Sabtu, 27 Februari 2016

HASAN AL-BANNA : PERSAMAAN HAK PENUH

Persamaan Hak
Dalam berbagai tulisan Hasan al-Banna, dapat ditarik pandangan yang jelas tentang persamaan hak antara kaum muslimin dan nonmuslim. Tokoh kharismatis pendiri al-Ikhwan al-Muslimun ini membahasnya dalam tulisan Nahwan Nuur (Menuju Cahaya) yang pada dasarnya ditujukan pada penguasa dan pejabat tinggi Mesir selama kurang lebih setengah abad. Karya itu berjudul Al-Islam Yahmiil 'Aqalliyyaati wa Yashuunu Huqunqal Ajaanib (Islam Menjaga Kelompok Minoritas dan Memelihara Hak-hak Orang Lain). Dalam buku itu dinyatakan, "Islam menyucikan persatuan manusia secara universal... kemudian mensucikan persatuan agama secara universal pula ketika terjadi fanatisme. Islam mengharuskan para pemeluknya untuk mengimani seluruh agama samawi." Kemudian Hasan al-Banna menegaskan, "Inilah Islam yang dibangun di atas sikap moderat dan kesadaran tinggi, tidak mungkin diikuti oleh pemecah belah persatuan yang terpadu ini. Namun sebaliknya, kesucian agama yang mampu mempersatukan manusia ini terkadang dijadikan alat legitimasi kepentingan tertentu".1

Dalam tulisannya yang bertajuk Musykilaatunaa fi Dhau'in-Nizhaam il-Islaami (Problematika Kita dalam Perspektif Sistem Islam), Hasan al-Banna menyatakan dengan jelas, "Minoritas nonmuslim yang menjadi warga negara ini diajari kesempurnaan ilmu tentang bagaimana mencapai ketenangan hidup, keamanan, keadilan, dan persamaan hak secara penuh dalam menjalankan seluruh ajaran agamanya."
Dengan nada menyatukan, Hasan al-Banna menambahkan, "Sejarah panjang yang membentangkan hubungan baik dan mulia antara warga negara muslim dan nonmuslim, cukuplah bagi kita sebagai bekal. Kita perlu mencatat prestasi para warga negara yang mulia itu karena mereka menjunjung tinggi makna-makna ini pada setiap kesempatan, menjadikan Islam sebagai makna nasionalismenya, meskipun hukum-hukum dan ajaran-ajarannya tidak berasal dari akidah mereka (akidah non-Islam, --peny.) sendiri."2

Dalam rumusannya mengenai prinsip-prinsip dasar sistem sosial islami sebagaimana dipedomani al-Ikhwan al-Muslimun, Hasan al-Banna menawarkan sebelas prinsip dalam tulisannya Bainal-Amsi wal-Yaum (Antara Kemarin dan Hari Ini). Salah satu prinsip tersebut adalah "Mengumandangkan persaudaraan antar manusia, kebangkitan pria dan wanita secara bersama, solidaritas dan persamaan hak antara pria dan wanita, serta merumuskan tugas masing-masing secara terinci dan mendetail."3

Hal yang perlu diperhatikan dalam pembahasan ini adalah bahwa tawaran Hasan al-Banna tersebut lahir sebagai respon terhadap kondisi umum di Mesir saat itu. Pemimpin umat ini berusaha keras merumuskan instrumen-instrumen untuk melepaskan diri dari kondisi sulit tersebut. Itulah sebabnya, ia menamakan prinsip-prinsip tersebut al-Munjiyaatul-'Asyr (Sepuluh Hal yang Menyelamatkan). Beberapa prinsip tersebut dapat penulis sebutkan, misalnya: persatuan, kebebasan, menjalankan syariat Islam, dan menegakkan hukum-hukum pidana masing-masing pada urutan pertama, kedua, keenam, dan kedelapan.4

Konsep yang diajukan al-Ikhwan al-Muslimun ini --yang kemudian dijadikan rujukan oleh banyak organisasi sesudahnya-- mengalami dinamika aktualisasinya dari waktu ke waktu di bawah panduan "Sang Mursyid" (Hasan al-Banna). Organisasi dakwah ini berupaya memperjelas dinamika perjalanannya secara terperinci melalui dialog terbatas antara Hasan al-Banna dengan sahabat-sahabat terdekatnya.5

Di bawah ini akan dipaparkan esensi dialog tersebut.

Pertama, Hasan al-Banna sejak semula telah berusaha keras menarik kekuatan orang-orang Qibthi Mesir ke dalam barisannya. Keinginannya untuk bekerja sama dengan mereka didasarkan atas persepsi bahwa masing-masing golongan merupakan bagian dari umat dan mempunyai hak untuk dihormati dan dicintai. Muhammad Hamid Abu Naser menceritakan bahwa Hasan al-Banna pernah memintanya untuk mengumumkan kepada warga Ashiuth --salah satu wilayah utama Qibthi Mesir-- bahwa tujuan dakwah Hasan al-Banna adalah membangun masyarakat beragama. Masyarakat diarahkan untuk berpegang teguh pada agama, termasuk orang-orang Kristen. Keagungan dakwah inilah yang mendorong Mathran Qana --pejabat sesudah Muhammad Hamid Abu Naser-- untuk mendukung Hasan al-Banna dan misi dakwahnya secara terbuka.

Kedua, menjalin ikatan dengan orang yang mempunyai hubungan personal dengan simbol-simbol Qibthiyah. Bahkan Hasan al-Banna pernah mengundang salah seorang rekannya, Luis Fanus, anggota Dewan Perwakilan Rakyat wilayah Abnub, untuk berbincang-bincang bersamanya dan jamaah al-Ikhwan al-Muslimun dalam forum mingguan hari Selasa. Fanus sering menyertai Hasan al-Banna dalam perjalan mengunjungi kota-kota di Mesir.

Ketiga, Hasan al-Banna bekerja sama dengan Luis Fanus dan tokoh-tokoh Qibthi lainnya seperti Wahid Dous dan Karim Tsabit dalam organisasi politik dari seksi Penyuluh Anggota.

Keempat, ketika pemerintahan Husain Siri Pasya pindah dari Kairo ke Qana --pada waktu itu Hasan al-Banna masih menjadi guru-- maka orang yang segera meminta tanggapan dalam parlemen mengenai sebab-sebab perpindahan tersebut adalah Taufiq Dous Pasya, seorang Qibthi Mesir. Selain Ightil (yang ikut mengantarkan jenazah Hasan al-Banna ke pemakaman), Hasan al-Banna juga menjalin hubungan dengan seorang Qibthi lainnya, Makram Abid Pasya.

Kelima, sebagian orang Qibthi ikut memberikan sumbangan kepada jamaah al-Ikhwan al-Muslimun dalam rangka membeli wilayah baru untuk para jamaah di Halabiyah Jadidah (Halabi Baru). Setelah pindah, al-Ikhwan al-Muslimun menerbitkan buku kecil yang mengungkapkan rasa terima kasih atas partisipasi orang-orang Qibthi.

Keenam, Hasan al-Banna mengatakan bahwa sebagian tokoh Qibthi mengajukan diri kepadanya untuk bergabung bersama al-Ikhwan al-Muslimun, karena menurut mereka organisasi ini merupakan "saudara orang-orang Mesir." Salah seorang tokoh Qibthi juga pernah menghadiri seminar yang digelar oleh al-Ikhwan al-Muslimun di Thantha.

Ketujuh, Ahmad Adil Kamal, penulis buku an-Nuqath Fauqa-Huruuf (Titik di atas Huruf) menjelaskan bahwa ketika Hasan al-Banna mencalonkan dirinya dalam pemilihan parlemen di Mesir (1944) dari daerah Ismailiyah, maka yang menjadi wakilnya di kota Thur di tepi Sinai adalah orang Kristen Yunani yang namanya dimesirkan menjadi Ulu Kharisto. Ahmad Adil mengatakan bahwa sikap Hasan al-Banna itu diambil berdasarkan pertimbangan praktis. Ketika Hasan al-Banna berhadapan dengan kekuatan politik kelompok sekular, mereka berusaha menjadikannya terbaratkan (westernized) dan menolak keberadaannya (hlm. 91).

Setelah wafatnya Hasan al-Banna, terjadilah kesenjangan ijtihad di tubuh al-Ikhwan al-Muslimun. Kelompok ini terbagi atas pihak yang pro dan kontra dengan jalan (metode) yang lama. Dua kecenderungan tersebut dapat dicermati pada pemikiran beberapa tokoh al-Ikhwan al-Muslimun yang mewakili dua kecenderungan yang berbeda ini.

Pertama, buku Syekh Muhammad al-Ghazali, At-Ta'ashshub wat-Tasaamuh bainal-Masihiyyah wal-Islam (Fanatisme dan Toleransi di antara Kristen dan Islam)6 dan buku Syekh Yusuf Qardhawi, Ghairul-Muslimiin fil-Mujtama'il-Islaami (Yang Bukan Kaum Muslimin dalam Masyarakat Islam).7 Kedua buku ini merepresentasikan kontinuitas garis pemikiran Hasan al-Banna mengenai kedudukan kaum nonmuslim.

Kedua, pemikiran yang menyimpang dari jalan pertama yang diwakili oleh Sayyid Quthub dengan bukunya Fizdilaal il-Qur'an (Di Bawah Lindungan Al-Qur'an)8 dan Syekh Sa'id Hawwa dengan bukunya Al-Madkhal ila Da'watil-Ikhwan il-Muslimun (Pintu Masuk Dakwah al-Ikhwan al-Muslimun).9

Catatan Kaki
1 Hasan al-Banna, Majmu'atur-Rasaail, (Beirut: Mu'assasatur-Risaalah), hlm. 207.
2 Ibid., hlm. 236
3 Ibid, hlm. 228
4 Hasan al-Banna, Muzakkiraatud-Da'wah wad-Daa'iyah, hlm. 224
5 Dialog-dialog ini dilakukan di antara Hasan al-Banna dengan Muhammad Hamid Abu Naser (pembimbing al-Ikhwan al-Muslimun saat itu), Farid Abdul Khaliq (staf Kantor Pembinaan yang lalu pada periode Hasan al-Banna), dan Shalah Syadi (salah seorang pemimpin al-Ikhwan al-Muslimun pada periode awal).
6 Cetakan Darul Kutub al-Haditsah, Kairo, cetakan ke-3, 1965.
7 Cetakan Maktabah Wahbah, Kairo, cetakan ke-1, 1977
8 Cetakan Darus Syuruq, Beirut, cetakan ke-10, tanpa tahun.
9 Tanpa penerbit. Buku ini diterbitkan dalam rangka memperingati 50 Tahun al-Ikhwan al-Muslimun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar