Dalam peralihan abad Hijriah yang sering dikumandangkan sebagai Abad Kebangkitan Islam sekarang ini, dan sudah pula dimulai sejak menjelang akhir abad yang lalu, kaum Muslim di seluruh dunia didorong oleh proses sejarahnya sendiri untuk mencoba mempertegas peranannya dalam sejarah umat manusia. Gejala-gejala terakhir seperti keputusan Ziya ul-Haqq untuk menetapkan Syari'ah Islam sebagai hukum Pakistan, juga perkembangan di Bangladesh yang menghendaki hal yang kurang lebih serupa (juga di Mesir, Sudan, dan lain-lain) --jika bukan jelas-jelas merupakan sekedar usaha mencari legitimasi politik rezim-rezim bersangkutan-- dapat dibaca sebagai bagian dari, dan dalam rangka, penegasan peranan kesejarahan tersebut.
Namun sejak dari semula usaha-usaha serupa itu mengandung dan menghadapi banyak problema. Disebabkan oleh kaitannya dengan usaha mendefinisikan kembali apa yang disebut Islam atau bersifat keislaman (Islami) --dengan konotasi bahwa yang ada secara riil sekarang ini tidak memadai atau malah telah mengandung berbagai penyimpangan-- maka usaha-usaha tersebut menghadapkan orang-orang Muslim yang serius kepada persoalan "menemukan" kembali Islam dan yang bersifat keislaman. Persoalan ini tampak di permukaan seperti mudah dipecahkan, yaitu dengan "kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah", suatu dalil yang sangat disenangi kaum reformis Islam, khususnya di kalangan Sunni. Tetapi lepas dari kebenaran normatif dalil itu, namun dalam pelaksanaan praktisnya ternyata sangat tidak mudah. Bahkan yang sudah terjadi ialah bahwa dalil itu, sebegitu jauh, baru menghasilkan reformasi atau mungkin "pemurnian" hal-hal yang sesungguhnya sangat bersifat pinggiran (peripheral), seperti, misalnya, dicerminkan secara mencolok oleh kontroversi takbir tambahan dalam salat 'Idul Fitri di Surabaya baru-baru ini.[1] Meskipun hal serupa itu sangat penting bagi banyak kalangan --sebagian kaum Muslim melihat dan mendapati di situ terletak inti agama dan rasa keagamaan mereka-- namun sebetulnya sahamnya dalam usaha umat Islam menemukan peran kesejarahannya kembali tersebut di atas paling untung marginal saja, jika bukannya tidak ada sama sekali. Kalau masalah ini harus diungkapkan dalam sebuah jargon, barangkali yang paling tepat ialah pesan almarhum Bung Karno, salah seorang Bapak Bangsa Indonesia, agar kita berusaha menangkap "api" Islam, dan bukan "abu"-nya. Pembahasan ini adalah dalam rangka mencoba menangkap "api" itu, betapapun kecilnya kemungkinan hasil yang didapatkan.
Salah satu yang dapat kita lakukan untuk menangkap "api" itu ialah mencoba memahami hakikat golongan Salaf. Sesungguhnya ini sejalan saja dengan apa yang sudah terjadi, yaitu kecenderungan kaum reformis dari kalangan orang-orang Muslim untuk mencari model pada pengalaman sejarah umat Islam klasik. Tetapi sebelum hal itu kita lakukan, ada baiknya kita memeriksa secukupnya pengertian "salaf" dalam pembahasan Islam.
Perkataan Arab "salaf" sendiri secara harfiah berarti "yang lampau." Biasanya ia dihadapkan dengan perkataan "khalaf', yang makna harfiahnya ialah "yang belakangan". Kemudian, dalam perkembangan semantiknya, perkataan "salaf' memperoleh makna sedemikian rupa sehingga mengandung konotasi masa lampau yang berkewenangan atau berotoritas, sesuai dengan kecenderungan banyak masyarakat untuk melihat masa lampau sebagai masa yang berotoritas. Ini melibatkan masalah teologis, yaitu masalah mengapa masa lampau itu mempunyai otoritas, dan sampai dimana kemungkinan mengidentifikasi secara historis masa salaf itu.
Dalam hal ini, para pemikir Islam tidak banyak menemui kesulitan. Masa lampau itu otoritatif karena dekat dengan masa hidup Nabi. Sedangkan semuanya mengakui dan meyakini bahwa Nabi tidak saja menjadi sumber pemahaman ajaran agama Islam, tetapi sekaligus menjadi teladan realisasi ajaran itu dalam kehidupan nyata. Maka sangat logis pandangan bahwa yang paling mengetahui dan memahami ajaran agama itu ialah mereka yang berkesempatan mendengarnya langsung dari Nabi, dan yang paling baik dalam melaksanakannya ialah mereka yang melihat praktek-praktek Nabi dan meneladaninya. Selain logis, hadits-hadits pun banyak yang dapat dikutip untuk menopang pandangan itu:
Demikian pula dalam mengidentifikasi secara historis masa salaf itu, para sarjana Islam juga tidak mengalami kesulitan, meskipun terdapat beberapa pendapat tertentu di dalamnya. Yang disepakati oleh semuanya ialah bahwa masa salaf itu, dengan sendirinya, dimulai oleh masa Nabi sendiri. Kemudian mereka mulai berbeda tentang "kesalafan" (dalam arti otoritas dan kewenangan) masa kekhalifahan Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali, untuk tidak mengatakan masa-masa sesudah mereka. Dalam hal ini dapat kita kenali adanya empat pendapat:
(1) Kaum Sunni berpendapat bahwa masa keempat khalifah itu adalah benar-benar otoritatif, berwenang, dan benar-benar salaf. Kaum Sunni boleh dikata kelanjutan langsung atau tidak langsung dari masyarakat Islam masa Dinasti Umayyah, dengan berbagai unsur kompromi akibat usaha rekonsiliasi keseluruhan umat Islam, mengatasi sisa-sisa pengalaman traumatis fitnah-fitnah sebelumnya. (Usaha ini mengambil bentuknya yang paling penting dalam tindakan yang telah dimulai oleh Abd al-Malik ibn Marwan untuk merehabilitasi nama 'Ali, musuh Mu'awiyah, pendiri Dinasti Bani Umayyah, dan sejak itu mulai dikenal, secara historis, istilah al-Khulafa' al-Rasyidun yang empat).[2]
(2) Bani Umayyah atau kaum Umawi sendiri, dalam masa-masa awalnya, mengakui hanya masa-masa Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman, tanpa 'Ali, sebagai masa salaf yang berkewenangan dan otoritatif.
(3) Sedangkan kaum Khawarij, yaitu kelanjutan dari sebagian kelompok pendukung 'Ali --yang mereka itu menunjukkan gelagat persetujuan atas pembunuhan 'Utsman tapi kemudian kecewa dengan 'Ali dan membunuhnya-- hanya mengakui masa-masa Abu Bakar dan 'Umar saja yang berwenang dan otoritatif, sehingga boleh disebut sebagai masa salaf.
(4) Kemudian terdapat kaum Rafidlah dari kalangan Syi'ah yang menolak keabsahan masa-masa kekhalifahan pertama itu kecuali masa 'Ali.
Sebagaimana telah disinggung, masalah definisi kesejarahan tentang siapa yang disebut golongan Salaf dengan konotasi kewenangan dan otoritas di bidang keagamaan itu membawa serta problema teologis. Karena itu pengkajian masalah salaf ini akan dengan sendirinya melibatkan kita kepada berbagai kontroversi teologis yang berkepanjangan, dan yang sampai sekarang praktis belum selesai secara tuntas. Dengan meletakkan kontroversi teologis itu kesamping, maka kita terpaksa melakukan pilihan. Pilihan itu pada permasalahan intinya bisa dinilai sebagai arbitrer, namun masih bisa dibenarkan dengan melihat segi kepraktisan pembahasan, misalnya berkenaan dengan konteks ruang dan waktu kita, di sini dan sekarang. Dalam hal ini pilihan kita lakukan untuk membahas masalah salaf ini menurut pandangan Sunni, yaitu pandangan (1) di atas, mengingat bahwa pandangan itu adalah yang paling meluas diikuti kaum Muslim, baik di dunia maupun di tanah air.
Dalam perkembangan lebih lanjut paham Sunni, golongan Salaf tidak saja terdiri dari kaum Muslim masa Nabi dan empat khalifah yang pertama, tetapi juga meliputi mereka yang biasa dinamakan sebagai kaum Tabi'un (kaum Pengikut, yakni, pengikut para sahabat Nabi, yang merupakan generasi kedua umat Islam). Bahkan bagi banyak sarjana Sunni golongan salaf itu juga mencakup generasi ketiga, yaitu generasi Tabi'it al-Tabi'in (para Pengikut dari para Pengikut). Pandangan ini digambarkan secara ringkas dalam sebuah bait dari kitab kecil ilmu kalam Jawharat al-Tawhid, yang merupakan salah satu kitab standar di pesantren-pesantren:
(Para sahabat Nabi adalah generasi terbaik, maka dengarlah!
Lalu menyusul para Tabi'un, diiringi para Tabi'u al-Tabi'in)[3]
Sebagai sandaran ada kewenangan dan otoritas pada ketiga generasi pertama umat Islam itu, kaum Sunni menunjuk kepada firman Allah:
Dan para perintis pertama yang terdiri dari kaum Muhajirun dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka itu dengan baik, Allah telah ridla kepada mereka, dan mereka pun telah ridla kepada-Nya. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah kebahagiaan yang agung. [4]
Jadi firman Ilahi itu menegaskan bahwa kaum Muhajirun dan Anshar, yaitu para sahabat Nabi yang berasal dari Makkah dan Madinah, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (kaum Tabi'un), telah mendapat ridla dari Tuhan dan, sebaliknya, mereka pun telah pula bersikap ridla kepada-Nya. Untuk mereka itu disediakan oleh Tuhan balasan surga yang akan menjadi kediaman abadi mereka. Dengan kata-kata lain, kaum Salaf itu seluruh tingkah lakunya benar dan mendapat perkenan di sisi Tuhan, jadi mereka adalah golongan yang berotoritas dan berwenang.
Konsep demikian itu, seperti telah disinggung, lebih sesuai dengan paham Sunni ketimbang dengan paham Syi'i. Paham Sunni menyandarkan otoritas kepada umat atau "kolektiva", sementara kaum Syi'i menyandarkannya kepada keteladanan pribadi (examplary individual), dalam hal ini keteladanan pribadi 'Ali yang memang heroik, saleh dan alim (pious).
Namun kedua konsep sandaran otoritas itu mengandung masalahnya sendiri. Masalah pada konsep Sunni timbul ketika dihadapkan kepada tingkat pribadi-pribadi para sahabat Nabi: tidak setiap pribadi masa Salaf itu, pada lahirnya, sama sekali bebas dari segi-segi kekurangan. Jika seandainya memang bebas dari segi-segi kekurangan, maka bagaimana kita menerangkan berbagai peristiwa pembunuhan dan peperangan sesama para sahabat Nabi sendiri, selang hanya beberapa belas tahun saja dari wafat beliau? Padahal pembunuhan dan peperangan itu melibatkan banyak sahabat besar seperti 'Utsman, 'Ali (menantu dan kemenakan Nabi), 'A'isyah (isteri Nabi), Mu'awiyah (ipar Nabi dan salah seorang penulis wahyu), 'Amr ibn al-Ash, Abu Musa al-Asy'ari, dan lain-lain?!
Sedangkan pada kaum Syi'i, masalah yang timbul dari konsep otoritas yang disandarkan hanya kepada keteladanan pribadi 'Ali dan para pengikutnya yang jumlahnya kecil itu ialah implikasinya yang memandang bahwa para sahabat Nabi yang lain itu tidak otoritatif, alias salah, tidak mungkin mendapat ridla Allah, dan mereka pun terbukti oleh adanya perbuatan salah mereka sendiri tidak bersikap ridla kepada Allah. Jadi pandangan Syi'i itu nampak langsung bertentangan dengan gambaran dan jaminan yang disebutkan dalam firman di atas. Lebih lanjut, jika hanya sedikit saja jumlah orang yang selamat dari kalangan mereka yang pernah dididik langsung oleh Nabi, apakah akhirnya tidak Nabi sendiri yang harus dinilai sebagai telah gagal dalam missi suci beliau?
Pertanyaan tersebut secara keimanan sungguh amat berat, namun tidak terhindari karena dari fakta-fakta sejarah yang mendorongnya untuk timbul. Upaya menjawab pertanyaan itu dan mengatasi implikasi keimanan yang diakibatkannya telah menggiring para pemikir Muslim di masa lalu kepada kontroversi dalam ilmu kalam (teologi dialektis) yang tidak ada habis-habisnya. Masing-masing kaum Sunni dan Syi'i, yaitu dua golongan besar Islam yang sampai sekarang bertahan, mencoba memberi penyelesaian kepada problema tersebut. Contoh "penyelesaian" yang diberikan oleh para pemikir Muslim Sunni klasik untuk problema itu ialah seperti diungkapkan dalam sebuah bait dari kitab Jawharat al-Tawhid yang telah dikutip di atas:
(Dan lakukan interpretasi atas pertengkaran (para sahabat) yang telah terjadi jika engkau harus mendengarkan penuturan tentang hal itu dan jauhilah penyakit orang yang dengki). [5]
Interpretasi atas berbagai peristiwa pertengkaran para sahabat itu, seperti dilakukan oleh Ibn Taymiyyah, ialah dengan melihat bahwa semua mereka yang terlibat dalam pertengkaran itu sebenarnya bertindak berdasarkan ijtihad mereka masing-masing dalam menghadapi masalah yang timbul. Maka sebagai ijtihad, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits yang terkenal,[6] tindakan para sahabat yang bertengkar --bahkan saling membunuh itu tetap mendapatkan pahala, biarpun jika ternyata ijtihad mereka itu salah.[7]
Ini adalah solusi yang banyak mengandung kelemahan, sehingga sama sekali tidak memuaskan. Namun jika dikehendaki jalan keluar dari kerumitan teologis berkenaan dengan berbagai peristiwa fitnah di antara para sahabat Nabi itu, maka modus solusi seperti itu agaknya merupakan pilihan yang cukup baik. Dan itulah salah satu inti paham ke-Sunni-an
CATATAN
1 Lihat majalah Tempo, (Jakarta) No., 13, Tahun XVIII, 25 Mei 1988 (rubrik "Agama", h. 75).
2 Penyebutan tentang "Empat Khalifah" (istilah teknisnya dalam bahasa Arab ialah tarbi') sebetulnya melewati proses bertahap yang panjang. Mula-mula dalam khutbah-khutbah kaum Umawi menyebut tiga khalifah saja, yaitu selain 'Ali, dan kaum Syi'i hanya menyebut 'Ali, tanpa yang lain-lain. Tetapi kaum Umawi di Maghrib dan Andalusia terlebih dahulu dari yang lain-lain telah melakukan tarbi', hanya saja khalifah yang keempat bukannya 'Ali, melainkan Mu'awiyah. Kemudian Khalifah 'Umar ibn 'Abd 'al-'Aziz dari Bani Umayyah meneruskan usaha Khalifah Marwan ibn 'Abd al-Malik sebelumnya untuk menyatukan umat dengan mengakomodasi kaum Syi'ah dan merehabilitasi 'Ali, dan menyebut 'Ali dalam tarbi' di khutbah-khutbah, serta mengakhiri kebiasaan saling melaknat dalam khutbah-khutbah tersebut. Maka sejak itu tumbuh kebiasaan pada umat Islam untuk menyebut al-Khulafa al-Rasyidin yang empat, dan kelak kemudian hari masjid-masjid pun dihiasi dengan nama para khalifah yang empat itu. (Lihat Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, 4 jilid [Riyadl: Maktabat al-Riyadl al-Haditsah, tanpa tahun], jil. 2, hh. 187-8).
3 Al-Syaykh Ibrahim al-Laqqani, Jawharat al-Tawhid, dengan terjemah dan uraian dalam bahasa Jawa huruf Pego oleh K. H. Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani (Semarang), Sabil al-'Abid (tanpa data penerbitan), h. 222.
4 Q., s. al-Tawbah/9:100.
5 Al-Laqqani, h. 231.
6 Yaitu sabda Nabi yang sering dikutip orang, "Jika seorang hakim berijtihad dan tepat, maka baginya dua pahala; dan jika ia berijtihad dan keliru, maka baginya satu pahala."
7 Berkenaan dengan hal ini cukup menarik keterangan yang dibuat oleh Ibn Taymiyyah, demikian: "...'Ali adalah imam, dan ia benar dalam perangnya melawan orang-orang yang memeranginya; begitu pula mereka yang memerangi 'Ali, yang terdiri dari para sahabat seperti Thalhah dan al-Zubayr, semuanya adalah orang-orang yang melakukan ijtihad dan benar. Inilah pendapat mereka yang berpandangan bahwa setiap orang yang berijtihad itu benar, yaitu pendapat para tokoh Mu'tazilah dari kota Basrah yang terdiri dari Abu al-Hudzayl, Abu 'Ali, dan Abu Hasyim, serta tokoh-tokoh lain yang sepakat dengan mereka dari kalangan para pengikut Asy'ari seperti al-Qadli Abu Bakr (al-Baqillani) dan Abu Hamid (al-Ghazali), dan itu pula pendapat yang terkenal dari Abu al-Hasan al-Asy'ari. Mereka (para 'ulama) itu juga memandang Mu'awiyah sebagai seorang yang berijtihad dan benar dalam perangnya (melawan 'Ali), sebagaimana 'Ali pun benar. Ini juga menjadi pendapat para fuqaha' dari kalangan para pengikut Ahmad (ibn Hanbal) dan lain-lain ..." (Minhaj, jil. 1, hh. 192-3).
Namun sejak dari semula usaha-usaha serupa itu mengandung dan menghadapi banyak problema. Disebabkan oleh kaitannya dengan usaha mendefinisikan kembali apa yang disebut Islam atau bersifat keislaman (Islami) --dengan konotasi bahwa yang ada secara riil sekarang ini tidak memadai atau malah telah mengandung berbagai penyimpangan-- maka usaha-usaha tersebut menghadapkan orang-orang Muslim yang serius kepada persoalan "menemukan" kembali Islam dan yang bersifat keislaman. Persoalan ini tampak di permukaan seperti mudah dipecahkan, yaitu dengan "kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah", suatu dalil yang sangat disenangi kaum reformis Islam, khususnya di kalangan Sunni. Tetapi lepas dari kebenaran normatif dalil itu, namun dalam pelaksanaan praktisnya ternyata sangat tidak mudah. Bahkan yang sudah terjadi ialah bahwa dalil itu, sebegitu jauh, baru menghasilkan reformasi atau mungkin "pemurnian" hal-hal yang sesungguhnya sangat bersifat pinggiran (peripheral), seperti, misalnya, dicerminkan secara mencolok oleh kontroversi takbir tambahan dalam salat 'Idul Fitri di Surabaya baru-baru ini.[1] Meskipun hal serupa itu sangat penting bagi banyak kalangan --sebagian kaum Muslim melihat dan mendapati di situ terletak inti agama dan rasa keagamaan mereka-- namun sebetulnya sahamnya dalam usaha umat Islam menemukan peran kesejarahannya kembali tersebut di atas paling untung marginal saja, jika bukannya tidak ada sama sekali. Kalau masalah ini harus diungkapkan dalam sebuah jargon, barangkali yang paling tepat ialah pesan almarhum Bung Karno, salah seorang Bapak Bangsa Indonesia, agar kita berusaha menangkap "api" Islam, dan bukan "abu"-nya. Pembahasan ini adalah dalam rangka mencoba menangkap "api" itu, betapapun kecilnya kemungkinan hasil yang didapatkan.
Salah satu yang dapat kita lakukan untuk menangkap "api" itu ialah mencoba memahami hakikat golongan Salaf. Sesungguhnya ini sejalan saja dengan apa yang sudah terjadi, yaitu kecenderungan kaum reformis dari kalangan orang-orang Muslim untuk mencari model pada pengalaman sejarah umat Islam klasik. Tetapi sebelum hal itu kita lakukan, ada baiknya kita memeriksa secukupnya pengertian "salaf" dalam pembahasan Islam.
Perkataan Arab "salaf" sendiri secara harfiah berarti "yang lampau." Biasanya ia dihadapkan dengan perkataan "khalaf', yang makna harfiahnya ialah "yang belakangan". Kemudian, dalam perkembangan semantiknya, perkataan "salaf' memperoleh makna sedemikian rupa sehingga mengandung konotasi masa lampau yang berkewenangan atau berotoritas, sesuai dengan kecenderungan banyak masyarakat untuk melihat masa lampau sebagai masa yang berotoritas. Ini melibatkan masalah teologis, yaitu masalah mengapa masa lampau itu mempunyai otoritas, dan sampai dimana kemungkinan mengidentifikasi secara historis masa salaf itu.
Dalam hal ini, para pemikir Islam tidak banyak menemui kesulitan. Masa lampau itu otoritatif karena dekat dengan masa hidup Nabi. Sedangkan semuanya mengakui dan meyakini bahwa Nabi tidak saja menjadi sumber pemahaman ajaran agama Islam, tetapi sekaligus menjadi teladan realisasi ajaran itu dalam kehidupan nyata. Maka sangat logis pandangan bahwa yang paling mengetahui dan memahami ajaran agama itu ialah mereka yang berkesempatan mendengarnya langsung dari Nabi, dan yang paling baik dalam melaksanakannya ialah mereka yang melihat praktek-praktek Nabi dan meneladaninya. Selain logis, hadits-hadits pun banyak yang dapat dikutip untuk menopang pandangan itu:
Demikian pula dalam mengidentifikasi secara historis masa salaf itu, para sarjana Islam juga tidak mengalami kesulitan, meskipun terdapat beberapa pendapat tertentu di dalamnya. Yang disepakati oleh semuanya ialah bahwa masa salaf itu, dengan sendirinya, dimulai oleh masa Nabi sendiri. Kemudian mereka mulai berbeda tentang "kesalafan" (dalam arti otoritas dan kewenangan) masa kekhalifahan Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali, untuk tidak mengatakan masa-masa sesudah mereka. Dalam hal ini dapat kita kenali adanya empat pendapat:
(1) Kaum Sunni berpendapat bahwa masa keempat khalifah itu adalah benar-benar otoritatif, berwenang, dan benar-benar salaf. Kaum Sunni boleh dikata kelanjutan langsung atau tidak langsung dari masyarakat Islam masa Dinasti Umayyah, dengan berbagai unsur kompromi akibat usaha rekonsiliasi keseluruhan umat Islam, mengatasi sisa-sisa pengalaman traumatis fitnah-fitnah sebelumnya. (Usaha ini mengambil bentuknya yang paling penting dalam tindakan yang telah dimulai oleh Abd al-Malik ibn Marwan untuk merehabilitasi nama 'Ali, musuh Mu'awiyah, pendiri Dinasti Bani Umayyah, dan sejak itu mulai dikenal, secara historis, istilah al-Khulafa' al-Rasyidun yang empat).[2]
(2) Bani Umayyah atau kaum Umawi sendiri, dalam masa-masa awalnya, mengakui hanya masa-masa Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman, tanpa 'Ali, sebagai masa salaf yang berkewenangan dan otoritatif.
(3) Sedangkan kaum Khawarij, yaitu kelanjutan dari sebagian kelompok pendukung 'Ali --yang mereka itu menunjukkan gelagat persetujuan atas pembunuhan 'Utsman tapi kemudian kecewa dengan 'Ali dan membunuhnya-- hanya mengakui masa-masa Abu Bakar dan 'Umar saja yang berwenang dan otoritatif, sehingga boleh disebut sebagai masa salaf.
(4) Kemudian terdapat kaum Rafidlah dari kalangan Syi'ah yang menolak keabsahan masa-masa kekhalifahan pertama itu kecuali masa 'Ali.
Sebagaimana telah disinggung, masalah definisi kesejarahan tentang siapa yang disebut golongan Salaf dengan konotasi kewenangan dan otoritas di bidang keagamaan itu membawa serta problema teologis. Karena itu pengkajian masalah salaf ini akan dengan sendirinya melibatkan kita kepada berbagai kontroversi teologis yang berkepanjangan, dan yang sampai sekarang praktis belum selesai secara tuntas. Dengan meletakkan kontroversi teologis itu kesamping, maka kita terpaksa melakukan pilihan. Pilihan itu pada permasalahan intinya bisa dinilai sebagai arbitrer, namun masih bisa dibenarkan dengan melihat segi kepraktisan pembahasan, misalnya berkenaan dengan konteks ruang dan waktu kita, di sini dan sekarang. Dalam hal ini pilihan kita lakukan untuk membahas masalah salaf ini menurut pandangan Sunni, yaitu pandangan (1) di atas, mengingat bahwa pandangan itu adalah yang paling meluas diikuti kaum Muslim, baik di dunia maupun di tanah air.
Dalam perkembangan lebih lanjut paham Sunni, golongan Salaf tidak saja terdiri dari kaum Muslim masa Nabi dan empat khalifah yang pertama, tetapi juga meliputi mereka yang biasa dinamakan sebagai kaum Tabi'un (kaum Pengikut, yakni, pengikut para sahabat Nabi, yang merupakan generasi kedua umat Islam). Bahkan bagi banyak sarjana Sunni golongan salaf itu juga mencakup generasi ketiga, yaitu generasi Tabi'it al-Tabi'in (para Pengikut dari para Pengikut). Pandangan ini digambarkan secara ringkas dalam sebuah bait dari kitab kecil ilmu kalam Jawharat al-Tawhid, yang merupakan salah satu kitab standar di pesantren-pesantren:
(Para sahabat Nabi adalah generasi terbaik, maka dengarlah!
Lalu menyusul para Tabi'un, diiringi para Tabi'u al-Tabi'in)[3]
Sebagai sandaran ada kewenangan dan otoritas pada ketiga generasi pertama umat Islam itu, kaum Sunni menunjuk kepada firman Allah:
Dan para perintis pertama yang terdiri dari kaum Muhajirun dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka itu dengan baik, Allah telah ridla kepada mereka, dan mereka pun telah ridla kepada-Nya. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah kebahagiaan yang agung. [4]
Jadi firman Ilahi itu menegaskan bahwa kaum Muhajirun dan Anshar, yaitu para sahabat Nabi yang berasal dari Makkah dan Madinah, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (kaum Tabi'un), telah mendapat ridla dari Tuhan dan, sebaliknya, mereka pun telah pula bersikap ridla kepada-Nya. Untuk mereka itu disediakan oleh Tuhan balasan surga yang akan menjadi kediaman abadi mereka. Dengan kata-kata lain, kaum Salaf itu seluruh tingkah lakunya benar dan mendapat perkenan di sisi Tuhan, jadi mereka adalah golongan yang berotoritas dan berwenang.
Konsep demikian itu, seperti telah disinggung, lebih sesuai dengan paham Sunni ketimbang dengan paham Syi'i. Paham Sunni menyandarkan otoritas kepada umat atau "kolektiva", sementara kaum Syi'i menyandarkannya kepada keteladanan pribadi (examplary individual), dalam hal ini keteladanan pribadi 'Ali yang memang heroik, saleh dan alim (pious).
Namun kedua konsep sandaran otoritas itu mengandung masalahnya sendiri. Masalah pada konsep Sunni timbul ketika dihadapkan kepada tingkat pribadi-pribadi para sahabat Nabi: tidak setiap pribadi masa Salaf itu, pada lahirnya, sama sekali bebas dari segi-segi kekurangan. Jika seandainya memang bebas dari segi-segi kekurangan, maka bagaimana kita menerangkan berbagai peristiwa pembunuhan dan peperangan sesama para sahabat Nabi sendiri, selang hanya beberapa belas tahun saja dari wafat beliau? Padahal pembunuhan dan peperangan itu melibatkan banyak sahabat besar seperti 'Utsman, 'Ali (menantu dan kemenakan Nabi), 'A'isyah (isteri Nabi), Mu'awiyah (ipar Nabi dan salah seorang penulis wahyu), 'Amr ibn al-Ash, Abu Musa al-Asy'ari, dan lain-lain?!
Sedangkan pada kaum Syi'i, masalah yang timbul dari konsep otoritas yang disandarkan hanya kepada keteladanan pribadi 'Ali dan para pengikutnya yang jumlahnya kecil itu ialah implikasinya yang memandang bahwa para sahabat Nabi yang lain itu tidak otoritatif, alias salah, tidak mungkin mendapat ridla Allah, dan mereka pun terbukti oleh adanya perbuatan salah mereka sendiri tidak bersikap ridla kepada Allah. Jadi pandangan Syi'i itu nampak langsung bertentangan dengan gambaran dan jaminan yang disebutkan dalam firman di atas. Lebih lanjut, jika hanya sedikit saja jumlah orang yang selamat dari kalangan mereka yang pernah dididik langsung oleh Nabi, apakah akhirnya tidak Nabi sendiri yang harus dinilai sebagai telah gagal dalam missi suci beliau?
Pertanyaan tersebut secara keimanan sungguh amat berat, namun tidak terhindari karena dari fakta-fakta sejarah yang mendorongnya untuk timbul. Upaya menjawab pertanyaan itu dan mengatasi implikasi keimanan yang diakibatkannya telah menggiring para pemikir Muslim di masa lalu kepada kontroversi dalam ilmu kalam (teologi dialektis) yang tidak ada habis-habisnya. Masing-masing kaum Sunni dan Syi'i, yaitu dua golongan besar Islam yang sampai sekarang bertahan, mencoba memberi penyelesaian kepada problema tersebut. Contoh "penyelesaian" yang diberikan oleh para pemikir Muslim Sunni klasik untuk problema itu ialah seperti diungkapkan dalam sebuah bait dari kitab Jawharat al-Tawhid yang telah dikutip di atas:
(Dan lakukan interpretasi atas pertengkaran (para sahabat) yang telah terjadi jika engkau harus mendengarkan penuturan tentang hal itu dan jauhilah penyakit orang yang dengki). [5]
Interpretasi atas berbagai peristiwa pertengkaran para sahabat itu, seperti dilakukan oleh Ibn Taymiyyah, ialah dengan melihat bahwa semua mereka yang terlibat dalam pertengkaran itu sebenarnya bertindak berdasarkan ijtihad mereka masing-masing dalam menghadapi masalah yang timbul. Maka sebagai ijtihad, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits yang terkenal,[6] tindakan para sahabat yang bertengkar --bahkan saling membunuh itu tetap mendapatkan pahala, biarpun jika ternyata ijtihad mereka itu salah.[7]
Ini adalah solusi yang banyak mengandung kelemahan, sehingga sama sekali tidak memuaskan. Namun jika dikehendaki jalan keluar dari kerumitan teologis berkenaan dengan berbagai peristiwa fitnah di antara para sahabat Nabi itu, maka modus solusi seperti itu agaknya merupakan pilihan yang cukup baik. Dan itulah salah satu inti paham ke-Sunni-an
CATATAN
1 Lihat majalah Tempo, (Jakarta) No., 13, Tahun XVIII, 25 Mei 1988 (rubrik "Agama", h. 75).
2 Penyebutan tentang "Empat Khalifah" (istilah teknisnya dalam bahasa Arab ialah tarbi') sebetulnya melewati proses bertahap yang panjang. Mula-mula dalam khutbah-khutbah kaum Umawi menyebut tiga khalifah saja, yaitu selain 'Ali, dan kaum Syi'i hanya menyebut 'Ali, tanpa yang lain-lain. Tetapi kaum Umawi di Maghrib dan Andalusia terlebih dahulu dari yang lain-lain telah melakukan tarbi', hanya saja khalifah yang keempat bukannya 'Ali, melainkan Mu'awiyah. Kemudian Khalifah 'Umar ibn 'Abd 'al-'Aziz dari Bani Umayyah meneruskan usaha Khalifah Marwan ibn 'Abd al-Malik sebelumnya untuk menyatukan umat dengan mengakomodasi kaum Syi'ah dan merehabilitasi 'Ali, dan menyebut 'Ali dalam tarbi' di khutbah-khutbah, serta mengakhiri kebiasaan saling melaknat dalam khutbah-khutbah tersebut. Maka sejak itu tumbuh kebiasaan pada umat Islam untuk menyebut al-Khulafa al-Rasyidin yang empat, dan kelak kemudian hari masjid-masjid pun dihiasi dengan nama para khalifah yang empat itu. (Lihat Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, 4 jilid [Riyadl: Maktabat al-Riyadl al-Haditsah, tanpa tahun], jil. 2, hh. 187-8).
3 Al-Syaykh Ibrahim al-Laqqani, Jawharat al-Tawhid, dengan terjemah dan uraian dalam bahasa Jawa huruf Pego oleh K. H. Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani (Semarang), Sabil al-'Abid (tanpa data penerbitan), h. 222.
4 Q., s. al-Tawbah/9:100.
5 Al-Laqqani, h. 231.
6 Yaitu sabda Nabi yang sering dikutip orang, "Jika seorang hakim berijtihad dan tepat, maka baginya dua pahala; dan jika ia berijtihad dan keliru, maka baginya satu pahala."
7 Berkenaan dengan hal ini cukup menarik keterangan yang dibuat oleh Ibn Taymiyyah, demikian: "...'Ali adalah imam, dan ia benar dalam perangnya melawan orang-orang yang memeranginya; begitu pula mereka yang memerangi 'Ali, yang terdiri dari para sahabat seperti Thalhah dan al-Zubayr, semuanya adalah orang-orang yang melakukan ijtihad dan benar. Inilah pendapat mereka yang berpandangan bahwa setiap orang yang berijtihad itu benar, yaitu pendapat para tokoh Mu'tazilah dari kota Basrah yang terdiri dari Abu al-Hudzayl, Abu 'Ali, dan Abu Hasyim, serta tokoh-tokoh lain yang sepakat dengan mereka dari kalangan para pengikut Asy'ari seperti al-Qadli Abu Bakr (al-Baqillani) dan Abu Hamid (al-Ghazali), dan itu pula pendapat yang terkenal dari Abu al-Hasan al-Asy'ari. Mereka (para 'ulama) itu juga memandang Mu'awiyah sebagai seorang yang berijtihad dan benar dalam perangnya (melawan 'Ali), sebagaimana 'Ali pun benar. Ini juga menjadi pendapat para fuqaha' dari kalangan para pengikut Ahmad (ibn Hanbal) dan lain-lain ..." (Minhaj, jil. 1, hh. 192-3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar