Senin, 29 Februari 2016

PENGHAYATAN MAKNA IBADAH PUASA

Buka Puasa
PENGHAYATAN MAKNA IBADAH PUASA
Sebagai Pendidikan Tentang Kesucian serta
Tanggung Jawab Pribadi dan Kemasyarakatan
oleh Nurcholish Madjid

Dari berbagai ibadah dalam  Islam,  puasa  di  bulan  Ramadhan barangkali   merupakan   ibadat  wajib  yang  paling  mendalam bekasnya pada jiwa seorang Muslim. Pengalaman  selama  sebulan dengan  berbagai  kegiatan  yang menyertainya seperti berbuka, tarawih dan makan sahur senantiasa  membentuk  unsur  kenangan yang  mendalam  akan  masa kanak-kanak di hati seorang Muslim. Maka  ibadah  puasa  merupakan  bagian  dari  pembentuk   jiwa keagamaan  seorang Muslim, dan menjadi sarana pendidikannya di waktu kecil dan seumur hidup. Semua bangsa Muslim  menampilkan corak keruhanian yang sama selama berlangsungnya puasa, dengan beberapa variasi tertentu dari satu ke lainnya. Maka  kekhasan bangsa   kita  dalam  menyambut  dan  menjalani  ibadah  puasa Ramadhan telah pula menjadi perhatian  orang  Muslim  Arab  di akhir   abad   yang   lalu.  Seorang  sarjana  bernama  Riyadl menyebutkan  bahwa  di  Jawa  (yang  dicampuradukkan   olehnya sebagai  bagian  dari India) para pemeluk Islam mempunyai cara yang khas dalam menyambut dan menjalani ibadah  puasa.  Mereka itu, kata Prof. Riyadl.
    pergi ke masjid beramai-ramai di saat tenggelam matahari untuk shalat Maghrib dan berbuka puasa, kemudian melakukan shalat 'isya dan tarawih diteruskan dengan membaca al-Qur'an (tadarrus) setiap malam satu juz' sehingga mereka dapat menghatamkan Kitab Suci itu pada suatu malam di bulan suci. Dan dalam berbuka puasa mereka makan bersama suatu jenis makanan nasional yang menyerupai tha'miyyah (sejenis kue) pada kita, tetapi terbuat dari kacang polong dan bukannya dari kacang buncis. [1]
Dari penuturan sederhana itu maka  tidak  terlalu  salah  jika kita  kaum  Muslim  Indonesia  mempunyai  kesan yang amat khas tentang bulan Ramadhan, agaknya  lebih  dari  kaum  Muslim  di negeri-negeri  lain.  Bulan Ramadhan merupakan bulan keagamaan dengan intensitas yang tinggi, yang bakal  meninggalkan  kesan mendalam  pada mereka yang terlibat. Kekhasan suasana Ramadhan pada bangsa  kita  tercermin  juga  dalam  suasana  Hari  Raya Lebaran atau 'Idul-Fitri yang khas Indonesia. Maka sudah tentu akan baik sekali jika kita  memahami  berbagai  hikmah  ibadah puasa yang kita jalankan selama bulan itu.
PUASA DI ANTARA BERBAGAI UMAT
Sebelum kita membicarakan hikmah ibadah  yang  khas  ini,  ada baiknya  kita menyempatkan diri menengok sejenak ke masa lalu, guna memperoleh sedikit bahan perbandingan  tentang  bagaimana puasa itu dijalankan oleh berbagai golongan manusia.
Firman   Allah   berkenaan   dengan   kewajiban  kaum  beriman menjalankan ibadah puasa menyebutkan adanya  kewajiban  serupa atas  manusia  sebelum  mereka:  "Wahai  sekalian  orang  yang beriman! Diwajibkan atas kamu  sekalian  berpuasa  sebagaimana telah   diwajibkan   atas   mereka  sebelum  kami,  agar  kamu bertaqwa."  [2]  Ini  menunjukkan  adanya  ibadat  puasa  pada umat-umat sebelum Nabi Muhammad s.a.w.
Menurut  para  ahli,  puasa merupakan salah satu bentuk ibadat yang paling mula-mula  serta  yang  paling  luas  tersebar  di kalangan  umat  manusia.  Bagaimana puasa itu dilakukan, dapat berbeda-beda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu tempat  ke  tempat  yang  lain.  Bentuk puasa yang umum selalu berupa sikap menahan diri dari  makan  dan  minum  serta  dari pemenuhan  kebutuhan biologis. Juga ada puasa berupa penahanan diri  dari  bekerja,  malah  dari  berbicara.   Puasa   berupa penahanan  diri  dari  berbicara  dituturkan  dalam  al-Qur'an pernah dijalankan  oleh  Maryam,  ibunda  Nabi  Isa  al-Masih. Karena  terancam akan diejek oleh masyarakatnya bahwa ia telah melakukan suatu perbuatan  keji  (sebab  ia  telah  melahirkan seorang  putera tanpa ayah), maka Allah memerintahkannya untuk melakukan puasa (shawm) dengan tidak berbicara kepada siapapun juga. Firman Allah berkenaan dengan hal ini:
... Lantaran itu, makanlah dan minumlah (wahai Maryam), serta tenangkanlah dirimu; Dan jika terjadi engkau melihat seseorang, maka katakan kepadanya, 'Sesungguhnya aku berjanji (nadzar) untuk melakukan puasa (shawm) kepada Yang Maha Pengasih. Karena itu hari ini aku tidak akan berbicara kepada siapapun jua. [3]
Jadi pokok amalan (lahiriah) puasa ialah pengingkaran  jasmani dan   ruhani   secara  sukarela  dari  sebagian  kebutuhannya, khususnya  dari  kebutuhan  yang  menyenangkan.   Pengingkaran jasmani  dari  kebutuhannya,  yaitu  makan  dan  minum,  dapat beraneka ragam. Kaum Muslim berpuasa dengan menahan diri  dari makan  dan  minum  itu  secara  mutlak  (artinya, semua bentuk makanan dan minuman  dihindari,  tanpa  kecuali),  sejak  dari fajar  sampai  terbenam  matahari.  Tetapi  ada umat lain yang berpuasa  dengan  menghindari  beberapa  jenis  makanan   atau minuman  tertentu  saja.  Konon  kaum Sabean (al-Shabi'un) dan para pengikut Manu  (al-Manuwiyyun),  yaitu  kelompok-kelompok keagamaan  di  Timur Tengah kuna, khususnya di Mesopotamia dan Persia,  adalah  umat-umat  yang  menjalankan   puasa   dengan menghindari  jenis  tertentu makanan dan minuman itu. Demikian pula halnya dengan kaum Kristen, khususnya kaum Kristen  Timur di Asia Barat dan Mesir.
Dari  segi  waktu  pun  terdapat  keanekaragaman  dalam amalan berpuasa. Ada umat yang menjalankan puasa hanya untuk sebagian siang,  atau  seluruh  siang,  atau siang dan malam sekaligus. Bahkan juga ada yang menjalankannya hanya  untuk  malam  hari. Karena  itu  sebagian dari para ahli tafsir dalam Islam merasa perlu meneranghan hikmah puasa siang hari  saja  seperti  yang dijalankan   oleh  kaum  Muslim.  Maka  al-Jurjawi,  misalnya, memandang bahwa puasa di siang hari adalah  yang  lebih  utama daripada  di  malam  hari,  karena  lebih berat. Ini dikaitkan dengan ketentuan, menurut sebuah Hadist  Nabi,  bahwa  "Ibadat yang  paling  utama  ialah  yang paling mengigit (ahmaz yakni, paling berat)",  dan  bahwa  "Sebaik-baik  amalan  ialah  yang paling menggigit." [4] Nampak bahwa ibadah puasa memang sangat berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah  (exercise),  yaitu latihan  keruhanian,  sehingga  semakin berat semakin baik dan utama, karena semakin kuat membekas pada jiwa dan  raga  orang yang melakukannya.
Berkenaan  dengan  puasa  di  bulan  Ramadhan, disebutkan oleh al-Jurjawi bahwa sebagian  ahli  tafsir  Yahudi  dan  Kristen, namun  kemudian  mereka tinggalkan. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk mendukung pandangan serupa itu, kecuali  barangkali untuk  orang-orang  Yahudi  dan Kristen Arab di Jazirah Arabia karena terpengaruh atau meneruskan  adat  kebiasaan  setempat. Sebab ada petunjuk bahwa berpuasa di bulan Ramadhan itu banyak dilakukan oleh berbagai suku Arab di zaman Jahiliah, khususnya suku  Quraisy.  Dan  memang  banyak  amalan yang disyari'atkan dalam  Islam  telah  pula   disyari'atkan   kepada   umat-umat sebelumnya,   sebagaimana   diisyaratkan  dalam  firman  Allah tersebut  di  atas,  sebagaimana  juga   jelas   bahwa   Islam mengukuhkan  sebagian  ibadat  sebelum Islam, seperti beberapa amalan tertentu dalam haji, setelah semuanya  itu  dibersihkan dari unsur-unsur yang tidak sejalan dengan Tawhid. [5]
Berdasarkan  itu  semua  dapat dikatakan bahwa puasa merupakan salah satu mata rantai  yang  menunjukkan  segi  kesinambungan atau  kontinuitas  agama-agama. Dalam hal Islam, puasa menjadi salah satu bukti bahwa  agama  itu  merupakan  kelanjutan  dan penyempurnaan  dari  agama-agama  Allah  yang telah diturunkan kepada   umat-umat   sebelumnya.   Segi   kesinambungan   atau kontinuitas  Islam dengan agama-agama sebelumnya itu merupakan hal yang dengan sangat  kukuh  dijelaskan  dalam  Kitab  Suci, yaitu  dalam  perspektif  bahwa  peran Nabi Muhammad saw ialah tidak lain meneruskan dan menggenapkan misi suci para Nabi dan Rasul sebelumnya sepanjang sejarah:
    Sesungguhnya Kami (Allah) telah mewahyukan (ajarkan) kepada engkau (Muhammad) sebagaimana telah Kami wahyukan kepada Nuh dan kepada para Nabi sesudahnya, dan yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub serta anak cucunya, dan kepada 'Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman; sedangkan kepada Dawud telah Kami berikan Kitab Zabur.
Juga kepada para Rasul yang telah Kami kisahkan mereka itu kepada engkau sebelum ini, serta kepada para Rasul yang tidak Kami kisahkan mereka itu kepada Engkau. Dan sungguh Allah telah berbicara (langsung) dengan Musa.
Yaitu para Rasul yang membawa kegembiraan dan ancaman, agar tidak lagi ada alasan bagi manusia atas Allah sesudah para Rasul itu. Allah itu Maha Mulia dan Maha Bijaksana.
Namun Allah bersaksi bahwa apa yang diturunkan kepada engkau itu ia turunkan dengan pengetahuanNya, begitu pula para malaikat pun semuanya bersaksi. Dan (sebenarnya) cukuplah Allah sebaga saksi. [6]

PUASA, KESUCIAN DAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI
Sebuah Hadits menuturkan tentang adanya  firman  Tuhan  (dalam bentuk  Hadits Qudsi): "Semua amal seorang anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya kecuali puasa,  sebab  puasa  itu  adalah untuk-Ku,  dan  Aku-lah  yang  akan  memberinya  pahala."  [7] Berkaitan dengan ini Ibn al-Qayyim al-Jawzi memberi penjelasan bahwa puasa itu
     ... adalah untuk Tuhan seru sekalian Alam, berbeda dari amal-amal yang lain. Sebab seseorang yang berpuasa tidak melakukan sesuatu apa pun melainkan meninggalkan syahwatnya, makanannya dan minumannya demi Sesembahannya (Ma'bududu, yakni,Tuhan-NM). Orang itu meninggalkan segala kesenangan dan kenikmatan dirinya karena lebih mengutamakan cinta Allah dan ridla-Nya. Puasa itu rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang orang lain tidak mampu melongoknya. Sesama hamba mungkin dapat melihat seseorang yang berpuasa meninggalkan segala sesuatu yang membatalkan makan, minum, dan syahwatnya demi Sesembahannya, maka hal itu merupakan perkara yang tidak dapat diketahui sesama manusia. Itulah hakikat puasa.[8]
     Jadi salah satu  hakikat  ibadah  puasa  ialah  sifatnya  yang pribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara seorang manusia dengan Tuhannya. Dan segi  kerahasiaan  itu  merupakan letak  seorang  manusia  dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan itu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu sendiri  terkait  erat  dengan makna keikhlasan dan ketulusan. Antara  puasa  yang  sejati  dan  puasa  yang  palsu  hanyalah dibedakan  oleh,  misalnya, seteguk air yang dicuri minum oleh seseorang ketika ia berada sendirian.
Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian  kesadaran  akan adanya  Tuhan  yang Maha Hadir (Ompnipresent), dan yang mutlak tidak pernah lengah sedikitpun dalam  pengawasan-Nya  terhadap segala  tingkah laku hamba-hamba-Nya. Puasa adalah penghayatan nyata akan makna firman bahwa "Dia (Allah)  itu  bersama  kamu dimana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa akan segala sesuatu yang kamu perbuat." [9] "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat;  maka  ke  mana  pun  kamu  menghadap, di sanalah Wajah Allah." [10] "Sungguh Kami (Allah) telah menciptakan  manusia, dan  Kami  mengetahui  apa  yang  dibisikkan oleh hatinya Kami lebih dekat kepadanya daripada urat  lehernya  sendiri."  [11] "Ketahuilah   olehmu  sekalian  bahwa  Allah  menyekat  antara seseorang dan hatinya sendiri..." [12]
 Di atas telah dikutip penjelasan seorang pemikir klasik  Islam (Salaf)  yang  hidup  sekitar  tujuh abad yang lalu, yaitu Ibn Qayyim al-Jawzi (wafat pada tahun 751  H).  Penjelasan  serupa juga  dikemukakan  oleh  'Ali  Ahmad al-Jurjawi, seorang tokoh pemikir Islam di Zaman  Modern  dari  Mesir.  Dalam  uraiannya tentang hikmah puasa, antara lain ia katakan:
Puasa adalah sebagian dari sepenting-penting syar'I (manifestasi religiositas) dan seagung-agung qurbat  (amalan mendekatkan diri kepada Tuhan). Bagaimana tidak, padahal puasa itu adalah rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang tidak termasuki oleh sikap pamrih. Seseorang (yang berpuasa) menahan dirinya dari syahwatnya dan kesenangannya sebulan penuh, yang dibalik itu ia tidak mengharapkan apa apa kecuali Wajah Allah Ta' ala. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Dia. Maka hamba itu mengetahui bahwa Allah mengawasinya dalam kerahasiaan (privacy)-nya dan dalam keterbukaan -  (publicity)-nya. Maka ia pun merasa malu kepada Tuhan Yang Maha Agung itu untuk melanggar larangan-larangan-Nya, dengan mengakui dosa, kezaliman, dan pelanggaran larangan (yang pernah ia lakukan). Ia merasa malu kepada Allah jika nampak oleh-Nya, bahwa ia mengenakan baju kecurangan, penipuan dan kebohongan. Karena itu ia tidak berpura-pura, tidak mencari muka, dan tidak pula bersikap mendua (munafik). Ia tidak menyembunyikan persaksian kebenaran karena takut kekuasaan seorang pemimpin atau pembesar. [13]
Dari penjelasan itu tampak bahwa sesungguhnya inti  pendidikan Ilahi  melalui  ibadah  puasa  ialah  penanaman dan pengukuhan kesadaran   yang   sedalam-dalamnya    akan    ke-MahaHadir-an (omnipresence)  Tuhan.  Adalah  kesadaran  ini  yang melandasi ketaqwaan atau  merupakan  hakikat  ketaqwaan  itu,  dan  yang membimbing  seseorang  ke  arah  tingkah  laku  yang  baik dan terpuji. Dengan begitu dapat diharapkan ia akan tampil sebagai seorang   yang  berbudi  pekerti  luhur,  ber-akhlaq  karimah. Kesadaran  akan  hakikat  Allah  yang  Maha  Hadir   itu   dan konsekuensinya  yang  diharapkan  dalam  tingkah laku manusia, digambarkan dengan kuat sekali dalam Kitab Suci:
"Tidak tahukah engkau bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di seluruh langit dan segala sesuatu yang ada di bumi?! Sama sekali tidak ada suatu bisikan dari tiga orang, melainkan Dia adalah Yang Keempat; dan tidak dari empat orang, melainkan Dia adalah Yang Kelima; dan tidak dari lima orang, melainkan Dia adalah Yang Keenam; dan tidak lebih sedikit daripada itu ataupun lebih banyak, melainkan Dia beserta mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan membeberkan apa yang telah mereka perbuat itu di Hari Kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Tahu akan segala sesuatu." [14]
     Sekali lagi, dari keterangan di atas itu  tampak  bahwa  puasa adalah   suatu   ibadat   yang   berdimensi  kerahasiaan  atau keprivatan (privacy) yang amat  kuat.  Dari  situ  juga  dapat ditarik  pengertian  bahwa puasa adalah yang pertama dan utama merupakan  sarana   pendidikan   tanggungjawab   pribadi.   Ia bertujuan  mendidik  agar kita mendalami keinsyafan akan Allah yang selalu menyertai dan mengawal kita dalam setiap saat  dan tempat.
     Atas dasar keinsyafan itu hendaknya kita tidak menjalani hidup
ini dengan santai, enteng dan remeh,  melainkan  dengan  penuh kesungguhan  dan  keprihatinan. Sebab apapun yang kita perbuat akan  kita  pertanggungjawabkan  kepada  Khaliq  kita   secara pribadi.    Tentang    betapa   dimensi   pribadi   (personal) tanggungjawab kita dalam Pengadilan Tuhan di Hari Akhirat itu, Kitab  Suci  al-Qur'an  memberi  gambaran  amat  kuat  sebagai berikut:
Wahai sekalian umat manusia! Bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu, dan waspadalah terhadap hari ketika seorang orang tua tidak dapat menolong anaknya, dan tidak pula seorang anak dapat menolong orang tuanya sedikitpun jua. Sesungguhnya janji Allah itu benar (pasti terjadi), maka janganlah sampai kehidupan duniawi (kehidupan rendah) memperdayamu sekalian, dan jangan pula tentang (wajib patuh kepada) Allah itu kamu sekalian sampai terpedaya oleh apapun yang dapat memperdaya. [15]
Waspadalah kamu sekalian terhadap hari ketika tidak seorang pun dapat membantu orang lain, dan ketika perantaraan tidak dapat diterima, dan tidak pula tebusan bakal diambil, dan mereka semuanya tidak akan dibela. [l6]
Ini semuanya sudah tentu  sejajar  dengan  berbagai  penegasan dalam  Islam  bahwa  manusia  dihargai  dalam  pandangan Allah menurut amal perbuatannya berdasarkan taqwanya,  suatu  ajaran tentang   orientasi  prestasi  yang  tegas,  dalam  pengertian pandangan bahwa penghargaan kepada seseorang didasarkan kepada apa   yang   dapat   diperbuat  dan  dicapai  oleh  seseorang. Sebaliknya Islam melawan orientasi prestise,  yaitu  pandangan yang    mendasarkan    penghargaan   kepada   seseorang   atas pertimbangan segi-segi  askriptif  seperti  faktor  keturunan, daerah,  warna  kulit,  bahasa  dll.  Orientasi seperti faktor keturunan,  daerah,  warna  kulit,  bahasa,   dll.   Orientasi prestasi  berdasarkan  kerja  ini  kemudian  dikukuhkan dengan ajaran tentang tanggung jawab yang bersifat mutlak pribadi  di Akhirat kelak.

PUASA DAN TANGGUNGJAWAB KEMASYARAKATAN
Sebegitu  jauh  kita telah mencoga melihat hikmah ibadah puasa sebagai sarana pendidikan Ilahi untak menanamkan tanggungjawab pribadi.  Tetapi justru pengertian "tanggungjawab" itu sendiri mengisyaratkan  adanya  aspek  sosial  dalam  perwujudan  pada kehidupan  nyata  di dunia ini. Dan sesungguhnya tanggungjawab sosial adalah sisi lain dari mata uang logam yang  sama,  yang sisi pertamanya ialah tanggungjawab pribadi. Ini berarti bahwa dalam kenyataannya kedua jenis tanggungjawab  itu  tidak  bisa dipisahkan,  sehingga  tiadanya  salah satu dari keduanya akan mengakibatkan peniadaan yang lain.
Oleh karena itu para ulama senantiasa menekankan  bahwa  salah satu  hikmah  ibadah  puasa  ialah  penanaman rasa solidaritas sosial. Dengan mudah hal itu dibuktikan dalam kenyataan  bahwa ibadah puasa selalu disertai dengan anjuran untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya,  terutama  perbuatan  baik  dalam   bentuk tindakan  menolong  meringankan beban kaum fakir miskin, yaitu zakat, sedekah, infaq, dll.
Dari sudut  pandangan  itulah  kita  harus  melihat  kewajiban membayar  zakat fitrah pada bulan Ramadhan, terutama menjelang akhir bulan suci itu.  Seperti  diketahui,  fithrah  merupakan konsep  kesucian  asal  pribadi  manusia, yang memandang bahwa setiap individu dilahirkan dalam keadaan suci  bersih.  Karena itu  zakat  fitrah  merupakan  kewajiban  pribadi  berdasarkan kesucian  asalnya,  namun  memiliki  konsekuensi  sosial  yang sangat langsung dan jelas. Sebab, seperti halnya dengan setiap zakat atau  "sedekah"  (shadagah,  secara  etimologis  berarti "tindakan  kebenaran") pertama-tama dan terutama diperuntukkan bagi golongan fakir-miskin  serta  mereka  yang  berada  dalam kesulitan  hidup  seperti  al-riqab  (mereka yang terbelenggu, yakni, para budak; dalam istilah modern dapat  berarti  mereka yang terkungkung oleh "kemiskinan struktural") dan al-gharimun (mereka yang terbeban berat hutang), serta ibn al-sabil (orang yang  terlantar dalam perjalanan), demi usaha ikut meringankan beban  hidup  mereka.  Sasaran  zakat  yang  lain  pun   masih berkaitan dengan kriteria bahwa zakat adalah untuk kepentingan umum atau sosial, seperti  sasaran  amil  atau  panitia  zakat sendiri,  kaum  mu'allaf, dan sabil-Allah ("sabilillah", jalan Allah),   kepentingan    masyarakat    dalam    artian    yang seluas-luasnya.
Sebenarnya  dimensi  sosial  dari hikmah puasa ini sudah dapat
ditarik dan difahami dari tujuannya sendiri dalam Kitab  Suci, yaitu  taqwa.  Dalam  memberi penjelasan tentang taqwa sebagai tujuan puasa  itu,  Syeikh  Muhammad  'Abduh  menunjuk  adanya kenyataan  bahwa orang-orang kafir penyembah berhala melakukan puasa (menurut cara mereka masing-masing) dengan tujuan  utama "membujuk" dewa-dewa agar jangan marah kepada mereka atau agar senang kepada mereka dan "memihak" mereka dalam  urusan  hidup mereka  di  dunia  ini.  Ini sejalan dengan kepercayaan mereka bahwa dewa-dewa itu akan mudah dibujuk dengan jalan penyiksaan diri sendiri dan tindakan mematikan hasrat jasmani. Cara  pandang  kaum  musyrik  itu  merupakan konseknensi faham mereka  tentang  Tuhan  sebagai  yang  harus  didekati  dengan sesajen,   berupa   makanan  atau  lainnya  (termasuk  manusia sendiri) yang "disajikan" kepada  Tuhan.  Altar  di  kuil-knil bangsa  Inka  di  banyak  bagian  Amerika  Selatan, umpamanya, menunjukkan adanya praktek  "ibadat"  mendekati  Tuhan  dengan sesajen    berupa   korban   manusia.   Demikian   pula   pada bangsa-bangsa  lain,  praktek  serupa  juga   tercatat   dalam sejarah,   seperti  pada  bangsa-bangsa  Mesir  kuna,  Romawi, Yunani, India, dll.
     Hal  itu  tentu  berbeda  dengan  ajaran  agama  Tawhid   yang mengajarkan  manusia  untuk tunduk-patuh dan pasrah sepenuhnya (Islam kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam agama  ini  diajarkan bahwa Tuhan tidaklah didekati dengan sesajen seperti pada kaum pagan atau musyrik, melainkan dengan amal perbuatan yang baik, yang membawa manfaat dan faedah kepada diri sendiri dan kepada sesama  manusia  dalam  masyarakat:  "Maka  barangsiapa  ingin berjumpa  dengan  Tuhannya,  hendaknyalah ia berbuat baik, dan janganlah   dalam   berbakti   kepada    Tuhannya    itu    ia memperserikatkan-Nya dengan seseorang siapapun juga." [17]
Berkaitan  dengan  ini,  Islam  memang mengenal ajaran tentang ibadah korban. Tetapi, sesuai dengan nama ibadah  itu,  korban (qurban)  adalah tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun pendekatan itu terjadi bukan karena materi  korban  itu  dalam arti  sebagai  sesajen,  melainkan karena taqwa yang ada dalam jiwa pelakunya. Dan taqwa dalam ibadah  korban  itu  tercermin dalam  kegunaan  nyata yang ada di belakangnya, yaitu tindakan meringankan beban anggota masyarakat  yang  kurang  beruntung: "Tidaklah  bakal  sampai  kepada  Allah daging korban itu, dan tidak pula darahnya! Tetapi yang bakal sampai kepada-Nya ialah taqwa dari kamu." [18]
Maka begitu pula dengan puasa. Yang mempunyai nilai pendekatan kepada Allah bukanlah penderitaan  lapar  dan  dahaga  itu  an sich,  melainkan  rasa taqwa yang tertanam melalui hidup penuh prihatin  itu.  Dengan   perkatauan   lain,   Tuhan   tidaklah memerlukan  puasa kita seperti keyakinan mereka yang memandang Tuhan sebagai obyek sesajen atau sakramen. Puasa adalah  untuk kebaikan  diri  kita sendiri baik sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat yang lebih luas.
Sekarang, seperti halnya iman yang tidak dapat dipisahkan dari amal  saleh,  tali  hubungan  dengan  Allah  (habl min Allah - "hablum minallah") yang tidak dapat dipisahkan  dari  hubungan dengan  sesama  manusia  (habl min al-nas -"hablum minannas"), taqwa pun tidak dapat dipisahkan dari budi pekerti luhur (husn al-khuluq   atau   al-akhlaq  al  karimah).  Ini  antara  lain ditegaskan Rasulullah dalam sebuah Hadits: "Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan budi pekerti luhur." [19]
Ibadah puasa selama sebulan  itu  diakhiri  dengan  Hari  Raya
Lebaran  atau  Idul Fitri (Id-al-fithr, "Siklus Fitrah"), yang menggambarkan tentang saat  kembalinya  fitrah  atau  kesucian asal  manusia  setelah  hilang karena dosa selama setahun, dan setelah pensucian diri dosa itu melalui puasa.  Dalam  praktek yang  melembaga dan mapan sebagai adat kita semua, manifestasi dari Lebaran itu ialah sikap-sikap  dan  perilaku  kemanusiaan yang  setulus-tulusnya  dan setinggi-tingginya. Dimulai dengan pembayaran zakat fitrah yang dibagikan  kepada  fakir  miskin, diteruskan dengan bertemu sesama anggota umat dalam perjumpaan besar pada shalat Id, kemudian  dikembangkan  dalam  kebiasaan terpuji bersilaturahmi kepada sanak kerabat dan teman sejawat, keseluruhan manifestasi Lebaran itu menggambarkan dengan jelas aspek  sosial  dari  hasil ibadah puasa. Adalah bersyukur atas nikmat-karunia yang merupakan hidayah Allah  kepada  kita  itu maka  pada  hari  Lebaran kita dianjurkan untuk memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan kita. Petunjuk Nabi dalam berbagai Hadits  mengarahkan  agar  pada hari Lebaran tidak seorang pun tertinggal dalam bergembira dan berbahagia,  tanpa  berlebihan dan melewati batas.
Karena  itu  zakat  fitrah  sebenarnya  lebih banyak merupakan
peringatan simbolik tentang kewajiban atas anggota  masyarakat untuk  berbagi  kebahagiaan dengan kaum yang kurang beruntung, yang terdiri dari para fakir  miskin.  Dari  segi  jumlah  dan jenis  materialnya  sendiri,  zakat  fitrah  mungkin  tidaklah begitu berarti. Tetapi, sama dengan ibadah korban  yang  telah disinggung  di atas, yang lebih asasi dalam zakat fitrah ialah maknanya  sebagai  lambang   solidaritas   sosial   dan   rasa perikemanusiaan.  Dengan  perkataan  lain, zakat fitrah adalah lambang  tanggung-jawab  kemasyarakatan  kita  yang  merupakansalah  satu  hasil  pendidikan  ibadah  puasa,  dan  yang kita menifestasikan secara spontan.
Tetapi, sebagai simbol dan lambang, zakat fitrah harus  diberi substansi  lebih  lanjut  dan  lebih besar dalam seluruh aspek hidup kita sepanjang tahun, berupa komitmen batin serta  usaha mewujudkan  masyarakat  yang  sebaik-baiknya,  yang berintikan nilai Keadilan Sosial. Inilah antara lain makna  firman  Allah berkenaan dengan Hari Raya Lebaran:
Hendaknya kamu sekalian sempurnakan hitungan (hari berpuasa sebulan) itu, dan hendaknya pula kamu bertakbir mengagungkan Allah atas karunia hidayah dan diberikan oleh-Nya kepadamu sekalian, dan agar supaya kamu sekalian bersyukur. [20]
"Min-al-'Aidin wa-'l-Fa'izin"  (semoga  kita  semua  tergolong mereka yang  kembali  ke fitrah kita --dan yang menang—atas nafsu-egoisme kita).

CATATAN KAKI
 1. Syeikh 'Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu, 2 jilid (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), Jil. 1, hh. 233-4.
 2. QS. al-Baqarah/2:183
3. QS. Maryam/19:26.
4. al-Jurjawi, h 227
5. Lihat, Ibid, h.h. 232-3
6. QS. al-Nisa'/4:163-6.
7. Lihat al-Jurjawi, h. 228. Hadits dengan makna yang sama juga dikutip oleh al-Sayyid Muhammad Husayn al-Thaba'thabati dalam Al Mizan fi Tafsir al-Qur'an, 21 jilid (Beirut: Mu'assat al-A'lami, 1403/1983), jil. 2, h 25. Al- Thaba'thabati juga memberikan uraian dengan nada dan makna yang sama dengan al-Jawzi dan al-Jurjawi.
8. Abu 'Abd-Allah ibn al-Qayyim al-Jawzi, Zad al-Ma'ad fi Huda Khayr al-Ibad, 4 jilid (Beirut: Dar al-Fikr, 1392/1973), Jil. I, h 154.
9. QS. al-Hadid/57:4.
10. QS. al-Baqarah/2 :183.
11. QS. Qaf/50:16.
12. QS. al-Anfal/8:24.
13. al-Jurjawi, h 212.
14. QS. al-Mujadalah/58:7
15. QS. Luqman/31:33.
16. QS. al-Baqarah/2:48 dan 123).
17. QS. al-Kahf718:110.
18. QS. al-Hajj/22:37.
19. Hadits shahih, riwayat al-Tarmidzi dan al-Hakim  (Lihat Bulugh al-maram, Hadits No. 1561)
20. QS. al-Baqarah/2:185
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Tidak ada komentar:

Posting Komentar