Salah satu benang merah yang dapat ditarik dari sejarah pendidikan dan persekolahan di tanah air adalah bahwa sistem pembelajaran sebagaimana ia diselenggarakan selama Orde Baru harus ditolak karena terbukti menjajah, memasung, dan mengkerdilkan jiwa kaum muda Indonesia. Pendidikan yang bersifat informal, secara sembrono dipersamakan dengan pengajaran di lembaga formal --yakni 'sekolah' dan 'universitas', dalam arti yang telah menyimpang jauh dari makna kedua kata itu-- bahkan juga dengan pelatihan yang non-formal --terutama di perusahaan-perusahaan yang memiliki Divisi 'Pendidikan' dan Pelatihan, tetapi juga di Balai Latihan Kerja dibawah Departemen Tenaga Kerja Orde Baru-- telah terbukti 'efektif' membunuh kreativitas dan daya cipta kaum muda. Hal ini pada gilirannya melahirkan angkatan kerja baru yang bermental budak, yang tentu saja tidak dapat diharapkan menjadi produktif kecuali menjadi parasit, atau bahkan kanker, bagi masyarakat di lingkungan kerjanya.
Dengan lebih tegas dapat dikatakan masalah mendasar dari sistem pendidikan di negeri ini berakar pada ketidakmampuan seluruh anggota masyarakat untuk berbagi tugas dan tanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan melatih tunas-tunas bangsa, kaum muda yang sedang berproses mencari jati dirinya, jati diri komunitasnya, jati diri bangsa dan masyarakatnya, serta jati diri kemanusiaannya sebagai ciptaan Ilahi.
Orangtua tidak mau repot, karena memang tidak sungguh-sungguh peduli. Bagi sebagian besar orangtua, 'mendidik' anak itu hanya berarti mempersiapkan uang sekolah, membelikan seragam, buku-buku dan perlengkapan belajar lainnya. Kalau anaknya mengeluh sulit belajar, orangtua segera memanggil dan membayar mahal 'guru-guru' privat yang sebagian juga pengajar-pengajar di sekolah anaknya itu, untuk memberikan pelajaran tambahan ini dan itu, yang tak jelas relevansinya kecuali untuk memastikan anak-anaknya diberi nilai tinggi saat ujian di sekolah (bukankah kebiasaan membocorkan soal-soal ujian ebtanas berakar dari kebiasaan transaksi antara orangtua dan pengajar yang berkolusi dengan birokrat pemerintah?). Selebihnya? Itu tanggung jawab sekolah dan universitas. Bukankah orangtua membayar semua itu dengan biaya yang sangat tinggi?
Pada pihak lain, sekolah dan universitas terjebak pada semacam arogansi, sikap percaya diri yang berlebihan. Dengan berbagai ilusi konsep-konsep "sekolah unggul", "sekolah pemimpin masa depan", atau lebih parah lagi "pendidikan unggul", birokrat di lembaga-lembaga pengajaran formal itu merasa mampu melakukan segalanya, asal dibayar. Itu sebabnya sekolah-sekolah yang dikatakan "terbaik" sebenarnya tidak jelas bedanya dengan "termahal". Dengan demikian, lembaga-lembaga pengajaran formal itu melembagakan ajaran sesat bahwa 'pendidikan yang baik' adalah 'pendidikan yang mahal'. 'Mahal' sama dengan 'bermutu', bahkan 'baik'. Kalau uang sekolahnya murah, artinya 'buruk' dan 'tak bermutu'. Dan jika mindset ini diberlakukan, maka dapatkah kita katakan bahwa pendidikan di Jerman, yang relatif murah sampai gratis, sangatlah 'buruk' dan 'tidak bermutu'?
Paradigma ngawur semacam ini dipertegas oleh perusahaan-perusahaan pencari kerja yang dipimpin oleh orang-orang yang sama sekali tidak mengerti makna pengajaran dan pendidikan sejati, kecuali sekadar mencari (membeli) keterampilan dan kepribadian sarjana-sarjana dari sekolah yang 'mahal' itu. Bila mereka mendapatkan kenyataan bahwa para alumnus sekolah-sekolah 'terbaik' itu ternyata tidak mampu bekerja secara produktif, maka dikatakan "tidak siap pakai". Lalu sekolah dan universitas diminta menyesuaikan kurikulumnya sedemikian rupa agar dapat menciptakan semacam 'mesin-mesin industri' yang 'siap di-pakai' itu.
Pada masa Orde Baru, paradigma pembelajaran yang 'kurang ajar' semacam itu diperkuat lagi oleh keputusan-keputusan 'penguasa' Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yang dipersiapkan kemudian adalah 'mesin penghafal Pancasila' yang bersedia diperbudak menjadi tiang-tiang penopang kekuasaan yang korup dan tak bermoral. Yang dipersiapkan kemudian adalah 'alat-alat produksi' yang bersedia di perbudak oleh konglomerat-konglomerat bejat yang rajin berselingkuh dengan pemegang kuasa politik. Yang dipersiapkan kemudian adalah aparat-aparat birokrasi yang miskin inisiatif dan serba menunggu petunjuk.
Demikianlah apa yang seharusnya merupakan proses pembagian tugas dan tanggung jawab dalam mempersiapkan tunas-tunas bangsa menjadi pemimpin-pemimpin masa depan, kemudian berkembang menjadi arisan bagi-bagi rejeki. Orangtua memberikan setoran kepada sekolah dan pengajar-pengajarnya. Lalu sekolah dan para pengajar itu membagikannya kepada birokrat pendidikan agar diakreditasi dan dinaikkan pamornya. Dan akhirnya para birokrat pendidikan ini membuat laporan Asal Bapak Senang kepada 'Raja Mataram' dan kroninya, tanpa ragu apalagi rasa malu. Semua terkesan beres, dan 'baik-baik' saja. Lihat angka-angka statistik menunjukkan tingginya tingkat 'pendidikan' kaum muda dari Pelita ke Pelita. Lihat anak-anak petani kampung sudah pada bergelar sarjana, sementara tanah orangtua mereka telah dijadikan klangenan penjarah bersenjata. Kita akan menjadi bangsa yang besar dan karenanya bolehlah mengajarkan kepada negara-negara lain bagaimana berswasembada beras, sementara petani-petani kita sendiri masih kekurangan beras dan kemudian kita kembali menjadi negara pengimpor beras. Mari kita canangkan 'Kebangkitan Nasional Kedua' dengan membangun Menara Jakarta, lalu kita proklamirkan pada dunia bahwa di sini, di negeri katulistiwa ini, telah lahir Raja Babel yang baru.
Namun mendadak sontak semuanya runtuh jadi debu. Dan mulailah kita menangis bertalu-talu. Segala sesuatu menjadi kacau balau. Semua berteriak, tapi tak ada yang mendengar. Semua mendengar, tapi tak ada yang mengerti. Mengapa oh mengapa? Dimanakah pusaka kesaktian Pancasila disembunyikan (mungkin di Lubang Buaya)? Hari Kebangkitan Nasional berubah menjadi Hari Kebangkrutan Nasional. Hari Kesaktian Pancasila berubah menjadi Hari Kesakitan Pancasila.
Sekali lagi, inilah mungkin akar permasalahannya: kita tidak menyadari ketidakmampuan seluruh anggota masyarakat kita untuk berbagi tugas dan tanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan melatih tunas-tunas bangsa, kaum muda yang sedang berproses mencari jati dirinya, jati diri komunitasnya, jati diri bangsa dan masyarakatnya, serta jati diri kemanusiaannya sebagai ciptaan Ilahi. Karena tidak sadar, maka kita tidak mau belajar. Karena tidak belajar, maka kita tidak pernah mengalami metanoia, tidak berubah dari tidak mampu menjadi berkemampuan. Itulah buah sistem pendidikan kita lebih dari tiga dekade terakhir. Buahnya adalah manusia-manusia yang bonsai, berjiwa kerdil dan mudah dibeli, tak punya rasa malu apalagi harga diri, tak menyadari ketelanjangan karena buta pikiran dan buta nurani. Buah-buahnya adalah kaum muda yang jauh lebih terbelakang dari para pelopor Sumpah Pemuda di tahun 1928.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar