Oleh Kyai Sahal
Ramadhan kemarin ternyata tidak hanya menyisakan kebahagiaan tetapi juga keprihatinan terutama pada hari-hari menjelang lebaran disebabkan beberapa jenis (sembilan) bahan pokok (sembako) menghilang di pasaran karena ada pihak pihak yang mencari keuntungan pribadi dengan cara menimbun, padahal pada hari-hari itu sangatlah dibutuhkan, bukan hanya itu, biasanya pada saat BBM akan naik juga terjadi hal yang sama.
Bagaimana hukumnya penimbunan tersebut? Sunaryo, Kebumen Islam dalam masalah perdagangan (pasar) sebenarnya menyetujui adanya kebebasan dengan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Masalah penentuan harga didasarkan atas hukum penawaran dan permintaan (wifqan li al-ardl wa al-thalab). Kalau permintaan melebihi penawaran, harga akan naik. Sebaliknya jika penawaran lebih banyak dari permintaan harga cenderung menurun. Kebebasan tersebut dipahami dari penolakan Rasulullah SAW atas permohonan para sahabat untuk menetapkan harga standar (tas’ir) ketika terjadi kenaikan harga dan barang-barang menjadi mahal. Berdasarkan peristiwa itu pula para ulama fiqh dalam kondisi normal tidak memperbolehkan seorang Imam (kepala Negara/pemerintah) melakukan tas’ir. Kenyataan ini rupanya betul-betul difahami oleh para pelaku pasar. Karena itu untuk meraih untung sebanyak-banyaknya dalam waktu relative singkat, sebagian dari mereka melakukan penimmbunan. Dengan menimbun barang mereka berharap barang menjadi langka dipasaran sementara disisi lain, permintaan dan kebutuhan konsumen tidak menurun, bahkan cenderung meningkat. Dalam kondisi semacam itu sudah barang tentu mengakibatkan harga menjadi tinggi. Pasda saat itulah para penimbun akan menjual barangnya dengan keuntungan yang banyak, karena selisih harga pembelian dan penjualan sangat besar.
Perilaku ini dalam tetaran kehidupan akan menimbulkan dampak sosial yang sangat berbahaya; Kenaikan harga terutama makanan pokok, yang tidak diimbangi peningkatan pendapatan masyarakat akan memicu pikiran-pikiran negative dan tindak kejahatan karena tidak mampu menjangkau harga sementara kebutuhan itu harus dipenuhi. Lalu bagaimana dengan kebutuhan-kebutuhan lain yang juga mendesak seperti kesehatan dan pendidikan. Jadi penimbunan, meskipun membawa manfaat bagi segelintir orang akan berdampak negatif bagi masyarakat, lalu bagaimana hukumnya?
Penimbunan dalam literature fiqh disebut Ihtikar, yang secara lughawi berati menahan untuk menaikkan harga, dan berbuat aniaya. Definisi ihtikar yang dibuat para fuqaha meski berbeda-beda, tidak jauh dar ma’na aslinya, yang intinya adalah menyimpan bahan-bahan yang dibutuhkan masyarakat untuk menaikkan harga. Sebagian ulama membatasai penimbunan hanya pada bahan makanan pokok (al-qut) sementara yang lain berpendapat penimbunan mencakup semua barang yang dibutuhkan masyarakat. Melihat berbagai dampak itu, menimbun menurut ajaran Islam adalah haram. Dalam satu hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah bersabda “Tidak menimbun kecuali orang yang keliru”. Dalam hadits lain “seburuk-buruknya hamba adalah penimbun. Kalau Allah menjadikan harga rendah ia sedih, jika menjadikannya mahal ia gembira. Sedih karena akan rugi dan senang karena bisa menjal dengan keuntungan besar. Satu sikap yang berlawanan dengan masyarakat pada umumnya. Sepintas hal itu tidak sesuai dengan sebuah hadits riwayat Buhari-Muslim yang menyatakan iman seseorang dianggap belum sempurna sebelum mencintai saudaranya layaknya mencintai dirinya sendiri (La yu minu ahadukum hatta yhibba liahihi ma yuhibbu li nafsih). Semestinya jika harga rendah dia ikut sengang dan jika menjadi mahal ikut prihatin.
Sumber : Duta Masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar