Untuk menjelaskan posisi aliran-aliran gerakan Islam kontemporer dari perspektif problem persamaan hak, tampaknya penulis perlu membahas dua kelompok selanjutnya, yaitu Front Islam Nasionalis di Sudan dan Hizbut-Tahrir al-Islam yang giat mempengaruhi terlaksananya perjanjian antara Yordan dan Palestina.
Penulis hendak membahas butir ke-10 Undang-Undang Front Islam Nasionalis di Sudan tentang pasal khusus mengenai tujuan politik dan perundang-undangan. Teks tersebut menyatakan, "Salah satu prinsip Front adalah membentuk hak-hak eksistensi keagamaan kalangan nonmuslim. Mereka berhak memperoleh kebaikan, keadilan, toleransi dalam muamalah, persamaan hak-hak politik dan peradaban, kebebasan berkepercayaan dan beribadah, serta kemerdekaan dalam sistem al-ahwal asy-syakhsyiyyah dan pendidikan agama."1
Dalam penjelasan terakhir yang diterbitkan selepas pembentukan Front Islam Nasionalis pada Juli 1985, dikemukakan bahwa Front tidak mempersempit keterlibatan nonmuslim dalam sektor-sektor pemakmuran kehidupan dunia yang memungkinkan kerja sama antarmanusia secara menyeluruh" (hlm. 26).
Ketua Umum Front Islam Nasionalis, Dr. Hasan ath-Thurabi, mengatakan di depan kongres pendirian organisasi ini, "Kita tentu berharap agar penduduk dan warga negara merasa tenteram, termasuk Ahli Kitab pada umumnya dan masyarakat Kristen khususnya. Ini karena dasar-dasar agama kita --yang lebih dekat dengan dasar-dasar agama mereka-- memberi keluasan kepada kita dan mereka, sedangkan undang-undang lain di muka bumi tidak memberi keluasan seperti itu. Baik kita maupun mereka merupakan pemilik risalah samawi yang didasarkan pada mata rantai para Rasul... Baik kita maupun mereka serupa dalam keimanan, akhlak, ibadah, dan tanggung jawab di hadapan-Nya... Diantara syarat-syarat keimanan bagi kaum muslimin adalah memelihara unsur-unsur hubungan keagamaan, menghormati risalah-risalah samawi, dan tidak membeda-bedakan para Rasul Allah."
Ia pun menerangkan tentang Front, "Hal ini merupakan prakarsa seperti yang pernah dilakukan pada masa lalu, yakni pemberlakuan dasar-dasar dan hukum-hukum Islam yang mengandung ajaran kebebasan akidah, kebudayaan, kehidupan kaum muslimin dan Ahli Kitab yang memegang akidah masing-masing ... Dasar-dasar syariat Islam menjamin hak-hak umum warga negara, baik kaum muslimin maupun nonmuslim, selama mereka berkomitmen terhadap kewajiban-kewajiban umum serta saling memberikan loyalitas antar sesama warga negara. Mereka mempunyai hak dan kewajiban seperti kita. Bahkan Islam tidak berhenti pada rincian hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang adil, melainkan melampaui keadilan undang-undang menuju keutamaan persaudaraan, kebaikan, dan keadilan."2
Setelah penulis meneliti Undang-Undang Front Islam Nasionalis pada penjelasan terakhir dan pidato ketua umumnya, penulis berpendapat bahwa undang-undang ini menekankan persamaan hak-hak politik antar warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Berbagai dokumen Front Islam Nasionalis tidak mengandung isyarat apapun mengenai perjanjian terhadap ahlu dzimmah atau masalah pajak kepala.
Mengenai Hizbut-Tahrir, penulis menemui pandangan yang inkonsisten. Kelompok ini mengungkapkan berbagai program undang-undang negara Islam yang dirancang para pemimpinnya. Di dalam rancangan itu disebutkan bahwa konsep-konsep yang mereka canangkan diambil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.3 Berikut penulis kutipkan beberapa program yang berkaitan dengan topik persamaan hak antara kaum muslimin dan nonmuslim, yaitu:
Pasal 20: Pengontrolan penguasa Islam adalah hak mereka. Merupakan fardhu kifayah bagi orang-orang Islam dan nonmuslim --yang telah berhak--untuk mengajukan pengaduan bila melihat ketidakadilan para penguasa atau menerima perlakuan tidak wajar dari penguasa Islam.
Pasal 103: Setiap warga negara yang telah dewasa dan berakal, baik pria maupun wanita dan muslim atau nonmuslim, berhak menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hanya saja, keanggotaan nonmuslim terbatas pada masalah pengaduan ketidakadilan penguasa atau pemberlakuan penguasa (atau masyarakat) Islam yang tidak wajar terhadap masyarakat yang diwakilinya.
Pasal 105: Syura merupakan hak orang-orang Islam saja. Sedangkan mengeluarkan pendapat merupakan hak semua warga negara, baik muslim maupun nonmuslim.
Pasal 140: Ahli dzimmi dibebani pembayaran jizyah (pajak kepala). Jizyah diambil dari pria dewasa selama mereka mampu membayarnya, tidak diambil dari wanita dan anak-anak.
Pasal 142: Mencukupkan pembayaran pajak biasa yang diperbolehkan syariat untuk mengisi baitul-mal (kas negara) dari kaum muslimin. Sedangkan warga nonmuslim tidak dikenai pajak ini secara mutlak dan hanya dikenai pajak kepala.
Penulis berpendapat bahwa rancangan undang-undang ini berupaya keras memperluas peluang kerja sama politik. Hal itu dapat dilihat pada pasal 21 yang memperbolehkan berdirinya partai politik serta diperbolehkannya wanita memasuki Majelis Permusyawaratan Rakyat dan melakukan seluruh hak musyawarah. Akan tetapi, dalam hal ini berbeda dengan peluang yang diberikan kepada nonmuslim
Penulis pernah membaca tulisan seorang peneliti muda mengenai universitas-universitas Islam kontemporer yang dikirimkan kepada Universitas Islam di Madinah al-Munawarah. Dalam hasil penelitian itu antara lain dibahas mengenai Hizbut-Tahrir yang memberikan kesempatan kepada nonmuslim di MPR untuk mengadukan ketidakadilan penguasa muslim. Sang peneliti tidak menyetujui pemikiran tersebut dengan alasan bahwa MPR merupakan salah satu bagian penting dari pemerintahan Islam, maka tidak sah mengangkat orang kafir sebagai anggotanya, karena dapat terjadi ia memerintah si muslim. Peneliti itu menjelaskan bahwa MPR bertugas membahas kebijakan-kebijakan pemerintahan Islam. Lalu bagaimana mungkin rahasia-rahasia majelis diserahkan kepada orang kafir lantaran dia adalah anggota MPR?4
Catatan :
1 Undang-Undang Front Islam Nasionalis, hlm. 7
2 Lihat Dr Hasan ath-Thurabi, Pidato Ketua Umum Front Islam Nasionalis, Publikasi Front, Sudan, hlm. 9-10.
3 Merupakan kutipan dari rancangan undang-undang susunan Hizbut-Tahrir yang dicetak bersama tanggapan mereka terhadap Rancangan Undang-undang Iran yang diajukan kepada para pemimpin Iran pada 1979.
4 Tulisan tersebut adalah karya Husain Muhammad Jabir yang dimuat dalam Ath-Tharfiiq ila Jama'atil-Muslimin, Kuwait, Darud-Dakwah, cetakan 2, hlm. 310
Penulis hendak membahas butir ke-10 Undang-Undang Front Islam Nasionalis di Sudan tentang pasal khusus mengenai tujuan politik dan perundang-undangan. Teks tersebut menyatakan, "Salah satu prinsip Front adalah membentuk hak-hak eksistensi keagamaan kalangan nonmuslim. Mereka berhak memperoleh kebaikan, keadilan, toleransi dalam muamalah, persamaan hak-hak politik dan peradaban, kebebasan berkepercayaan dan beribadah, serta kemerdekaan dalam sistem al-ahwal asy-syakhsyiyyah dan pendidikan agama."1
Dalam penjelasan terakhir yang diterbitkan selepas pembentukan Front Islam Nasionalis pada Juli 1985, dikemukakan bahwa Front tidak mempersempit keterlibatan nonmuslim dalam sektor-sektor pemakmuran kehidupan dunia yang memungkinkan kerja sama antarmanusia secara menyeluruh" (hlm. 26).
Ketua Umum Front Islam Nasionalis, Dr. Hasan ath-Thurabi, mengatakan di depan kongres pendirian organisasi ini, "Kita tentu berharap agar penduduk dan warga negara merasa tenteram, termasuk Ahli Kitab pada umumnya dan masyarakat Kristen khususnya. Ini karena dasar-dasar agama kita --yang lebih dekat dengan dasar-dasar agama mereka-- memberi keluasan kepada kita dan mereka, sedangkan undang-undang lain di muka bumi tidak memberi keluasan seperti itu. Baik kita maupun mereka merupakan pemilik risalah samawi yang didasarkan pada mata rantai para Rasul... Baik kita maupun mereka serupa dalam keimanan, akhlak, ibadah, dan tanggung jawab di hadapan-Nya... Diantara syarat-syarat keimanan bagi kaum muslimin adalah memelihara unsur-unsur hubungan keagamaan, menghormati risalah-risalah samawi, dan tidak membeda-bedakan para Rasul Allah."
Ia pun menerangkan tentang Front, "Hal ini merupakan prakarsa seperti yang pernah dilakukan pada masa lalu, yakni pemberlakuan dasar-dasar dan hukum-hukum Islam yang mengandung ajaran kebebasan akidah, kebudayaan, kehidupan kaum muslimin dan Ahli Kitab yang memegang akidah masing-masing ... Dasar-dasar syariat Islam menjamin hak-hak umum warga negara, baik kaum muslimin maupun nonmuslim, selama mereka berkomitmen terhadap kewajiban-kewajiban umum serta saling memberikan loyalitas antar sesama warga negara. Mereka mempunyai hak dan kewajiban seperti kita. Bahkan Islam tidak berhenti pada rincian hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang adil, melainkan melampaui keadilan undang-undang menuju keutamaan persaudaraan, kebaikan, dan keadilan."2
Setelah penulis meneliti Undang-Undang Front Islam Nasionalis pada penjelasan terakhir dan pidato ketua umumnya, penulis berpendapat bahwa undang-undang ini menekankan persamaan hak-hak politik antar warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Berbagai dokumen Front Islam Nasionalis tidak mengandung isyarat apapun mengenai perjanjian terhadap ahlu dzimmah atau masalah pajak kepala.
Mengenai Hizbut-Tahrir, penulis menemui pandangan yang inkonsisten. Kelompok ini mengungkapkan berbagai program undang-undang negara Islam yang dirancang para pemimpinnya. Di dalam rancangan itu disebutkan bahwa konsep-konsep yang mereka canangkan diambil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.3 Berikut penulis kutipkan beberapa program yang berkaitan dengan topik persamaan hak antara kaum muslimin dan nonmuslim, yaitu:
Pasal 20: Pengontrolan penguasa Islam adalah hak mereka. Merupakan fardhu kifayah bagi orang-orang Islam dan nonmuslim --yang telah berhak--untuk mengajukan pengaduan bila melihat ketidakadilan para penguasa atau menerima perlakuan tidak wajar dari penguasa Islam.
Pasal 103: Setiap warga negara yang telah dewasa dan berakal, baik pria maupun wanita dan muslim atau nonmuslim, berhak menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hanya saja, keanggotaan nonmuslim terbatas pada masalah pengaduan ketidakadilan penguasa atau pemberlakuan penguasa (atau masyarakat) Islam yang tidak wajar terhadap masyarakat yang diwakilinya.
Pasal 105: Syura merupakan hak orang-orang Islam saja. Sedangkan mengeluarkan pendapat merupakan hak semua warga negara, baik muslim maupun nonmuslim.
Pasal 140: Ahli dzimmi dibebani pembayaran jizyah (pajak kepala). Jizyah diambil dari pria dewasa selama mereka mampu membayarnya, tidak diambil dari wanita dan anak-anak.
Pasal 142: Mencukupkan pembayaran pajak biasa yang diperbolehkan syariat untuk mengisi baitul-mal (kas negara) dari kaum muslimin. Sedangkan warga nonmuslim tidak dikenai pajak ini secara mutlak dan hanya dikenai pajak kepala.
Penulis berpendapat bahwa rancangan undang-undang ini berupaya keras memperluas peluang kerja sama politik. Hal itu dapat dilihat pada pasal 21 yang memperbolehkan berdirinya partai politik serta diperbolehkannya wanita memasuki Majelis Permusyawaratan Rakyat dan melakukan seluruh hak musyawarah. Akan tetapi, dalam hal ini berbeda dengan peluang yang diberikan kepada nonmuslim
Penulis pernah membaca tulisan seorang peneliti muda mengenai universitas-universitas Islam kontemporer yang dikirimkan kepada Universitas Islam di Madinah al-Munawarah. Dalam hasil penelitian itu antara lain dibahas mengenai Hizbut-Tahrir yang memberikan kesempatan kepada nonmuslim di MPR untuk mengadukan ketidakadilan penguasa muslim. Sang peneliti tidak menyetujui pemikiran tersebut dengan alasan bahwa MPR merupakan salah satu bagian penting dari pemerintahan Islam, maka tidak sah mengangkat orang kafir sebagai anggotanya, karena dapat terjadi ia memerintah si muslim. Peneliti itu menjelaskan bahwa MPR bertugas membahas kebijakan-kebijakan pemerintahan Islam. Lalu bagaimana mungkin rahasia-rahasia majelis diserahkan kepada orang kafir lantaran dia adalah anggota MPR?4
Catatan :
1 Undang-Undang Front Islam Nasionalis, hlm. 7
2 Lihat Dr Hasan ath-Thurabi, Pidato Ketua Umum Front Islam Nasionalis, Publikasi Front, Sudan, hlm. 9-10.
3 Merupakan kutipan dari rancangan undang-undang susunan Hizbut-Tahrir yang dicetak bersama tanggapan mereka terhadap Rancangan Undang-undang Iran yang diajukan kepada para pemimpin Iran pada 1979.
4 Tulisan tersebut adalah karya Husain Muhammad Jabir yang dimuat dalam Ath-Tharfiiq ila Jama'atil-Muslimin, Kuwait, Darud-Dakwah, cetakan 2, hlm. 310
Tidak ada komentar:
Posting Komentar