Kamis, 25 Februari 2016

IDENTITAS POLITIK ISLAM DI HINDIA BELANDA

Oleh J.H. Wenas

November 1922, masih dalam suasana New Economic Policy gaya Vladimir Ilyich Lenin, Moskow menggelar Kongres Komintern ke-4. Intinya, perjuangan proletariat internasional perlu bekerja sama dengan gerakan-gerakan lain sedunia. Trotsky bicara, begitu pula tokoh-tokoh Komunis lainnya seperti Radek, Bucharin dan Lumantjarski. Tak ketinggalan pemuda nekad asal Indonesia, namanya Tan Malaka. Pidatonya dalam bahasa Jerman menggagas pentingnya Komunisme berkonspirasi dengan gerakan Islam di hemisfir Timur.

Tentu, bukannya Tan Malaka tak sadar bila sejak Kongres Sarekat Islam ke-6, Oktober 1921, garis politiknya bersama Semaun sudah patah arang dengan poros Agus Salim-Abdul Muis. Tapi ia rupanya yakin ada titik temu mengingat kerap kali umpatan “het zondige kapitalisme” (kapitalisme berdosa) dilontarkan kedua ulama besar itu—walaupun kurang jelas juga bagaimana “het heilige kapitalisme“ (kapitalisme suci) mau diberi makna. Selain itu, ia tahu bila visi Agus Salim memang memuat semangat Pan-Islamisme, dan the grand old man itu tengah mencari platform bersama Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang dikenal memiliki jaringan baik lokal maupun di pusat Islam, Timur Tengah.

Bagi Tan Malaka ini lebih merupakan keyakinan horisontal daripada vertikal. Ia berpidato, “…kalau saya berdiri di depan Tuhan, saya seorang Muslim, bila saya berdiri di depan manusia saya bukan Muslim, sedangkan Tuhan telah berkata bahwa di kalangan manusia ada banyak setan”. [Poeze, 1976] Bahwa Kremlin kemudian kurang menanggapi Tan Malaka adalah diskusi tersendiri. Yang jelas, konspirasi Komunisme dan Islam di Timur tidak pernah terjadi, karenanya juga tak pernah terdengar istilah Pan-Communislamica. Alhamdulillah.

Namun, mengapa Tan Malaka menengok kepada Islam di Hindia Belanda? Substansi pertanyaan ini sebetulnya ingin meminta penjelasan bagaimana identitas politik Islam di Hindia Belanda telah berkembang dan terbentuk terutama pada masa pra kebangkitan nasional.

Akulturasi
History is barely a simple straight line. Senantiasa terjadi anomali di sana-sini, walaupun bukan berarti inferensi tak dapat ditarik. Di satu sisi, merupakan fakta bahwa sudah sejak zaman Vereenigde Oostindische Compagnie maupun zaman Nederlands-IndiĆ«, hampir semua bentuk perlawanan—baik secara militan maupun kultural—berputar pada tokoh-tokoh Islam. Salah satunya Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830). Ini masih ditambah dukungan dari Kiai Maja. Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Mudik Padang dan Mansiangan dalam perang Padri (1819-1832) adalah contoh lainnya.

Bahkan soal perlawanan kultural, sudah sejak zaman Wali Songo pertengahan abad ke-15, seperti ditunjukkan Raden Mas Said (Sunan Kalijaga) yang masuk ke dalam wilayah kebudayaan dan kesenian dalam dakwahnya. Islam diekspresikan melalui seni ukir, wayang, gamelan dan suluk. Diyakini bahwa tradisi Sekatenan dan Grebeg Maulud adalah ciptaan karib sekaligus murid Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) itu.

Di sisi lain, senandung suluk Malang Sumirang, umpamanya, bernyanyi “nora Selam lamun dereng kupu kapir” atau “bukan Islam jika belum menjadi kafir” juga merupakan fakta bahwa Islam memang tidak pernah benar-benar “melebur” Jawa. [P.J. Zoetmulder, SJ, 1935] Apakah ini berarti bahwa itikad Syariah hanya diterima sejauh struktur okultisme Jawa asli tidak dirusak?

Selain itu, fakta isolasi eksistensial masyarakat Badui di daerah Lebak, Banten, menarik untuk dicermati lebih jauh. [N.J.C. Geise, OFM, 1952] Bahwa kaum Padri di Minangkabau—yang kental dengan Wahhabisme—merasa perlu melakukan purifikasi “Islam komunal” menjadi “Islam betulan”, jelas merupakan diskursus akulturasi dalam konteks ini.

Sistem Tanam Paksa
Demikianlah, ada resepsi dan ada resistensi. Namun dialektika terpenting revivabilitas Islam ke dalam politik massa kelihatannya sulit dipisahkan dari terjadinya disintegrasi dalam struktur komunal pedesaan terutama sejak ongkos imperialisme Belanda secara semena-mena diletakkan di atas pundak Jawa-Madura melalui Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa antara 1830-1870.

Mengapa Sistem Tanam Paksa (STP) perlu dijalankan, terkait dengan konfigurasi geopolitik Eropa. Kekuasaan Napoleon Bonaparte atas wilayah Belanda (saat itu disebut Republik Batavia) sejak 1795—yang kemudian dibentuk menjadi Kerajaan Belanda pada tahun 1806, sebelum akhirnya diinkorporasi ke dalam Kekaisaran Perancis pada tahun 1810—telah menguntungkan Inggris untuk menguasai beberapa koloni Belanda seperti Afrika Selatan dan Sri Lanka.

Setelah Napoleon jatuh Kerajaan Belanda memperoleh kembali kemerdekaannya melalui Kongres Wina tahun 1815. Namun Belgia yang termasuk ke dalam kedaulatannya memberontak pada tahun 1830, berlanjut dengan proses perceraian di antara keduanya hingga 1839. Lepasnya Afrika Selatan, Sri Lanka serta masalah Belgia, berdampak pada menipisnya arus kas Kerajaan Belanda. Arti sederhananya: “Krismon”.

Tak ada pilihan, Gubernur-Jenderal Johannes van den Bosch harus tega menerapkan STP. Sejak berlakunya kebijakan itu tahun 1830, petak-petak sawah tradisional dibabat menjadi sentra-sentra produksi tanaman komoditas sesuai selera pasar Eropa. Hasil produksi dibeli oleh Nederlandsche Handelsmaatschappij (NHM), badan usaha yang berfungsi sebagai bank sirkulasi dan penyangga sejak 1824. Melalui NHM, di mana monarki juga menjadi pemegang saham penting, mengalirlah laba usaha sepenuhnya ke pihak Belanda.

Tata ruang pertanian ditentukan berdasarkan rencana ekspor. Tanaman indigo menjadi pilot project di bumi Priangan, lalu meluas ke berbagai wilayah dengan tanaman komoditas lainnya seperti kopi, gula, tembakau maupun rempah-rempah. Terabaikannya tanaman pangan rakyat, terutama padi, harus dibayar dengan ancaman bahaya kelaparan. Muncul masalah social impoverishment.

Tentang hal ini, Charles A. Gimon menulis, “About 1845, a series of poor harvests led to greater poverty and even famine on Java—famine that was aggravated because the best lands were being used for tobacco, sugar or coffee instead of rice, and because the land in general had been exhausted by overproduction. Yang juga menarik adalah catatan Gimon bahwa, “Van den Bosch had specified that local farmers should be given leeway to grow their own food, but colonial officials under him ignored these orders in pursuit of ever larger cash crops. ” Mungkin, inilah nenek-moyang virus KKN yang kita kenal sejak zaman Orde Baru hingga zaman korupsi gotong-royong hari ini.

Berbeda dibandingkan periode VOC yang mengatur monopoli di tingkat perdagangan, STP artinya adalah monopoli di tingkat produksi. Terjadi integrasi vertikal kebijakan dari agro-politics ke agrarian politics. Pada titik inilah imperialisme berhadapan langsung dengan tradisi komunal.

Identitas & Alienasi Bourgeoisie
Ketidakadilan politik mengundang resistensi masyarakat. Pada situasi seperti itu seyogyanya jembatan komunikasi dibangun, pengayoman dijalankan, dan—yang terpenting—keadilan sekurangnya bisa diharapkan. Para pangreh praja (disebut Binnenlands Bestuur) seharusnya bekerja untuk urusan-urusan ini. Mereka adalah para bupati di puncak hirarki birokrasi, disusul para patih, wedana, asisten wedana, mantri-mantri, dan juru tulis.

Tapi tak mengherankan, justru fungsi ini yang macet. Sudah sejak Maret 1808, ketika H.W. Daendels masih Gubernur-Jenderal, diambil kebijakan bahwa para bupati dan aparatnya menerima gaji dari pemerintah. Masih ditambah lagi dengan paket fringe benefits menarik dari Van den Bosch, baik by concession, in-kind maupun in cash. STP membuat kelas borjuis dilanda perasaan kikuk. Di satu pihak, ada kewajiban mengambil peran protagonis terhadap kebijakan ini, di pihak lain, sikap yang demikian menggerogoti keyakinan manunggal kawula-gusti di benak rakyat. Lama kelamaan kaum kawula merasa para gusti telah menjadi tuli dan bisu terhadap keluh-kesah mereka. Pangreh praja adalah subyek pelaku pemerintahan kolonial itu sendiri, sedangkan rakyat adalah obyek penderita melulu.

Lalu dicari alternatif. Sosok ideal ditemukan dalam diri kaum ulama, yang ternyata tidak tuli dan bisu. Maka mereka menjadi oasis dahaga keluh-kesah masyarakat. Perlahan tapi pasti, para ulama terpanggil untuk terus berjuang di antara urusan hablun minallah dan hablun minannas. Dengan sendirinya referensi solusi beragam persoalan komunal tersebut kental dengan nilai-nilai Islam. Tak terhindarkan pula, Islam lalu dituduh menjadi inspirator berbagai gerakan rakyat, bahkan pengacau. Prof Sartono menulis: “Apabila di kota-kota pada umumnya para ulama telah masuk dalam lingkungan birokrasi kolonial dalam fungsinya sebagai penghulu yang mengepalai administrasi serta upacara agama, di daerah pedesaan peranan tradisional mereka dikatakan masih utuh.” [Sartono K., 1992]

Religiositas Islam mengisi vakum pengayoman masyarakat. Alienasi golongan pangreh praja dirumuskan dalam fatwa para ulama. Garis telah ditarik dan identitas terbentuk. Kaum kolonialis yang bagi para ulama dicap kafir, ikut menyeret para pangreh praja yang membantunya ke dalam katagori ini. Paling sedikit disebut sebagai setengah kafir, atau “kafir indana” [Sartono K., 1966]. Fungsi kepemimpinan kaum ulama mengalami diversifikasi.

Islam dengan begitu masuk lebih jauh ke tingkat praxis politik pedagogi “pembebasan kaum tertindas”. Pesantren menjadi semacam think-tank perlawanan politik massa, melampaui urusan kultural-keagamaan semata. Tradisi patron-client feodal mulai dibongkar. Ulama menjadi simbol perlawanan “desa” terhadap “kota”.

Liberalisme
Sekitar tahun 1840-an, liberalisasi melanda Eropa menyusul serangkaian revolusi besar di benua itu. Negeri Belanda tidak imun terhadap gejala ini, maka terjadilah revisi konstitusi tahun 1848—yang menjadi dasar konstitusi Belanda hari ini. Dan menyunat peran arbitrasi personal monarki, sehingga para anggota parlemen Kamar Pertama (eerste kamer) yang tadinya diangkat oleh monarki, kini dipilih melalui dewan-dewan provinsi. Begitu pula anggota parlemen Kamar Kedua (tweede kamer), dipilih oleh rakyat (yang membayar pajak di atas jumlah tertentu).

Semangat liberal juga menuntut kedua daerah taklukan di selatan Belanda, yaitu provinsi Limburg dan Noord-Brabant yang mayoritasnya beragama Katolik, diberikan status yang sama dengan provinsi lainnya. Dengan sendirinya terjadi perluasan suffrage (hak pilih), terutama bagi konstituen partai Katolik di mana terdapat representasi signifikan kaum industrialis. Yang tentu saja memiliki nafas liberal-egalitarian, sejalan dengan cita-cita golongan liberal sendiri. Pada saat yang bersamaan, karya seperti Max Havelaar oleh Eduard Douwes Dekker, adalah salah satu dari banyaknya kritik mengenai kerusakan Hindia Belanda yang turut mendorong percepatan perubahan ini.

Berfungsinya institusi vox populi ini artinya adalah terlibatnya opini publik Belanda terhadap berbagai masalah di wilayah-wilayah koloni. Alhasil, sejak 1870, Sistem Tanam Paksa ditinggalkan.

Liberalisme pada intinya adalah prinsip “tanpa campur tangan pemerintah”, yang sesungguhnya berada dalam matriks motif kemakmuran ekonomi dan kemuliaan humanitarian. Walaupun, ironisnya, bagi kedua proponen gagasan ini yaitu kalangan liberal dan konservatif, prinsip “negeri jajahan wajib memberi manfaat bagi negeri induk” juga tidak ditinggalkan. Maka fakta marjinalisasi pribumi di Hindia Belanda yang jalan di tempat, adalah akibat pertentangan antara kedua motif tersebut. Satu-satunya yang diubah oleh liberalisme adalah percepatan ekspansi ekonomi Belanda sejak 1880 hingga permulaan Perang Dunia I (1914).

Liberalisasi menggeser STP. Pintu monopoli usaha di Hindia Belanda harus dibuka bagi modal partikelir. Lembaga semacam NHM dianggap penghalang kebebasan pasar. Modernisasi dijalankan, yang terjemahannya adalah bank-bank baru, variasi lembaga usaha, perluasan jalan-jalan kereta api, dinas-dinas pos dan komunikasi, termasuk tuntutan fair play di bidang pertambangan, perkebunan maupun perdagangan komoditasnya. Hampir semua perkebunan baru yang dibuka sesudah 1870 berasal dari aliran modal partikelir Eropa, tidak terbatas pada modal Belanda saja. Tercatat bahwa kontak awal raksasa industri Siemens di Indonesia dimulai tahun 1855, begitu juga Krupp, Thyssen dan Ferrostaal pada tahun 1880-an dan Mercedes-Benz sejak 1896. [Heinrich Seemann, 2000]

Liberalisasi berjalan dengan usaha penyesuaian di bidang UU Agraria—mengingat tanah dan rakyat adalah sebuah kesatuan tradisional—untuk membuka ruang kebebasan investasi. Namun masuknya pengaruh individu-individu partikelir ke “wilayah adat”, malah merupakan tekanan multidimensi terhadap struktur komunal pedesaan. Pada akhirnya ini menjadi semacam serah-terima dominasi atas teritori produktif dari “aktor-aktor pemerintah” kepada “tuan-tuan partikelir” demi perputaran keuntungan yang lebih cepat dan lebih besar. Mudah diduga, masalah Koelie Ordonnantie (peraturan perburuhan) adalah soal penting lainnya yang juga perlu disesuaikan.

Kristalisasi Identitas
Perang Diponegoro memang dapat diakhiri (1830), sedangkan the aftermath akibat Perang Banjarmasin sepanjang 1850-an masih terasa pahit. Sialnya Aceh malah mulai bergolak—dan ternyata berlangsung selama hampir 40 tahun (1873-1912). Selingan-selingan perlawanan di antaranya adalah peristiwa Cikandi Udik tahun 1845, Ciomas tahun 1886, gerakan mesianistik Ahmad Ngisa tahun 1859, gerakan Srikaton tahun 1888, di samping misi “kebangkitan” gerakan Haji Rifangi antara 1859-1860. Selain itu, di wilayah Banten terjadi pergolakan untuk “kembali ke zaman kesultanan”. [Sartono K., 1992]

Hingga hadirnya sosok Snouck Hurgronje, persoalan Islam di Hindia Belanda relatif ditangani secara reaktif ketimbang proaktif. Bagaimana sebenarnya posisi sejarah Snouck Hurgronje, merupakan tugas sejarawan untuk mendefinisikannya. Bahwa ia adalah penasihat penting Van Heutsz dalam perang Aceh, adalah satu fakta tersendiri. Bahwa mengapa nasihatnya dalam berbagai persoalan Islam di Hindia Belanda malah kemudian “menguntungkan” Islam, adalah fakta lain yang menarik untuk diteliti lebih jauh.

Ibadah Haji adalah salah satu contoh. Karena fobia bila ibadah ini menjadi media “pertukaran gagasan politik dan kebudayaan” di antara sesama hamba Allah dari berbagai latar belakang dunia Islam selama di Tanah Suci, maka pada tahun 1825 diterapkan kebijakan fiskal sebesar 110 gulden per kepala calon haji. Harapannya, penetrasi Pan-Islamisme ke dalam wilayah Hindia Belanda dapat dieliminasi. Atas pengaruh Snouck Hurgronje—yang pada 1885 sempat menyelundup ke Mekah untuk mempelajari Islam—diambil sikap yang lebih ramah. Maka pemerintah pun menyatakan nihil obstat, sejauh tak ada unsur politik, bagi mereka yang ingin beribadah ke Tanah Suci. Dengan demikian diharapkan ketidakpuasan yang meluas di balik berbagai bentuk perlawanan politik saat itu bisa disalurkan, dijinakkan dan diredam melalui aktivitas ini.

Statistik jemaah haji berubah. Pada pertengahan 1850-an, jumlahnya masih sekitar 2.000 orang. Namun pada tahun 1886, jumlah ini menjadi 5.000 orang, tahun 1890 mencapai 7.000 orang, tahun 1896 sebanyak 11.700 orang. [J. Vredebregt, 1962] Bersamaan dengan itu, arus pemikiran Islam mengalir masuk. Nama-nama seperti Jamaludin al-Afgani, Muhammad Abduh, Muhammad Ibnu Abd al-Wahhab dibicarakan, dipelajari, bahkan dijadikan inspirasi. Majalah Al Urwat al-Wutswa diselundupkan. [Deliar Noor, 1970]. Nama-nama besar seperti Ahmad Khatib, Hasyim Asyari, Abdul Wahab Hasbullah, Bishri Sansuri, Ahmad Dahlan berada di antara jalur Mekah-Hindia Belanda ini.

Bila Snouck Hurgronje berharap bahwa politik divide et impera bisa diterapkan melalui pergolakan pemikiran di antara umat Islam sendiri, maka nampaknya ia hanya benar sebagian. Memang, kemudian terjadi perlawanan terhadap tarekat sufi dan taqlid di bidang fiqih. Tasawuf dihantam habis-habisan. Ijma dibatasi bidangnya. [Poespoprodjo, 1986]

Namun dinamika diskursus semacam itu sebetulnya malah menjadi “proses deteritorialisasi” kemanunggalan Islam bersama rakyat. Dengan kata lain, Islam justru mengalami transformasi dari urusan lokal menjadi trans-lokal. Ajaran hubbul wathon minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman) tetap berada dalam sanubari, dan tetap masuk akal.

Jadi identitas perlawanan tidak terbongkar, sebaliknya justru diperkaya, bahkan meluas. Dengan begitu Islam menyemai bibit-bibit kesadaran nasional, yang kemudian semakin mengkristal dalam dekade pertama abad ke-20.

J.H. Wenas, Departemen Hubungan Luar Negeri, DPP Partai Kebangkitan Bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar