Dunia saat ini seperti truk besar (Jaggernaut) yang lari dengan sangat kencang hingga tak satupun kekuatan yang mampu menahan gerak laju truk tersebut, sehingga manusia hanya bisa berharap truk tersebut tidak menabrak dirinya ( Anthnony Giddens).
Pada situasi dunia saat ini barangkali tak ada yang lebih ngetop daripada istilah Globalisasi. Hampir seluruh lini dalam kehidupan masyarakat tidak pernah absen menyinggung istilah tersebut terlepas dari multidimensi makna yang ada baik dalam obrolan ringan maupun dalam pidato pidato formal. Globalisasi hingga saat ini belum memiliki makna tunggal yang disepakati oleh para pakar untuk mendefinisikan istilah tersebut, tetapi paling tidak kita dapat mengenali prinsip penting yang terkandung di dalamnya. Globalisasi dapat kita artikan sebagai sebuah proses multidimensional dalam aspek sosial, ekonomi, politik, kultural yang bergerak secara ekstensif dan intensif di dalam kehidupan masyarakat dunia. Ekstensif berarti bahwa perubahan tersebut menjangkau wilayah geografis yang hampir tak terbatas, sedangkan intensif berarti perubahan juga mencakup dan terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari .
Seperti yang pernah disampaikan oleh Anthony Giddens mengenai globalisasi khususnya persoalan ruang dan waktu yang menjadi poin penting dalam menjelaskan fenomena tersebut yang semakin meng-global, bahwa ruang dan waktu saat ini telah mengalami perentangan tetapi sekaligus pemadatan antara keduanya. Kondisi ini dapat diamati dari berbagai kejadian keseharian manusia, sebagai contoh ringan bahwa ketika pada masa “tradisional” interaksi antarindividu mesti dilakukan dengan tatap muka dan berjabat tangan yang merupakan suatu budaya timur yang hampir hilang dari pengamatan kita saat ini, sebab proses saling sapa tidak lagi dilakukan secara konvensional karena cukup dengan menekan tombol maka sebuah dunia telah tersaji di hadapan kita. Kemajuan teknologi sebagai bagian dari konsekuensi modernitas telah menjungkirbalikkan kondisi alam. Saat ini ruang yang menjadi tempat terjadinya segala praktek keseharian, tidak lagi membutuhkan waktu sebagai bagian yang mengikutinya.
Sangat jelas bahwa proses pencabutan waktu dari ruang pada skala global adalah hukum dari fenomena globalisasi. Oleh karena itu dapat dengan mudah kita mengenali bahwa obrolan kita mengenai globalisasi tidak terlepas dari pencabutan waktu dari akses ruang, tak ada pencabutan waktu dari ruang maka tak ada globalisasi.
Budaya Global
Dari demikian luasnya kajian mengenai globalisasi kiranya persoalan budaya merupakan yang paling menarik untuk ditelaah dan dipahami, sebab budaya merupakan suatu aspek yang selalu melekat dalam setiap kehidupan manusia tanpa memisahkan antara yang tradisional dan modern. Budaya secara harfiah berasal dari dua kata yaitu budi (nalar) dan daya ( bentuk). Dengan singkat, konsepsi budaya menunjukkan hubungan antara “nalar” dan “bentuk” yang dihasilkan dari sebuah ekspresi. Konsep ini hampir sama dengan pengertian Culture dalam bahasa Inggris, walau memiliki arti lebih dari satu yang menunjukkan pada suatu proses praktek sosial yang menghasilkan makna, nilai, dan tata hidup masyarakat. Maka dari itu dapat kita tarik kesimpulan bahwa budaya tidak serta-merta suatu hasil kreasi yang bersifat artistik seperti seni patung, lukis, dan tari, tetapi praktek-praktek keseharian manusia yang berlangsung secara terus-menerus dan akhirnya menjadi mapan juga termasuk bagian dari budaya seperti kebiasaan mengkonsumsi sesuatu, tata cara berpakaian, dan model interaksi dalam suatu masyarakat. Globalisasi memang sangat identik dengan suatu usaha untuk membentuk suatu dunia yang tunggal berdasarkan standarisasi yang ditetapkan dan diterima walaupun tanpa kesepakatan.
Usaha untuk menjadikan kehidupan dalam satu dimensi memang bukan tanpa resiko, sebab, kehidupan manusia yang bersifat dinamis dan selalu berevolusi mengikuti lingkungan zaman dipaksa untuk mengikuti satu logika, yaitu menuju kehidupan di bawah satu payung tradisi.
Proses globalisasi budaya terjadi dengan melakukan ekspansi nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya dengan pembungkusan ekspansi yang cantik, sehingga nilai-nilai yang pada awalnya bertentangan lambat laun akan ditoleransi dan akhirnya diterima sebagai sebuah budaya baru yang lebih mencerahkan. Akibatnya, sistem nilai suatu masyarakat yang telah terbangun secara turun-temurun akan tergerus oleh budaya dan sistem nilai baru yang belum tentu mampu menghadirkan sebuah tata kehidupan yang lebih cocok dan baik bagi masyarakat tersebut.
Internalisasi sistem nilai di era globalisasi tidak terjadi secara paksa, di mana sistem nilai baru yang masuk ke dalam kebudayaan suatu masyarakat terjadi dengan sangat sopan, sehingga proses adopsi budaya terjadi secara perlahan tapi mematikan. Globalisasi menciptakan suatu kondisi di mana budaya baru yang di cap sebagai budaya modern dengan berbagai standar yang telah dikonstruksi dan dicitrakan memang sangat dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat, sehingga terdapat keinginan dari internal masyarakat untuk mengadopsi dan menerapkan nilai budaya tersebut dalam kehidupan publik mereka hingga kehidupan pribadi sekalipun. Pada kondisi ini masyarakat tidak akan pernah merasa bahwa sistem nilai yang sedang mereka tiru merupakan sebuah kontruksi dominasi suatu sistem terhadap sistem yang lainnya. Masyarakat akan menjadi bangga jika mampu untuk bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai budaya baru dan meninggalkan budaya lama karena dianggap tidak relevan dengan kondisi kemajuan zaman.
Benar dari apa yang pernah dikatakan oleh Marx bahwa ternyata aspek ekonomi seseorang mampu menentukan kesadaran sosial masyarakat seperti cara seseorang bersikap, berperilaku hingga keberagamaan suatu masyarakat. Singkatnya basic structure memegang kendali atas nasib super structure. Jika dahulu Marx sangat meyakini bahwa aspek ekonomi merupakan sisi paling fundamental dalam kehidupan masyarakat yang melahirkan kelas-kelas social, tetapi pada kondisi saat ini kelas-kelas sosial sangat sulit untuk dijadikan ukuran ketertindasan suatu masyarakat, sebab, situasi masyarakat setiap detiknya mengalami perkembangan yang semakin kabur. Siapa yang menindas dan yang tertindas sangat sulit untuk dipisahkan. Inilah suatu penindasan yang disebut oleh Antonio Gramsci dengan Hegemoni, yaitu di mana sebuah sistem melakukan pemaksaan terhadap yang lain melalui cara yang halus yaitu bagaimana kesadaran manusia dikuasi. Kondisi inilah yang tengah berkembang di masyarakat Indonesia khususnya. Atmosfer perubahan budaya secara global ternyata berdampak secara cukup mengejutkan bagi kelangsungan budaya lokal warisan nusantara. Indonesia yang meyakini budaya timur sebagai sebuah nilai yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan sepatutnya untuk waspada, sebab, praktek imitasi budaya yang dilakukan oleh anak bangsa Indonesia kini telah semakin mengkhawatirkan.
Oleh : Zain Maulana
Pada situasi dunia saat ini barangkali tak ada yang lebih ngetop daripada istilah Globalisasi. Hampir seluruh lini dalam kehidupan masyarakat tidak pernah absen menyinggung istilah tersebut terlepas dari multidimensi makna yang ada baik dalam obrolan ringan maupun dalam pidato pidato formal. Globalisasi hingga saat ini belum memiliki makna tunggal yang disepakati oleh para pakar untuk mendefinisikan istilah tersebut, tetapi paling tidak kita dapat mengenali prinsip penting yang terkandung di dalamnya. Globalisasi dapat kita artikan sebagai sebuah proses multidimensional dalam aspek sosial, ekonomi, politik, kultural yang bergerak secara ekstensif dan intensif di dalam kehidupan masyarakat dunia. Ekstensif berarti bahwa perubahan tersebut menjangkau wilayah geografis yang hampir tak terbatas, sedangkan intensif berarti perubahan juga mencakup dan terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari .
Seperti yang pernah disampaikan oleh Anthony Giddens mengenai globalisasi khususnya persoalan ruang dan waktu yang menjadi poin penting dalam menjelaskan fenomena tersebut yang semakin meng-global, bahwa ruang dan waktu saat ini telah mengalami perentangan tetapi sekaligus pemadatan antara keduanya. Kondisi ini dapat diamati dari berbagai kejadian keseharian manusia, sebagai contoh ringan bahwa ketika pada masa “tradisional” interaksi antarindividu mesti dilakukan dengan tatap muka dan berjabat tangan yang merupakan suatu budaya timur yang hampir hilang dari pengamatan kita saat ini, sebab proses saling sapa tidak lagi dilakukan secara konvensional karena cukup dengan menekan tombol maka sebuah dunia telah tersaji di hadapan kita. Kemajuan teknologi sebagai bagian dari konsekuensi modernitas telah menjungkirbalikkan kondisi alam. Saat ini ruang yang menjadi tempat terjadinya segala praktek keseharian, tidak lagi membutuhkan waktu sebagai bagian yang mengikutinya.
Sangat jelas bahwa proses pencabutan waktu dari ruang pada skala global adalah hukum dari fenomena globalisasi. Oleh karena itu dapat dengan mudah kita mengenali bahwa obrolan kita mengenai globalisasi tidak terlepas dari pencabutan waktu dari akses ruang, tak ada pencabutan waktu dari ruang maka tak ada globalisasi.
Budaya Global
Dari demikian luasnya kajian mengenai globalisasi kiranya persoalan budaya merupakan yang paling menarik untuk ditelaah dan dipahami, sebab budaya merupakan suatu aspek yang selalu melekat dalam setiap kehidupan manusia tanpa memisahkan antara yang tradisional dan modern. Budaya secara harfiah berasal dari dua kata yaitu budi (nalar) dan daya ( bentuk). Dengan singkat, konsepsi budaya menunjukkan hubungan antara “nalar” dan “bentuk” yang dihasilkan dari sebuah ekspresi. Konsep ini hampir sama dengan pengertian Culture dalam bahasa Inggris, walau memiliki arti lebih dari satu yang menunjukkan pada suatu proses praktek sosial yang menghasilkan makna, nilai, dan tata hidup masyarakat. Maka dari itu dapat kita tarik kesimpulan bahwa budaya tidak serta-merta suatu hasil kreasi yang bersifat artistik seperti seni patung, lukis, dan tari, tetapi praktek-praktek keseharian manusia yang berlangsung secara terus-menerus dan akhirnya menjadi mapan juga termasuk bagian dari budaya seperti kebiasaan mengkonsumsi sesuatu, tata cara berpakaian, dan model interaksi dalam suatu masyarakat. Globalisasi memang sangat identik dengan suatu usaha untuk membentuk suatu dunia yang tunggal berdasarkan standarisasi yang ditetapkan dan diterima walaupun tanpa kesepakatan.
Usaha untuk menjadikan kehidupan dalam satu dimensi memang bukan tanpa resiko, sebab, kehidupan manusia yang bersifat dinamis dan selalu berevolusi mengikuti lingkungan zaman dipaksa untuk mengikuti satu logika, yaitu menuju kehidupan di bawah satu payung tradisi.
Proses globalisasi budaya terjadi dengan melakukan ekspansi nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya dengan pembungkusan ekspansi yang cantik, sehingga nilai-nilai yang pada awalnya bertentangan lambat laun akan ditoleransi dan akhirnya diterima sebagai sebuah budaya baru yang lebih mencerahkan. Akibatnya, sistem nilai suatu masyarakat yang telah terbangun secara turun-temurun akan tergerus oleh budaya dan sistem nilai baru yang belum tentu mampu menghadirkan sebuah tata kehidupan yang lebih cocok dan baik bagi masyarakat tersebut.
Internalisasi sistem nilai di era globalisasi tidak terjadi secara paksa, di mana sistem nilai baru yang masuk ke dalam kebudayaan suatu masyarakat terjadi dengan sangat sopan, sehingga proses adopsi budaya terjadi secara perlahan tapi mematikan. Globalisasi menciptakan suatu kondisi di mana budaya baru yang di cap sebagai budaya modern dengan berbagai standar yang telah dikonstruksi dan dicitrakan memang sangat dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat, sehingga terdapat keinginan dari internal masyarakat untuk mengadopsi dan menerapkan nilai budaya tersebut dalam kehidupan publik mereka hingga kehidupan pribadi sekalipun. Pada kondisi ini masyarakat tidak akan pernah merasa bahwa sistem nilai yang sedang mereka tiru merupakan sebuah kontruksi dominasi suatu sistem terhadap sistem yang lainnya. Masyarakat akan menjadi bangga jika mampu untuk bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai budaya baru dan meninggalkan budaya lama karena dianggap tidak relevan dengan kondisi kemajuan zaman.
Benar dari apa yang pernah dikatakan oleh Marx bahwa ternyata aspek ekonomi seseorang mampu menentukan kesadaran sosial masyarakat seperti cara seseorang bersikap, berperilaku hingga keberagamaan suatu masyarakat. Singkatnya basic structure memegang kendali atas nasib super structure. Jika dahulu Marx sangat meyakini bahwa aspek ekonomi merupakan sisi paling fundamental dalam kehidupan masyarakat yang melahirkan kelas-kelas social, tetapi pada kondisi saat ini kelas-kelas sosial sangat sulit untuk dijadikan ukuran ketertindasan suatu masyarakat, sebab, situasi masyarakat setiap detiknya mengalami perkembangan yang semakin kabur. Siapa yang menindas dan yang tertindas sangat sulit untuk dipisahkan. Inilah suatu penindasan yang disebut oleh Antonio Gramsci dengan Hegemoni, yaitu di mana sebuah sistem melakukan pemaksaan terhadap yang lain melalui cara yang halus yaitu bagaimana kesadaran manusia dikuasi. Kondisi inilah yang tengah berkembang di masyarakat Indonesia khususnya. Atmosfer perubahan budaya secara global ternyata berdampak secara cukup mengejutkan bagi kelangsungan budaya lokal warisan nusantara. Indonesia yang meyakini budaya timur sebagai sebuah nilai yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan sepatutnya untuk waspada, sebab, praktek imitasi budaya yang dilakukan oleh anak bangsa Indonesia kini telah semakin mengkhawatirkan.
Oleh : Zain Maulana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar