Oleh: Abdurrahman Wahid
Suara bising yang keluar dari kaset biasanya dihubungkan dengan musik kaum remaja. Rock ataupun soul, iringan musiknya dianggap tidak bonafide kalau tidak ramai. Kalaupun ada unsure keagamaan dalam kaset, biasanya justru dalam bentuk yang lembut. Sekian buah baladanya Trio Bimbo atau lagu-lagu rohani dari kalangan gereja. Sudah tentu tidak ada yang mau membeli kalau ada kaset berisikan musik agama yang berdentang-dentang, dengan teriakan yang tidak mudah dimengerti apa maksudnya.
Tetapi, ternyata ada "persembahan" berirama yang menampilkan suara lantang. Bukan musik keagamaan, tetapi justru bagian integral dari upacara keagamaan; berjenis-jenis seruan untuk beribadat dilontarkan dari menara-menara masjid dan atap surau.
Apalagi malam hari, lepas tengah malam di saat orang sedang tidur lelap. Dari tarhim (anjuran bangun malam untuk menyongsong saat shalat subuh) hingga bacaan Alquran dalam volume yang diatur setinggi mungkin. Barangkali saja agar lebih "terasa" akibatnya: Kalau sudah tidak dapat terus tidur karena hiruk pikuk itu. Bukankah memang lebih baik bangun, mengambil air sembahyang dan langsung ke masjid?
Bacaan Alquran, tarhim, dan sederet pengumuman muncul dari keinginan meninsafkan kaum muslimim agar berperilaku keagamaan lebih baik. Bukankah shalat subuh adalah kewajiban? Bukankah kalau dibiarkan tidur orang lalu meninggalkan kewajiban? Bukankah meninggalkan kewajiban termasuk dosa? Bukankah membiarkan dosa berlangsung tanpa koreksi adalah dosa juga? Kalau memang suara lantang yang menggganggu tidur itu tidak dapat diterima sebagai seruan kebajikan (amar ma’ruf), bukankah minimal ia berfungsi mencegah kesalahan (nahi munkar)?
Sepintas lalu memang dapat diterima argumentasi skolastik seperti itu. Ia bertolak dari beberapa dasar yang sudah diterima sebagai kebenaran: kewajiban bersembahyang, kewajiban menegur kesalahan, dan menyerukan kebaikan. Kalau ada yang keberatan, tentu orang itu tidak mengerti kebenaran agama. Atau justru mungkin meragukan kebenaran Islam? Undang-undang negara tidak melarang. Perintah agama justru menjadi motifnya. Apalagi yang harus dipersoalkan? Kebutuhan manusiawi, bagaimanapun, harus mengalah kepada kebenaran Ilahi. Padahal mempersoalkan hal itu sebenarnya juga menyangkut masalah agama sendiri.
Mengapa diganggu? Nabi Muhammad mengatakan, kewajiban (agama) terhapus dari tiga macam manusia: mereka yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar), dan mereka yang tidur (hingga bangun). Selama ia masih tidur, seseorang tidak terbebani kewajiban apa pun. Allah sendiri telah menyediakan "mekanisme" pengaturan bangun dan tidurnya manusia dalam bentuk metabolisme badan kita sendiri.
Jadi, tidak ada alas an untuk membangunkan orang yang sedang tidur agar bersembahyang- kecuali ada sebab yang sah menurut agama, dikenal dengan ‘illat. Ada kiai yang merokok di pintu tiap kamar di pesantrennya untuk membangunkan para santri. ‘Illat-nya: menumbuhkan kebiasaan baik bangun pagi, selama mereka masih di bawah tanggung jawabnya. Istri membangunkan suaminya untuk hal yang sama, karena memang ada ‘Illat: bukankah sangu suami harus menjadi teladan anak-anak dan isterinya di lingkungan rumah tangganya sendiri.
Tetapi ‘Illat tidak dapat dipukul rata. Harus ada penjagaan untuk mereka yang tidak terkena kewajiban: orang jompo yang memerlukan kepulasan tidur jangan sampai tersentak. Wanita haid jelas tidak terkena wajib sembahyang. Tetapi mengapa mereka harus diganggu? Juga anak-anak yang belum akil balig (atau tamyiz, sekitar umur tujuh delapan tahunan, menurut sebagian ahli fiqh Mazhab Syafi’i)
Tidak bergunalah rasanya memperpanjang illustrasi seperti itu: akal sehat cukup sebagai landasan peninjauan kembali "kebijaksanaan" suara lantang di tengah malam- apalagi kalau didahului tarhim dan bacaan Alquran yang berkepanjangan. Apalagi, kalau teknologi seruan bersuara lantang di malam buta itu hanya menggunakan kaset! Sedangkan pengurus masjidnya sendiri tenteram tidur di rumah.
Jakarta 20 Februari 1982
Penulis adalah ketua Dewan Syura PKB
Suara bising yang keluar dari kaset biasanya dihubungkan dengan musik kaum remaja. Rock ataupun soul, iringan musiknya dianggap tidak bonafide kalau tidak ramai. Kalaupun ada unsure keagamaan dalam kaset, biasanya justru dalam bentuk yang lembut. Sekian buah baladanya Trio Bimbo atau lagu-lagu rohani dari kalangan gereja. Sudah tentu tidak ada yang mau membeli kalau ada kaset berisikan musik agama yang berdentang-dentang, dengan teriakan yang tidak mudah dimengerti apa maksudnya.
Tetapi, ternyata ada "persembahan" berirama yang menampilkan suara lantang. Bukan musik keagamaan, tetapi justru bagian integral dari upacara keagamaan; berjenis-jenis seruan untuk beribadat dilontarkan dari menara-menara masjid dan atap surau.
Apalagi malam hari, lepas tengah malam di saat orang sedang tidur lelap. Dari tarhim (anjuran bangun malam untuk menyongsong saat shalat subuh) hingga bacaan Alquran dalam volume yang diatur setinggi mungkin. Barangkali saja agar lebih "terasa" akibatnya: Kalau sudah tidak dapat terus tidur karena hiruk pikuk itu. Bukankah memang lebih baik bangun, mengambil air sembahyang dan langsung ke masjid?
Bacaan Alquran, tarhim, dan sederet pengumuman muncul dari keinginan meninsafkan kaum muslimim agar berperilaku keagamaan lebih baik. Bukankah shalat subuh adalah kewajiban? Bukankah kalau dibiarkan tidur orang lalu meninggalkan kewajiban? Bukankah meninggalkan kewajiban termasuk dosa? Bukankah membiarkan dosa berlangsung tanpa koreksi adalah dosa juga? Kalau memang suara lantang yang menggganggu tidur itu tidak dapat diterima sebagai seruan kebajikan (amar ma’ruf), bukankah minimal ia berfungsi mencegah kesalahan (nahi munkar)?
Sepintas lalu memang dapat diterima argumentasi skolastik seperti itu. Ia bertolak dari beberapa dasar yang sudah diterima sebagai kebenaran: kewajiban bersembahyang, kewajiban menegur kesalahan, dan menyerukan kebaikan. Kalau ada yang keberatan, tentu orang itu tidak mengerti kebenaran agama. Atau justru mungkin meragukan kebenaran Islam? Undang-undang negara tidak melarang. Perintah agama justru menjadi motifnya. Apalagi yang harus dipersoalkan? Kebutuhan manusiawi, bagaimanapun, harus mengalah kepada kebenaran Ilahi. Padahal mempersoalkan hal itu sebenarnya juga menyangkut masalah agama sendiri.
Mengapa diganggu? Nabi Muhammad mengatakan, kewajiban (agama) terhapus dari tiga macam manusia: mereka yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar), dan mereka yang tidur (hingga bangun). Selama ia masih tidur, seseorang tidak terbebani kewajiban apa pun. Allah sendiri telah menyediakan "mekanisme" pengaturan bangun dan tidurnya manusia dalam bentuk metabolisme badan kita sendiri.
Jadi, tidak ada alas an untuk membangunkan orang yang sedang tidur agar bersembahyang- kecuali ada sebab yang sah menurut agama, dikenal dengan ‘illat. Ada kiai yang merokok di pintu tiap kamar di pesantrennya untuk membangunkan para santri. ‘Illat-nya: menumbuhkan kebiasaan baik bangun pagi, selama mereka masih di bawah tanggung jawabnya. Istri membangunkan suaminya untuk hal yang sama, karena memang ada ‘Illat: bukankah sangu suami harus menjadi teladan anak-anak dan isterinya di lingkungan rumah tangganya sendiri.
Tetapi ‘Illat tidak dapat dipukul rata. Harus ada penjagaan untuk mereka yang tidak terkena kewajiban: orang jompo yang memerlukan kepulasan tidur jangan sampai tersentak. Wanita haid jelas tidak terkena wajib sembahyang. Tetapi mengapa mereka harus diganggu? Juga anak-anak yang belum akil balig (atau tamyiz, sekitar umur tujuh delapan tahunan, menurut sebagian ahli fiqh Mazhab Syafi’i)
Tidak bergunalah rasanya memperpanjang illustrasi seperti itu: akal sehat cukup sebagai landasan peninjauan kembali "kebijaksanaan" suara lantang di tengah malam- apalagi kalau didahului tarhim dan bacaan Alquran yang berkepanjangan. Apalagi, kalau teknologi seruan bersuara lantang di malam buta itu hanya menggunakan kaset! Sedangkan pengurus masjidnya sendiri tenteram tidur di rumah.
Jakarta 20 Februari 1982
Penulis adalah ketua Dewan Syura PKB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar