Jumat, 26 Februari 2016

MITOS, DOGMA DAN AGAMA

Masjid lebonge
Beberapa abad terakhir ini agama sudah mulai dipercaya oleh para pemikir sebagai sesuatu yang bisa dijelaskan melalui analisis kritis dan ilmiah, yang selama beribu-ribu tahun yanglalu diyakini sebagai bagian yang tak bisa dipisahkan dari budaya. Sejak itu agama berkembang secara perlahan yakni dari kepercayaan primitif  pada roh-roh, batu, dan pohon-pohon ke kepercayaan pada satu tuhan ( monoteisme) dan etika yang lebih tinggi. Akan tetapi apapun kemajuan yang dikemukakan tersebut hanya muncul karena alasan yang sederhana karena betapapun besarnya daya tariknya dalam sejarah tetap saja kepercayaan yang seperti ini sulit untuk diterima dan merupakan kesalahan yang besar terlebih jika  ditinjau dalam perspektif sains. Sebagaimana yang dikemukakan oleh setiap geolog bahwa batu tidak memiliki hantu didalamnya, pendapat ini juga didukung oleh para ahli botani bahwa tanaman tidak ditumbuhkan oleh suatu anima yang tersembunyi didalam batangnya.
  
Penjelasan tersebut masuk akal namun metode sains pada masa sekarang ini menunjukkan pada kita bahwa perkembangan orang-orang primitif senantiasa juga memiliki unsur yang tak beralasan. Meskipun mereka dapat berpikir rasional namun kita harus memahami rasionalnya orang-orang primitif adalah rasionalnya anak-anak. Sistem tersebut dapat menuntun orang pada sistem animisme maka pada era sains jalan yang sama pada masa sekarang harus membawa pergi darinya sehinggga dengan menyebarnya sains dapat menghilangkan kebohongan orang primitif kuno. Taylor mengemukakakan bahwa pada zaman moderen pertumbuhan agama, seperti magic, dogma dan mitos  sedang sekarat akibat beban pembagian-pembagian dan bahan percobaan. Pada masa sekarang dimana kita  memahami dunia hanya pada saat kita dapat menarik diri dari kepercayaan yang kuat dan menyesatkan yang mana dari segi etika mungkin bisa diterima tetapi apa yang dipercayainya itu seperti dewa dan roh dapat mati dan hilang.
  
Sejalan dengan perkembangan zaman orang terkadang pula mengalami krisis epistimologi dalam agama yang berasal dari cara pandang agama dan cara pandang  sains sebagaimana yang terjadi pada D. Adamo yang mengklaim bahwa teks-teks keagamaan  itu sebagai sesuatu yang konsisten dan penuh dengan klaim kebenaran, bersifat lengkap sehingga tidak ada kebenaran lain diluar agamanya, teks-teks agama juga dianggap sebagai satu-satunya jalan keselamatan , pencerahan dan pembebasan. Adanya klaim seperti ini kemudian mengagetkan orang-orang yang taat beragama. Sebagaimana kita ketahui bahwa dari seluruh agama yang ada, agama mana yang tidak mengklaim bahwa agama dan kitab sucinya bersifat konsisten, penuh dengan kebenaran, bersifat lengkap dan final sehingga tidak ada lagi dan juga tidak diperlukan agama atau kebenaran lain selain agamanya sendiri. Juga agama mana yang tidak mengakui bahwa agamanyalah yang merupakan satu-satunya agama keselamatan, pencerahan dan kebebasan terlebih kitab suci yang merupakan pedoman beragama yang berasal dariTuhan. Jadi cara pandang agama yang seperti ini tidak kritis karena hal tersebut bisa menimbulkan masalah besar bagi sudut pandang modern terutama  bila agama yang satu dengan agama yang lain coba diperhadapkan maka akan  melahirkan perang klaim kebenaran yang kemudian  diikuti dengan perang klaim penyelamatan.
  
Dalam perspektif sosiologis, klaim kebenaran dan klaim penyelamatan itu telah melahirkan konflik sosial politik yang kemudian membawa kepada perang antar agama yang sampai saat ini dirasakan dampaknya oleh masyarakat.
Hal ini sejalan dengan pemikiran A.N. Wilson  “ Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat;tetapi agama  kata Wilson,  “jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama tidak saja membuat orang tertidur tapi agama dapat mendorong orang untuk menganiaya sesamanya untuk mengagungkan pendapat dan perasaan  mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran.
  
Pandangan tersebut tidak kemudian harus ditolak begitu saja karena  walaupun pada satu sisi memiliki implikasi negatif dengan klaimnya yang menyamakan agama dengan candu yang mana melahirkan keengganan untuk menganut suatu kepercayaan. Namun kita tak dapat menapikan implikasi positifnya dimana pernyataan  tersebut merupakan peringatan bagi para penganut agama bahwa dalam lingkungan para penganut agama potensi untuk saling menjatuhkan dan saling merusak.
  
Cara pandang yang seperti ini dikritisi oleh para saintek dimana mereka merasa ragu dengan adanya klaim-klaim kebenaran karena agama dianggap sesuatu yang sangat tertutup terhadap kebenarannya sendiri yang secara dogmatis menuntut suatu suatu keyakinan. Berbeda dengan sains yang selalu terbuka untuk selalu dikritik yang menuntut pengertian terlebih dahulu.
  
Dengan adanya fenomena tersebut dimana  konflik-konflik sosial politik yang disebabkan adanya klaim kebenaran antar agama bisa diatasi dengan memperluas pandangan dan visi keagamaan  yang mana dari sudut pandang filsafat perenial mencoba membuka wawasan yang lebih luas bahwa  semua agama pada dasarnya adalah relatif absolut dimana kebenaran yang ada pada setiap agama inheren pada agama tersebut, dengan demikian  agama diharapkan dapat mengambil  peranan pembebasan atas kemanusiaan.
  
Rudolf Otto, seorang berkebangsaan Jerman yang ahli di bidang sejarah agama, meyakini bahwa perasaan-perasaan dan keyakinan sesorang terhadap terhadap adanya yang maha kuasa yang lebih besar dan tinggi yang tidak bisa jangkau dan dikuasai manusia itu merupakan dasar setiap agama.  Adanya perasaan inilah yang menjadi sumber segala keinginan untuk mendapatkan kejelasan tentang asal-usul dunia sebagai basis etika perilaku.  Kekuatan manusia inilah yang kadang-kadang diinspirasikan dengan suatu kebuasan yang menyeramkan dan menakutkan.  Kadang-kadang suatu ketenangan yang dalam dan menyejukkan dan kadang-kadang pula dengan suatu kekuatan yang misterius.  Dari sini kemudian manusia merencanakan mitos-mitosnya dalam menyembah Tuhannya.
  
Akan tetapi menurut upaya-upaya tersebut tidak dengan suatu penjelasan lteral terhadap gejala-gejala alam sehingga kemudian meleburkan cerita-cerita simol, lukisan-lukisan, ukuran-ukuran gua yang tidak menghubungkan misteri-misteri yang tak dapat ditembus itu dengan kehidupan yang mereka miliki.  Sebagai contohnya zaman Palaeolithic, ketika masa pertanian sedang maju pesat dilakukan pemujaan terhadap Dewa pertanian (Masyarakat Jawa disebut Dewi sri) .Mereka menganggap bahwa dewa pertanian adalah pemberi kesuburan tanah sehingga dewa tersebut dianggap sebagai penguasa tertinggi pada saat itu bahkan lebih tinggi dari Tuhan langit yang dianggap paling tua tersebut.
  
Cerita-serita inilah yang dikenal dengan mitos yaitu gambaran tenatng sesuatu dalam bentuk simbol agar memudahkan orang untuk memahaminya.  Mitos merupakan gambaran suatu realitas yang terlalu kompleks dan sulit untuk dipahami karena mitos merupakan ekspresi dari berbagai makna dan cara.
  
Adanya mitos-mitos tersebut tentang pluralnya Tuhan ternyata sangat membantu umat manusia dalam mengartikulasikan kesadarannya mengenai kekuatan yang tidak dapat dilihat dan diluar kekuasaan manusia.  Begitulah Tuhan sepanjang sejarah yang dipahami melalui partisipasi manusia sehingga kesan kesan yang ditimbulkan akan Tuahan juga menjadi sangat manusiawi.
  
Pada abad ke-17 bahkan sebelumnya yaitu ketika reanisans telah terjadi, upaya membawa dunia Barat ke arah sekularisme dan penipisan peran agama melibatkan lahirnya sejumlah orang Barat yang secara praktis tidak lagi menganut agama Kristen atau Yahudi.  Orang semacam Comte, yang fikiran-fikirannya begitu anti metafisis sehingga memudahkan menjadikan sekularisme di dunia Barat.  Ditambah lagi filsafat Marx yang menegaskan bahwa agama adalah candu masyarakat sehingga harus ditinggalkan.  Puncak penolakan agama Kristen di barat juga disuarakan oleh Nietzche dengan pernyataan :”The God is dead”.
  
Pendapat-pendapat ilmuan Barat tersebut menurut Komaruddin disebabkan karena mereka tidak mempunyai sistem keimaman yang dapat mengakomodasi perkembangan modern dengan ilmu pengetahuan.  Hal ii sejalan dengan ungkapan Nur Cholish madjid yang dikutipnya dalam Baigent, Krisis epistemologi , yakni masyarakat Barat tidak lagi mengetahui tentang makna dan tujuan hidupnya.  Kemajuan masyarakat yang sudah berhasil dan begitu percaya dengan iptek,  membuat mereka lepas dari kontrol agama karena kita ketahui bersama bahwa iptek yang landasannya bersifat sekuler akan menggantikan posisi agama, dimana segala kebutuhan agama seolah-olah bisa dipenuhi dengan iptek.  Namun asejalan dengan perkembangan iptek ternyata menghianati kepercayaan manusia karena kemajuan iptek ayng seperti itu justru identik dengan bencana.
  
Akibat adanya cara pandang gaya hidup modern ini, menyebabkan hilangnya kesadaran awal manusia, sehingga umat beragama mengalami dilematis antara masuk dunia telenikalisme atau tetap berpegang pada ajaran kitab sucinya.
  
Satu ungkapan Al-Qur’an yang tampak relevan diangkat dalam konteks tersebut adalah berkaitan dengan upaya Ibrahim mencari bentuk dan nama Tuhan yang haqiqi.  Ungkapan ini seperti memberi maka simbolis sebagai gambaran panjang dari perjalanan sejarah umat manusia mencari bentuk dan nama-nama Tuhan yang pada akhirnya Tuhan yang sebenarnya adalah yang Maha Kuat, Maha Pencipta dan Maha Kuasa.(Q.S. Al An’am /6 : 76-79).  “Tatkala malam yang gelap tiba, ia (Ibrahim) melihat sebuah bintang, ia berkata : “inilah Tuhan-ku.  Tetapi setelah bintang terbenam ia berkata:”Aku tidak menyukai segala yang terbenam.  Tatkala ia melihat bulan timbul. Ia berkata: inilah tuhan-ku”, tetapi setelah bulan itu terbenam ia berkata :” Jika Tuhanku tidak memberi petunjuk pastilah aku jadi orang yang sesat.  Tatkala ia melihat matahari terbit, ia berkata : “inilah Tuhan-ku”, Ini yang lebih besar”. Tetapi setelah matahari terbenam, ia berkata : “Hai kaumku aku lepas tangan dari segala yang kamu sekalian persekutukan, kuhadapkan wajahku kepada yang menciptakan langit dan bumi sebagai penganut agama hanif , yang jauh daripada syirik, dan aku bukanlah golongan Musyrik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar