Jumat, 15 April 2016

GERAKAN MAHASISWA DAN PEMUDA INDONESIA (PART 2)

Dalam Pergulatan Menuntaskan Revolusi Demokratik yang “Terinterupsi” Sejak September 1997 krisis ekonomi global ikut menyapu Indonesia, nilai rupiah melemah terhadap dolar AS, harga-harga barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik, banyak perusahaan yang gulung tikar akibatnya banyak buruh yang ter-PHK. Dampak ini secara langsung juga menimpa mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan, harga makanan melonjak, kertas naik, belum lagi orang tuanya yang di PHK atau perusahaan mereka yang bangkrut. Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutan-tuntutan ekonomis, seperti turunkan harga. Akan tetapi kelompok mahasiswa radikal yang masih minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi kepemimpinan nasional, pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin memuncak, usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran “ekonomis” menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa yang semakin membesar mulai meneriakkan tuntutan politik, meminta Soeharto turun. Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Tuntutan yang selama ini “diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan Aspinal tentang tuntutan mahasiswa yang semakin politis: Tipe demonstrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang, menuntut dihapuskannya korupsi, kolusi dan nepostisme, dan menuntut reformasi. Dari awal kebanyakan protes secara ekplisit menuntut Soeharto turun dari jabatan sebagai presiden ( sebuah ekpresi dari sentimen ini dapat dilihat pembakaran gambar Soeharto pada sebuah aksi di Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11 Maret).
Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan mahasiswa naik secara dratis, dengan tuntutan yang sudah politis. Di kampus UI, Depok, dari tanggal 19-26 Maret terjadi aksi besar yang hampir menyamai aksi di tahun 1966 4. Pada hari terakhir Sidang Umum MPR 1998, di Yogyakarta, sebuah patung raksasa berwajah Soeharto dibakar oleh para demonstran, sekitar 50 ribu mahasiswa memenuhi Balairung UGM dalam aksi tersebut. Pada hari yang sama juga terjadi aksi-aksi di Solo, Surabaya, Malang, Manado, Ujung Pandang, Denpasar, Padang, Purwokerto, Kudus 5. Dalam perkembangannya aksi-aksi mahasiswa semakin radikal. Diberbagai wilayah terjadi bentrokan antara demostran dengan militer. Di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan di kampus Universitas Lampung, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrokan antara mahasiswa-- yang ingin melanjutkan rally keluar kampus-- dengan militer. Sementara di Yogyakarta, tanggal 2 - 3 April bentrokan terjadi di Boulevard UGM dan bentrokan berulang pada tanggal 13 April ketika demonstran dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer sampai ke dalam kampus. Hampir 8 jam kampus UGM dikusai oleh militer. Di Medan juga terjadi bentrokan serupa, dalam aksi tanggal 24 April demosntran melempari militer dengan molotov, akibatnya kampus Universitas Sumatera Utara (USU) diliburkan beberapa hari. Pada bulan Mei aksi-aksi mahsiswa semakin bertambah banyak, kampus-kampus yang selama ini apolitis ikut terlibat dalam aksi-aksi. Peristiwa paling tragis terjadi tanggal 12 Mei ketika terjadi aksi di Universitas Trisakti, Jakarta, 6 mahasiswa gugur diterjang peluru militer. Peristiwa ini kemudian menyulut perlawanan dari sektor rakyat lain, tanggal 13-14 Mei Jakarta lumpuh total dengan adanya kerusuhan masal. Sementara pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei, terjadi bentrokan di Jakarta, Medan, Yogyakarta, Jember, Malang dan beberapa kota lain6. Antara tanggal 1 Maret sampai 2 Mei tercatat 14 bentrokan antara mahasiswa dan militer yang terjadi di Jawa, Sumatera, Bali dan Lombok 7. Ketika hari-hari terakhir Soeharto akan “lengser”, gedung DPR/MPR dikuasai mahasiswa, ratusan ribu mahasiswa menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di Yogyakarta, sehari sebelum Soeharto turun, sekitar satu juta rakyat – yang dipelopori mahasiswa Yogyakarta -- memenuhi alun-alun Utara, menuntut Soeharto mundur. Masa-masa ini merupakan masa-masa yang revolusioner bagi gerakan mahasiswa. Aksi-aksi mahasiswa dibeberapa tempat bahkan sudah menguasai RRI seperti yang terjadi di Surabaya, Semarang, Padang. 

Sementara di Medan, mahasiswa menguasai bandar udara. Dapat dikatakan aktivitas penerbangan, terutama penerbangan internasional, lumpuh total. Dalam kurun waktu ini juga bermunculan beratus-ratus komite mahasiswa, besar maupun kecil. Namun sayangnya gerakan yang sudah membesar ini hanya mampu menghasilkan pengalihan jabatan presiden dari Soeharto ke Habibie. Kelemahan-kelemahan apa yang menyebabkan gerakan mahasiswa gagal melakukan perubahan total, nanti akan kita bahas lebih lanjut. Kita lanjutkan proses sejarah gerakan mahasiswa '98. Setelah berhasil “melengserkan” Soeharto, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan mahasiswa menurun, hampir 6 bulan gerakan seperti tenggelam tertelan tanah. Gerakan kembali bangkit mendekati Sidang Istimewa MPR, pertengahan Nopember. Pada tanggal 13-14 Nopember 1998 aksi besar-besaran terjadi di Jakarta. Sekitar satu juta mahasiswa dan rakyat berkumpul didepan kampus Universitas Atmajaya, Jakarta. Mereka akan melakukan rally ke gedung DPR/MPR. 

Kemudian meletuslah insiden Semanggi, ketika mahasiswa yang akan meninggalkan Universitas Atma Jaya ditembaki oleh militer, korban kembali berjatuhan. Gerakan kali ini disokong penuh oleh rakyat – disamping rakyat terlibat aktif dalam aksi-aksi, ikut membuat barikade, mengejar pamswakarsa, juga memberikan bantuan logistik --, kerusuhan seperti Mei tidak terjadi karena mahasiswa berhasil memimpin. Gerakan tidak hanya terjadi di Jakarta, dibeberapa daerah seperti Yogyakarta, markas militer seperti Korem sempat dikuasai mahasiswa selama beberapa jam, sementara di tempat lain mahasiswa berhasil memaksa RRI menyiarkan tuntutan-tuntutan mereka. Represi memang hanya terjadi di Jakarta, sedangkan gerakan di daerah tidak mengalami represi, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan di daerah juga tidak membesar seperti di bulan Mei '98. Kembali tuntutan mahasiswa seperti cabut Dwi Fungsi ABRI, Tolak SI dan pemerintahan transisi belum berhasil digolkan. Sejak Nopember 1998 sampai Juli 1999 praktis gerakan mahasiswa mati, bahkan momentum pemilu dilewatkan dengan “manis”. Memasuki akhir Juli, tepatnya ketika peringatan 27 Juli, gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Solo, Yogyakarta, Bandung, Tasik, Purwokerto juga melakukan aksi, dan di beberapa daerah bisa membangun front yang luas. Aksi besar kembali muncul ketika peringatan 17 Agustus. Aksi-aksi kembali terjadi diberbagai kota. Aksi ini semakin membesar ketika militer kembali ingin menancapkan kekuasaannya dengan mengajukan RUU PKB. RUU yang jelas antidemokratis ini disambut dengan aksi-aksi penolakan yang hebat. Aksi-aksi ini dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa dan LSM-LSM, tapi juga rakyat . 

Terbukti aksi tanggal 23 September berhasil menggerakkan kaum miskin kota untuk melawan militerisme dengan melakukan aksi penyerangan terhadap tentara yang sedang menghadang aksi mahasiswa. Mereka melempari tentara dengan molotov dan membuat barikade-barikade. Mahasiswa , disisi lain, hanya dapat bertahan di kampus Atma Jaya dan tidak dapat memimpin massa. Sementara aksi penolakan terhadap RUU PKB tidak hanya berlangsung di Jakarta, takpi juga di daerah-daerah. Bahkan di Palembang dan Lampung, aksi ini meminta korban nyawa 3 mahasiswa. Aksi anti militerisme ini diikuti aksi-aksi yang lebih hebat seiring diadakannya Sidang Umum MPR pada bulan Oktober ini. Aksi-aksi mahasiswa dan rakyat membawa isu penolakan pertanggungjawaban Habibie dan pencabutan Dwi Fungsi TNI. Kembali terjadi bentrokan dengan militer pada hari Jumat, 15 Oktober. Ada pelajaran yang dapat diambil dari gerakan mahasiswa 1998 sehingga gagal menuntaskan revolusi demokratik. Pertama, lemah dalam ideologi. Dari basis historis, gerakan mahasiswa '98 muncul karena adanya krisis ekonomi. Mahasiswa bergerak karena harga kebutuhan pokok naik, kost-kostsan menjadi mahal, orang tua mereka terkena PHK. Keadaan ini secara langsung berdampak bagi mahasiswa. Maka tidak heran kalau sebagian besar mahasiswa “baik-baik”, mahasiswa generasi “dingdong” ini ikut turun kejalan. Kesadaran “ekonomis” ini kemudian berhasil dibawa ke kesadaran politik. Injeksi kesadaran ini dilakukan oleh beberapa kelompok radikal – kelompok ini sejak tragedi 27 Juli 1996 tetap melakukan perlawanan dan mengangkat isyu-isyu politik – tapi injeksi inipun tidak tuntas. Karena tidak didukung oleh kesadaran ideologis. Ketika “trend” gerakan menurun maka aktivitas gerakanpun juga menurun. 

Hal ini terjadi seiring dengan menurunnya kuantitas mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi . Ini berbeda dengan gerakan '90-an, dimana gerakan berawal dari kelompok-kelompok diskusi. Dari diskusi-diskusi yang mereka lakukan, mahasiswa menjadi sadar tentang apa yang harus dilakukan, bahwa sistem korup inilah yang menyebabkan negara berada dalam puncak krisis. Karena didukung kesadaran ideologis maka kontinuitas gerakan lebih bisa terjaga. Disamping itu perdebatan-perdebatan teoritikpun terjadi secara dinamis, sehingga selalu timbul perspektif-perspektif dan inisiatif-inisiatif baru. Kedua, akibat kelemahan ideologi-teori juga berakibat kelemahan strategi taktik. Gerakan menjadi kaku dalam menghadapi gerak sejarah, tidak luwes dalam menghadapi perubahan situasi nasional. Akibatnya banyak momentum-momentum yang seharusnya dimanfaatkan dilewatkan begitu saja. Momentum pemilu yang seharusnya merupakan kesempatan “berbicara kepada rakyat”, kesempatan untuk menyadarkan rakyat yang terilusi, terlewat begitu saja.. 

Akibat kekakuan dalam menerapkan stratag dan “ketidakcerdasan” dalam memanfaatkan setiap celah yang ada, lama kelaman gerakan menjadi mati, aksi-aksi tidak ada lagi dengan begitu konsolidasi menjadi lemah. Ketiga, sektarianisme gerakan. Dapat kita lihat sendiri gerakan masih terpecah-pecah sampai saat ini. Walupun gerakan bisa membesar, hal ini lebih disebabkan oleh momentum dan isu yang sama. Ini akan jelas apabila kita melihat data aksi mahasiswa 28 Oktober 1998 berikut ini. Daerah Jumlah Tuntutan Jakarta 14.000 orang Tolak SI Cabut Dwi Fungsi ABRI Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi Adili Soeharto Bandung 3.500 orang Tolak SI Cabut Dwi Fungsi ABRI Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi Adili Soeharto Yogyakarta 1.300 orang Tolak SI Cabut Dwi Fungsi ABRI Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi Adili Soeharto Semarang 2.000 orang Cabut Dwi Fungsi ABRI Percepat Pemilu Adili Soeharto c.s Cabut Tap. Soeharto/Habibie sebagai presiden dan wapres Surabaya 1.100 orang Tolak SI Cabut Dwi Fungsi ABRI Pertagungjawaban Soeharto Bandar Lampung 300 orang Tolak SI Cabut Dwi Fungsi ABRI Adili Soeharto c.s Palembang 700 orang SI untuk ganti Habibie dengan presidium pemerintahan transisi Percepat Pemilu Cabut Dwi Fungsi ABRI Adili Soeharto c.s Manado 500 orang Cabut Dwi Fungsi ABRI Adili Soeharto c.s Sumber: Tempo, 9 Nopember 1998 Dari data diatas jelas adanya tuntutan yang sama – tolak SI, cabut Dwi Fungsi ABRI, adili Soeharto – dan adanya satu momentum – hari Sumpah Pemuda, 28 Okotober –yang menyebabkan gerakan membesar dan meluas. Bukan pula karena adanya front diantara organisasi gerakan mahasiswa. 

Gerakan mahasiswa tetaplah terpecah-pecah. Memang telah dilakukan usaha untuk membangun front, misalnya Rembuk Mahasiswa Nasional Indonesia (RMNI) di Bali dan Surabaya, tapi ini tidak lebih sebagai ajang romantisme dan saling mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling berjasa. Mungkin kelahiran Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMND) dapat menghilangkan watak sektarianisme dan bisa membangun front yang sesungguhnya. Sektarianisme juga menyebabkan gerakan menjadi elitis, tidak mau bergabung dengan sektor rakyat lainya. Akibatnya, pertama, rakyat yang berperan aktif dalam demonstrasi-demonstrasi tidak terpimpin, tidak heran kalau massa-rakyat melakukan pengrusakan toko-toko etnis minoritas, jalan tol dan fasilitas umum lainya. Kedua, kekuatan mahasiswa dan massa rakyat yang seharusnya bersatu menjadi terpecah belah. Banyak diantara organisasi mahasiswa yang masih termakan propaganda militer, apabila aksi mahasiswa bergabung dengan sektor rakyat lainnya akan menimbulkan kerusuhan. Kesalahan-kesalahan seperti ini tetap terulang dan terjadi juga pada gerakan-gerakan mahasiswa sebelumnya. Keempat, tidak adanya organ nasional. Apa yang ada saat ini, semisal FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia) atau LMND (Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi), hanyalah sebatas jaringan antar organ-organ mahasiswa di kota-kota atau sebatas front. Dapat dikatakan setelah SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) “dihancurkan” setelah peristiwa 27 Juli 1999, belum ada organ nasional yang terbentuk. Akibat tidak adanya organ nasional ini, berdampak pada tidak adanya kesatuan aksi diantara gerakan mahasiswa yang ada. Masing-masing gerakan berjalan sendiri-sendiri – baik tuntutan maupun strategi taktik. Tidak adanya kesatuan aksi, jelas sekali mengakibatkan gerakan menjadi terfragmentasi, tidak jelas apa yang sebenarnya akan dituju. 

Akibat selanjutnya, disamping gerakan menjadi lemah juga membingungkan massa rakyat sendiri. Kita ambil contoh sikap gerakan mahasiswa yang terpecah-pecah dalam menghadapi momentum pemilu 1999. Dalam menghadapi pemilu ini, gerakan mahasiswa terbagi menjadi dua kelompok yang kesemuanya mempunyai argumen masing-masing. Kelompok pertama menerima pemilu. Pemilu, menurut mereka, merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki situasi yang telah ada. Kelompok mahasiswa ini kemudian bergabung dengan pemantau pemilu yang menjamur menjelang Pemilu bulan Juni 1999, seperti Unfrel, Forum Rektor, KIPP. Kelompok kedua, tidak setuju dengan proses pemilu. Pemilu tidak akan menyelesaikan masalah dan pasti tidak berjalan dengan jurdil karena masih dilaksanakan oleh sisa-sisa rejim Orba. Maka pemilu harus ditolak. Kelompok ini kemudian terbelah menjadi dua, membiarkan momentum pemilu berjalan begitu saja, karena apabila terlibat dalam momentum pemilu dianggap ikut melegitimasi pelaksanaannya. Sementara kelompok lain yang tidak percaya pemilu, melakukan aksi-aksi massa untuk menolak pemilu yang diselenggarakan rejim Habibie. Rakyat sendiri menghendaki mahasiswa paling tidak menfokuskan tuntutannya. Berdasarkan “jajak pendapat” yang dilakukan majalah Tempo, 65% menghendaki hal itu dan 60% menghendaki mahasiswa berkoalisi dengan kelompok lain8. Kelima, lemah dalam basis massa. Seperti yang sudah dibahas diatas, sebagian besar mahasiswa yang bergabung dalam gerakan mahasiswa '98 adalah akibat “trend” yang ada. Tidak heran kalau massa yang ada bukanlah massa yang terorganisir melainkan massa yang termobilisasi. 

Hal ini berakibat melemahnya basis massa sejalan dengan dengan melemahnya trend gerakan. Sementara itu organ-organ mahasiswa yang ada tidak mengantisipasi hal ini, tidak cepat melakukan konsolidasi terhadap massa yang masih cair, dan tidak segara mengadakan pendidikan-pendidikan ideologi teori. Aktivitas aktivis mahasiswa hanya berkutat di sekitar aksi dan pergi ke kota satu ke kota lain dengan alasan konsolidasi. Sementara kampus yang “melahirkan” mereka dan disanalah sebetulnya basis mereka, ditinggal begitu saja. Akibatnya, gerakan menjadi tidak populis diantara mahasiswa sendiri. Tidak heran kalau sampai saat ini banyak sekali organisasi mahasiswa yang hanya papan nama belaka. Keenam, ini sebetulnya bukan kesalahan gerakan mahasiswa semata, tapi kesalahan kekuatan radikal secara umum, yaitu tidak adanya partai pelopor yang sanggup memimpin. Situasi periode Februari sampai Mei adalah situasi yang “revolusioner”, keadaan ini bisa berubah setiap detik – orang sebelumnya apolitik saat itu berbicara politik, ratusan komite-komite perlawanan terbangun. Tapi karena tidak ada satu kekuatanpun yang mampu memimpin, situasi ini dapat dikatakan tidak menghasilkan apa-apa. Pada saat-saat seperti ini dibutuhkan satu peranan dari partai pelopor untuk memimpin pengambilalihan kekuasaan. Ini sekali lagi hanya bisa dilakukan oleh partai pelopor, tidak oleh komite-komite aksi. Kita dapat melihat kelemahan ini dalam peristiwa Mei '68 di Prancis. 

Situasi Mei '98 di Indonesia mirip dengan situasi di Prancis pada bulan yang sama tahun 1968. Ketika itu di Prancis ratusan mahasiswa turun ke jalan-jalan dan gerakan ini kemudian mampu memobilisasi kelas pekerja untuk melakukan pemogokan, bahkan sekitar 15 pabrik sudah berhasil direbut. Puncak dari “revolusi” ini: kampus-kampus bisa dikuasai mahasiswa, sekitar 10 juta buruh melancarkan aksi pemogokan nasional 9. Presiden De Gaulle sudah melarikan diri ke Jerman Barat. Kesempatan ini ternyata disia-siakan oleh kekuatan radikal. Bedanya kalau di Indonesia belum ada partai pelopor – kalaupun ada belum bisa bergerak bebas -- akan tetapi di Prancis partai pelopor itu sudah ada, tapi mereka malah “bersembunyi” ketika situasi sedang revolusioner. Disamping kelemahan-kelemahan diatas, ada juga kelebihan-kelebihan gerakan mahasiswa '98 dibanding gerakan mahasiswa sebelumnya.

Pertama, sikap tegas terhadap militerisme. Sikap gerakan mahasiswa '98 terhadap militer tidak ada kompromi, sejak awal mahasiswa menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Sikap tegas ini membawa gerakan mengambil sikap tegas dan tidak melakukan kolaborasi dengan militer. Ini tentunya berbeda dengan gerakan mahasiswa sebelumnya. Gerakan mahasiswa '66 jelas melakukan kerjasama dengan militer, begitu juga gerakan mahasiswa '74. Gerakan mahasiswa '78 walaupun tidak melakukan kolaborasi dengan militer tapi mengambil sikap tidak tegas terhadap militerisme. Rupanya gerakan mahasiswa '98 telah belajar dari kesalahan para pendahulu mereka. Ini tidak lepas dari pengaruh gerakan anti militerisme yang sudah dilontarkan kelompok-kelompok radikal sejak '90-an.

Kedua, gerakan mahasiswa '98 – pada tahap awalnya -- bisa menyebar hampir ke seluruh kota-kota di Indonesia. Dapat dikatakan, gerakan '98 merupakan gerakan terbesar setelah gerakan mahasiswa '66. Adanya perlawanan yang meluas ini bisa membuat penguasa kalang kabut, daya resitensipun menjadi semakin kuat dan akhirnya tuntutan mereka untuk memaksa Soeharto lengserpun bisa berhasil. Ini merupakan pengalaman berharga untuk gerakan mahasiswa ke depan. Dua momentum gerakan mahasiswa membuktikan bahwa hanya dengan gerakan yang meluas, gerakan mahasiswa dapat berhasil memperjuangkan tuntutan-tuntutan – dua momentum itu adalah gerakan mahasiswa '66 yang berhasil memaksa Soekarno turun dan gerakan mahasiswa '98 yang mampu memaksa Soeharto “lengser”. Dan ini merupakan bukti bahwa tidak cukup gerakan membesar di Ibu Kota saja – pengalaman gerakan '74 – atau gerakan membesar di daerah – pengalaman gerakan '78 -- saja, gerakan harus membesar baik di Jakarta – sebagai pusat ekonomi politik – maupun di kota-kota lain sebagai daerah penyangga perlawanan. Adanya gerakan yang membesar disemua kota juga akan menaikkan moral perlawanan mahasiswa sendiri dan bisa memobilisasi rakyat dalam jumlah yang lebih besar. 

Referensi
1 Demi Demokrasi, Partai Rakyat Demokratik Menolak Takluk, PRD, 1999. 
2 Ibid 
3 The Indonesia Student Uprising of 1998, Edwad Aspinal 
4 Lihat tulisan Edwad Aspinal ,The Indonesia Student Uprising of 1998.
5 Ibid 6 Ibid 7 Ibid 
8 Lihat Tempo Edisi 22-28 Desember 1998 
9 Lihat tulisan Lain Gunn, Mei 68: Revolusi Prancis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar