Sabtu, 27 Februari 2016

KRITIK TERHADAP JAHILIYAH MODERN

yushan
Muqaddimah fi Fiqhil-Jaahiliyyatil-Mu'aashirah (Pengantar Fikih Jahiliah Modern), yang diterbitkan di Kairo pada 1968, merupakan salah satu buku yang memuat kritik transparan terhadap kehidupan Jahiliah Modern. Buku ini membongkar kebobrokan masyarakat Jahiliah Modern, baik struktur maupun elemennya.

Pada salah satu bagian terpenting buku ini, penulis menegaskan, "Dalam negara Islam, masyarakat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu masyarakat Islam dan masyarakat nonmuslim. Masyarakat Islam adalah pemilik dan penguasa negara serta pelaksana perkara semua orang dengan adil. Sedangkan masyarakat nonmuslim digolongkan sebagai ahlu ahd dan ahlu dzimmi (jika mereka memilih bergabung dengan negara Islam)."

Mereka harus tetap memegang perjanjian yang telah disepakati, dan kaum muslimin pun harus berbuat baik kepada mereka karena mereka berada di bawah kekuasaan Islam. Jika mereka tidak bersedia mematuhi ketentuan ini, maka mereka digolongkan sebagai ahlu harb (pihak musuh). Penulis buku ini mendasarkan argumennya pada surat at-Taubah: 29, "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir" (hlm. 58).

Abdul Jawad Yasin mengkritik pemikiran nasionalisme yang berpandangan bahwa semua orang, baik pemeluk Islam, Kristen, Yahudi, dan bahkan ateis, harus diberlakukan sama. Padahal hukum Islam tidak memandang demikian. "Mereka (kaum nonmuslim, --peny.) tidak dapat disamakan seperti itu karena syariat Islam menetapkan aturan yang berbeda terhadap mereka dibandingkan dengan aturan terhadap kaum muslimin, meskipun mereka harus tetap mendapatkan hak-hak perjanjian, tanggungan perlindungan, dan perlakuan baik di lingkungan Islam. Jaminan itu diberikan selama mereka tidak memerangi dan mengusir kaum muslimin dari teritorialnya," tegasnya.

Penulis buku ini menambahkan, "Bagi minoritas Kristen di Mesir dipersilakan membahas persatuan nasional mereka. Maka mereka tidak perlu membayar pajak kepala. Akan tetapi, di bawah naungan negara Islam, tidak ada yang boleh menghindar dari pajak, tidak ada persekongkolan dalam hukum, dan tidak ada ketergantungan terhadap nonmuslim dalam pengaduan dan jihad. Nonmuslim terus berada dalam kondisi terbaik di bawah kekuatan, kebesaran, kebaikan, kehormatan, dan toleransi Islam. Dalam pengertian, mereka berada dalam kondisi ideal yang mendorong mereka memasuki Islam tanpa paksaan (hlm. 59).
Ia mengupas teks materi ke-40 Undang-Undang Mesir yang menyebutkan, "Semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan undang-undang, mereka dipersamakan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban umum. Mereka tidak dibedakan karena perbedaan kelamin, asal usul, bahasa, agama, dan kepercayaan."

Menanggapi teks tersebut, ia mengatakan, "Teks itu merupakan cetak biru kepercayaan negara sekular." Sementara dalam negara Islam, seperti disebutkannya, "Agama dan kepercayaan merupakan satu-satunya parameter yang membedakan manusia" (hlm. 97).
Pendapatnya ini didasarkan pada pandangan Sayyid Quthub dalam azd-Dzilal mengenai tafsir ayat al-muwaalaat, "Bahwa negara yang hendak dicirikan dengan sebenarnya-benarnya oleh Islam tidak memiliki ciri apa pun kecuali menjadikan Islam sebagai dasar perbedaan etnis dan parameter perubahan hukum antar manusia."

Pandangan ini dibangun di atas dasar pemikiran, "Jika masyarakat menurut teks perundang-undangan terdiri atas warga negara, maka unsur pembentuknya adalah kaum muslimin. Sedangkan golongan nonmuslim yang memasuki (menjadi warga) negara ini dikategorikan sebagai ahlu dzimmah. Kelompok pertama (masyarakat dalam pengertian umum,-peny.) disandarkan pada bumi tumpah darahnya, sedangkan kelompok kedua (masyarakat Islam) disandarkan pada kekuasaan Allah Yang Maha Besar ... Tipe masyarakat yang kedua ini mempunyai ikatan persaudaraan secara teologis, bukan secara geografis sebagaimana dipedomani oleh masyarakat jahiliah" hlm. 101)

Tulisan merupakan karya seorang qadhi muda, Abdul Jawad Yasin, dan diterbitkan oleh Daruz-Zahra, Kairo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar