Rabu, 24 Februari 2016

KONSEP AL-QUR'AN TENTANG KEPEMIMPINAN BAGI ORANG TERTINDAS

Haruslah diingat, bahwa ketika revolusi sosial didakwahkan melalui konsep-konsep religius, maka terma yang demikian itu pasti digunakan. Namun untuk mempertahankan keutuhan ruh dari ajaran-ajaran teologis ini, maka diskursus teologis ini harus ditafsirkan kembali dalam terma sosial, politik dan ekonomi modern. Ajakan teologis untuk membagikan kelebihan kekayaan di jalan Allah, dalam terma sosial modern, ditransformasikan menjadi penciptaan institusi-institusi yang tepat misalnya pemilikan alat-alat produksi oleh masyarakat, penarikan pajak melalui negara untuk pembiayaan berbagai proyek kesejahteraan rakyat, dan institusi-institusi lain yang mampu memeratakan kekayaan di dalam masyarakat.

Nabi tidak pernah berkeinginan untuk memutarbalik roda sejarah. Ia sangat keras mengecam praktek riba yang eksploitatif, namun sama sekali tidak mengharamkan laba yang diperlukan dalam masyarakat perdagangan. Hanya saja ia memberi batasan-batasan tertentu untuk menghilangkan praktek-praktek pemerasan dan penghisapan yang dilakukan oleh para pedagang yang serakah dan tidak jujur. Menghilangkan sama sekali laba akan membuat surut masyarakat komersial yang sedang berkembang. Tentu saja, semua praktek licik yang dianggap curang atau mengambil keuntungan yang tak semestinya dari seseorang sangat dikutuk. Ibnu Hazm, seorang ahli hukum terkenal menyatakan prinsip transaksi terbuka:
"Penjualan suatu barang yang fakta-faktanya tidak diketahui oleh penjual tidak dibenarkan, sekalipun diketahui oleh pembeli; demikian pula untuk komoditas yang tidak jelas bagi pembeli meskipun penjual mengetahuinya. Transaksi barang-barang yang kedua belah pihak (penjual dan pembeli) tidak mengetahui fakta-faktanya, juga tidak diperbolehkan (tidak sah)."1

Dalam situasi tertentu, bahkan di negara-negara sosialis sekali pun, perdagangan swasta, perusahaan bahkan produksi tetap diperbolehkan pada skala yang terbatas, selama tidak menimbulkan eksploitasi-eksploitasi terhadap orang lain. Seseorang tidak bisa kaku dalam masalah-masalah seperti ini. Sangat bergantung pada situasi tempat kita berurusan. Nabi sadar benar akan situasi dan idealismenya selalu mempunyai dimensi historis. Karena untuk berhasil, suatu revolusi sosial harus memiliki kesadaran sejarah dan harus merespon kebutuhan-kebutuhan yang secara sosial dirasakan oleh orang-orang yang terkena revolusi sosial tersebut. Konsep riba tersebut (biasanya diterjemahkan sebagai bunga) juga harus dipahami dalam konteks sejarah yang tepat. Motif nyata untuk melarang riba (persoalan ini akan dibicarakan secara rinci di bab lain) adalah untuk mengakhiri eksploitasi terhadap orang-orang yang tidak berdaya, dan bukan merupakan larangan total terhadap semua bentuk bunga. Konsep riba, menurut saya, juga harus termasuk keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari 'eksploitasi' tenaga kerja, atau keuntungan dari penanaman modal yang mengabaikan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat.

Al-Qur’an, di samping mendakwahkan cita-cita Islam, tidak pernah mengabaikan konteks situasinya dan, sebenarnya hal inilah yang menjadi rahasia keberhasilannya. Misalnya ia tidak mengambil pendekatan kelas dengan jelas, karena pendekatan itu hampir-hampir tidak akan berfungsi dalam situasi sejarah berikutnya. Al-Qur’an membenci perbudakan, tapi tidak segera menghapusnya begitu saja. Perbudakan bukan merupakan bagian integral dari sistem ekonomi di Mekkah. Meskipun begitu, perbudakan tetap menjadi masalah yang sangat penting. Terlepas dari dukungan biaya yang bisa diperoleh Nabi dari tokoh-tokoh penting di Mekkah dan Medinah, penghapusan perbudakan bisa menimbulkan masalah baru yang tak terpecahkan pada masa permulaan Islam.2

Nabi menempuh cara-cara gradual untuk menghapuskan perbudakan. Nabi juga memberikan hak-hak budak yang sebelumnya terabaikan. Namun, sayangnya konteks sejarah belum matang untuk pembebasan budak secara total, dan karenanya, alih-alih melemah, lembaga perbudakan malah semakin menguat setelah Nabi wafat. Setelah imperium Byzantium dan Persia berhasil ditaklukkan, Islam berubah menjadi feodal (feudalised) dan menjadi kekuatan yang eksploitatif yang terlembaga selama tiga dekade serta telah kehilangan elan pembebasannya. Para ahli hukum Islam berhadapan dengan situasi kesejarahan yang konkrit, melakukan kodifikasi hukum syari’ah di bawah pengaruh atmosfir tersebut, dan dengan demikian mereka juga kehilangan elan pembebasan Islam-awal. “Kerusakan berat” pada elan pembebasan dan progresivitas Islam ini telah ditimbulkan oleh para ahli teologi dan ahli hukum Islam dengan cara mengaburkan apa yang diperintah oleh batasan-batasan situasional. Generasi berikutnya mengikuti mereka secara tidak kritis dan dengan demikian terciptalah suatu tatanan syari’ah yang kaku dan tidak dapat diubah. Sementara itu, ulama masa kini--dengan semangat tidak kritis yang sama--menganggap hukum-hukum yang dirumuskan oleh ulama terdahulu sama dengan kebijaksanaan Ilahi dan mempunyai validitas abadi. Mereka juga mengabaikan fakta bahwa kebijaksanaan Ilahiyah bersifat transendental, melampaui batas-batas ruang dan waktu. Salah satu fungsi Tuhan yang essensial adalah rububiyyah yang didefinisikan oleh Imam Raghib Asfahani sebagai membimbing ciptaan-Nya melalui tahap-tahap evolusi yang berbeda ke arah kesempurnaan.3

Jika kebijaksanaan ilahiyah harus tetap berlaku, para ulama mestinya berupaya terus menerus untuk memecahkan ketegangan antara yang aktual dan yang mungkin, yang nyata dan yang ideal, yang sementara dan yang abadi.
Masalah lain yang juga selalu disalahpahami adalah makna jihad dalam Islam. Selama ini jihad diartikan sebagai persetujuan Islam untuk menggunakan cara kekerasan. Kesan, bahwa Islam mengabsahkan cara kekerasan dalam mencapai tujuannya terus berlangsung. Agama tidak dapat disebarkan dengan pedang. Ia tersebar karena kesadaran. Orang harus kembali pada asal-usul Islam jika masalah ini ingin dipahami dalam konteks yang tepat.

Pada periode permulaan Islam di Mekkah, kaum muslimin merupakan minoritas kecil yang berhadapan dengan pedagang-pedagang kaya Mekkah yang mapan dan kuat. Mereka hampir-hampir tidak bisa mengangkat senjata menghadapi penantang-penantangnya yang kuat itu. Dalam menghadapi penindasan seperti itu, satu-satunya jalan yang mereka tempuh adalah pindah ke suatu negeri yang lebih aman dan hal ini dilakukan oleh kaum Muslimin setelah mendapat perintah Nabi. Mula-mula serombongan kaum Muslimin hijrah ke Ethiopia dan rombongan berikutnya hijrah ke Medinah. Kemudian Nabi juga ikut bergabung. Beberapa orang dari suku Aus dan Khazraj bergabung dengan Nabi dan di sana nabi menyusun kekuatan. Di Medinah juga terdapat beberapa suku Yahudi yang cukup berpengaruh. Nabi membuat suatu kesepakatan dengan berbagai suku, termasuk kaum Yahudi, dalam upayanya membentuk sebuah masyarakat yang kohesif.

Di sini, kita harus membedakan antara perang untuk menyebarkan agama dan perang sebagai sekedar cara untuk mempertahankan diri ketika berhadapan dengan musuh yang militan. Sejauh dikaitkan dengan kategori yang pertama, Islam justru tidak percaya pada penggunaan kekerasan. Sikap Al-Qur’an jelas: La Ikraha fi al-Din (tidak ada paksaan dalam agama),4 dan selanjutnya ia menyatakan: “Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan engkau tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.5 Tidak perlu orang dipaksa untuk menerima suatu agama. Konversi agama mestilah dibebaskan dari ancaman dan pengaruh. Menurut Al-Qur’an, Tuhan telah membuat jelas jalan yang lurus dan membedakannya dengan jalan yang salah. Adalah hak seseorang untuk mengikuti jalan yang benar atau mengikuti jalan yang salah. “Seseorang boleh melanjutkan mengikuti thagut, atau percaya kepada Tuhan”.6 Tidak ada paksaan sama sekali.
Masalahnya menjadi lain, bila seseorang disiksa, disakiti atau diserang. Islam memperbolehkan penggunaan kekerasan atau perang hanya dalam kasus-kasus seperti itu. Dr. Khalfallah tetap berpendapat bahwa orang Islam tidak pernah memaksa untuk membangun kekuasaan atas orang lain atau untuk merampas kemerdekaannya, atau untuk menganiaya orang lain, untuk menumpahkan darah orang lain, atau merebut hak orang lain, atau mengeksploitasi kekayaan orang lain, atau menindas orang lain. Ia selanjutnya mengatakan, dengan mengutip Muhammad Abduh, bahwa memaksa orang lain untuk memeluk suatu agama tidak diperbolehkan, begitu pula orang lain tidak boleh memaksa seseorang untuk meninggalkan agama yang telah dipeluknya.7 Ketika seseorang dianiaya atau diusir dari rumahnya sendiri, maka ia harus melawan tirani itu. Menurut etik Al-Qur’an, melindungi orang-orang yang tertindas adalah suatu keharusan. Al-Qur’an berkata:
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan dan anak-anak yang semuanya berdo’a: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami perlindungan dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong di sisi-Mu”.8

Juga dikatakan:
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah lagi, dan supaya agama itu semata-mata bagi Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah maha melihat atas apa yang mereka kerjakan.9
Dengan demikian jelas, bahwa berjuang (berperang) diizinkan dalam Al-Qur’an tidak untuk memaksa seseorang untuk memeluk Islam, tapi untuk mengakhiri penganiayaan dan untuk melindungi orang-orang lemah dari penindasan orang-orang kuat.
Kajian yang seksama atas Al-Qur’an juga menunjukkan, bahwa Al-Qur’an berpihak pada posisi orang-orang yang lemah dalam menghadapi orang-orang yang kuat. Term yang digunakan Al-Qur’an bagi mereka adalah mustadh’afin (orang-orang yang dilemahkan) dan mustakbirin (orang-orang yang sombong). Semua Nabi Israel digambarkan di dalam Al-Qur’an sebagai pembela mustadh’afin menghadapi mustakbirin, yakni orang-orang kaya dan penguasa suatu negeri. Karena itu, nabi Israel terkemuka, Musa, digambarkan sebagai pembebas orang-orang yang tertindas (bangsa Israel) dari penindasan Fir’aun (mustakbirin). Simpati Tuhan pun ditujukan kepada orang-orang yang tertindas itu. Tuhan berfirman dalam Al-Qur’an: "Dan Kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi."10 Inilah konsep Al-Qur’an tentang kepemimpinan bagi orang tertindas.

Pertarungan antara mustadh’afin dan mustakbirin itu akan terus berlangsung, hingga Din Allah yang berbasis pada Tauhid menyatukan semua rakyat (tanpa perbedaan lagi antara mustadh’afin dan mustakbirin, orang-orang yang menindas dan orang-orang yang tertindas, kaya-miskin) sehingga menjadi suatu masyarakat “tanpa kelas”. Dari perspektif ini jelaslah bahwa Al-Qur’an menghadirkan suatu teologi pembebas dan dengan demikian membuat teologi yang sebelumnya mengabdi kepada kelompok penguasa yang eksploitatif menjadi teologi pembebasan. Sayangnya, Islam dalam fase-fase berikutnya, justru mendukung kemapanan itu. Tugas generasi baru Islamlah untuk merekonstruksi lagi teologi Islam revolusioner-transformatif dan membebaskan itu.

1 Ibn Hazm, Al-Mahalli, vol. 8 hal. 439, lihat juga Dr. Muhammad Nijatullah Shiddiqi, Economic Enterprise in Islam (Delhi, 1979) hal. 55.
2 Untuk uraian lengkap mengenai masalah perbudakan, lihat Asghar Ali Engineer, The Origin and Development of Islam, op. cit.,
3 Lihat Mufradat Imam Raghib; lihat Maulvi Muhammad Taqi Amini, Islam ka Zar’I Nizam (Delhi, 1981) hal. 13
4 Al-Qur’an (2:256)
5 Al-Qur’an 109
6 Al Qur’an (2:256)
7 Dr. Muhammad Ahmad Khalfallah, op. cit., hal. 244.
8 Al-Qur’an (4:75)
9 Al-Qur’an (8:39)
10 Al-Qur’an (28:5)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar