Senin, 29 Februari 2016

APAKAH MANUSIA BISA MENCAPAI KEBENARAN ?

FITRAH
Manusia adalah relatif. Maka, kebenaran yang dicapainya pun bersifat relatif, tidak mutlak. Sebab itu, seseorang jangan memutlakkan pendapatnya. Seseorang tidak patut mengklaim pendapatnya benar sendiri, dan menyalahkan pendapat lain.
Pendapat semacam itu secara sepintas tampak logis dan indah. Padahal, jika ditelaah secara mendalam, pendapat ini sangat keliru, bahkan berbahaya. Dengan pendapat itu, maka seolah-olah manusia tidak dapat sampai kepada keyakinan tertentu. Padahal, sebenarnya tidaklah demikian. Para cerdik cendekia sudah mendiskusikan masalah ini selama ribuan tahun. Di kalangan ulama Islam, sejak ratusan tahun lalu, sudah ramai diskusi tentang apa yang disebut sebagai sophist atau sufastaiyyah. Golongan ini berpaham skeptik, relativistik, yang sebenarnya adalah golongan anti-ilmu.
Para sarjana Muslim zaman silam, seperti Al-Baghdadi (1037/8 M), Al-Nasafi (1142 M), Al-Taftazani (1387/8 M), dan Nur Al-Din Al-Raniri (1658 M), dan yang kontemporer seperti Naquib al-Attas, telah menjelaskan bahwa i1mu pengetahuan (ilm/knowledge/certainty), sebagai sesuatu yang mungkin dan menolak pendapat para sofis yang menganggapnya sebagai suatu kemustahilan. Mereka membagi para sofis ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama disebut dengan kelompok al-la adriyyah atau gnostik, karena selalu mengatakan tidak tahu atau selalu ragu-ragu tentang keberadaan sesuatu sehingga menolak kemungkinan seseorang meraih ilmu pengetahuan. Orang yang seperti ini, pada gilirannya juga akan meragukan sikapnya yang serba meragukan keberadaan segala sesuatu. Kelompok yang kedua ialah kelompok al-indiyyah, yaitu mereka yang selalu bersikap subjektif. Kelompok ini menerima kemungkinan ilmu pengetahuan dan kebenaran, tetapi menolak tujuan ilmu pengetahuan dan kebenaran. Bagi mereka, tujuan ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah subjektif (indi, yaitu ''Menurut saya''), bergantung pada pendapat masing-masing.
Kelompok yang ketiga ialah kelompok al-inadiyyah, yaitu mereka yang keras kepala, yang menafikan realitas segala sesuatu dan menganggapnya sebagai fantasi (auham) dan khayalan semata-mata. Kelompok terakhir ini lebih mirip dengan kelompok kedua.

Sofis dan Iman
Para sofis tidak dapat dan tidak akan pernah menjelaskan kedudukan mereka. Kalau pun dapat, satu-satunya kedudukan yang sesuai untuk mereka adalah mendekonstruksi setiap wacana keilmuan. Sikap para sofis sudah jelas tidak Islami, karena para ahli filsafat Muslim sekalipun, seperti Al-Farabi, menempatkan keberhasilan dalam mencapai suatu keyakinan sebagai tahap akhir daripada proses belajar.
Para sofis Yunani adalah contoh klasik dari mereka yang selalu menolak ilmu dan keyakinan, dari ilmu atau keyakinan terhadap pengalaman yang paling mudah sehingga realiti spiritual. Xenophanes (hidup 550 SM) adalah seorang di antara ahli sofis generasi pertama yang sambil menentang amalan tahayul agama Yunani, dengan mengatakan bahwa tidak seorang pun yang telah atau akan sampai pada kebenaran yang pasti tentang tuhan dan para dewa.
Heraclitus, yang biasanya disebut sebagai guru para sofis, yang lebih muda, tetapi hidup sezaman dengan Xenophanes, mensejajarkan konsepsinya tentang relativitas ilmu pengetahuan dengan parameter yang diambil dari pengalaman yang sangat sederhana, yaitu bahwa air laut adalah sumber kehidupan bagi ikan, tetapi sumber bencana bagi manusia (jika diminum). Kemudian datang Protagoras, ahli sofis pertama dan terbesar zaman Yunani Kuno, yang menurut Plato telah mengeluarkan salah satu penyataan yang berpengaruh dalam falsafah relativisme: Tentang Tuhan dan para dewa, saya tidak tahu apakah mereka itu ada atau tidak dan bagaimana bentuk mereka. Sebab, terlalu banyak faktor yang menghalangi ilmu pengetahuan tentang perkara ini, seperti ketidakjelasan permasalahan dan singkatnya hidup manusia. Sikap skeptis yang moderat dalam masalah spiritual ini lebih diradikalkan lagi oleh Giorgias yang berkata, ''Tidak ada sesuatu pun yang maujud; jika ada yang maujud, ia tentunya tidak terjangkau. Jika terjangkau, ia tentunya tidak dapat disampaikan kepada orang lain.''
Ahli sofis dengan segala bentuknya masih terus menebarkan pengaruhnya hingga hari ini. Inti permasalahan yang ditimbulkan dalam kajian filsafat dan agama masa kini banyak yang sama dengan permasalahan yang telah dihadapi oleh para nabi dan sarjana zaman silam; tetapi liputannnya jauh lebih luas daripada yang ada pada masa lalu. Disebabkan banyak di antara permasalahan ini yang telah dijawab dengan tepat dan betul oleh sarjana Muslim terdahulu, maka mengetahui jawaban mereka akan mempermudah dan menghematkan usaha kita dalam menghadapi permasalahan yang secara fundamental sama dengan yang ada sekarang.
Sebagai contoh, pelbagai tren baru yang muncul dalam evolusi biologis dan historis sekarang ini hanyalah versi terbaru daripada idea yang mengatakan bahwa alam adalah kekal, yang pada abad ke-11 M sering dihadapi oleh Al-Ghazali. Lebih khusus lagi, hal yang sama juga terjadi dalam dunia filsafat dan pendidikan sekarang, yang di dalamnya banyak sarjana moden menganggap kaum sofis sebagai pelopor teori pendidikan di Barat. Menurut Jarrett, para ahli sofis meradikalkan pendidikan dengan cara mempopularkan pengembaraan intelektual, menilai pentingnya retorika secara berlebihan, dan memperluas pendidikan formal kepada para remaja. Mereka akan menggunakan logika, retorik, bahasa, dan sejarah untuk mempengaruhi dan memenangkan perdebatan yang mengarah pada kehidupan sekular. Richard Rorty, seorang ahli filsafat moden yang cukup berpengaruh, mengungkapkan prinsip ahli sofis yang baru tentang ilmu pengetahuan, bahwa hakikat ilmu adalah tidak memiliki hakikat, dan karenanya, tidak ada yang disebut dengan teori-teori ilmu. Sangat sedikit yang dapat dibahas tentang hakikat kebenaran, manusia, Tuhan, dan sebagainya. Dia menawarkan sesuatu yang disebutnya sebagai filsafat yang memupukkan (edifying philosophy) yang, seperti pendapat para ahli sofis pada zaman dahulu, hanya bersifat reaktif dan hanya menawarkan sederetan penjelasan yang bersifat tidak mengikat.
Terdapat kelompok sofis modern jenis la adriyyah, baik yang terdapat di kalangan pendidik Muslim kontemporer yang sekular, maupun yang terdapat dalam komunitas lain. Mereka cenderung menyempitkan ruang lingkup agama pada permasalahan iman saja, tanpa amal. Mereka percaya bahwa iman adalah masalah hati, dan karenanya, bersifat pribadi. Artinya, tidak seorang pun yang dapat mengatakan kepada orang lain bahwa imannya salah atau benar. Sedangkan, para sarjana Muslim, rata-rata berpendapat bahwa agama adalah gabungan antara iman dengan Islam dan menerima bahwa ilmu pengetahuan dan amal saleh merupakan bahagian yang tidak terpisahkan daripada iman.

Jauhi Skeptis
Iman itu sendiri memiliki tingkat yang berbeda-beda. Untuk mengilustrasikan tingkat iman yang berbeda-beda ini, sarjana Muslim kadang-kadang menganalogikannya dengan cahaya yang memiliki tingkat dan kualitas yang berlainan. Cahaya matahari adalah cahaya yang paling terang, sementara cahaya bulan dan pantulannya adalah tingkat dan kualitas yang berbeda dengan cahaya matahari yang sama. Adanya tingkat-tingkat keimanan juga dapat dilihat dalam sabda Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa jika seseorang melihat kejahatan, dia harus mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, dengan lidahnya; dan jika masih tidak mampu, dengan hatinya, dan ini (yang terakhir) adalah selemah-lemah iman.
Dalam konteks ini, penyataan bahwa iman terdiri daripada kepercayaan dalam hati dan pengetahuan dalam pikiran, yang ditulis dalam Wasiyah Abi Hanifah, Fiqh Akbar II, dan Akidah Al-Tahawi sebagai artikel pertama, ke-18, dan ke-11, dapat dipahami sebagai bentuk iman tingkat pertama atau yang terlemah. Al-Baghdadi, didukung oleh artikel ke-15 dalam Aqa'id, karya Al-Nasafi, mendefinisikan iman sebagai mempercayai (tashdiq) dan mengikrarkan (taqrir) kebenaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Mereka juga membenarkan bahwa iman dan Islam sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dari sini, dapat dikatakan bahwa keimanan seseorang akan diketahui melalui perkataan dan perbuatannya, suatu kedudukan yang menjadikan pendidikan agama sebagai sesuatu yang diperlukan.
Sofisme telah merasuk jauh ke pelbagai sektor kehidupan moden. Manusia diarahkan pada konsep relativitas moral serta sikap hidup yang pesimis dan melemahkan sendi-sendi moral, baik pada dataran pengalaman individu, masyarakat maupun politik. Satu di antara contoh yang paling ketara adalah sikap netral Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam kasus Bosnia-Herzegovina yang mengakibatkan terjadinya pembantaian besar-besaran, pemerkosaan, dan penyiksaan, yang dalam sejarah modern, merupakan tragedi paling dahsyat sejak Perang Dunia II. Perlu digarisbawahi bahwa keadilan menurut konsepsi Islam tidak sama dengan sikap netral, sebab keadilan itu adalah berpihak pada kebenaran. Masalahnya adalah bagaimana seseorang itu dapat berpihak pada kebenaran jika kewujudan kebenaran itu sendiri masih diragukan?

Karena itu, kita perlu berhati-hati dengan pernyataan bahwa manusia hanya memahami kebenaran relatif. Sebab, Allah SWT menganugerahi akal manusia untuk berpikir, dan untuk sampai pada derajat keyakinan yang tentu saja pada level manusia, bukan pada level Tuhan. Dengan akal dan keyakinan itulah kita paham mana yang haq dan mana yang bathil, mana iman dan mana kufur, mana tauhid dan mana syirik, mana pendapat yang lemah dan mana pendapat yang kuat. Dengan keyakinan itulah, kita tergerak untuk memperjuangkan yang haq dan melawan yang bathil. Keyakinan itu pula yang akan mengantarkan manusia kepada kekhusyukan dan kenikmatan ibadah serta kebahagiaan yang sejati. Sikap skeptis dan relativistik terhadap kebenaran sudah seharusnya dijauhi oleh setiap Muslim, sebab itu menggerogoti sendi-sendi akidah Islam.

Republika. Senin, 04 April 2005
Apakah Manusia Bisa Mencapai Kebenaran?
Wan Mohd Nor Wan Daud
Guru Besar ISTAC-IIUM dan Guru Besar Tamu di ATMA-UKM Malaysia

"Silahkan di Like dan di share, Terima Kasih"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar