Oleh: KH A. Mustofa Bisri
Sebetulnya, ketika ikut pameran lukisan dalam rangka Muharraman di Surabaya tempo hari, saya menampilkan cukup banyak lukisan yang lumayan—yang saya buat secara ‘mendalam’—seperti lukisan-lukisan kaligrafi dan lukisan-lukisan saya yang berjudul “Menyerap Cahaya”, “Sumeleh”, “Mulut”, dan sebagainya. Namun tampaknya sedikit sekali pengunjung yang menaruh perhatian terhadap “lukisan-lukisan serius” saya itu. Jangankan lukisan-lukisan saya itu; lukisan “Sebagian Doa Akasyah”-nya Almarhum Amang Rahman, “Dewi Kesuburan”-nya Danarto, “Pengamen Istirahat”-nya Joko Pekik, “Maaf 01”-nya S’Narko, “Waspada”-nya D. Zawawi Imron, “Foto Diri”-nya Acep Zamzam Noor, “Siapa Dapat Menguasai”-nya Ismail, “Rijal Ghaib”-nya Luqman Aziz, “Sebuah Doa”-nya Yunus Jubair, dan karya pelukis-pelukis profesional lainnya, seperti dilalui begitu saja. Semua perhatian –minimal seperti tergambar dalam pemberitaan pers—seolah tersedot oleh satu “lukisan balsem” saya: “Berdzikir Bersama Inul”.
Seperti terhadap Inul sendiri, lukisan itu terus berputar-putar, mencoba mengebor isi kepala. Wartawan berbagai media sibuk mewawancarai saya dan para pelukis lain tentang lukisan itu. Ratusan SMS masuk, menanyakan tentang hal yang sama. Bahkan banyak kiai yang berniat istighotsah di Makodam, menyempatkan diri bertanya tentang “siapakah itu Inul yang berdzikir bersama saya”. Bahkan sebuah seminar diselenggarakan, khusus dengan mengundang pelukisnya sebagai nara sumber (Alhamdulillah atau Innaalillah, tanpa mengundang si Inulnya!). Bahkan di Seminar Muslimat, di mana saya menjadi nara sumber –yang diminta ikut “merefleksi” perjalanan kiprah dan khidmah Muslimat NU, seorang ibu sempat, dengan bersemangat, menghujat saya tentang lukisan Inul itu.
Kehebohan itu semua, membuktikan “tesis” saya yang saya lengkapi dengan melukis “lukisan balsem” tersebut. Selama ini saya –termasuk orang yang— resah dengan perkembangan manusia Indonesia yang seperti tak sadar-sadar akan adanya hegemoni dunia/materi atas “kepala”-nya. Ketika Orde Baru menerapkan secara serampangan sistem kapitalis di negeri Pancasila ini, manusianya pun semakin terbentuk sebagai manusia materialistis seperti Amerika. Manusia yang pikiran dan perhatiannya terpusat kepada kepentingan duniawi dan cenderung hanya memanjakan raga, jasad, badan, jasmani. Daging. Mengabaikan jiwa, ruh, dan nurani.
Kita secara resmi, selalu menyanyikan “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!”; namun badan saja yang terus kita bangun. Kita pun menjadi manusia yang berpenampilan “modern”, namun dengan isi kepala yang primitif. Gagah secara lahir dan kropos di batin. Lihatlah, kita panik setengah mati, dengan segala yang diduga mengancam jasmani kita; padahal seringkali hal itu justru akibat ulah kita sendiri yang dipengaruhi pandangan hidup serba daging itu. Sementara terhadap hal-hal yang jelas-jelas mengancam jiwa dan nurani, kita tampak ayem-ayem saja.
Kebejatan-kebejatan yang terjadi di seputar kita, kiranya hanyalah hasil logis dari itu semua. Korupsi yang merajalela dan tak kunjung menyentuh rasa malu pelakunya; berdesak-desak berebut jabatan dan kekuasaan tanpa memikirkan tanggung jawab dan amanahnya; berkelahi dengan sesama saudara secara bengis; premanisasi yang semakin membudaya; kemunafikan yang terus dipamerkan secara fasih; sampai dengan masalah pornografi, narkoba, dan kriminalitas lainnya, adalah keniscayaan yang tak akan dapat dibrantas kecuali —dengan rahmat Allah— kita disadarkan dengan kekeliruan pandangan hidup yang serba materi itu tadi.
Dalam kehidupan keberagamaan pun warna daging itu tampak kental. Pembangunan peribadahan hanya dimengerti sebagai pembangunan fisik. Di mana-mana, masjid indah dibangun. Bahkan kadang-kadang satu kampung dibangun beberapa masjid megah. Sementara itu jarang sekali yang sempat menengok atau berpikir tentang isi masjid-masjid itu. Masjid-masjid akbar hanya agak penuh setahun dua kali (di hari Idul Fitri dan Adha) dan seminggu sekali (Jumat) dalam beberapa jam atau menit saja. Syiar Islam diciut-artikan hanya sebagai pengeras suara. Pelajaran-pelajaran agama yang diperjuangkan mati-matian oleh “para pejuang muslim” untuk diajarkan di sekolah-sekolah, tak pernah ditengok atau dipikirkan apakah pelajaran-pelajaran itu memang pelajaran-pelajaran inti agama yang dapat membawa anak didik menjadi manusia beragama yang saleh, atau sekadar pelajaran-pelajaran daging yang hanya untuk memperoleh nilai daging dalam rapor yang daging.
Bila Islam dimengerti hanya sebagai daging tanpa ruh, maka orang Islam pun bisa dengan mudah berkelahi dengan saudaranya sendiri sesama orang Islam, misalnya. Seperti kita ketahui, orang Islam ada dua: mukmin dan munafik. Mukmin sejati ditandai antara lain dengan banyak berdzikir; sementara munafik hanya sedikit berdzikir. Lalu bagaimana orang bisa berdzikir hanya dengan daging?
Bagi saya, fenomena Inul adalah sindiran Tuhan kepada kita, manusia serba daging ini. Inul adalah simbol daging paling daging. Kepala yang penuh daging, meski disorbani segede ban radial, hanya akan melihat daging Inul sebagai daging. Inul agaknya diciptakan Tuhan memang untuk mengebor kepala kita yang error.
Belakangan rupanya Allah tak lagi sekadar menyindir, tapi sudah meberi pelajaran yang luar biasa, semacam shock therapy, dalam wujud tindakan biadab Amerika dan kroni-kroninya terhadap kemanusia di Irak. Itulah wajah asli imperialisme yang selama ini kita jadikan kiblat peradaban dan kita jadikan teladan hidup. Hanya karena mengincar cadangan minyak Timur Tengah, menjaga kepentingannya di Israel, dan dollarnya, Amerika dan kroni-kroninya menghalalkan segala cara dan mengabaikan nurani dunia. Lalu hampir bersamaan, kita pun dipanikkan oleh apa yang disebut SARS; wabah yang mengancam daging kita.
Tinggal kita; apakah kita bisa mencerdasi sindiran dan “pelajaran Tuhan” itu lalu sadar kembali kepada ajaran-Nya, ataukah itu semua tak berarti apa-apa bagi kita dan kita masih tetap bersikukuh mempertahankan pandangan hidup yang serba duniawi seperti selama ini.
Duta Masyarakat, 24 April 2003
Seperti terhadap Inul sendiri, lukisan itu terus berputar-putar, mencoba mengebor isi kepala. Wartawan berbagai media sibuk mewawancarai saya dan para pelukis lain tentang lukisan itu. Ratusan SMS masuk, menanyakan tentang hal yang sama. Bahkan banyak kiai yang berniat istighotsah di Makodam, menyempatkan diri bertanya tentang “siapakah itu Inul yang berdzikir bersama saya”. Bahkan sebuah seminar diselenggarakan, khusus dengan mengundang pelukisnya sebagai nara sumber (Alhamdulillah atau Innaalillah, tanpa mengundang si Inulnya!). Bahkan di Seminar Muslimat, di mana saya menjadi nara sumber –yang diminta ikut “merefleksi” perjalanan kiprah dan khidmah Muslimat NU, seorang ibu sempat, dengan bersemangat, menghujat saya tentang lukisan Inul itu.
Kehebohan itu semua, membuktikan “tesis” saya yang saya lengkapi dengan melukis “lukisan balsem” tersebut. Selama ini saya –termasuk orang yang— resah dengan perkembangan manusia Indonesia yang seperti tak sadar-sadar akan adanya hegemoni dunia/materi atas “kepala”-nya. Ketika Orde Baru menerapkan secara serampangan sistem kapitalis di negeri Pancasila ini, manusianya pun semakin terbentuk sebagai manusia materialistis seperti Amerika. Manusia yang pikiran dan perhatiannya terpusat kepada kepentingan duniawi dan cenderung hanya memanjakan raga, jasad, badan, jasmani. Daging. Mengabaikan jiwa, ruh, dan nurani.
Kita secara resmi, selalu menyanyikan “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!”; namun badan saja yang terus kita bangun. Kita pun menjadi manusia yang berpenampilan “modern”, namun dengan isi kepala yang primitif. Gagah secara lahir dan kropos di batin. Lihatlah, kita panik setengah mati, dengan segala yang diduga mengancam jasmani kita; padahal seringkali hal itu justru akibat ulah kita sendiri yang dipengaruhi pandangan hidup serba daging itu. Sementara terhadap hal-hal yang jelas-jelas mengancam jiwa dan nurani, kita tampak ayem-ayem saja.
Kebejatan-kebejatan yang terjadi di seputar kita, kiranya hanyalah hasil logis dari itu semua. Korupsi yang merajalela dan tak kunjung menyentuh rasa malu pelakunya; berdesak-desak berebut jabatan dan kekuasaan tanpa memikirkan tanggung jawab dan amanahnya; berkelahi dengan sesama saudara secara bengis; premanisasi yang semakin membudaya; kemunafikan yang terus dipamerkan secara fasih; sampai dengan masalah pornografi, narkoba, dan kriminalitas lainnya, adalah keniscayaan yang tak akan dapat dibrantas kecuali —dengan rahmat Allah— kita disadarkan dengan kekeliruan pandangan hidup yang serba materi itu tadi.
Dalam kehidupan keberagamaan pun warna daging itu tampak kental. Pembangunan peribadahan hanya dimengerti sebagai pembangunan fisik. Di mana-mana, masjid indah dibangun. Bahkan kadang-kadang satu kampung dibangun beberapa masjid megah. Sementara itu jarang sekali yang sempat menengok atau berpikir tentang isi masjid-masjid itu. Masjid-masjid akbar hanya agak penuh setahun dua kali (di hari Idul Fitri dan Adha) dan seminggu sekali (Jumat) dalam beberapa jam atau menit saja. Syiar Islam diciut-artikan hanya sebagai pengeras suara. Pelajaran-pelajaran agama yang diperjuangkan mati-matian oleh “para pejuang muslim” untuk diajarkan di sekolah-sekolah, tak pernah ditengok atau dipikirkan apakah pelajaran-pelajaran itu memang pelajaran-pelajaran inti agama yang dapat membawa anak didik menjadi manusia beragama yang saleh, atau sekadar pelajaran-pelajaran daging yang hanya untuk memperoleh nilai daging dalam rapor yang daging.
Bila Islam dimengerti hanya sebagai daging tanpa ruh, maka orang Islam pun bisa dengan mudah berkelahi dengan saudaranya sendiri sesama orang Islam, misalnya. Seperti kita ketahui, orang Islam ada dua: mukmin dan munafik. Mukmin sejati ditandai antara lain dengan banyak berdzikir; sementara munafik hanya sedikit berdzikir. Lalu bagaimana orang bisa berdzikir hanya dengan daging?
Bagi saya, fenomena Inul adalah sindiran Tuhan kepada kita, manusia serba daging ini. Inul adalah simbol daging paling daging. Kepala yang penuh daging, meski disorbani segede ban radial, hanya akan melihat daging Inul sebagai daging. Inul agaknya diciptakan Tuhan memang untuk mengebor kepala kita yang error.
Belakangan rupanya Allah tak lagi sekadar menyindir, tapi sudah meberi pelajaran yang luar biasa, semacam shock therapy, dalam wujud tindakan biadab Amerika dan kroni-kroninya terhadap kemanusia di Irak. Itulah wajah asli imperialisme yang selama ini kita jadikan kiblat peradaban dan kita jadikan teladan hidup. Hanya karena mengincar cadangan minyak Timur Tengah, menjaga kepentingannya di Israel, dan dollarnya, Amerika dan kroni-kroninya menghalalkan segala cara dan mengabaikan nurani dunia. Lalu hampir bersamaan, kita pun dipanikkan oleh apa yang disebut SARS; wabah yang mengancam daging kita.
Tinggal kita; apakah kita bisa mencerdasi sindiran dan “pelajaran Tuhan” itu lalu sadar kembali kepada ajaran-Nya, ataukah itu semua tak berarti apa-apa bagi kita dan kita masih tetap bersikukuh mempertahankan pandangan hidup yang serba duniawi seperti selama ini.
Duta Masyarakat, 24 April 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar