Sabtu, 27 Februari 2016

MUHAMMAD AL-GHAZALI DAN YUSUF QARDAWI : DI ATAS JEJAK HASAN AL-BANNA

YushanPertama, buku Syekh Muhammad al-Ghazali --yang mengalami cetak ulang untuk ketiga kali pada 1965-- tidak memberi penekanan pada hak-hak nonmuslim, melainkan dari perspektif sejarahnya saja. Akan tetapi, ia mempunyai arti penting dalam menjawab tuduhan-tuduhan sebagian kalangan mengenai sikap Islam terhadap nonmuslim (hlm. 4). Pada permulaan bukunya, ia menegaskan bahwa Kitabullah mewajibkan kita untuk merealisasikan keadilan, menyadarkan semua orang tentang kondisi umum yang dihadapi, dan tidak menghiraukan persahabatan atau permusuhan dengan si kaya atau si miskin (hlm. 33). Syekh Muhammad al-Ghazali mendasarkan pandangan itu pada ayat di bawah ini. "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap diri sendiri afau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan." (an-Nisa': 135) Syekh Muhammad al-Ghazali juga mengupas tiga ayat yang sering menjadi perdebatan berkepanjangan, yaitu: "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir, menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin." (Ali Imran: 28) "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu)..." (al-Ma'idah: 51). "Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak... " (at-Taubah: 8). Syekh Muhammad al-Ghazali mengatakan bahwa ia menguatkan argumennya dengan ayat-ayat tersebut karena adanya anggapan di kalangan masyarakat muslim mengenai perlunya pemutusan hubungan dengan nonmuslim serta membenci mereka. Anggapan tersebut muncul karena kekeliruan memahami konteks ayat. Padahal ayat-ayat tersebut turun dalam konteks orang-orang nonmuslim yang berbuat sewenang-wenang terhadap Islam dan memerangi kaum muslimin. Memang, dalam kondisi semacam ini, kaum muslimin diharuskan menjauhi orang-orang nonmuslim tersebut dan tidak boleh mengangkat mereka sebagai pemimpin umat (hlm. 40). Bagi Syekh Muhammad al-Ghazali, ayat-ayat tersebut melarang kaum muslimin memilih pemimpin nonmuslim yang zalim, yang sengaja menghinakan Islam, mengotori sejarahnya, dan menjatuhkan pemeluknya (hlm. 44). Ulama terpandang ini juga mengingatkan bahwa hubungan sosial muslim dan nonmuslim telah dilakukan sejak periode awal berdasarkan landasan otentik ketika diskusi tentang prinsip ini belum dijadikan topik umum. Tidak terdapat ketegangan yang berarti dalam realisasi hubungan ini dari masa ke masa, kecuali pada momen-momen tertentu pada masa belakangan. Landasan ini didasarkan atas pandangan "Bagi mereka apa (kebaikan) yang ada pada kami dan bagi mereka apa (keburukan) yang menimpa diri kami" (hlm. 48). Syekh Muhammad al-Ghazali menegaskan bahwa Islam memandang kelompok-kelompok yang mengikat perjanjian bersama orang-orang Islam, baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani, secara politis dan kebangsaan sebagai "orang-orang muslim" juga. Karenanya, mereka mempunyai hak dan kewajiban meskipun secara individual mereka tetap berpegang pada akidah, ibadah, dan kondisi spesifiknya. Terlihat bahwa Islam membangun sistem sosial berdasarkan prinsip saling membahu dan bekerja sama. Islam tidak berpandangan sempit melalui pelarangan terhadap kaumnya untuk berhubungan dengan Ahli Kitab atau sebaliknya (hlm. 55). Dengan pendekatan ini, menurut penulis, Syekh Muhammad al-Ghazali telah berhasil merumuskan sikap yang jelas mengenai pemberian hak dan penghormatan terhadap nonmuslim. Kedua, keberadaan buku Syekh Yusuf Qardhawi melengkapi buku yang pertama, meskipun buku ini diterbitkan pada sekitar dua puluh tahun setelah penerbitan buku Syekh Muhammad al-Ghazali. Karya Syekh Yusuf Qardhawi ini lebih memberi kejelasan mengenai rumusan hak-hak dan kewajiban nonmuslim. Dalam pendahuluan bukunya, Syekh Yusuf Qardhawi menegaskan bahwa prinsip pertama hubungan sosial ahlu dzimmah (warga nonmuslim) dalam wilayah Islam adalah bahwa mereka mempunyai hak-hak seperti orang-orang Islam. Demikian pula mereka dibebani kewajiban-kewajiban seperti orang-orang Islam kecuali dalam hal-hal tertentu (hlm. 9). Syekh Yusuf Qardhawi mencatat beberapa hak tersebut, yaitu: • Memperoleh perlindungan dari musuh, baik dari luar maupun dari dalam. • Memperoleh perlindungan jiwa, raga, harta, dan kehormatan. • Mendapatkan keamanan dalam kondisi lemah, tua, dan kemiskinan. • Kebebasan beragama. • Kebebasan bekerja dan berusaha. Dalam topik ini, Syekh Yusuf Qardhawi menekankan bahwa kalangan nonmuslim memperoleh kebebasan bekerja dan berusaha dengan cara menjalin hubungan dengan kalangan lain, memberi mereka peluang untuk memilih profesi secara bebas, dan mempersilakan mereka menjalankan berbagai aktivitas ekonomi. Jadi, kesempatan-kesempatan yang diberikan kepada warga nonmuslim sama dengan yang diberikan kepada umat Islam (hlm: 21). Bahkan ulama besar ini menegaskan pula bahwa ahlu dzimmah mempunyai hak dalam mengurus pemerintahan sebagaimana kaum muslimin, kecuali hal-hal yang melibatkan mayoritas kelompok Islam, seperti kepemimpinan negara, kepala angkatan bersenjata (sebab posisi ini berkaitan dengan jihad yang merupakan puncak ibadah dalam pandangan Islam), dan peradilan untuk umat Islam. Yang disebut terakhir ini tidak boleh dijalani oleh nonmuslim, sebab hukum harus sejalan dengan syariat Islam, sehingga tidak mungkin nonmuslim diminta menghukumi sesuatu dengan hukum Islam yang tidak mereka imani (hlm. 23). Syekh Yusuf Qardhawi mensarikan kewajiban-kewajiban ahlu dzimmah menjadi tiga butir, yaitu: membayar upeti dan pajak, berkomitmen terhadap hukum undang-undang Islam dalam hubungan kebendaan dan lain-lain, serta menghormati simbol-simbol dan perasaan kaum muslimin. Terdapat kemungkinan untuk membebani pajak lebih besar kepada ahlu dzimmah bila mereka menguasai sejumlah besar sumber-sumber ekonomi di berbagai sektor. Syekh Yusuf Qardhawi mendasarkan hal ini pada penafsiran surat at-Taubah yang mengandung ungkapan: "Ésehingga mereka (mau) memberikan pajak dari tangan (mereka), sedang mereka adalah kecil." Menurut pendapat sebagian ulama, penggunaan kata "kecil" bukan dimaksudkan untuk merendahkan ahlu dzimmah, melainkan mempunyai konotasi "Menyerah dan meletakkan senjata serta tunduk pada hukum negara Islam" (hlm. 32). Coba diperhatikan bahwa konteks yang dimaksud ayat ini adalah dalam kondisi perang. Syekh Yusuf Qardhawi mendasarkan pula pandangannya pada pemikiran bahwa pajak besar itu dibayarkan sebagai ganti pembiayaan angkatan bersenjata yang hanya diwajibkan bagi kaum muslimin. Dengan pembayaran pajak itu, ahlu dzimmah terbebas dari tugas-tugas kemiliteran (hlm. 34). Syekh Yusuf Qardhawi mengingatkan bahwa kaum muslimin dikenai pengeluaran yang justru lebih besar untuk pembiayaan zakat. Dalam kitab-kitab fikih mazhab Maliki tertera ketentuan bahwa diundangkannya hukum pajak bagi ahlu dzimmah sebagai imbangan hukum zakat bagi kaum muslimin. Ulama produktif ini menunjukkan dalam kitabnya Fiqhuz Zakat bahwa diperbolehkan mengambil pajak dari ahlu dzimmah agar sama dengan orang-orang Islam dalam kewajiban mengeluarkan harta, meskipun pajak tersebut tidak disebut zakat. Pajak ini juga tidak harus disebut jizyah (upeti) bila ahlu dzimmi keberatan dengan istilah tersebut. Umar bin Khattab r.a. pernah memungut pajak dari orang-orang Kristen Bani Taghlab dengan istilah shadaqah, bukan jizyah, untuk menggembirakan mereka. Yang perlu ditekankan adalah esensinya, bukan nama atau istilah (hlm. 56). Membahas ayat mengenai pengangkatan pemimpin dari kalangan nonmuslim oleh kaum muslimin yang pernah ditafsirkan Syekh Muhammad al-Ghazali, Syekh Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa larangan Al-Qur'an itu diberlakukan bila di satu sisi umat Islam siap melakukannya dan di sisi lain bila diketahui kaum nonmuslim akan menyakiti kaum muslimin serta jelas-jelas memusuhi Allah dan Rasul-Nya (hlm. 67). Ia mengatakan bahwa jika Islam telah memperbolehkan kaum muslimin menikahi Ahli Kitab, maka hal itu menunjukkan bahwa tidak ada persoalan dalam hal kecintaan orang Islam terhadap nonmuslim (hlm. 68).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar