QS. Asy-Syura 10).
Kedua, Demokrasi dibangun atas aqidah jalan tengah untuk menyelesaikan pertarungan yang hebat antara yang memperalat gereja untuk menindas rakyat atas nama agama dengan para filosof dan cendekiawan yang tak mau mengakui agama dan kekuasaan para pemukanya. Memang aqidah tersebut tak mengingkari agama, tapi menyingkirkan peranan agama dalam kehidupan masyarakat dan negara. Artinya, menjadikan manusia sendiri yang menetapkan peraturan hidupnya. Aqidah inilah yang dijadikan landasan berfikir orang Barat. Hal ini berbeda sekali dengan Islam yang membangun sisten atas dasar aqidah Islamiyah yang mewajibkan seluruh urursan hidup manusia diatur oleh perintah dan larangan Allah. Artinya, oleh hukum-hukum syara’ yang bersumber dari aqidah Islamiyah. Manusia tidak berwenang menentukan peraturan hidup manusia. Manusia hanya melaksanakan peraturan Allah yang Maha Tahu tentang apa yang baik dan buruk bagi makhluk-Nya yang bernama manusia ini.
Ketiga, Demokrasi dibangun atas dasar kedaulatan rakyat dari rakyat sebagai sumber kekuasaaan dalam sistem demokrasi. Rakyat memiliki kehendak sendiri. Rakyat berhak menetapkan suatu Undang Undang atau peraturan dan membatalkannya. Rakyat berhak mengubah sistem pemerintahan kerajaan ke sistem republik dan sebaliknya. Rakyat juga berhak mengubahsistem ekonomi kapitalis ke sosialis dan sebaliknya. Melalui parlemen, rakyat telah mensyariatkan kebolehan orang untuk murtad dari satu agama ke agama lainnya atau menjadi atheis. Sebagaimana rakyat telah menetapkan kebolehan zina dan liwath (homoseks/lesbian). Dalam sistem Islam, kedaulatan di tangan syara’, bukan di tangan rakyat atau umat. Allah SWT. saja yang menetapkan peraturan hidup manusia. Umat tak berhak. Walaupun menetapkan satu hukum pun. Kalaulah seluruh umat bersepakat (ijmak) membolehkan riba untuk meningkatkan kondisi perekonomian, melokalisir perzinaan biar tidak menyebar, membatalkan kewajiban puasa Ramadhan untuk meningkatkan produktifitas, mengadopsi kebebasan sehingga seorang muslim dibebaskan untuk memeluk aqidah sekehendak hatinya, maka ijmak itu semua tak ada nilainya dalam pandangan Islam. Kaum muslim tak diperkenankan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Islam sebagaimana mereka tak diperbolehkan menetapkan peraturan yang bertentangan dengan Islam walau satu hukum pun. (QS. An-Nisa 60, 65; Yusuf 40; Al Maidah 50; An-Nur 63). Rasulullah bersabda:
“Siapa saja yang mengerjakan perbuatan yang tak kami (Islam) perintahkan itu tertolak”
Keempat, dalam sistem demokrasi prinsip mayoritas menjadi ciri pengambilan keputusan. Berbeda sekali dengan sistem Islam. Persoalan-persoalan penerapan hukun syari’at tidak mengacu pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan hanya mengacu pada nash-nash syara’ karena musyarri’ (pembuat syari’at) hanyalah Allah, bukan umat. Khalifah mengambil hukum-hukum syara’ dengan ijtihad yang sahih —bukan pendapat mayoritas— dari nash-nash Kitabullah dan Sunnah Nabi untuk ditetapkan sebagai undang-undang dalam mengatur kehidupan umat. Khalifah tidak wajib merujuk pada majelis umat (semacam MPR). Hukumnya hanya boleh. Kalau Khalifah merujuk pada majelis umat, ia tak wajib mengikuti pendapat mereka walau itu pendapat mayoritas meraka. Kelima, liberalisme sangat menonjol dalam demokrasi. Bahkan kebebasan pribadi begitu disakralkan hingga tidak boleh dihalang-halangi oleh negara atau individu lain. Kebebasan yang menghancurkan moralitas dan sendi-sendi sosial masyarakat Barat itu berbeda sekali dengan Islam yang mengajarkan bahwa setiap pikiran dan tindakan seorang muslim terikat dengan hukum syara’ dan akan dipertanggungjawabkan di dunia maupun di akhirat. Tak terbayangkan dalam masyarakat yang berpegang teguh kepada Islam terdapat kasus seperti yang baru-baru ini terjadi di AS, yakni dua anak remaja berusia 11 tahun dan 13 tahun membantai empat anak gadis remaja seusia mereka yang menolak cintanya dengan berondongan senjata api (Gatra, 11 April 1998)
Kelima poin di atas begitu jelas dan gamblang sehingga tidak ada orang muslim yang masih memiliki jiwa bersih dan pikiran yang jernih yang berani mengatakan bahwa Islam sama dengan demokrasi, apalagi mencita-citakan negara yang demokrasi serta memperjuangkan demokratisasi di negara-negara kaum muslimin.
Memang selama ini banyak terjadi penyesatan ideologi dan politik yang dilakukan negara-negara adidaya Barat ke dunia Islam. Mereka melihat semangat kebangkitan Islam yang menggelora di kalangan generasi muda kaum Muslimin. Semangat untuk hidup secara Islam pun telah begitu meluas di seluruh negeri-negeri Islam di berbagai lapisan masyarakat. Sayang semangat itu masih belum diimbangi dengan penguasaan terhadap hukum-hukum Islam (fiqh) dalam berbagai aspek kehidupan. Dari sinilah Barat dan agen-agen mereka di dunia Islam memasarkan ideologi dan sistem peraturan hidup mereka ke dunia Islam dengan terminologi Islam. Mereka memasarkan demokrasi ke dunia Islam dengan nama syuro atau musyawarah. Bahkan mereka gunakan ayat Al Qur’an untuk mendukung penyesatan itu, seperti firman Allah yang artinya:
“Sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” (QS. As Syuura: 38)
“Dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan itu” (QS. Ali Imran: 159)
Padahal syura jelas berbeda dengan demokrasi. Secara singkat, demokrasi’ adalah berkumpulnya manusia/suara untuk membuat hukum/undang-undang (tasyrii’ul ahkam). Sedangkan syura adalah berkumpulnya manusia/suara untuk melaksanakan hukum Allah SWT., satu-satunya dzat yang berwenang membuat hukum bagi manusia (tathbiiqu ahkaamis syar’i). Jadi, orang yang mengatakan demokrasi sama dengan syura pada hakekatnya dia tidak memahami apa itu syura dan tidak memahami pula apa itu demokrasi.
Abdul Qadim Zallum (Ad Dimuqrathiyyah Nizhamul Kufri alladzi Yahrumu Akhdzuha, hal 42) menjelaskan kontradiksi demokrasi dengan Islam sebagai berikut: Pertama, Demokrasi dari manusia. Penentu pembuatan dan perkara yang dianggap terpuji ataupun tercela adalah akal. Sedangkan Islam berasal dari Allah yang telah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad Saw.(QS. An Najm 3; Al Qodr : 1). Penentu hukum terhadap perbuatan dan perkara adalah Allah atau syara’, bukan akal. Fungsi akal terbatas hanya memahami nash-nash syara’ (QS. Yusuf 4; QS. An-Nisa’54; QS. Asy-Syura 10).
Kedua, Demokrasi dibangun atas aqidah jalan tengah untuk menyelesaikan pertarungan yang hebat antara yang memperalat gereja untuk menindas rakyat atas nama agama dengan para filosof dan cendekiawan yang tak mau mengakui agama dan kekuasaan para pemukanya. Memang aqidah tersebut tak mengingkari agama, tapi menyingkirkan peranan agama dalam kehidupan masyarakat dan negara. Artinya, menjadikan manusia sendiri yang menetapkan peraturan hidupnya. Aqidah inilah yang dijadikan landasan berfikir orang Barat. Hal ini berbeda sekali dengan Islam yang membangun sisten atas dasar aqidah Islamiyah yang mewajibkan seluruh urursan hidup manusia diatur oleh perintah dan larangan Allah. Artinya, oleh hukum-hukum syara’ yang bersumber dari aqidah Islamiyah. Manusia tidak berwenang menentukan peraturan hidup manusia. Manusia hanya melaksanakan peraturan Allah yang Maha Tahu tentang apa yang baik dan buruk bagi makhluk-Nya yang bernama manusia ini.
Ketiga, Demokrasi dibangun atas dasar kedaulatan rakyat dari rakyat sebagai sumber kekuasaaan dalam sistem demokrasi. Rakyat memiliki kehendak sendiri. Rakyat berhak menetapkan suatu Undang Undang atau peraturan dan membatalkannya. Rakyat berhak mengubah sistem pemerintahan kerajaan ke sistem republik dan sebaliknya. Rakyat juga berhak mengubahsistem ekonomi kapitalis ke sosialis dan sebaliknya. Melalui parlemen, rakyat telah mensyariatkan kebolehan orang untuk murtad dari satu agama ke agama lainnya atau menjadi atheis. Sebagaimana rakyat telah menetapkan kebolehan zina dan liwath (homoseks/lesbian). Dalam sistem Islam, kedaulatan di tangan syara’, bukan di tangan rakyat atau umat. Allah SWT. saja yang menetapkan peraturan hidup manusia. Umat tak berhak. Walaupun menetapkan satu hukum pun. Kalaulah seluruh umat bersepakat (ijmak) membolehkan riba untuk meningkatkan kondisi perekonomian, melokalisir perzinaan biar tidak menyebar, membatalkan kewajiban puasa Ramadhan untuk meningkatkan produktifitas, mengadopsi kebebasan sehingga seorang muslim dibebaskan untuk memeluk aqidah sekehendak hatinya, maka ijmak itu semua tak ada nilainya dalam pandangan Islam. Kaum muslim tak diperkenankan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Islam sebagaimana mereka tak diperbolehkan menetapkan peraturan yang bertentangan dengan Islam walau satu hukum pun. (QS. An-Nisa 60, 65; Yusuf 40; Al Maidah 50; An-Nur 63). Rasulullah bersabda:
“Siapa saja yang mengerjakan perbuatan yang tak kami (Islam) perintahkan itu tertolak”
Keempat, dalam sistem demokrasi prinsip mayoritas menjadi ciri pengambilan keputusan. Berbeda sekali dengan sistem Islam. Persoalan-persoalan penerapan hukun syari’at tidak mengacu pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan hanya mengacu pada nash-nash syara’ karena musyarri’ (pembuat syari’at) hanyalah Allah, bukan umat. Khalifah mengambil hukum-hukum syara’ dengan ijtihad yang sahih —bukan pendapat mayoritas— dari nash-nash Kitabullah dan Sunnah Nabi untuk ditetapkan sebagai undang-undang dalam mengatur kehidupan umat. Khalifah tidak wajib merujuk pada majelis umat (semacam MPR). Hukumnya hanya boleh. Kalau Khalifah merujuk pada majelis umat, ia tak wajib mengikuti pendapat mereka walau itu pendapat mayoritas meraka. Kelima, liberalisme sangat menonjol dalam demokrasi. Bahkan kebebasan pribadi begitu disakralkan hingga tidak boleh dihalang-halangi oleh negara atau individu lain. Kebebasan yang menghancurkan moralitas dan sendi-sendi sosial masyarakat Barat itu berbeda sekali dengan Islam yang mengajarkan bahwa setiap pikiran dan tindakan seorang muslim terikat dengan hukum syara’ dan akan dipertanggungjawabkan di dunia maupun di akhirat. Tak terbayangkan dalam masyarakat yang berpegang teguh kepada Islam terdapat kasus seperti yang baru-baru ini terjadi di AS, yakni dua anak remaja berusia 11 tahun dan 13 tahun membantai empat anak gadis remaja seusia mereka yang menolak cintanya dengan berondongan senjata api (Gatra, 11 April 1998)
Kelima poin di atas begitu jelas dan gamblang sehingga tidak ada orang muslim yang masih memiliki jiwa bersih dan pikiran yang jernih yang berani mengatakan bahwa Islam sama dengan demokrasi, apalagi mencita-citakan negara yang demokrasi serta memperjuangkan demokratisasi di negara-negara kaum muslimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar