Kamis, 28 April 2016

ANTONIO GRAMSCI

Riwayat hidup dan perkembangan intelektual Gramsci, terbagi ke dalam beberapa fase. Bellamy misalnya, membaginya dalam  lima fase : Pertama, masa kanak-kanak dan remajanya di Sardinia antara tahun 1891-1911. Kedua, masa ketika  studinya di Turin University, serta awal karirnya sebagai komentator untuk Grido Popolo antara tahun 1911-1918. Ketiga, masa di mana Gramsci mengalami pengalaman "tahun-tahun merah" serta  dewan pabrik sambil menjadi  redaktur L' Ordine Nuovo antara  tahun   1918-1920. Keempat, masa ketika terjadi kritik yang dihasilkan terhadap Partai Sosialis Italia dan  pembentukan Partai Komunis Italia (PCI) antara  tahun  1921-1926.  Kelima, adalah   masa-masa  Gramsci  di  penjara sejak tahun 1926 sampai wafatnya pada tahun 1937.

Sementara Yoseph Femia, membedakan ke dalam empat tahap perkembangan kehidupan politik dan pemikiran Gramsci. Periode pertama, merentang tahun 1914-1919, merupakan tahun-tahun pembentukan wawasan politik  dan intelektual. Dalam periode ini, meskipun Gramsci adalah seorang sosialis muda yang militan  dan  revolusioner, orientasi  filsafatnya menurut Femia lebih idealis ketimbang praxis-marxistis. Tulisan-tulisannya  kebanyakan terdapat di dalam surat kabar sosialis Avanti dan L’  Grido  del  Popolo mengungkapkan kondisi-kondisi budaya maupun keinginannya untuk menanamkan kesadaran terhadap kaum buruh melalui pendidikan. Periode kedua, berlangsung sekitar 1919-1920, suatu bentang waktu ketika Italia dilanda oleh banyak keributan pabrik dan aksi-aksi mogok. 

Dari  pembentukan partai Komunis Italia (PCI--  Partito  Comunista Italiano) tahun 1921 sampai masuknya Gramsci ke beberapa tahanan fasis di bawah Mussolini, digolongkan  oleh Femia sebagai periode ketiga dari hidup Gramsci. Fase  terakhir adalah mulai dari tahun 1926.  Pada tahun  1928 Gramsci dijatuhi hukuman selama 20 tahun sampai  meninggal 1937 karena pendarahan otak. 

Dalam masa inilah Gramsci merencanakan penyelidikan  mendalam terhadap pengalaman politiknya dalam kerangka historis maupun filosofis yang lebih luas. Antara  tahun  1929-1935  dia menyelesaikan 32 catatannya yang berjumlah sekitar  3000 halaman. Tulisan-tulisan inilah yang disebut Quaderni (Prison Notebooks), di sinilah Gramsci menyusun tema-tema, kepentingan, prinsip-prinsip maupun konsepnya. Dalam tulisan itu, Gramsci berupaya untuk mengadaptasikan senjata kritis marxisme (keniscayaan revolusi) ke dalam kondisi kapitalisme Italia.

A. LATAR BELAKANG INTELEKTUAL SINGKAT ANTONIO GRAMSCI
Antonio Gramsci lahir di Ales, sebuah kota kecil di Sardinia (Italia) pada 22 Januari 1891.  Dia hidup dan  menetap di sana selama 20 tahun.  Dia  adalah  anak keempat dari tujuh bersaudara. Gramsci berasal dari keluarga yang sangat miskin. Ayahnya adalah seorang juru ketik yang berasal dari kota Naples.  Sedangkan Ibunya berasal dari kota kecil Ghilarza, Sardinia.  Ibu Gramsci tidak memiliki penghasilan yang tetap, pekerjaannya adalah hanya seorang tukang jahit. 

Ketika Gramsci berusia 7 tahun (1897), ayahnya dipecat dari pekerjaannya dengan tuduhan penggelapan dengan tanpa pesangon sepeser pun.  Mulai  saat  itu, Gramsci, Ibu dan keenam saudaranya yang lain hidup dalam kemelaratan. 

Selain kondisi ekonomi keluarga yang cukup memprihatinkan di masa kanak-kanak ini, Gramsci juga didera masalah kesehatan tubuhnya. Gramsci adalah seorang yang memiliki cacat tubuh. Para dokter  berupaya  mengobati Gramsci dengan membuat kayu-kayu penyangga pada tubuhnya. Secara fisik, Gramsci tumbuh menjadi anak-anak yang bungkuk dan tingginya hanya lima  kaki.  Selain itu, Gramsci juga menderita tekanan psikologis, dia memiliki sifat introvert dan paranoid.

Pada tahun 1898, Gramsci mulai sekolahnya di Ghilarza,  tetapi  pendidikannya itu terpaksa putus beberapa tahun karena kesulitan biaya. Ketika  Gramsci berumur  11 tahun, Gramsci meninggalkan sekolah di desanya dan kemudian bekerja di kantor Agraria setempat sebagai seorang pesuruh kantor, atas saran ayahnya, Gramsci melanjutkan sekolahnya di kota Sautulussurgiu dalam satu sekolah yang dikategorikan sekolah kelas bawah.  Meskipun, dengan segala keterbatasan, Gramsci mampu menyelesaikan sekolahnya pada tahun 1908. Kemudian  Ia masuk sekolah lanjut pada tahun itu juga di Cagliari (pusat Sardinia), dan hidup bersama kakaknya yang sudah bekerja di  sana. Saudara laki-lakinya itu adalah Gennaro. Saudaranya inilah yang kemudian untuk pertama kali mengenalkan politik pada Gramsci.  Karena sebelumnya, di tahun  1906 Gennaro sering mengirimkan pamflet-pamflet dan terbitan sosialis kepada adik-adiknya.

Di kota Cagliari, situasi politik terutama gerakan-gerakan protes atas penindasan imperialis yang memaksa munculnya nasionalisme Sardinia.  Gramsci, di kota ini sudah mulai aktif dalam perjuangan politik. Lewat sebuah terbitan di sekolahnya, Gramsci mulai menunjukkan semangat perjuangannya. 

B. PEMBENTUKAN INTELEKTUAL DAN AKTIVITAS POLITIK.
Perubahan terpenting yang terjadi dalam hidup Gramsci adalah pada 1911, ketika ia berhasil mendapat bea siswa untuk melanjutkan belajar di  Universitas Turin  bersama  sahabatnya  dari Sardinia  yang kelak menjadi  rekan Gramsci di Bidang politik yaitu  Palmiro Togliatti. Bea siswa tersebut diberikan  bagi siswa Sardinia yang miskin guna melanjutkan perjalanan studinya.

Meskipun demikian, bea siswa yang diberikan sangat minim. Kebutuhan  peralatan studi dan untuk persediaan makanan dan gizi tidak terpenuhi oleh bea siswa tersebut. Kekurangan gizi ini, ditambah kondisi udara  yang sangat dingin, membuat kesehatan Gramsci menjadi terganggu. Antara tahun 1913 sampai tahun 1915, Gramsci menderita sakit. Dalam kondisi demikian, Gramsci  sempat  putus asa dan berkeinginan meninggalkan kuliahnya. Namun, berkat dorongan bakat khususnya dalam ilmu bahasa dan linguistik serta atas dorongan beberapa gurunya, maka Gramsci mengurungkan niatnya. Dia tetap melanjutkan kuliahnya. 

Selama di Universitas Turin, Gramsci untuk pertama kalinya secara intelektual mengenal lingkungan pendekatan marxis melalui beberapa intelektual sosialis maupun dari  profesor  yang memiliki hubungan dengan gerakan sosialis.  Intelektual yang dikenal dan dekat dengan Gramsci adalah Umberto Uno dan  Dante Scholar yang merupakan sastrawan dan juga sejarawan. Tokoh lain adalah Annibale Pastore yang mengenalkan filosofi praxis Hegelian. Sebelumnya, filosofi praxis diperkenalkan di Italia lewat seorang ahli bahasa dan sejarah yaitu Antonio Labriola. Tokoh lain yang juga mengenalkan dan bahkan mempengaruhi sikap intelektual Gramsci adalah Mandolfo dan Benedetto Croce yang secara  intelektual paling berpengaruh di Italia sekitar tahun 1895-1900, yang kemudian menjadi Godfather dalam lingkungan intelektual Italia.

Di luar aktivitas kuliah, kedatangan Gramsci di Turin menandai perjumpaan pertamanya dengan kehidupan kota industri modern. Gemerlapnya kemewahan kota dan juga dangkalnya pertunjukan-pertunjukan budaya  membuat Gramsci  (sebagai mahasiswa  jurusan  sastra) sering menulis banyak kritik teater. Semua itu membuka matanya tentang betapa tajamnya jurang kehidupan kota dan desa, interaksi keduanya, dan hubungan politik antara kelas buruh di kota dan petani di desa. Kontras yang tajam tersebut itu terjadi karena jurang kehidupan sosial yang semakin menganga di  Italia. Secara umum ini terlihat dari konflik antara daerah industri  'Utara' dan kawasan pedesaan  'Selatan' yang cenderung menyimpan pertanyaan-pertanyaan tersembunyi tentang basis kelas. 

Sejak 1887, tumbuhnya industri di Utara telah diwarnai dengan kebijakan proteksionis dari modal asing, guna menjamin dominasi dari pasar domestik.  Tetapi,  itu mambuat dampak  jelek  bagi kehidupan pertanian  Italia. Kecuali  bagi produsen gandum di Italia Tengah dan Utara, kaum tani tidak dapat lagi mengeksport produksi mereka. Sementara, pada saat  yang sama,  mereka dipaksa untuk membeli produk dari  negara industri  maju  lainnya,  yang  harganya  lebih  murah. Inilah yang menjadi dasar pokok dari apa yang  menjadi„'Gugatan  Selatan'  ('Southern  Question'). 

Semangat “Selatanisme” seperti ini merupakan  ketetapan posisi politik  Gramsci  ketika kedatangannya di Turin pada 1911. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata pengalaman hidup Gramsci di Sardinia sangat mendalam, bukan  hanya pengalamannya  yang  terlalu dini akan kemiskinan dan ketidakadilan sosial di daerahnya tetapi juga minatnya terhadap budaya di sana. Pengalaman-pengalaman  inilah yang juga memberi andil besar bagi pembentukan Gramsci sebagai seorang revolusioner. 

Gramsci, bukanlah sekadar seorang tokoh intelektual. Dia juga terlibat aktif dalam dunia politik. Saat di Turin, Gramsci mulai aktif melakukan perjuangan  politik.  Gramsci  saat  itu  mulai  mengenal organisasi-organisasi sosialis militan. Adalah Angelo Tosca  yang kemudian menjadi pemimpin sayap kanan PCI yang pertama-tama mengenalkan aktivitas politik kepada Gramsci  pada tahun 1912. Pada tahun itulah Gramsci bergabung  dengan Partai Sosialis Italia. 

Pada  tahun 1914, Gramsci menjadi staf dari  mingguan Partai Sosialis, L’ Grido del Popolo dan kemudian dia menjadi wartawan tetap di sana. Selama menjadi staf dalam mingguan ini Gramsci selalu menulis setiap aspek dari  masyarakat Turin dan kondisi ekonomi  politiknya. Gramsci juga kerap menulis, menganalisis sejumlah pemogokan dan demonstrasi buruh di Turin, serta  peristiwa-peristiwa politik lainnya baik di Italia maupun secara internasional.  Sementara pada tahun 1916 Gramsci  juga menjadi  kolumnis pada terbitan Partai Sosialis  lainnya yaitu Avanti. 

Pada  bulan  Agustus 1917, terjadi  pemberontakan spontan rakyat Turin. Seperempat dari jumlah para buruh berdemonstrasi dan mendirikan barikade-barikade. Pusat kota Turin dikepung Buruh. Pemberontakan ini berlangsung  selama 4 hari. Sekitar 50 orang buruh meninggal dalam peristiwa tersebut, sedangkan 100 orang  lainnya dipenjarakan.  Peristiwa pemberontakan Agustus   ini memberi  arti politik yang luar biasa. Karena, hal  ini menunjukkan bahwa  rakyat Turin  masih memperlihatkan jiwa dan semangat revolusi yang sangat luar biasa. Pengalaman  Gramsci dalam gerakan dewan pabrik di Turin dari tahun 1919-1920. Setelah berakhirnya perang, merupakan periode keresahan sosial tidak ada  taranya  di seluruh  Itali. Pekerja baja Turin yang  diradikalisasi oleh perang, bereaksi dengan mengorganisasikan oposisi mereka di sekitar asosiasi-asosiasi staf pabrik  (commission interne). Gerakan itu kemudian meluas ke usaha-usaha  lain, seperti pabrik mobil fiat dan melangkahi serikat buruh reformis yang pada umumnya dikuasai oleh Gerakan dewan  pabrik ini menyebabkan Gramsci mempertimbangkan kembali pandangannya terhadap Lenin dan revolusi Rusia. Dia melihatnya sebagai pengalihan kekuasaan yang murni kepada pekerja, dan  mempercayai slogan "SEMUA KEKUASAAN UNTUK SOVIET-- SOVIET  MENCERMINKAN REALITAS RUSIA. 

Pemberontakan Turin ini, sangat berarti bagi karier politik Gramsci. Sebelum peristiwa itu, Gramsci tidak menduduki jabatan apa pun di dalam  partai.  Akibat penangkapan pemimpin-pemimpin partai dalam peristiwa tersebut,  Gramsci menjadi salah satu pimpinan komite sementara yang mengatur  kegiatan-kegiatan  partai. Gramsci  juga  mulai saat itu  menduduki  posisi  kunci pada I’ Grido Del Popolo. Pada bulan Mei 1919, Gramsci dan beberapa kawannya seperti  Tasca,  Togliatti  dan  Terracini  mendirikan Ordine Nuovo, sebuah jurnal dengan tujuan untuk memberikan analisis dan rekomendasi atas pemberontakan-pemberontakan buruh militan di Italia Utara. Ordine Nuovo sangat berjasa dalam memegang peranan dan kegiatan langsung dalam proses revolusi. Pada tahun  1921, PCI secara terbuka didirikan. Antara tahun 1921-1923 PCI berada di bawah kepemimpinan Bordiga yang kemudian menjadi seteru politik Gramsci. 

Pada tahun 1923, perbedaan antara Gramsci dan Bordiga semakin  meruncing. Menurut Nigel Todd, konflik yang paling fundamental antara Gramsci dan Bordiga adalah persoalan penilaian atas menguatnya kekuatan Fasisme di Italia. Kelompok Bordiga menyatakan bahwa fasisme hanyalah  semata-mata gerakan bentuk lain dari politik borjuis dan secara politik tidak membahayakan gerakan revolusioner. Sementara Gramsci secara tegas berkeyakinan bahwa fasisme sangat berbahaya bagi pertumbuhan gerakan komunis Italia. 

Fascisme adalah gerakan politik yang dibentuk oleh pemimpin ex-sosialis,  Benito  Mussolini  (1883-1945). Mussolini sebelumnya adalah seorang  sosialis revolusioner yang meninggalkan partai pada awal Perang  Dunia II. Partai Sosialis ketika itu mendukung non-intervensi terhadap perang, sementara Mussolini menuntut Italia ikut terlibat dan berpihak pada Sekutu. Setelah  perang, Mussolini yang selama perang berpangkat kopral, membentuk fascis di  combattimento atau kelompok tempur untuk melindungi veteran perang yang pulang dan juga untuk menentang usaha-usaha "anti-patriotik" dari kalangan kiri. Dengan begitu  fascismo pada  awalnya  merujuk pada pasukan  paramiliter yang dibentuk  Mussolini. Banyak orang yang memandang  gerakannya sebagai usaha menghindari revolusi komunis dan cure terhadap paralysis politik dari partai-partai moderat. Pada bulan Oktober 1922, setelah apa yang disebut Mars di Roma, Mussolini ditunjuk sebagai perdana menteri dengan cara yang kurang lebih legal. Tahun 1928 sisa-sisa pemerintah konstitusional dihapus dari Italia, dan keadaan ini bertahan sampai lima  belas  tahun selanjutnya. Fasis Italia  sering menyebut   pengambilalihan kekuasaan yang mereka lakukan sebagai "revolusi" dan menyebut sistem mereka "negara  totaliter".  Istilah-istilah ini sebenarnya lebih bersifat bombastis ketimbang menggambarkan kenyataan. Namun, fasisme yang bertahan sampai duapuluh tahun itu telah mencetuskan perubahan politik dan ekonomi, yang  dibenarkan  oleh ideologi  yang  memang menyediakan alasan  yang  masuk akal. 

Pada tahun 1924 Gramsci diangkat menjadi pimpinan PCI, setelah  sebelumnya Dia merupakan wakil PCI di Moskwa 1922-1923 didukung komintern. Antara tahun 1924-1926 inilah masa yang sangat penting untuk memahami dasar politik yang dikumpulkan Gramsci dalam tulisannya di penjara.  Pada musim gugur di tahun 1926, Fasisme Italia yang dipimpin Mussolini memberhangus publikasi-publikasi kalangan kiri yang juga disertai penangkapan-penangkapan secara besar-besaran, termasuk di dalamnya Gramsci, yang baru dua tahun menjadi Sekretaris Umum Partai Komunis Italia. 8 November 1926, adalah  saat pertama kali Gramsci ditahan oleh Rezim Fasis. Pemenjaraan oleh fasis ini  secara pasti mengisolasikan dirinya dari kegiatan-kegiatan luar. Meskipun  Gramsci sebagai anggota terpilih dari Parlemen, sesuai dengan hukum, diberi hak istimewa dengan kekebalan dari tuntutan Mussolini yang membawanya ke dalam suatu  pemeriksaan juga dengan kawan-kawan komunis lainnya dalam sebuah  organisasi penyerangan pada pemberontakan  bersenjata. 

C. Di Penjara Fasis
Gramsci sempat diasingkan ke pulau Ustica, Pantai Utara Sicily, selama 6 minggu Dia berada dalam tahanan, Dia praktis kehilangan kemerdekaan dalam bergerak  dan melanjutkan hubungan dengan kawan aktivis partai lainnya. Salah seorang teman sepenjaranya adalah Bordiga yang dulunya pernah menjadi seteru politik dalam PCI. Pada tanggal 20 Januari 1927, Gramsci dipindahkan ke Milan. Pemindahan ke Milan ini, adalah dimulainya upaya isolasi politik oleh Rezim  Fasis secara permanen. 

Di Milan, aktivitas Gramsci benar-benar terbatas karena  pengawalan yang ketat. Di penjara, rezim fasis  juga menempatkan  seorang  agen provokatur  untuk  mengawasi Gramsci. Kondisi ini diperparah dengan minimnya fasilitas serta bacaan untuk aktivitas menulis Gramsci. Setelah  Milan, Gramsci  kemudian dipindahkan ke Roma di tahun 1928. Di kota inilah secara hukum Gramsci  diadili bersama beberapa aktivis partai lainnya seperti Terracini, Scoccimaro dan 20  orang lainnya. Dalam pengadilan ini Gramsci dan kawan-kawannya dituduh mengorganisasi sebuah pemberontakan bersenjata. Oleh pengadilan, tanggal 4 Juni, Gramsci  diputuskan  untuk dihukum dalam tahanan selama 20 tahun. Pada  tanggal 19 Juli, Gramsci dibawa  ke  penjara Turi,  di ujung  kota  Italia sekitar  20 mil dari kota Bari. 

Dalam tahanan inilah --meskipun  kondisi  kesehatan   yang  memburuk, Gramsci mulai mengerjakan Prison Notebooksnya. Hal ini dimungkinkan, mengingat perlakuan di Turi sedikit lebih baik ketimbang di  Milan. Di penjara Turi, Gramsci diperbolehkan menulis dan menerima buku-buku bacaan meskipun sangat terbatas, demikian juga keterbatasan itu dia alami dalam hubungannya dengan teman-teman sepenjaranya. Di tengah situasi  keterbatasnnya,  Gramsci   benar-benar secara serius  membaca kiriman-kiriman bacaan baginya, baik buku maupun terbitan-terbitan berkala. Kebiasaan berrefleksi, kepandaian membaca  perkembangan  politik  dan kecerdasan  menulis  adalah modal utama Gramsci untuk menghasilkan banyak tulisan. Bahkan bukan  itu  saja, dia pun mampu berkirim  surat  dengan kawan-kawannya  seperti Tatiana, Yulia dan  kepada  dua anaknya   (khusus anaknya yang bungsu,  Gramsci  tidak sempat  melihatnya) serta kepada ibu  dan  saudara-saudaranya.  Surat-surat  itulah  yang  kemudian   menjadi dokumen  penting  dan menjadi literatur modern  Italia yang terkumpul dalam Letters From Prison. Teoria Della Storia Della Storiografia dari Croce adalah  karya  atau buku pertama yang  diminta  Gramsci  dalam  penjara.  Ia juga mulai menerjemahkan  sejumlah karya  Marx  yang diisikan dalam ontologi Reclam yang begitu banyak. Karya-karya Marx antara lain : Theses on Feurbach,  ringkasan The Communist Manifesto, The Holy Family, Wage Labour and Capital, The Jewish Question dan sebuah  pengantar pada Contribution to the Critique  of Political Economy. Karya lain yang diterjemahkannya dipenjara : Das Capital Volume 1, sumbangan terhadap kritik Philosophy of Right Hegel, Theories of Surplus Value, The Poverty of Philosophy, The Eighteenth Brumaire dari Louis  Bonaparte, Sebuah Perang Sipil di Perancis, Critique of the Gotha  Program,  The  Holy Family  dan  sedikit  bagian penting dari disertasi doktoral Marx . 

Karya lain yang mengilhami pemikirannya di penjara adalah dari Lenin. Karya Lenin dipahami sedikit-sedikit mengingat  kesulitan bahasa, karya Lenin  dalam  bahasa Rusia. Pemeriksaan atas karya-karya di atas, menunjukkan bahwa  Gramsci memiliki latar belakang yang luas dalam marxis klasik dan dalam pembawaan tradisi filsafatnya. Tahun-tahun akhir Gramsci di tahanan Turi, merupakan  saat-saat  yang  memprihatinkan  bagi  kesehatan jiwanya. Sehingga kondisi ini memaksa Gramsci  menghentikan  aktivitas membaca dan menulisnya. Di dalam  penjara Gramsci selain terganggu karena tubuhnya bongkok, Gramsci juga mengalami penderitaan lain seperti  tanggalnya gigi satu per satu, sistem pencernaan yang rusak sehingga  dia tidak dapat memakan makanan  yang padat, insomnia, kejang-kejang, muntah darah, sakit kepala yang begitu  keras sehingga yang terakhir ini seringkali memaksa dia untuk membentur-benturkan  kepalanya  ke dinding penjara. Di luar penjara, kondisi serta penahanan Gramsci tersiar secara terbuka. Di tingkatan kampanye internasional tentang anti fasis,  pembebasan Gramsci menjadi salah satu agenda khusus. Kampanye yang diorganisasikan sahabat karib Gramsci yaitu Piere Staffa, ternyata cukup berhasil. 

Di akhir tahun 1933, Gramsci dipindahkan dari Turi ke klinik di kota Formia, yaitu sebuah kota kecil antara Roma dan Naples. Di Formia, perlahan-lahan kondisi kesehatan Gramsci mulai membaik dan memungkinkannya untuk  melanjutkan  menulis. Meskipun demikian, rezim fasis masih terus mengawasi Gramsci seperti orang tahanan, ruangan perawatan Gramsci dibuat seperti sel tahanan. Pada bulan Agustus 1935 kondisi kesehatan Gramsci kembali  memburuk. Sehingga, Gramsci dipindahkan  lagi ke klinik Quizsisana di kota  Roma untuk dirawat secara intensif. Di kota inilah penyakit Gramsci terdeteksi secara medis. 

Gramsci mengidap penyakit sclerosis urat nadi, infeksi paru-paru atau penyakit potts, tekanan darah tinggi, penyakit tulang dam gangguan pencernaan yang akut. Semangat Gramsci untuk hidup dan melakukan perjuangan politik  meski di penjara,  ternyata  tidak mampu  mengalahkan penyakit yang cukup  kompleks dalam dirinya. Tanggal 27 April 1937, tepat berumur 46 tahun, Gramsci menyusul Karl Marx di tempat peristerahatannya yang  terakhir.  HASIL BESAR YANG IA  PERSIAPKAN TIDAK DAPAT MENCAPAI BENTUK AKHIR. 

D. Karya-Karya Gramsci.
Merujuk pada Femia dan William Boelhower, maka karya-karya  Gramsci dapat dibagi menjadi dua bagian: Pertama, Karya-karya Gramsci dalam edisi Italia (bahasa Italia). Sedangkan yang kedua adalah edisi  terjemahan ke dalam bahasa Inggris. 

Edisi Italia.
a. Opere di Antonio Gramsci (Turin, Einaudi, 19947-72) - Vol 1. Lettere dal Carcere, 1947. Revised edition 1965, edited by S. Caprioglio and E. Fubini. - Vol 2. Il materialisme sorico e la filosofia di Benedeto Croce, 1919. - Vol  3.  Gli  intellettuali el  organizzazione  della cultura, 1949- Vol 4. Il Risorgimento, 1949. - Vol  5.  Note sul Machiavelli, sulla  politica,  esullo stato moderno, 1949. -  Vol 6. Letteratura e vita nazionale, 1950. -  Vol 7. Passato presente, 1951.-  Vol 8. Scritti giovanili, 1914-1918, 1958 - Vol 9. L' Ordine Nuovo, 19199-1920,1954  -  Vol 10. Sotto la Mole, 1916-1920, 1960. -  Vol 11. Socialismo e fascismo, L' Ordine Nuovo, 1921-1922, 1967- Vol 12. La costruzione del Partitto communistta,  1923-1926, 1972.
b. Quaderni del Carcere, edited by Valentino  Gerratana 4 Volumes) Turin, Einaudi, 1975.
c. Quaderni del Carcere, edited by valentino  Gerratana 6 Volumes, 1971.
d. Scrittti polittici, edited by P. Spriano  (Coolecttion of Gramsci pre-prison writings), 1967.

Edisi Inggris
a. Selections  From the Prison Notebooks,  edited  and translated By Quintin Hoare and Geoffrey  
        Nowell-Smith, Lawrence and Wishart, London 1971. 
b. Selection  From  Political  Writings   (1910-1920), selectted  and edited by Quintin Hoare, 
        translated  by John Mathews, Lawrence and Wishart, London 1977. 
c. Selection  from  Political  Writings   (1921-1926), translate and edited by Quinttin Hoare, 
        Lawrence  and Wishart, London 1978.
d. Letters  from  Prison,  selected,  translated  and introduced by Lynne Lawner, Cape, London 
        1973.
e. Selections from Cultural writings, edited by  David Forgacs  and Geoffrey Nowell-Smith, 
        translated by  William Boelhower, Lawrence and Wishart, London 1985
f. The Modern Prince and Other Writings, translated  by Dr.  Louis Marks, 1957

E. Marxisme Ala Gramsci.
Kecenderungan Gramsci untuk menekankan segi-segi superstruktur  ideologis dalam bangunan teorinya  telah melahirkan perdebatan panjang dalam khasanah  Marxisme setelah kematian Marx. Posisi teoretis demikian menjadikan  Gramsci sebagai aktivis partai komunis  di  luar Rusia yang menolak "Marxisme versi Stalin", dan  menempatkan  dirinya  sekubu  dengan  para  neomarxis   awal lainnya seperti Lukacs dan Korsch (3 Lihat Mclellan, opcit hal 175-176), Ia   selalu menekankan dimensi-dimensi politik Marxisme dan pentingnya perjuangan  ideologis dalam proses transformasi sosialis. 

Sebagaimana Lukacs dan Korsch, Gramsci juga mendalami dialektika Marx melalui Hegel. Dengan berpikir  dialektika Gramsci memodifikasi teori "basis" dan "bangunan atas"-nya Marx termasuk istilah intelektual. Bagi Gramsci, para teoretisi atau intelektual dan peranannya disebut sebagai "bangunan atas" masyarakat. Pada Marx istilah intelektual muncul dalam gagasannya mengenai kerja mental (mental-labor) dan kerja-kasar (manual-labor). Yang disebut sebelumnya bisa artis, pelukis termasuk para pemikir intelektual.  

"Basis" menurut Gramsci adalah proletariat dan tujuan-tujuannya. Menurut Garmsci, warisan Hegel begitu kuat pengaruhnya dalam pemikiran-pemikiran Marx. Bagi Gramsci, marxisme adalah sebuah pengembangan dari  Hegelianisme dan "sebuah filsafat yang telah dibebaskan (atau sedang mencoba membebaskan dirinya) dari elemen ideologis yang sepihak dan  fanatik : di mana kesadarannya yang penuh kontradiksi dipahami secara filosofis baik individual maupun sebagai anggota masyarakat, tidak hanya memahami kontradiksi itu saja, namun meletakkan dirinya sebagai bagian dari kontradiksi tersebut serta mendorong elemen ini kepada sebuah prinsip pengetahuan dan kemudian aksi".)

Gramsci menolak apa yang disebutnya sebagai  kecenderungan "ekonomisme" dan "ideologisme", yang menurutnya menjadi kelemahan kaum marxis pada umumnya. Hal  ini dikarenakan pemahaman yang lemah terhadap "materialisme historis". Dia  menunjuk  kesalahan  ini  pada   karya N. Bukharin  (Historical  Materialism: New System of Sociology), yang membuat Bukharin mengembangkan materialisme sebagai sosiologi positivis evolusioner. Padahal Marx jelas memahami materialisme dalam  pengertian humanis dan revolusioner.

Dalam konteks ini, secara singkat dapat dikatakan bahwa Gramsci  cenderung menganalisis "basis" melalui "bangunan  atas",  berbeda dari Marx  yang menganalisis "bangunan atas" melalui "basis". Hal inilah yang  membedakannya dengan tradisi marxis ortodoks. Dalam tradisi marxian (ortodoks) kondisi-kondisi material obyektif mendapat  tempat sentral, sedangkan   kesadaran otomatis dilihat sebagai hasil  proses sosial ekonomi. Dalam  pemikiran Gramsci faktor kesadaran (superstruktur) mendapat tempat dan peranan penting. Karena itu, corak pemikirannya  sering digugat orisinalitasnya.

Ada pula tuduhan bahwa pemikiran Gramsci itu idealistik-voluntaristik.  Tetapi faktor apa yang menggiring Gramsci ke arah pemikiran seperti itu? Dikatakan  oleh  Femia, bahwa penekanan Gramsci pada faktor budaya dan intelektual  dipengaruhi  oleh situasi sosial politik Italia sendiri (seperti negara-negara kapitalis lain) di mana sistem borjuis memiliki sumber stabilitas yang  kuat. Faktor lain adalah pengaruh filsafat Croce (1866-1952) yang sangat mendominasi pemikiran-pemikiran Italia waktu itu. 

Benedetto Croce mengeritik baik  Hegel  maupun  Marx, namun  ia lebih simpatik terhadap Hegel bahwa  sejarah merupakan sejarah perkembangan jiwa manusia alam kondisi-kondisi historisnya. Dia tentu berpengaruh terhadap  pemikiran Gramsci, walaupun Gramsci juga melontarkan kritik terhadapnya. Hubungan  antara superstruktur  dan  sosiokultural itu kemudian kaitannya dengan proses-proses "obyektif" yang menjadi basis ekonomi, memang menjadi tema sentral dalam Quaderni. Gramsci menolak klaim positivis  bahwa yang  pertama adalah sekadar cerminan yang terakhir.  Dalam sebuah polemik dengan Bukharin, dia menolak gagasan bahwa Marxisme menyediakan seperangkat hukum "ilmiah"  tentang  perkembangan  ekonomi  yang  membuat semua perilaku manusia bisa direduksi menjadi "mistisme" atau "tahyul". Artinya, Gramsci mengkritik kelaziman penggunaan determinisme historis dalam banyak tulisan kaum Marxis. Dia mengeritik gagasan "hukum besi" (Iron Law) sejarah sebagai sesuatu yang "tidak dapat dihindari" (inevitably) yang akan membawa kekuatan proletariat secara otomatis, bagaikan  malam  mengikuti siang.  

Seperti  yang  telah dikemukakan  di atas, Gramsci, menurut Nigel Todd mengarahkan kritiknya terhadap karya N. Bukharin (Historical  Materialism :   A New System of Sociology 1929). Sebuah buku yang mencoba untuk  mengembalikan marxisme ke dalam ilmu ramalan seperti ilmu-ilmu alam. Mengikuti Croce, Gramsci percaya bahwa para anggota suatu masyarakat atau kelompok mempunyai "pandangan dunia" sama, yang memberikan koherensi pada keyakinan dan tujuan mereka, serta yang menunjang praktik kolektif  mereka. Tetapi, dia menuduh Croce memisahkan konsep-konsep yang memungkinkan pemahaman dunia oleh  manusia yang menggunakan konsep-konsep itu. Croce melakukan ini dengan menetapkan otonomi gagasan, yang  dianggapnya sebagai produk perkembangan roh, bukannya produk perjuangan kehidupan nyata manusia dalam sejarah. Jadi, sejarah  yang ditulis Croce "jatuh kepada  sejenis  sosiologi 'idealis' yang baru dan aneh, yang tidak kurang absurd dan tidak konklusif dengan sosiologi positivis". 

Menurut Gramsci, filsafat Croce tetap spekulatif. Marxisme dalam  pemikiran Gramsci adalah "filsafat praksis"  (philosophy of praxis), filsafat  yang  mendasarkan pada aktivitas praktis tanpa meninggalkan  unsur kritis. Filsafat  Praxis "berbeda  dari idealisme dan materialisme mekanik" karena berdasarkan sebuah teori rasionalitas yang mengasumsikan bahwa manusia bisa mempunyai penilaian yang sama terhadap  situasi-situasi tertentu, dan bertindak. Rasionalitas bukan lagi  masalah koherensi keyakinan atau konsensus tentang  keabsahannya, tetapi masalah daya praktiknya. Teori rasionalitas Gramsci  memang lebih dekat kepada Croce daripada yang diketahui atau hendak diakui sendiri oleh Gramsci, meskipun ia  merumuskannya dengan kejelasan yang lebih tajam. Gramsci juga memandang marxisme sebagai pewaris sejati idealisme  Jerman, dan mengambil kata pengantar A Contribution to  the Critique  of  Political  Economy  karya Marx sebagai sumbernya, Gramsci menguraikan kembali dengan  bahasanya sendiri bagian-bagian yang terpenting : 
1. Manusia hanya menghadapkan dirinya dengan persoalan-persoalan yang bisa ia pecahkan;… 
        tugas itu sendiri muncul ketika kondisi-kondisi material untuk penyelesaiannya sudah ada atau 
        setidaknya  sedang dalam proses pembentukan.
2. Sebuah formasi sosial tidak lenyap  sebelum semua  kekuatan produktif telah  dikembangkan,  
        dan hubungan-hubungan  produksi  baru yang lebih tinggi tak akan  menggantikannya sebelum 
        kondisi-kondisi untuk keberadaannya telah  dikembangkan dalam rahim  masyarakat yang lama. 

Kedua pokok ini, yang sering dirujuk dalam Quaderni, harus dibaca bersama dengan tesis, yang juga diambil dari Kata Pengantar Marx : "bahwa  semua  orang menjadi sadar (tentang konflik antara kekuatan-kekuatan produksi material) pada tingkat ideologis  bentuk-bentuk yuridis, politik, religius, artistik, dan  filosofis". 

Kedua kutipan mengandung inti filsafat sosial Gramsci. Hal itu  menunjukkan sumber-sumber pemikirannya yang secara esensial Marxis; penekanan pada "kondisi-kondisi material" sebagai realitas mendasar dari formasi-formasi sosial. Tetapi basis  itu tidaklah menentukan superstruktur--ia menyediakan kondisi-kondisi  "riel"  yang  dapat  ditangkap  secara tepat   oleh sebuah teori yang "rasional". Hal  ini menunjukkan bahwa ada bentuk-bentuk kesadaran irrasional, dan adalah tugas seorang intelektual marxis untuk menelanjanginya. 

Kalau ditelusuri lewat sudut ini, jelaslah bahwa Gramsci bukanlah seorang idealis-voluntaristik, melainkan justru seorang yang  menekankan praksis. 

SURAT TERBUKA PRAMOEDYA ANANTA TOER KEPADA KEITH FOULCHER

SURAT TERBUKA PRAMOEDYA ANANTA TOER KEPADA KEITH FOULCHER
Jakarta, 5 Maret 1985
Demi Demokrasi 2 (1985); an English translation is in Indonesia Reports, cultural and social supplement (August 1986)

Salam,
Surat 26 Februari 1985 saya terima kemarin, juga surat terbuka Achdiat K. Mihardja untuk teman-teman (sarjana) Australia yang dilampirkan. Terimakasih. Lampiran itu memang mengagetkan, apalagi menyangkut-nyangkut diri saya, dan tetap dalam kesatuan semangat kaum manikebuis pada taraf sekarang: membela diri dan membela diri tanpa ada serangan sambil merintihkan kesakitannya masa lalu, yang sebenarnya lecet pun mereka tidak menderita sedikit pun. Total jendral dari semua yang dialami oleh kaum manikebuis dalam periode terganggu kesenangannya, belum lagi mengimbangi penganiayaan, penindasan, penghinaan, perampasan dan perampokan yang dialami oleh satu orang Pram. Setelah mereka berhasil ikut mendirikan rezim militer, dengan meminjam kata-kata dalam surat terbuka tsb.: "All forgotten and forgiven" dan revisiannya: "We've forgiven but not forgotten." Saya hanya bisa mengelus dada. Kemunafikan dan keangkuhan dalam paduan yang tepat, seimbang dengan kekecilan nyalinya dalam masa ketakutan. Dan Bung sendiri tahu, perkembangan sosial- budaya-politik--di sini Indonesia--bukan semata-mata ulah perorangan, lebih banyak satu prosedur nasional dalam mendapatkan identitas nasional dan mengisi kemerdekaan. Tak seorang pun diantara para manikebuis pernah menyatakan simpati--jangan bayangkan protes--pada lawannya yang dibunuhi, kias atau pun harfiah. Sampai sekarang. Misalnya terhadap seniman nasional Trubus. Japo[?] Lampong. Apalagi seniman daerah yang tak masuk hitungan mereka. Di mana mereka sekarang. Di mana itu pengarang lagu Genjer-genjer? Soekarno mengatakan: Yo sanak, yo kadang, yen mati m[?a]lu kelangan. Yang terjadi adalah-- masih menggunakan suasana Jawa: tego larane, tego patine.

Masalah pokok pada waktu itu sederhana saja: perbenturan antara dua pendapat; revolusi sudah atau belum selesai. Yang lain-lain adalah masalah ikutan daripadanya. Saya sendiri berpendapat, memang belum selesai. Buktinya belum pernah muncul sejarah revolusi Indonesia. Karena memang belum ada distansi dengannya. Belum merupakan kebulatan yang selesai. Maka para sejarawan takut. Malah kata revolusi nasional cenderung dinamai dan dibatasi sebagai perang kemerdekaan. Pertentangan manikebu dan pihak kami dulu tidak lain cuma soal polemik. Memang keras, tapi tak sampai membunuh, kan? Kan itu memang satu jalan untuk mendapatkan kebenaran umum, yang bisa diterima oleh umum? Bahwa pada waktu itu terjadi teror yang dilakukan oleh orang-orang Lekra sebagaimana dituduhkan sekarang, betul- betul saya belum bisa diyakinkan. Beb Vuyk dalam koran Belanda menuduh: teror telah dilakukan orang-orang Lekra terhadap beberapa orang, antaranya Bernard IJzerdraad. Waktu ia datang ke Indonesia dan menemuinya sendiri, IJzerdraad menjawab tidak pernah diteror. Dan Beb Vuyk tidak pernah mengkoreksi tulisannya. Beb Vuyk sendiri meninggalkan Indonesia setelah kegagalan pemberontakan PRRI-Permesta, kemudian minta kewarganegaraan Belanda. Mungkin ia merasa begitu pentingnya bagi Indonesia sehingga dalam usianya yang sudah lanjut merasa berkepentingan untuk mendirikan kebohongan terutama untuk menyudutkan saya. pada hal dalam polemik-polemik tsb. saya hanya menggunakan hak saya sebagai warganegara merdeka untuk menyatakan pendapat. Dan saya sadari hak saya. Seperti sering kali saya katakan: kewarganegaraan saya peroleh dengan pergulatan bukan hadiah gratis.

Dan apa sesungguhnya kudeta gagal G-30S/PKI itu? Saya sendiri tidak tahu. Sekitar tanggal 24 bulan lalu saya menerima fotokopi dari seorang wartawan politik Eropa dari Journal of Contemporary Asia, tanpa nomor dan tanpa tahun, berjudul: "Who's Plot--New Light on the 1965 Events," karangan W.F. Wertheim. Itulah untuk pertama kali saya baca uraian dari orang yang tak berpihak. Juga itu informasi pertama setelah 20 tahun belakangan ini. Rupa-rupanya karena ketidaktahuan saya itu saya harus dirampas dari segala-galanya selama 14 tahun 2 bulan + hampir 6 tahun tahanan kota (tanpa pernyataan legal), tanpa pernah melihat dewan hakim yang mendengarkan pembelaan saya. Memang sangat mahal harga kewarganegaraan yang harus saya bayar. Maka juga kewarganegaraan saya saya pergunakan semaksimal mungkin. Itu pun masih ada saja orang yang tidak rela. Juga surat pada Bung ini saya tulis dengan menjunjung tinggi harga kewarganegaraan saya. Sekarang akan saya tanggapi tulisan A.K.M. Ia tidak ada di Indonesia waktu meletus peristiwa 1965 itu. Tetapi saya sendiri mengalami. Saya akan ceritakan sejauh saya alami sendiri, untuk tidak membuat terlalu banyak kesalahan.

Pada 1 Oktober 1965 pagihari saya dengar dari radio adanya gerakan Untung. Kemudian berita tentang susunan nama Dewan Revolusi. Sebelum itu pengumuman naik pangkat para prajurit yang ikut dalam gerakan Untung dan penurunan pangkat bagi mereka yang jadi perwira di atas letkol. Sudah pada waktu itu saya terheran-heran, kok belum-belum sudah mengurusi pangkat? Ini gerakan apa, oleh siapa? Saya lebih banyak di rumah daripada tidak. Kerja rutine ke luar rumah adalah dalam rangka menyiapkan Lentera dan mengajar pada Res Publika. Dan sangat kadang-kadang ke pabrik pensil di mana saya "diangkat" jadi "penasihat." Jadi di rumah itu saja saya "ketahui" beberapa hal yang terjadi dari suara-suara luar yang datang. Mula-mula datang Abdullah S.P., itu penantang Hamka, waktu itu baru saja bekerja di sebuah surat kabar Islam yang baru diterbitkan, dan yang sekarang saya lupa namanya. Ia mengatakan merasa tidak aman dan hendak mengungsi ke tempatku. Saya keberatan, karena memang tidak tahu situasi yang sesungguhnya. Seorang pegawai tatausaha Universitas Res Publika datang ke rumah menyerahkan honor, dan mengatakan Universitas ditutup karena keadaan tidak aman. Ia menyerahkan honor lipat dari biasanya. Beberapa hari kemudian datang pegawai dari pabrik pensil, juga menyerahkan honor, juga lipat dari biasanya, karena pabrik terpaksa ditutup, keadaan gawat. Kemudian datang seorang teman yang memberitakan, rumah Aidit dibakar, demikian juga beberapa rumah lain. Ia juga memberitakan tentang cara massa bergerak. Mereka menyerang rumahtangga orang, kemudian datang para petugas berseragam yang tidak melindungi malah menangkap yang diserang. "Saya yakin Bung akan diperlakukan begitu juga," katanya. Soalnya apa dengan saya? tanyaku. "Kesalahan bung, karena bung tokoh." Itu saja? Tempatku di sini, kataku akhirnya.

Seorang penjahit, yang pernah dibisiki larangan menjahitkan pakaian saya oleh tetangga anggota PNI-- penjahit itu juga tetangga--menawarkan tempat aman pada saya nun di Brebes (kalau saya tidak salah ingat). Saya ucapkan terimakasih. Mengherankan betapa orang lain dapat melihat, keamananku dalam ancaman. Seorang teman lain datang dan menganjurkan agar saya lari. Mengapa lari? tanya saya. Apa yang saya harus larikan? Diri saya? dan mengapa? Kemudian datang seorang pengarang termuda yang saya kenal. Biasanya ia langsung masuk ke belakang dan membuka sendiri lemari makan. Ia tidak mengulangi kebiasaannya. Tingkahnya menimbulkan kecurigaan. Saya masih ingat kata- kata yang saya ucapkan kepadanya: saya seorang diri dari dulu, kalau pengeroyok memang hendak datangi saya akan saya hadapi seorang diri; tempat saya di sini.

Keadaan makin lama makin gawat. Isteri saya baru dua bulan melahirkan. Adalah tepat bila ia dan anak-anak untuk sementara menginap di rumah mertua. Papan nama saya, dari batu marmer, bertahun-tahun hanya tergeletak, sengaja saya pasang di tembok depan dengan lebih dahulu memahat tembok. Sebagai pernyataan: saya di sini, jangan nyasar ke alamat yang salah. Di tempat lain isteri kedua mertua saya mengadakan selamatan untuk keselamatan saya. Sementara itu saya tetap tinggal di rumah menyiapkan ensiklopedi sastra Indonesia. Dalam keadaan lelah saya saya beralih mempelajari Hadits Bukori. di malam hari semua lampu saya padamkan dan saya duduk seorang diri di beranda. Teman saya hanya seorang, adik saya yang pulang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya, Koesalah Soebagyo Toer. Kemudian datang tanggal 13 Oktober 1965 jam 23.00. Tahu-tahu rumah saya sudah dikepung. Lampu pagar dari 200 watt--waktu tegangan hanya 110, namun dapat dianggap terlalu mewah untuk kehidupan kampung--saya nyalakan. Di depan pintu saya lihat orang lari menghindari cahaya. Mukanya bertopeng. Tangannya membawa pikar. Malam-malam, dengan topeng pula, langsung terpikir oleh saya, barang itu tentu habis dirampoknya dari rumah yang habis diserbu. Saya tahu itu pikiran jahat. apa boleh buat karena suara- suara gencar memberitakan ke rumah, pihak militer mengangkuti anak-anak sekolah ke atas truk dan disuruh berteriak-teriak menentang Soekarno. Saya tidak pernah melihat sendiri. Saya percaya, karena pelda (atau peltu?) yang tinggal di depan rumah saya, sudah dua malam berturut- turut bicara keras di gang depan rumah, bahwa militer punya politik sendiri, Soekarno sudah tidak ada artinya. Konon ia bekas KNIL. Malah pada malam kedua ia buka mulut keras-keras sambil mondar-mandir, dan saya merasa itu ditujukan pada saya, rokok kretek saya cabut dari bibir dan saya lemparkan padanya. Terdengar ia melompat sambil memekik. Jadi kalau saya punya pikiran jahat seperti itu bukan tidak pada tempatnya. Nah, setiap lampu pagar saya matikan, muncul gerombolan di depan pintu. Bila saya nyalakan lagi mereka lari. Jelas mereka muka-muka yang saya telah kenal. Tak lama kemudian batu-batu kali tetangga samping, yang dipersiapkan untuk membangun rumah, berlayangan ke rumah saya. Itu tidak mungkin dilemparkan oleh tenaga satu orang. Paling tidak dua orang dengan jalan membandulnya dengan sarung atau dengan lainnya. Kalau anak-anak saya masih di rumah, terutama bayi 2 bulan itu, saya tak dapat bayangkan apa yang bakal terjadi. Batu besar berjatuhan di dalam rumah menerobosi genteng dan langit-langit. Jadi benar-benar orang menghendaki kematian saya. Saya ambil tongkat pengepel dari kayu keras, juga mempersenjatai diri dengan samurai kecil (pemberian Joebaar Ajoeb sekembalinya dari Jepang). Ini hari terakhir saya, di sini, di tempat saya. Saya tahu, takkan mungkin dapat melawan satu gerombolan, tapi saya toh harus membela diri? Jalan kedua untuk bertahan adalah memberi gerombolan itu sesuatu yang mereka ingat seumur hidup: kata-kata yang lebih ampuh dari senjata.

Dengan suara cukup keras saya memekik: Ini yang kalian namai berjuang? Kalau hanya berjuang aku pun berjuang sejak muda. Tapi bukan begini caranya. Datang ke sini pemimpin kalian! Berjuang macam apa begini ini? Ingar-bingar terhenti. Juga lemparan batu. Tiba-tiba sebongkah besar batu kali menyambar paha saya dan melesat mengenai pintu depan yang sekaligus hancur. Lemparan batu menjadi hebat kembali. Lampu pagar sengaja dihancurkan dengan lemparan juga. Saya dengar suara: Mana minyaknya. Sini, bakar saja. Tetapi saya dengar juga suara orang tua tetangga sebelah kiri saya, seorang dukun cinta: jangan, jangan dibakar, nanti rumah saya ikut terbakar. Tak lama kemudian terdengar suara lagi: jangan lewat di tanah saya. Waktu saya lihat ke dalam rumah adik saya sudah tidak ada. Rupanya ia meloloskan diri dari pintu pagar belakang dan langsung memasuki tanah sang dukun cinta.

Dan betul saja kata teman itu: kemudian datang orang- orang berseragam. Metode kerja yang kelak akan terus- menerus dapat dilihat. Mereka terdiri dari polisi dan militer. Saya belum lagi sempat menggunakan tongkat dan samurai saya, mereka belum lagi memasuki pekarangan rumah saya. Komandan militer operasi dan gerombolannya saya bukakan pintu. Mereka masuk dan langsung menyalahkan saya: sia- sia melawan rakyat. Kontan saya jawab: Gerombolan, bukan rakyat. Setelah mereka memeriksa seluruh rumah ia bilang lagi: Siapkan, pak mari kami amankan, segera pergi dari sini. Saya berteriak memanggil adik saya. Dia muncul, entah dari mana. Dijanjikan akan diamankan, saya siapkan naskah saya Gadis Pantai untuk diselesaikan dan mesin tulis. Pada seorang polisidalam team itu saya bertanya: kenal saya? Kenal, pak. Tolong selamatkan semua kertas dan perpustakaan saya. di situ adalah perkerjaan Bung Karno (waktu itu saya belum sampai selesai menghimpun cerpen-cerpen Bung Karno, dan korespondensi Soekarno-Sartono-Thamrin masih belum memadai untuk diterbitkan). Dia berjanji untuk menyelamatkan.

Mereka giring kami berdua melalui gang. Gerombolan itu berjalan mengepung di samping dan belakang. Ada yang membawa tombak, keris, golok, belati. Benar, alat negara itu tidak menangkap gerombolan penyerbu, malah menangkap yang diserbu. Dan sebanyak itu dikerahkan untuk menumpas satu-dua orang. Hebat benar membikin momentum qua perjuangan. Sampai di sebuah lapangan gang jurusan belakang rumah, sebelum dinaikkan ke atas Nissan mereka ikat tanganku ke belakang dan menyangkutkan ke leher, sehingga rontaan pada tangan akan menjerat leher. Tali mati. Bukan simpul mati yang diajarkan di kepanduan. Tali mati. Macam ikatan yang dipergunakan untuk tangkapan yang akan dibunuh semasa revolusi dulu. Tentu saja saya menyesal akan mati dalam keadaan seperti ini. Lebih indah bila dengan bertarung di atas tanah tempat saya tinggal. Melewati jembatan depan rumahsakit umum pusat Koptu Sulaiman menghantamkan gagang besi stennya pada mataku. Cepat saya palingkan kepala dan besi segitiga itu tak berhasil mencopot bola mata tetapi meretakkan tulang pipi. Saya memahami kemarahannya, bukan padaku sebenarnya, tapi pada atasannya, karena tak boleh ikut memasuki rumah saya. Mereka bawa kami ke Kostrad, kalau saya tidak keliru. Yang sedang piket adalah seorang Letkol. Kami diturunkan di situ, dan pada perwira itu saya minta agar kertas dokumentasi dan perpustakaan diselamatkan. Kalau Pemerintah memang menghendaki agar diambil, tapi jangan dirusak. Ia menyanggupi. Dari situ kami dibawa memasuki sebuah kompleks perumahan yang saya tak tahu kompleks apa. Dari jendela nampak puncak emas Monas. Kemudian saya dapat mengenali rumah itu; hanya masuknya tidak berkelok- kelok melalui kompleks, tetapi langsung dari jalan raya, karena pada 1955 di ruang yang sama saya pernah menemui Erwin Baharuddin, bekas sesama tahanan Belanda di penjara Bukitduri. Piket mengambil semua yang saya bawa di tangan, naskah dan mesin tulis, juga samurai yang tersisipkan dalam kaos kaki. Waktu ia tinggal seorang diri rolex saya dikembalikan, berpesan supaya jangan kelihatan, sembunyikan baik-baik. kami dipersilakan ke sebuah ruangan tempat di mana sudah menggeloyor di lantai beberapa orang. Seorang adalah Daryono dari suatu SB (entah SB apa) dan seorang perjaka jangkung tetangga sendiri. Piket yang mengembalikan jamtangan itu memasuki ruangan tempat kami tergolek di lantai. Di sebuah papantulis besar tertulis dengan kapur: Ganyang PKI. Ia pergi ke situ dan menghapus tulisan itu sambil berguman: apa saja ini! Seorang bocah berpangkat kopral, bermuka manis, menghampiri dan menanyai ini-itu. Saya tanyakan apa pangkatnya. Ia menjawab dengan pukulan dan tempeleng, kemudian pergi. Kurang lebih dua jam kemudian saya lihat Nissan patrol datang dan menurun-nurunkan barang. Beberapa contoh ditaruh di atas meja di ruangan tempat kami menggeletak di lantai. Saya kenal benda-benda itu: kartotik file saya sendiri, dokumentasi potret sejarah, malah juga klise timah yang saya siapkan untuk saya pergunakan dalam jangka panjang. Saya jadi mengerti perpustakaan dan dokumentasi saya, jerih-payah selama lima belas tahun telah dibongkar, 5.000 jilid buku dan beberapa ton koleksi suratkabar. Angka-angka itu saya dapatkan dari sarjana perpustakaan yang sekitar dua tahun membantu saya.

Tangkapan-tangkapan baru terus berdatangan. Ada yang sudah tak bisa jalan dan dilemparkan ke lantai. Kemudian datang tangkapan yang langsung mengenali saya. Ia bertanya mengapa saya berlumuran darah. Baru waktu itu saya sadar kemejaku belang-bonteng kena darah sendiri, demikian juga celana, yang rupanya teriris batu kali yang dilemparkan. Dialah yang bercerita, semua kertas saya diangkuti militer. Massa menyerbu dan merampok apa saja yang ada, sampai-sampai mangga yang sedang sarat berbuah digoncang buahnya. Tak ada satu cangkir atau piring tersisa. Rumah bung tinggal jadi bolongan kosong blong.

Jangan dikira ada perasaan dendam pada saya; tidak. Justru yang teringat adalah satu kalimat dari Njoto, yang A.K.M. juga kenal: Tingkat budaya dan peradaban angkatan perang kita cukup rendah, memprihatinkan, kita perlu meningkatkannya. Saya juga teringat pada kata-kata lain lagi: Kalau kau mendapatkan kebiadaban, jangan beri kebiadaban balik, kalau mampu, beri dia keadilan sebagai balasan. Dalam tahanan di RTM tahun 1960 saya mendapatkan kata baru dari dunia kriminal: brengsek. Sekarang saya dapat kata baru pula: di-aman-kan, yang berarti: dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan aman dan keamanan. Sebelum itu saya punya patokan cadangan bila orang bicara denganku: ambil paling banyak 50% dari omongannya sebagai benar. Sekarang saya mendapatkan tambahan patokan: Kalau yang berkuasa bilang A, itu berarti minus A. Apa boleh buat, pengalaman yang mengajarkan. Di antara orang kesakitan di kiri dan kanan saya, di mana orang tidak bisa dan tidak boleh ditolong, terbayang kembali wartawan Afrika--saya sudah tidak ingat dari Mali, Ghana atau Pantai Gading--yang waktu naik mobil pertanyakan: Apa Nasakom itu mungkin? Apa itu bukan utopi? Saya jawab: di Indonesia diperlukan suatu jalan. Setiap waktu bom waktu kolonial bisa meletus. Itu kami tidak kehendaki. Nampaknya Nasakom sebagai kenyataan masih dalam pembinaan. Dia bilang: Kalau Nasakom gagal? Bukankah itu berarti punahnya pemerintah sipil, karena Nasakom tersapu? Jawabku: Kami hanya bisa berusaha. Dia bilang lagi: Kalau Nasakom disapu, tidak akan lagi ada kekuatan nasionalis, agama maupun komunis! Dialog selanjutnya saya sudah tak ingat.

Pagi itu-itu diawali kedatangan serombongan wartawan Antara, tanpa sepatu, semua lututnya berdarah. Di antaranya paman saya sendiri, R. Moedigdo, yang saya tumpangi hampir 3,5 tahun semasa pendudukan Jepang. Dia pun tak terkecuali. Kemudian saya dengar, mereka baru datang dari tangsi CPM Guntur dan habis dipaksa merangkak di atas kerikil jalanan. Menyusul datang power. Orang- orang militer melempar-lemparkan tangkapan baru itu dari atas geladak dan terbanting ke tanah. Ruangan telah penuh- sesak dengan tangkapan baru, sampai di gang-gang. Itu berarti semakin banyak erangan dan rintihan. Diantaranya terdapat sejumlah wanita. Sedang gaung dari pers yang menyokong militer sudah sejak belum ditangkap, tak henti- hentinya menalu gendang untuk membangkitkan emosi rakyat terhadap PKI dan organisasi massanya: Gerwani di Lubangbuaya memotongi kemaluan para jendral dan melakukan tarian cabul dan semacamnya, tipikal buah pikiran orang yang tak pernah mempunyai cita-cita. Bulu kuduk berdiri bukan karena tak pernah menduga orang Indonesia bisa membuat kreasi begitu kejinya.

Kemudian datang waktu pemeriksaan. Saya dibawa ke ruang pemeriksaan, yang sepanjang jam, siang dan malam diisi oleh raungan dan pekikan. Juga dari mulut wanita. Memang ruang yang saya masuki waktu itu tidak seriuh biasanya. Alat-alat penyetrum tidak dikerahkan. Di pojokan seorang KKO bertampang Arab, hitam, tinggi dan langsing, dingan kaki bersepatu bot menginjak kaki telanjang yang diperiksanya. Dan di antara jari-jemari pemuda malang itu disisipi batang pensil dan tangan itu kemudian diremas si pemeriksa sambil tersenyum dan bertanya: Ada apa? Ada apa kok memekik? Di samping pemuda itu adalah saya, diperiksa oleh seorang letnan (atau kapten?) bernama Nusirwan Adil.

Di luar dugaan pemeriksaan terhadap saya tidak disertai penganiayaan seperti dideritakan pemuda malang di samping kiri saya. Pemeriksa itu tenang dan sopan, dan mungkin cukup terpelajar dan beradab. Ia memulai dengan pertanyaan mengapa saya berdarah-darah. Jawab: terjatuh. Tapi itu bukan termasuk dalam acara pemeriksaan. Pertanyaan: Bagaimana pendapat tentang gerakan Untung? Jawab: tidak tahu sesuatu tentangnya. Pertanyaan: Apa membenarkan gerakan itu? Jawab: Kalau mendapat kesempatan mempelajari kenyataan- kenyataannya yang authentik mungkin dalam lima tahun sesudahnya saya akan bisa menjawab pertanyaan itu.

Sebelum meneruskan tentang pemeriksaan ini saya sisipkan dulu beberapa hal sebelum penangkapan saya. Pertama: sejak semula saya sependapat bahwa gerakan Untung, yang kemudian dinamai G-30S/PKI, adalah gerakan dalam tubuh angkatan darat sendiri. Pendapat itu tetap bertahan sampai sekarang, juga sebelum membaca tulisan Wertheim dalam Journal of Contemporary Asia. Berita-berita pengejaran dan pembunuhan semakin hari semakin banyak dan menekan. Kedua: seorang perwira intel pernah datang berkunjung khusus untuk menyampaikan, bahwa militer akan memainkan peranan kucing terhadap PKI sebagai tikus. Tiga: dua mahasiswa UI telah dilynch di jalanan raya yang baru dibangun, masih lengang, di sekitar kampus. Keempat: pemeriksaan terhadap para tangkapan berkisar pada dua hal, pertama keterlibatan dalam peristiwa Lubangbuaya, kedua keanggotaan Pemuda Rakyat dan PKI. Kelima: beberapa hari sebelum penangkapan seorang pegawai Balai Pustaka mengumumkan dalam harian Api Pancasila di Jakarta, bahwa saya adalah tokoh Pemuda Rakyat. Karena sebagai pelapor ia menyebutkan diri pegawai Balai Pustaka, jadi saya datang menemui direktur BP--waktu itu Hutasuhut, kalau saya tidak salah ingat--dan mengajukan protes karena BP dipergunakan sebagai benteng untuk menyebarkan informasi yang salah tentang saya. Direktur BP menolak protes saya. Pegawai yang menulis itu tinggal beberapa puluh langkah dari rumah saya. Dalam peristiwa plagiat Hamka ia pernah mengirimkan surat pembelaan untuk Hamka dan hanya sebagian daripadanya saya umumkan. Dan memang ruangan rumah saya pernah dipinjam untuk pendirian ranting Pemuda Rakyat. Tetapi itu bukan satu- satunya. Kalau sore ruangan belakang juga menjadi tempat taman kanak-kanak (reportase tentangnya pernah ditulis oleh Valentin Ostrovsky, kalau saya tidak meleset mengingat). Setiap Kamis malam ruangan depan dipergunakan untuk tempat diskusi Grup diskusi Simpat Sembilan. Setiap pertemuan didahului dengan pemberitahuan pada kelurahan. Jadi tidak ada sesuatu yang dapat dituduhkan illegal. Keenam: seseorang menyampaikan pada saya, mungkin juga pada sejumlah orang lagi, kalau diperiksa adakan anggota PKI atau ormasnya, akui saja ya--tidak peduli benar atau tidak; soalnya mereka tidak segan-segan membikin orang jadi invalid seumur hidup untuk menjadi tidak berguna bagi dirinya sendiri pun untuk sisa umurnya selanjutnya. Dan, tidak semua orang tsb., dapat saya sebut namanya, karena memang tidak mampu mengingat--hampir 20 tahun telah liwat. Jadi waktu pemeriksa menanyakan apakah saya anggota PKI, saya jawab ya. Pertanyaan: Apakah percaya negara ini akan jadi negara komunis? Jawab: Tidak dalam 40 tahun ini. Sebabnya? Faktor geografi dan konservativitas Indonesia.

Cuma itu sesungguhnya isi pemeriksaan pokok. Tetapi karena selama dalam penahanan itu harian Duta Masyarakat memberitakan reportase tentang penyerbuan gerombolan itu ke rumah saya dan rumah S. Rukiah Kertapati, dimana disebutkan di rumah saya ditemukan buku-buku curian dari musium pusat dan di rumah Rukiah setumpuk permata, jadi pemeriksaan berpusat pada soal pencurian tsb. Memang saya pernah meminjam satu beca majalah, harian dan buku dari musium pusat. Yang belum saya kembalikan adalah Door Duisternis to Licht Kartini dan harian Medan Prijaji tahun 1911 dan 1912. Kalau arsip itu tersusun baik, akan bisa ditemukan, bahwa sumbangan saya ada 10 kali lebih banyak dari pada yang masih saya pinjam. Dengan demikian pemeriksaan selesai. Benar-tidaknya omongan saya ini dapat dicek pada proces verbal, sekiranya masih tersimpan baik pada instansi yang berwenang.

Bila ada selisih, soalnya karena waktunya sudah terlalu lama. Mungkin Bung bertanya dari mana saya tahu ada berita dalam Duta Masyarakat yang menuduh saya mencuri. Ya, pada suatu pagi muncul seorang kapten di ruang tempat serombongan tahanan. Ia langsung mengenali saya, sebaliknya saya mengenal dia sebagai sersan di RTM tahun 1960. Ia bertubuh tinggi, berkulit langsat dan bibir atasnya suwing. Saya tak dapat mengingat namanya. Suatu malam ia kunjungi aku di kamar kapalselam (sel isolasi) di RTM itu. Banyak mengobrol, antara lain ia bercerita pernah ikut pasukan merah dalam Peristiwa Madiun. Pagi itu ternyata ia berpangkat kapten. Langsung ia bertanya di mana Sjam. Itu untuk pertama kali saya dengar nama itu. Tapi ia segera membatalkan pertanyaanya dengan kata-kata: Ah, Pak Pram sastrawan, tentu tidak tahu siapa dia. Ramahnya luarbiasa, bawahannya diperintahkannya untuk mengambilkan kopi dan menyediakan veldbed untuk saya. Dan hanya perintah pertama yang dilaksanakan. Setelah ia pergi seorang sersan gemuk yang terkenal galak, dari Sulawesi, kalau tak salah ingat, juga seorang haji, memanggil saya dengan ramahnya dan menyuruh saya membaca Duta Masyarakat itu.

Nah Bung, setelah pemeriksaan satu rombongan dikirim ke CPM Guntur. Sebelum pergi saya minta pada Nusyirwan Adil untuk membebaskan adik saya, karena baru saja datang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya. Ia luluskan permintaan saya, diketikkan surat pembebasan. Sebelum pergi ia saya titipi jam tangan saya, untuk dipergunakan belanja istri saya. Di Guntur hanya untuk didaftar dan dirampas apa yang ada dalam kantong para tangkapan. Sepatu sampai sikatgigi dan ikatpinggang. Waktu itu baru saya sadari di dalam kantong saya masih tersimpan honorarium dari Res Publika dan pabrik pensil. Semua dirampas dengan alasan: nanti dalam tahanan agar tidak dicuri temannya. Dari guntur kami dibawa ke Salemba. Tangan tetap di atas tengkuk dan tubuh harus tertekuk, tidak boleh berdiri tegak, setinggi para penangkap. Dalam pelataran-pelataran penjara itu nama dibaca satu-persatu oleh seorang militer. Waktu sampai pada giliran saya ia berhenti dan berseru: Lho, Pak Pram, di sini ketemu lagi? Peltu (atau pelda) itu adalah pengawal bersepedamotor yang mengawal sebuah sedan biru-tua dalam bulan November 1960 dari Peperti Peganggsaan ke RTM Jl. Budi Utomo. Dalam sedan itu saya, setelah diminta "diwawancarai" oleh Sudharmono, mayor BC Hk. Dan peltu atau pelda di depanku Oktober 1965 itu adalah Rompis.

Sejak itu berkelanjutan perampasan hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak sipil saya selama hampir 20 tahun ini. Dan Bung Keith, tidak satu orang pun dari kaum manikebuis itu terkena lecet, tidak kehilangan satu lembar kertas pun. Sampai sekarang pun mereka masih tetap hidup dalam andaian, sekiranya kaum kiri menang. Dari menara andaian itu mereka menghalalkan segala: perampasan, penganiayaan, penghinaan, pembunuhan. Tetap hidup dalam kulit telur keamanan dan kebersihan, suci, anak baik-baik para orangtua, dan anak emas dewa kemenangan. Paling tidak sepuluh tahun lamanya saya melakukan kerjapaksa, mereka satu jam pun tidak pernah. Nampaknya mereka masih tidak rela melihat saya hidup keluar dari kesuraman. Waktu saya baru pulang dari Buru, banyak di antaranya yang memperlihatkan sikap manis. Bukan main. Tetapi setelah saya menerbitkan BM, wah, kembali muncul keberingasan.

Tentang A.K.M. sendiri pertama kali saya mengenalnya pada tahun 1946, di sebuah hotel di Garut. Ia tidak mengenal saya. Waktu itu saya sedang dalam sebuah missi militer. Ia datang ke hotel itu dan ngomong-ngomong dengan pemiliknya. Namanya tetap teringat, karena waktu itu ia redaktur majalah Gelombang Zaman yang terbit di Garut. Pertemuan kedua ialah di Balai Pustaka, waktu ia masih jadi pegawai Balai Pustaka yang dikuasai oleh kekuasaan pendudukan Belanda. Setelah penyerahan kedaulatan ia jadi sep saya dalam kantor yang sama--ya saya sebagai pegawai negeri dengan pengalaman semasa revolusi sama sekali tidak diakui, karena semua pegawainya bekas pegawai kekuasaan Belanda. Sewaktu ia hidup aman di Australia, ternyata ia masih dalam hidup dalam andaian, dan sebagaimana yang lain- lain tetap membiakkan pengalaman kecil-mengecil semasa Soekarno untuk jadi gabus apung dalam menyudutkan orang- orang semacam saya. Titik tolaknya tetap andaian. Semua tidak ada yang mencoba menghadapi saya secara berdepan, dari dulu sampai detik saya menulis ini.

Dalam pada itu yang dirampas dari saya sampai detik ini belum dikembalikan. Rumah saya diduduki oleh militer, dari sejak berpangkat kapten sampai mayor atau letkol, bahkan bagian belakang disewakan pada orang lain. Itu pun hanya rumah kampung, namun punya nilai spiritual bagi keluarga dan saya sendiri. Barangkali ada gunanya saya ceritakan. Saya mendirikannya pada tahun 1958 bulan-bulan tua. pajak Honoraria seorang pengarang adalah 15 persen, langsung dipotong oleh penerbit. Waktu saya menyiarkan protes tentang tingginya pajak yang 15 persen, tidak lebih dari seminggu kemudian perdana menteri Djuanda menaikkannya jadi 20 persen, sama dengan pajak lotre. Maka juga pendirian rumah itu melalui ancang-ancang panjang. Kumpul-kumpul dulu kayu dari meter kubik pertama hingga sampai sepuluh dst. Saya merencanakan rumah berdinding bambu sesuai dengan kekuatan. Sepeda motor saya, BSA 500cc.--sepeda motor militer sebenarnya--juga dikurbankan. Tiba-tiba mertua lelaki datang dan mengecam: mengapa mesti bambu? Itu terlalu mahal biayanya. Menyusul perintah: tembok! Ternyata bukan asal perintah. Ia tinggalkan pada saya dua puluh ribu rupiah. Kalau sudah ada, kembalikan, katanya lagi. Maka jadilah rumah tembok yang terbagus di seluruh gang. Ternyata tidak sampai di situ ceritanya. Rekan-rekan yang tidak bisa mengerti, seorang pengarang bisa mendirikan rumah, mulai dengan desas-desusnya. Satu pihak mengatakan, saya telah kena sogok Rusia. ada yang mengatakan RRT. Teman-teman yang dekat mengatakan saya telah kena sogok Amerika. Orang tetap tidak percaya seorang pengarang bisa membangun rumah sendiri. Mereka lupa, dalam Bukan Pasar Malam telah saya janjikan pada ayah saya untuk memperbaiki rumah, dalam tahun pertama saya keluar dari penjara Belanda. yang saya lakukan lebih daripada apa yang saya janjikan, saya bangun baru, dan pada masanya adalah rumah terbagus di seluruh kompleks, sekali pun hanya berdinding kayu jati. (Sekarang memang jati lebih mahal dari tembok). Kami sempat meninggali rumah kampung itu hanya sampai tahun 1965 atau 7 tahun. Orang yang tidak berhak justru selama hampir 20 tahun. Iseng-iseng pernah saya tanyakan; jawabnya seenaknya: apa bisa membuktikan rumah itu bukan pemberian partai? Habis sampai di situ. Pada yang lain mendapat jawaban: jual saja rumah itu, separohnya berikan pada penghuninya. Dan saya bilang: saya tidak ada prasangka orang yang menghuni rumah saya itu dari golongan pelacur. Walhasil sampai sekarang tetap begitu saja.

Baik, kaum manikebuis masih belum puas dengan segala yang saya alami. Saya sama sekali tidak punya sedikitpun perasaan dendam. Setiap dan semua pengalaman indrawi mau pun jiwai, bukan hanya sekedar modal, malah menjadi fondasi bagi seorang pengarang. Apa yang dialamai A.K.M. semasa Soekarno masih belum apa-apa dibandingkan yang saya alami. Peristiwa Kemayoran? Pada 1958 sepulang dari Konferensi Pengarang A- A di Tasykent lewat Tiongkok saya tidak diperkenankan lewat Hongkong dan terpaksa lewat Mandalay, Burma. Artinya, dengan kesulitan tak terduga. Sampai di Rangoon pihak Kedutaan RI tidak mau membantu memecahkan kesulitan saya. Apa boleh buat, tidak ada jalan bagi saya daripada mengancam akan memanggil para wartawan Rangoon dan Jawatan Imigrasi Burma, memberikan pernyataan, bahwa ada kedutaan yang tak mau mengurus warganegaranya yang terdampar. Mereka terpaksa mengurus saya sampai tiba di Jakarta. Dari Rangoon kemudian datang surat yang menuntut macam- macam. Saya hanya menjawab dengan caci-maki dengan tembusan pada menteri luarnegeri, waktu itu Dr. Subandrio. Saya harap surat itu masih tersimpan dalam arsip. Peristiwa itu terjadi berdekatan dengan hari saya menghadap Bung Karno untuk menyerahkan dokumen keputusan Konferensi di samping juga bingkisan dari Ketua Dewan Menteri Uzbekistan, Syaraf Rasyidov, kepadanya, disaksikan oleh beberapa orang, diantaranya Menteri Hanafi. Tak terduga dalam pertemuan itu terjadi sedikit pertikaian dengan Bung Karno. Ia memberi saya suatu instruksi dan saya menolak, karena sebagai pengarang saya punya porsi kerja sendiri. Pertikaian ini kemudian melarut, yang saya anggap wajar, sampai akhirnya atas perintah Nasution saya ditahan di RTM, kemudian ke tempat lebih keras di Cipinang, karena menentang PP 10. Hampir satu tahun dalam penjara, kemudian dilepaskan dalam satu rombongan dan dengan satu nafas dengan para pemberontak PRRI-Permesta sebagai hadiah terbebasnya Irian Barat. Pada hal tidak lebih dari 3 tahun sebelumnya Nasution itu-itu juga memberi saya surat penghargaan no. 0002 untuk bantuan pada angkatan perang dalam melawan PRRI di SumBar.

Penahanan 1960-61 itu merupakan pukulan pahit bagi saya. Bukan saya yang melakukan adalah kekuasaan Pemerintah saya sendiri. Juga sama sekali tidak ada setitik pun keadilan di dalamnya. Saya merasa hanya menuliskan apa yang saya anggap saya ketahui, dan berdasarkan padanya pendapat saya sendiri. Dengan nama jelas, lengkap. Alamat saya pun jelas, bukan seekor keong yang setiap waktu dapat memindahkan rumahnya. Saya membutuhkan pengadilan. Dan itu tidak diberikan kepada saya. Dalam isolasi ketat di Cipinang saya kirimkan surat pada Bung Karno melalui Ngadino, kemudian mengganti nama jadi Armunanto, kepala redaksi Bintang Timur dan anggota DPA. Surat itu bertujuan untuk mendapat hukuman yang justified, entah sebagai pengacau, entahlah sebagai penipu. Setidak-tidaknya bukan yang seperti sekarang. Ia tidak meneruskannya, dengan alasan ada orang lain menyimpan tembusannya. Orang itu adalah H.B. Jassin. Saya yakin surat itu masih tersimpan.

Dapat Bung bandingkan, bahwa andaian kesulitan semasa Soekarno masih tidak berarti dengan kenyataan kesulitan yang saya sendiri alami. Saya heran, bahwa di dalam halaman 2 A.K.M. menyataka keheranannya mengapa namanya dicoret dari daftar pencalonan Front Nasional. Terasa lucu dan naif, selama ia sendiri tidak punya kekuasaan untuk menentukannya. Katanya Lekra membakari bukunya? Saya baru tahu dari halaman itu. Mungkin Boen S. Oemarjati yang berhak memberi penjelasan. Di halaman 3 alinea pertama terdapat kisah yang mengagumkan tentang Taslim Ali. Saya sering datang ke tempatnya di gedung perusahaan Intrabu. Jadi dalam gambaran saya orang yang "selalu menterornya dengan meletakkan pestol di atas meja" -nya itu adalah saya. Pramoedya Ananta Toer. Soalnya surat Goenawan Muhammad tertanggal 28 November 1980 pada Sumartana mengatakan (hlm.3): "Achdiat pernah bercerita, bahwa Pram pernah datang ke Balai Pustaka dengan meletakkan pistol di meja." Kapan itu terjadi? Pestol siapa? Siapa yang saya temui dan saya teror? Kiranya, kalau Goenawan tak berandai-andai, A.K.M. sendiri yang berhak menjawab. Dalam alam kemerdekaan nasional memang pernah saya bersenjata api. Suatu hari dalam 1958. Bukan pestol, tapi parabellum. Tempat: dalam sebuah jeep dalam perjalanan antara Bayah dengan Cikotok. Saksi: seorang letnan angkatan darat. Ia membutuhkan bantuan saya untuk menyelidiki benar- tidaknya ada boulyon-boulyon emas disembunyikan oleh Belanda sebelum meninggalkan Jawa pada 1942 di dasar tambang mas Cikotok, dengan kesimpulan, bahwa semua itu omong kosong belaka. Mengapa bersenjata? Karena sebelumnya sebuah kendaraan umum telah dicegat DI, dibakar. Dan bangkainya masih nongkrong di pinggir jalan. Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik. Dan saya pun tidak pernah bisa diyakinkan ada orang datang untuk menteror Taslim Ali. Apa yang bisa didapatkan dari dia? Sebaiknya A.K.M. menyebut jelas siapa nama penteror itu.

Di halaman 5 tulisan A.K.M. alinea terbawah ditulis bahwa: "di depan rumahnya saya sempat menyusukan selembar 10 ribu rupiah ke dalam kepalannya. Dia agaknya begitu terharu, sehingga nampak matanya basah tergenang," dan "saya tahu Pram tentu butuh duit ketika itu." Memang agak janggal menampilkan saya saya semacam itu. Pada waktu itu saya tidak dapat dikatakan dalam kesulitan keuangan. Segera setelah pulang dari Buru sejumlah bekas tahanan Buru datang pada saya minta dibantu memecahkan kesulitan mereka mencari penghidupan. Memang pihak gereja telah banyak membantu, dan saya menghormati dan menghargai jasanya pada mereka dengan tulus. Tetapi selama status dan namanya bantuan barang tentu tidak mencukupi kebutuhan apalagi untuk keluarganya. Jadi saya dirikan sebuah PT pemborong bangunan, sebuah usaha yang bisa menampung banyak tenaga. Pada waktu A.K.M. datang ke rumah telah 36 orang ditampung, sebagian berkeluarga. Tidak kurang dari 5 rumah dikerjakan, di antara 2 rumah mewah. Ada di antara mereka menumpang ada saya. Usaha ini telah dapat memberi hidup (terakhir) 60 orang dengan keluarganya. Tapi kesulitan itu? Beberapa kali datang intel, yang dengan lisan mengatakan, rumah saya jadi tempat berkumpul tapol. Beberapa orang dari kantor kotapraja memberi ultimatum untuk menyediakan uang sekian ratus ribu dalam sekian hari. Seseorang datang dan mengibar-ngibarkan kartu identitasnya sebagai intel Hankam. Seorang datang mengaku sebagai pegawai sospol Depdag dengan tambahan keterangan, teman-temannya orang Batak banyak, dan orang tidak selamanya waspada. Tak akan saya katakan apa maksud kedatangan mereka. Itu yang datang dari luar. Kesulitan dari dalam pun tak kalah banyaknya. Teman-teman bekas tapol rata-rata sudah surut tenaganya karena tua. Mereka belum terbiasa dengan teknik baru pembangunan rumah sekarang. Mereka tidak terbiasa dengan material baru dan pengerjaannya. Di samping itu kerjapaksa berbelas tahun tanpa imbalan tanpa penghargaan, setiap hari terancam hukuman, telah berhasil merusakkan mental sebagian dari mereka. Dalam pekerjaan yang mereka hadapi mereka tidak berbekal ketrampilan vak. Sedang impian berbelas tahun dalam posisinya sebagai budak-budak Firaun adalah terlalu indah. Seorang yang di Buru mempunyai setiakawan begitu tinggi dan diangkat jadi kepala kerja, kemudian lari membawa uang, dan bukan sedikit. Seorang yang relatif masih muda, suatu malam datang dengan membawa truk dan mengangkuti material bangunan yang telah tersedia dan menjualnya di tempat lain dengan harga rendah untuk dirinya sendiri. Seorang lagi yang juga tergolong muda, sama sekali tanpa ketrampilan tukang, mendadak mengorganisasi pemogokan dengan tuntutan berlipat dari hasil kerjanya. Pick-up Luv Chevrolet, sumbangan teman- teman Savitri, dalam 3 bulan sudah berban gundul dan penyok-penyok.

Pukulan lain yang tak kurang menyulitkan datang. Memang sudah diselesaikan sekitar 8 rumah dengan keadaan seperti itu. Kemudian dua di antara yang dibangunkan rumahnya tidak mau melunasi kewajibannya, mengetahui kedudukan hukum kami lemah. Berkali-kali Savitri minta pertanggungjawaban atas bantuan teman-temannya yang diberikan. Saya tak mampu lakukan itu. Tidak lain dari saya sendiri yang akan merasa malu, dan semua harus saya telan sendiri. Akhirnya saya perintahkan pembubaran PT itu tanpa pernah memberikan pertanggungjawaban pada teman- teman Savitri.

Nah Bung, seperti itu situasi waktu terima selembar sepuluh ribu itu, yang sama sekali tidak pernah saya kira akan dipergunakan oleh A.K.M. untuk memperindah gambaran tentang dirinya. Semua kebaikan tidak akan sia-sia memang bila tidak berpamrih. Dengan pamrih pun tentu saja tidak mengapa, sejauh setiap tindak manusia yang sadar pasti mempunyai motif. Tetapi bila pemberian dipergunakan sebagai investasi, yang setiap waktu dikutip ribanya, sekalipun hanya riba moril, itu memang betul-betul investasi, bukan pemberian. Dan siapa di dunia ini tidak pernah menerima? Waktu saya baru datang dari Buru dan sejumlah orang yang datang hanya untuk bersumbang. Jumlahnya dari 60 sampai 100 ribu, di antaranya 3 mesin tulis, yang tiga-tiganya langsung diteruskan untuk tapol yang lebih memerlukan. Demikian juga halnya dengan uang pemberian. Saya pribadi praktis tidak ada uang dalam kantong. Itu akan kelihatan bila berada di luar rumah. Di Buru pun ada sejumlah pemberi, dari lingkungan dalam dan luar tapol, dari satu sampai sepuluh ribu. Dalam keadaan sulit di Buru pun orang normal tidak bisa tinggal jadi penerima saja. Terutama pihak gereja Katholik pernah memberi keperluan tulis-menulis saya setiap bulan. Bahkan pernah saya terima 2 kali berturut satu kardus besar berisi kacamata, dan pakaian untuk saya pribadi. (Sampai sekarang saya simpan.) Maksud saya hanya untuk menerangkan, pada bangsa-bangsa terkebelakang, atau menurut redaksi baru bangsa-bangsa yang berkembang, memberi adalah keluarbiasaan dan menerima adalah kebiasaan yang perlu dinyatakan.

Jangan dikira saya menulis demikian dengan emosi. Tidak. Suatu dialog bagi saya tetap lebih menyenangkan daripada monolog. Setidak-tidaknya dialog adalah pencerminan jiwa demokratis. Tetapi ucapan all forgiven and forgotten atau we've forgiven but not forgotten, benar- benar produk megalomaniak yang disebabkan mendadak bisa melesat dari kompleks inferiornya, bukan karena kekuatan dalam, tapi luar dirinya. Tentang Pancasila di hlm. 6, saya takkan banyak bicara kecuali menyarankan untuk membuka-buka kembali pers Indonesia semasa Soekarno, khususnya sekitar sebab mengapa presiden RI membubarkan konstituante itu. Golongan mana yang menolak dan mana yang menerima Pancasila sebelum dapat interpretasi atau pun revisi, formal ataupun non- formal.

Dalam hubungan ini saya teringat pada ucapan Nyoto, kalau tidak salah di alun-alun Klaten pada tahun 1964, bahwa nampak ada kecenderungan pada suatu golongan masyarakat (saya takkan mungkin mampu mereproduksi redaksinya) yang membaca kalimat-kalimat Pancasila menjadi: Satu, Ketuhanan yang Maha Esa; Dua, Ketuhanan yang Maha Esa; Tiga, Ketuhanan yang Maha Esa; Empat, Ketuhanan yang Maha Esa; dan Lima, Ketuhanan yang Maha Esa. Dia tidak dalam keadaan bergurau. Selama 14 tahun dalam tahanan ucapan Nyoto bukan saja menjadi kebenaran, lebih dari itu. Dakwah-dakwah yang diberikan, atau lebih tepatnya dengan istilah orde baru santiaji, orang tidak menyinggung sila-sila lain sesudah sila pertama, kalau menyinggung pun hanya sekedar penyumbat botol kosong: beragama dan tidak beragama berarti sembahyang. Tidak bersembahyang berarti tidak pancasilais, bisa juga anti-pancasila. Ya, buntut panjang itu rupanya diperlukan untuk menterjemahkan alam pikiran formalis Pribumi Indonesia, tidak mampu membebaskan diri dari lambang-lambang, upacara, hari peringatan, pangkat dan tanda-tandanya--dan bagi suku Jawa cukup lengkap di dideretkan dalam sastra wayang.

Berdasarkan pengalaman sendiri saya dapat katakan: Revolusi Indonesia tidak digerakkan oleh Pancasila; ia digerakkan oleh patriotisme dan nasionalisme. Baru pada 1946 saya pernah mendapat tugas untuk memberi penerangan tentang Pancasila dan PBB kepada pasukan. Selanjutnya tetap tidak ada pertautan antara Pancasila dengan Revolusi. Saya menghormati pandangan A.K.M. tentang Pancasila yang ia yakini, sekali pun dengan Pancasila itu juga orang- orang sejenis kami di-buru-kan sampai 10 tahun, dan A.K.M. tidak pernah melakukan sesuatu protes. Dan pertanyaan kemudian, apakah ia tetap berpandangan demikian--artinya tak perlu melaksanakannya dalam praktek--pada waktu kepentingan dan keselamatan jiwanya terancam? Bicara di lingkungan aman memang lebih mudah untuk siapapun, dan: tanpa pembuktian.

Dalam hubungan Pancasila dengan demokrasi barat di hlm. 7 sebagai pesan A.K.M. pada rekan-rekannya sarjana Australia saya mempunyai kisah. Pada 1984, Mr. Moh. Roem terkena serangan jantung dan dirawat di RSCM. Seorang dokter menjemput saya, mengatakan, Pak Roem menginginkan kedatangan saya. Saya tak pernah mengkaji apakah itu keinginan Pak Roem atau ambisi si dokter itu saja. Langsung saya berangkat bersama dengannya. Di ruang itu Pak Roem tidur dalam keadaan masih dihubungkan pada alat pengontrol jantung. Penjemput saya langsung menemani perawat sehingga hanya kami berdua di situ tanpa saksi. Menghadapi orang dalam keadaan gawat tentu saja saya tidak bicara apa-apa. hanya beliau yang bicara sampai lelah, sebagai pertanda saya harus mengundurkan diri untuk menghemat tenaga yang beliau perlukan sendiri. Terlalu banyak yang disampaikannya pada saya untuk orang dalam keadaan gawat seperti itu. Satu hal yang berhubungan dengan Pancasila dan demokrasi Barat, dan beliau sebagai ahli hukum, adalah: 50 + 1? Ya, biar begitu perlu dipertimbangkan dengan adil, tidak seperti selama ini dinilai. Dalam sejarah kita telah dibuktikan, bahwa kesatuan Indonesia terwujud hanya karena demokrasi parlementer Barat.

Nah, Bung Keith, inti persoalan dengan kaum manikebu cukup jelas: saya menggunakan hak saya sebagai warganegara Indonesia, hak yang juga ada pada kaum manikebu. Omong kosong bila dikatakan pada waktu itu mereka tak punya media untuk menerbitkan sanggahan. Waktu sekarang, waktu secara formal hak sanggah melalui mass media tidak ada, saya tetap menyanggah dengan berbagai cara yang mungkin, kalau memang ada yang perlu disanggah. Sedang ucapan Pak Roem tsb., ternyata adalah pesan politik terakhir. Beberapa minggu kemudian beliau meninggal dunia.
Saya belum selesai. Masih ada satu hal yang perlu disampaikan, hanya di luar hubungan dengan surat terbuka Achdiat K. Mihardja. Tak lama setelah pertemuan kita terakhir saya menerima surat dari M.L., yang intinya tepat suatu jawaban terhadap saya. Tentu saja saya mendapat kesan kuat, pembicaraan kita Bung teruskan padanya. Terima kasih, bahwa hal-hal yang tidak jelas sudah dibikin terang olehnya. Untuk tidak keliru membikin estimate tentang saya dalam persoalan khusus ataupun umum ada manfaatnya saya sampaikan bahwa saya menyetujui kehidupan bipoler. Saya membenarkan adanya dua superpower, bukan saja sebagai kenyataan, juga sebagai pernyataan makro nurani politik ummat manusia. Kalau hanya ada satu superpower akibatnya seluruh dunia akan jadi bebeknya. Dua superpower mewakili kekuatan ya dan kekuatan tidak, kekuasaan dan opposisi.

Dalam tingkat nasional saya menyetujui kehidupan bipoler. Ada kekuasaan ada opposisi. Kalau tidak, rakyat akan jadi bebek pengambang, dengan kepribadian tidak berkembang. Demokrasi dengan opposisi adalah juga pernyataan makro nurani politik nasional. Dia adalah juga pencerminan mikro nurani pribadi manusia, yang tindakannya ditentukan oleh ya atau tidak. Hewan dengan serba naluri tak memerlukan nurani. Ia tak mengenal ya ataupun tidak.

Semoga surat kelewat panjang ini--lebih tepat usaha pendokumentasian diri sendiri--ada manfaatnya. Saya tidak ada keberatan bila diperbanyak. Salam pada semua yang saya kenal, juga pada M.L. dan Savitri yang pernah saya kecewakan.

Belakangan ini kesehatan saya agak membaik. Soalnya saya menggunakan ramuan tradisional yang ternyata mengagumkan. Dengan pengamatan melalui tes urine dengan benedict kadar gula yang positif dalam 24 jam dapat menjadi negatif, yang tidak dapat saya peroleh melalui sport dan kerja badan selama 2 minggu.

Salam hangat untuk Bung sendiri dan keluarga.
Tetap (tanda tangan).

Makassar, 18 Oktober 2001

APAKAH POSMODERNISME ITU ?

Apakah postmodernisme itu? Bolehkah kita mengajukan pertanyaan ini? Bukankah pertanyaan ini menjurus pada pencarian esensi dari ‘postmodernisme’? Ini berarti berusaha mencari suatu pengertian definitif (definire = membatasi) atau suatu kesatuan representasi atas referent yang kemudian diberi nama ‘postmodernisme’? Bolehkah? Entahlah...!! Jadi, bagaimana......? 

Donny Gahral Adian membedakan postmodernisme dari postmodernitas. Postmodernitas, tulisnya, merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk menggambarkan realitas sosial masyarakat postindustri. Masyarakat postindustri adalah masyarakat yang ekonominya telah bergeser dari ekonomi manufaktur ke ekonomi jasa di mana ilmu pengetahuan memainkan peranan sentral. Postmodernitas ini ditandai dengan fenomena-fenomena : negara bangsa pecah menjadi unit-unit yang lebih kecil atau melebur ke unit yang lebih besar, partai-partai politik besar menurun dan digantikan oleh gerakan-gerakan sosial (LSM-LSM), kelas sosial terfragmentasi dan menyebar ke kelompok-kelompok kepentingan yang memfokuskan diri pada gender-etnisitas-atau orientasi seksual, serta prinsip kesenangan dan dorongan mengkonsumsi yang menggantikan etika kerja yang menekankan disiplin, kerja keras, anti kemalasan, dan panggilan spiritual (kerja = ibadah). Sementara itu postmodernisme dimengertinya sebagai wacana pemikiran baru yang menggantikan modernisme. Postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme seperti adanya subyek yang sadar diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier (Adian, 2001: 95-97). 

Senada dengan Gahral Adian, Anthony Giddens ternyata juga membedakan postmodernisme (postmodernism) dari postmodernitas (postmodernity). Postmodernisme, jika sungguh-sungguh ada, menurut Giddens sebaiknya diartikan sebagai gaya atau gerakan di dalam sastra, seni lukis, seni plastik, dan arsitektur. Gerakan ini memperhatikan aspek-aspek aesthetic reflection dari modernitas. Sementara itu postmodernitas dimengertinya sebagai tatanan sosial baru yang berbeda dengan institusi-institusi modernitas. Namun, alih-alih menggunakan istilah postmodernitas, Giddens lebih suka menggunakan istilah “modernitas yang teradikalisasi” (radicalized modernity) untuk menggambarkan dunia kita yang mengalami perubahan hebat dan sedang melaju kencang bak Juggernaut yang tak bisa lagi dikendalikan, suatu dunia yang mrucut (runaway world). Alih-alih setuju dengan postmodernitas yang mewartakan berakhirnya epistemologi, Giddens lebih percaya bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah “modernitas yang sadar diri” (Giddens, 1990: 45-53, 150-173). 

Sementara itu, Bambang Sugiharto mengatakan bahwa “postmodernisme” memang merupakan istilah yang kontroversial sekaligus ambigu. Postmodernisme itu bagaikan rimba belantara yang dihuni oleh aneka satwa....suatu istilah yang “memayungi” segala aliran pemikiran yang satu sama lain seringkali tak persis saling berkaitan. Namun kiranya cukup jelas, katanya, bahwa dalam postmodernisme gagasan-gagasan seperti “filsafat”, “rasionalitas”, dan “epistemologi” dipertanyakan kembali secara radikal. Problem postmodernisme menurut dia adalah problem keterbatasan bahasa, khususnya keterbatasan fungsi deskriptif bahasa. Dia mengusulkan agar bahasa dilihat fungsi transformatifnya. Muncullah metafor—mula-mula diperkenalkan oleh Ricoeur—yang dapat menjadi titik terang untuk melihat persoalan-persoalan yang diajukan oleh postmodernisme. Metafor tidak menunjukkan suatu kebenaran absolut, melainkan suatu “kebenaran yang bertegangan” (tensional truth) (Bambang Sugiharto, 1996: 16-18). 

TOKOH FILSAFAT : THOMAS AQUINAS

Thomas Aquinas merupakan filsuf terbesar pada abad pertengahan di Eropa. Pikirannya sampai sekarang masih sangat berpengaruh. Thomas Aquinas berhasil mempersatukan ajaran-ajaran Augustinus yang sampai saat ini menentukan pemikiran di Eropa dengan filasafat Aristoteles dan dengan demikian memberikan impuls-impuls baru bagi kehidupan intelektual di Barat. Sejak itu filasafat mulai berkembang sebagai ilmu tersendiri.

Selama hampir seribu tahun pemikiran Kristiani di Eropa Barat memang amat dipengaruhi oleh sosok raksasa Santo Augustinus. Augustinus sendiri dekat dengan tradisi Neoplatonisme. Adapun Aristoteles semula kurang dikenal di Eropa Kristiani. Itu berubah karena Ibnu Sina dan lebih-lebih Ibnu Rushd dua filsuf besar Islam, serta Maimonides, filsuf Yahudi paling termasur diabad pertengahan yang tinggal di Kairo. Mereka memperkenalkan karya-karya Aristoteles ke Eropa.

Mesuknya Aristoteles menimbulkan perdebatan. Pemikirannya yang tanpa dimensi transenden, duniawi, analitis, dan bertolak belakang dari pengalaman indrawi terasa jauh kedalaman metafisik dan kehangatan teologis gaya berfilsafat Plato. Diperdebatkan apakah filasafat Aristoteles dapat disesuaikan dengan ajaran Kristiani. Orang pertama yang berhasil menunjukkan kepada pentingnya dan kedalaman pemikiran Aristotelas adalah Albertus Agung (1993-1280), seorang anggota terekat Santo Dominicus. Albertus juga berhasil menjelaskan dimana interpretasi Aristoteles oleh Ibnu Rushd berdasarkan salah pengertian terhadap teks asli Aristoteles.

Thomas Aquinas lahir pada tahun 1225 di Roccasecca, Itali. Ia masuk tarekat Santo Dominicus dan menjadi murid Albertus Agung di Koln. Ia mengajar di Koln Paris dan di Italia. Ia meninggal pada usia sekitar 50 tahun pada tahun 1274 di biara Fossanuova dalam perjalanan ke Konsili (Muktamar Gereja) di Lyon. Thomas Aquinas yang menjadikan Aristoteles dasar pemikirannya, tetapi dengan tidak menyingkirkan gagasan-gagasan dasar Augustinus. Ia memperlihatkan bahwa atas dasar kerangka pemikiran Aristoteles Teologi Augustinus dapat diberikan pendasaran yang lebih mantap.
Thomas mempunyai karya yang luas, ditulis dalam gaya yang ketat dan langsung mengena pada pokok pembicaraan, memperlihatkan keluasan pengetahuan, ketajaman analitis dan kedalaman spekulatif yang jarang ditemukan. Sumbangannya pada filsafat politik walaupun hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh tulisannya semakin diakui sebagai hakiki bagi etika kekuasaan. Thomas Aquinas membicarakan masalah etika politik dalam dua tulisan, pertama dalam Summa Theologiae I dan II, kedua dalam tulisan mungilnya De Regimine Principum (tentang pemerintahan raja).

Dalam uaraian pertama Thomas membicarakan tiga macam hukum dan hubungan yang terdapat diantara hukum-hukum ini, yang pertama adalah Lex Aterna (Hukum Abadi) atau kebijakan Ilahi sendiri sejauh merupakan dasar kodratnya, karena kodrat mahluk-mahluk mencerminkan kebijaksanaan yang menciptakannya. Bahwa mahluk itu ada dan bahwa mahluk berbentuk atau berkodrat sebagaimana adanya adalah karenaitulah yang dikehendaki Sang Pencipta.

Kenyataan ini mempunyai akibat, bahwa kodratnya aadalah normatif bagi ciptaanya. Bagi cipta tak berakal budi halnya dengan sendirinya demikian; mahluk itu dengan sendirinya tumbuh, bergerak, dan berkembang menurut hukum alam. Tetapi lain halnya dengan manusia. Manusia memiliki pengertian dan kemauan bebas dan oleh karena itu dapat menentukan sendiri bagaimana ia mau bertindak. Maka baginya kodratnya merupakan hukum dalam artiyang sungguh-sungguh : ia wajib hidup sesuai dengan kodratnya.

Hukum kodrat (Lex Naturalis) itulah dasar semua tuntutan moral. Dengan menghubungkan hukum moral dengan hukum kkodrat, Thomas mencapai dua hal sekaligus : ia mendasarkan norma-norma moral pada wewenang mutlak Sang Pencipta. Dan ia sekaligus menunjukkan rasionalitasnya. Rasionalitasnya tuntutan-tuntutan moral terletak dalam kenyataan, bahwa tuntutan-tuntutan itu sesuai, dan berdasarkan, keperluan kodrat manusia. Jadi Thomas mengatasi irasionalisme banyak etika religius yang begitu saja mengembalikan norma-norma moral pada kehendak Tuhan tanpa menjelaskan mengapa Tuhan berkehendak demikian. Menurut kodratnya Tuhan menghendaki agar manusia hidup sesuai dengan kodratnya dan itu berarti, hidup sedemikian rupa hingga ia dapat berkembang. Dapat membangun dan menemukan identitasnya, dapat menjadi bahagia. Dalam bahasan moral : hukum kodrat menuntut manusia agar hidup sesuai dengan martabatnya.

Dengan demikian Thomas pada akar hukum moral menolak segala paham kewajiban yang tidak dapat dilegitimasikan secara rasional, dari kebutuhan manusia sendiri yang sebenarnya. Prinsip itu diterapkan dengan tegas pada hukum buatan manusia, Lex Humana. Menurut Thomas suatu hukum buatan manusia  hanya berlaku apabila menurut dimensinya berdasarkan hukum kodrat isinya harus seuai dengan hukum kodrat dan pihak yang memasang hukum itu memiliki wewenangnya berdasarkan hukum kodrat.

Dengan demikian Thomas Aquinas secara radikial menolak kekuasaan sebagai dasar hukum. Suatu peraturan hanya bersifat hukum, artinya hanya mengikat, apabila isinya dapat dilegitimasi secara rasional dari hukum kodrat. Suatu “hukum” yang bertentangan dengan hukum kodrat, menurut Thomas tidak memiliki status hukum, melainkan merupakan “Corruplio Legis” atau penghancuran hukum.

Jadi Thomas Aquinas secara radikal menuntut legitimasi etis penggunaan kekuasaan. Kekuasaan tidak dapat membenarkan dirinya sendiri. Kekuasaan hanyalah suatu kenyataan fiksi dan sosial, tetapi tidak memuat suatu wewenang. Bagi Thomas tak ada satu orang pun yang secara asasi mempunyai wewenang atas manusia lainnya, yang berwenang hanyalah satu ialah Sang Pencipta dan segenap wewenang atas manusia haruslah mendapat hak dan wewenang yang pertama itu. Hukum kodrat adalah tolok ukur legitimasi segala tindakan kekuasaan. Suatu ketentuan penguasa yang tidak sesuai dengan hukum kodrat, tidak mengikat. Dengan demikian filsafat Thomas Aquinas membuka fakta kekuasaan terhadap kritik dan tuntutan pertanggungjawaban. Sekaligus dipastikan bahwa segenap kekuasaan manusia terbatas sifatnya dan tidak pernah mutlak.Kekuasaan itu perlu sejauh manusia, sebagai mahluk berkodraat sosial, membutuhkan kesatuan pimpinan agar ia dapat menjalankan kemanusiaannya secara utuh. Kekuasaan adalah fungsional demi kesejahteraan masing-masing orang. Keperluan manusia dalam martabatnya adalah batas prinsipil segala kekuasaan.

Dalam buku kecil tentang “Pemerintahan Para Raja” yang ditujukan kepada Raja Hugo di Cyprus, Thomas menjelaskan perbedaan antara pemerintahan yang sah dan pemerintahan yang disebut despotik. Pemerintahan despotik adalah pemerintahan yang hanya berdasarkan kekuasaan saja, sedangkan pemerintahan politik yang sah harus sesuai dengan kodrat manusia sebagai orang yang bebas. “Jadi apabila kesatuan orang-orang bebas dibimbing kearah kesejahteraan umum masyarakat, pemerintah ini bersifat betul dan adil sebagaimana sudah semestinya bagi orang-orang yang bebas. Tetapi apabila pimpinan tidak mengusahakan kesejahteraan umum masyarakat, melainkan keuntungan pribadi sang pemimpin, pemerintahan itu tidak adil dan bertentangan dengan kodrat.” Kekuasaan pada dasarnya hanya benar dan baik sejauh berjalan dalam batas-batas yang presis, sedangkan hukum sendiri harus menunjang tujuan negara, yaitu mengusahakan kemakmuran bersama dan bukan kepentingan pribadi penguasa sendiri atau kelompok tertentu. Yang boleh disebut raja bukanlah segenap orang yang kebetulanduduk diatas tahta, melainkan hanyalah penguasa yang memerintah demi kesejahteraan umum masyarakat bukan demi kepentingan diri sendiri.

Dalam hubungan ini Thomas Aquinas mengutamakan ajaran yang termasyur tentang perjanjian pemerintahan. Bagi Aquinas tidak pernah seorang dengan sendirinya berhak untuk memerintah orang lain. Sebagai sesama ciptaan Tuhan tak ada manusia yang sebagai manusia mengungguli manusia lain. Bahwa ada orang yang memerintah dan diperintah berdasarkan kodrat manusia sebagai mahluk sosial. Fungsi suatu pemerintahan diatas masyarakat memang diperlukan agar semua prasarana yang diandaikan manusia dalam usahanya meweujudkan kehidupannya dapat tersedia. Tetapi kepada siapa pemerintahan itu dipercayakan, masyarakatlah yang berhak menentukan (rakyat, populus, dalam bahasa Thomas Aquinas). Menurut Aquinas, setiap raja atau penguasa yang sah menduduki jabatannya berdasarkan suatu perjanjian dengan rakyatnya. Dalam perjanjian itu rakyat disatu pihak berjanji akan taat kepada raja. Di lain pihak raja berjanji bahwa ia akan mempergunakan kekuasaanya demi tujuan yang sebenarnya, yaitu untuk mengusahakan kepentingan rakyat atau kesejahteraan umum. Apabila raja menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan sendiri, ia melanggar perjanjian. Dengan demikian perjanjian ini tidak berlaku lagi. Thomas Aquinas menulis, “Karena apabila termasuk hak rakyat untuk menentukan sendiri, siapa yang menjadi rajanya, maka berdasarkan hak yang sama raja yang diangkat itu dapat disingkirkan dari kedudukannya oleh rakyat yang sama, atau kekuasaannya dapat dibatasi. Dan jangan dikira bahwa rakyat itu dengan demikian melanggar kesetiannya..... karena Raja sudah sepantasnya mengalami bahwa bawahannya tidak menepati perjanjian mereka dengannya, karena ia sendiri dalam memerintah rakyatnya tidak setia kepadanya sebagaimana menjadi kewajiban seoarang raja.”

Untuk mencegah timbulnya Tiranis itu kekuasaan hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga “raja tidak memiliki kesempatan untuk mendirikan pemerintahan yang despotik. Sekaligus kekuasaannya harus dibatasi sedemikian rupa sehingga raja tidak mudah dapat menjadai Tiran.” 

Pendasaran segenap kekuasaan yang sah pada legitimasi etis berdasarkan kodrat dan martabat manusia sebagai mahluk yang bebas merupakan sumbangan Thomas Aquinas yang hakiki pada etika politik.

Dalam etikanya Aquinas mengikuti kerangka dasar dari Aristoteles tapi memberikan dimensi yang baru. Bagi Aquinas pun tujuan manusia adalah kebahagiaan. Seperti menurut Aristoteles kebahagiaan dalam Conteplatio, yang memandang Ilahi. Namun ia tidak berhenti pada pikiran filsafati. Pemikiran filsuf tidak sungguh-sungguh dapat memuaskan manusia. Satu-satunya pendangan yang memuaskan manusia sepenuhnya adalah pandangan nilai tertinggi dan abadi adalah Tuhan sendiri.

Thomas Aquinas mendobrak keterbatasan etika Aristoteles pada dunia ini. Tidak mungkin manusia mencapai tujuan terakhirnya dalam dunia ini. Adapun yang diciptakan tidak dapat membahagiakan manusia sepenuhnya karena manusia berakal budi, terarah kepada yang tak terbatas. Sebagaimana akal budi terarah kepada realitas tak terbatas, begitu pula kehendak manusia barupuas apabila sampai pada nilai yang tertinggi, dan nilai tertinggi itu adalah Tuhan.

Dalam pengertian Aquinas, akal budi merupakan kemampuan yang secara hakiki terbuka bagi yang tak terhingga. Meskipun objek akal budi dianggap menurut pola objek indrawi dan memahami yang terhingga. Karena itu, manusia berakal budi dan binatang tidak.

Akal budi dapat dianggap sebagai keterbukaan yang tak terhingga atau sebagai cakrawalatak terhingga, tetapi karena cakrawala tak terhingga, manusia menangkap objek terhingga sebagai terhingga dan dengan demikian sudah mengatasi keterhinggaan (Hegel). Karena itu Tuhan dapat mewahyukan diri kepada manusia, tapi tidak kepada binatang. Binatang tidak mempunyai cakrawala tak terhingga, sehingga Tuhan tidak mungkin masuk kedalam wawasannya. Namun cakrawala pengertian manusia adalah tak terhingga, sehingga yang tak terhingga dapat mewahyukan diri kepada manusia. Manusia secara kodrati terbuka terhadap Tuhan jadi apabila ketakterhinggaan memenuhi keterbukaan manusia itu. Itulah sebabnya manusia ahnya dapat bahagia apabila memandang Tuhan jadi apabila ketakterhinggaan memenuhi keterbukaan manusia yang terarah pada yang tak terhingga.
Namun manusia hanyalah keterbukaan agar potensialitasnya tak terhingga. Oleh karena itu, manuisa dari kekuatannya sendiri tidak dapat mencapai Tuhan. Ia hanya dapat menerima Tuhan karena Tuhan memberikan diri sendiri. Pemberian diri Tuhan itu sama sekali bukan suatu hak manusia, melainkan tindak bebas Tuhan. Atasnya manusia tidak mempunyai klaim apapun. Ia hanya dapat menerimanya.
Dalam tradisi Kristiani, kerelaan Tuhan membuka diri kepada manusia disebut rahmat. Kata Rahmat memuat arti bahwa pemberian diri Tuhan itu seluruhnya atas kerelaan dan inisiatif Tuhan sendiri, dan bahwa dasarnya adalah kasih sayang Tuhan. Bahwa Tuhan memberikan diri, bahwa Tuhan bersifat maha rahim, itu diketahui dengan pasti hanya karena wahyu, karena Tuhan sendiri memberitahukannya.

Dari sini kita lihat bahwa Aquinas tidak lagi bicara murni  sebagai filsuf melainkan sebagai teolog. Karena itu, dalam etikanya Thomas melampaui metode filsof murni dan bicara sebagai orang beriman, sebagai orang Kristen. Namun, tentu tidak dalam artian eksklusif. Pandangan yang membahagiakan adalah tujuan akhir segenap orang, sebagai manusia, dan segenap orang dipanggil kepandangan itu. Agama-agama lainpun menyadari bahwa Tuhan bersifat maharahim. Namun kenyataannya itu bukan hasil dari pikiran akal budi manusia saja. Bahwa tujuan manusia yang berkahir dan paling luhur bukan sekedar berfikir yang kabur, melainkan suatu tawaran nyata, tidak diketahui manusia dari filsafat murni, melainkan dari akal budi yang telah diterangi oleh cahaya sabda Allah sendiri, sebagaimana disadari dalam agama-agama yang tahu bahwa Tuhan memang menyapa manusia.

Bahwa tujuan akhir merupakan pemberian Tuhan yang berdaulat tidak berarti bahwa manusia tidak perlu berusaha sendiri. Aristoteles sudah menegaskan bahwa tindakan manusia bersifat bebas. Stoa, mendahului kant, sadar bahwa kualitas manusia akan moral ditentukan oleh kehendaknya, bukan tindakan lahiriah yang menentukan orang baik atau buruk dalam arti moral melainkan sebagai ungkapan kehendak. Manusia itu baik apabila ia berkehendak baik, jahat apabila berkehendak jahat. Augustinu berpendapat sama demikian juga Thomas.

Menurut Thomas, manusia memilih antara baik dan buruk dan itu harus. Perbuatan baik mengarahkan kepada tujuan akhir, perbuatan buruk menjauhkan daripadanya. Kebebasan itu padanan dari akal budi. Sebagai mana akal budi merupakan kemampuan kognitif manusia yang terbuka kepada yang tak terhingga begitu pula kehendak adalah dorongan manusia yang mengarah kepada yang baik, yaitu nilai yang tak terhingga.

Thomas membedakan antara dua macam kegiatan manusia yaitu kegiatan manusiawi dan kegiatan manusia.

Kegiatan manusia adalah segala macam gerak, perkembangan, dan perubahan pada manusia yang tidak disengaja, yang munri vegetatif ataau sensitif dan instingtif. Kegiatan ini diluar kuasa manusia, tidak perlu dipertanggung jawabkan, itu berarti kegiatan pada manusia itu tidak mempunyai kualitas moral mereka bukan baik atau buruk.

Kegiatan manusia justru tidak khas manusia, melainkan juga ada pada binatang dan sebagian juga pada tumbuhan. Kegiatan yang khas bagi manusia disebut kegiatan manusiawi, yaitu kegiatan sebagai manusia yang tidak ada pada organisme lain. Itulah kegiatan yang disengaja, tindakan dalam arti yang sebenarnya. Tindakan itu dikuasai. Berarti berlaku dengan bebas karena kita menentukan diri sendiri. Atas tindakan, kita bertanggung jawab. Karena itu, tindakan menentukan kualitas moral manusia. Tindakan baik berarti manusia baik, tindakan buruk berarti manusia jahat.

Apakah manusia mendekati tujuan akhir atau tidak adalah tanggung jawab manusia itu sendiri. Ia wajib bertindak kearah yang baik dan tidak bertindak kearah yang jahat. Perintah moral paling dasar menurut Thomas Aquinas adalah, “Lakukanlah yang baik, jangan melakukan yang salah. Yang baik adalah tujuan terakhir manusia, yang buruk adalah apa yang tidak sesuai. Tindakan ini didahului oleh pengertian bahwa sesudah mengetahui yang baik kita wajib menghendaki melakukan. Begitu pula, kita wajib menghindari apa yang kita ketahui sebagai jahat.”

Kemantapan dalam berbuat baik dan menolak yang jahat disebut keutamaan. Aquinas mengambil faham keutamaan dari Aristoteles. Keutamaan merupakan sikap hati yang sudah mantap, seakan-akan diandalkan. Sikap akan kebiasaan hati itu terbentuk karena tindakan. Manusia diharapkan mengusahakan keutamaan agar ia dengan mudah dapat bertindak sesuai dengan apa yang disadarinya dengan baik, agar kehendak, bagian dari jiwa yang menuju baik semakin terarah kepada apa yang diketahui dengan baik, yang sesuai dengan akal budi.

Sebagaimana bagi Aristoteles begitu juga bagi Thomas, keutamaan pada umumnya merupakan sikap yang ditengah. Artinya keutamaan berada diantara dua sikap yang ekstrim yang dua-duanya buruk (kebijaksanaan, misalnya, terletak diantara ketololan dan sikap berhati-hati yang berlebihan).

Dengan melihat pemikiran-pemikiran yang dilontarkan oleh Thomas Aquinas terutama tentang etika politiknya dengan mewariskan hukum kodratnya sangat berkembang dengan lebih meyakinkan dimana dalam negara hukum konstitusional yang keberadabannya diukur pada perlindungan yang diberikan kepada hak-hak asasi manusia. Dalam kesepakatan etika politik modern bahwa kekuasaan politik memerlukan legitimasi demokrasi dan dalam tuntutan bahwa negara dibebani tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan sosial.

Mengenai etika Thimas Aquinas adalah etika yang berkaitan erat dengan iman kepercayaan kepada Allah pencipta. Dalam arti ini, etika Aquinas memiliki unsur teologis. Namun, unsur itu tidak menghilangkan cirinya yang khas filosofis bahwa etika itu memungkinkan orang menemukan garis hidup yang masuk akal, tanpa mengandaikan kepercayaan atau keyakinan agama tertentu.

Keunggulan Etika Thomas dibandingkan dengan etika teonom lainnya adalah bahwa dia tidak sekedar merupakan etika peraturan. Kebanyakan etika yang mendasarkan kewajiban moral manusia kepada kehendak Tuhan bersifat Etika peraturan yang diberikan Tuhan dan karena itu harus ditaati oleh manusia. Meskipun tidak salah, pola etika peraturan itu tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa peraturan itu diterapkan; jadi, ada defisit dalam rasionalitas.

Orang dewasa mau saja taat pada peraturan, tetapi ia ingin tahu mengapa peraturan itu dipasang. Bahwa peraturan itu dipasang oleh yang berwenang tidak membuatnya rasional. Kecuali itu, etika peraturan mereduksi sikap moral manusia pada pertanyaan; boleh atau tidak boleh; pertanyaan itu tidak memberi ruang kepada salah satu faham moral yang paling penting dsan paling dibutuhkan pada zaman pasca tradisional, yaitu tanggung jawab.

Thomas mengatasi kelemahan itu karena hukum abadi yang diperintahkan oleh Tuhan adalah pengembangan dan penyempurnaan manusia sendiri. Jadi ada rasionalitas internal; hidup menurut hukum kodrat, hanya memenuhi perintah Tuhan melainkan memang sesuai dengan dinamika internal manusia sendiri. Dengan demikian, manusia menemukan diri menjadi nyata. Ketakwaan dan kebijaksanaan menyatu; takwa karena taat kepada Tuhan, bijaksana karena memang demi keutuhan manusia sendiri.

Thomas berhasil mengkombinasikan dua pola etika, etika teonom dan eudemodisme. Taat kepada Allah secara intrinsik menjadikan manusia bahagia karena dengan demikian ia menemukan kepenuhan dan kesempurnaannya. Berbeda dengan etika Kant yang mereduksi moralitas pada kewajiban, Etika Thomas berkaitan dengan desakan dasar hati manusia kearah kebahagiaan. Setiap orang ingin bahagia. Keinginan itu yang terlaksana lewat etika hukum kodrat.

Dengan demikian, Thomas mempertahankan faham Yunani bahwa etika mengajarkan seni hidup. Seni hidup, dalam arti bahwa orang yang mengikuti tuntutan etika menjadi semakin pandai atau bijaksana dalam cara mengurus gaya hidupnya  dengan sedemikian rupa sehingga maju, bermakna, terasa bermutu, mendukung daripada mencecerkan identitas diri. Segi itu menghilang dalam pola etika kewajiban sebagaimana dicanangkan oleh Kant. Seperti Thomas Aquinas tidak memisahkan antara ketakwaan dan kebijaksanaan, begitu pula antara keutamaan moral dan kebijaksanaan. Dalam kerangka teori hukum kodrat, orang bijaksana akan hidup lebih baik karena itulah yang paling membahagiakan dan memang itulah yang paling membahagiakan dan memang itulah yang dikendaki oleh Tuhan Pencipta.

Kelemahan Etika Thomas Aquinas tidak terletak pada polanya melainkan dalam paham-pahamnya. Koodrta manusia terdiri dari apa ?. Pertanyaan ini merupakan kunci karena daripadanya tergantung bagaimana manusia harus hidup namun Thomas tidak menyediakan suatu metode untuk memastikan isi paham kodrat.

Yang kedua, kalaupun kita mencapai kesatuan paham tentang kodrat manusia, hukum kodrat juga belum berisi. Hukum kodrat menuntut agar kita bertindak sesuai dengan kodrat, tapi tindakan mana yang sesuai dengan kodrat manusia ?.

Namun demikian Etika Thomas Aquinas memilikirasionalitas tinggi. Disamping itu pula hukum kodrat mempunyai sifat yang universal karena meskipun acuan kepada Allah pencipata bersifat teologis, dalam strukturnya sendiri etika ini tidak berdasarkan iman kepercayaan atau agama tertentu. Etika hukum kodrat terbuka bagi siapa saja mengembangkan potensi-potensinya, menyempurnakan diri secara utuh, mengusahakan identitasnya, merupakan tujuan yang masuk akal.