Jumat, 26 Februari 2016

HARUSKAH ADA PERGANTIAN PEMERINTAHAN

Oleh: Abdurrahman Wahid

DALAM editorialnya 25 Januari 2003, Harian Media Indonesia menyatakan anggapan seharusnya pemerintah tidak perlu diganti. Megawati Soekarnoputri selaku kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan harus dipertahankan terus hingga pemilihan umum yang akan datang. Argumentasi yang dikemukakan untuk mendukung pandangan ini bahwa negara kita telah dua kali mengalami pergantian pimpinan (dalam hal ini presiden) dalam waktu sangat singkat.

Pemimpin negara yang juga adalah pemimpin pemerintahan, kedua fungsi kepemimpinan di atas disatukan dalam istilah pimpinan nasional. Kalau terjadi lagi pergantian pemimpin nasional saat ini, dari tangan Megawati Soekarnoputri, maka berarti negara kita tidak memiliki stabilitas politik yang diperlukan bagi pembangunan bangsa ini untuk selanjutnya. Dengan demikian, menurut editorial tersebut, pergantian pimpinan nasional saat ini justru mengisyaratkan rapuhnya sistem pemerintahan di negeri ini. Mungkinkah pemerintahan dilanjutkan dengan pimpinan yang sangat cepat diganti?

Sepintas lalu, argumentasi di atas memang sangat meyakinkan. Hal itu disebabkan oleh ekuasi (penyamaan) antara stabilitas nasional dan adanya pemerintahan. Persoalannya benarkah anggapan seperti itu? Konsekuensi dari pendapat itu memang benar; wujud adanya pemerintahan disamakan dengan stabilitas politik. Dengan sendirinya, pertanyaan yang objektif justru akan berbunyi, benarkah wujud sebuah pemerintahan identik dengan stabilitas politik? Jika asumsi ini benar maka pendapat yang mengutamakan sangat penting arti pemerintahan dapat segera bekerja. Ada 'fakta' yang sangat menentukan, bahwa hubungan antara eksistensi pemerintah suatu negara dan stabilitas politik, justru menghasilkan 'anak haram' yang membawa kerancuan besar-besaran dalam tata negara yang kita kembangkan.

Dalam kenyataan, wujud pemerintahan tidak berarti negara. Ada kalanya kedua hal itu menyatu dalam eksistensi pemerintahan yang kuat, dan dampaknya stabilitas pun akan terwujud. Jika pemerintahannya lumpuh maka negara akan kehilangan stabilitas dan ini berarti tidak tercapainya stabilitas nasional. Jika kejadiannya seperti sekarang, yaitu adanya pemerintah yang tidak berwibawa hasil dari sebuah pemerintahan yang lemah, dengan sendirinya stabilitas nasional pun akan terganggu. Seperti terlihat dengan adanya gangguan keutuhan teritorial, hasil dari pengakuan internasional atas integrasi wilayah negara kita. Inilah yang diusahakan habis-habisan oleh penulis, dengan perjalanan kelilingnya di sekian banyak negara sewaktu menjadi presiden di negeri ini.

Sebenarnya ukuran utamanya dalam hal ini adalah negara bukan pemerintahan. Kalau ada pergantian pemerintah terus-menerus dalam waktu cepat, tidak berarti negara menjadi lemah dan stabilitas nasional lalu hilang. Hal ini dibuktikan oleh Italia yang sering berganti pemerintah, namun negaranya tetap kuat. Jadi, yang menentukan stabilitas nasional adalah wujud negara bukan wujud pemerintah. Masalahnya, persoalan pemerintah yang kuat dan negara yang kuat merupakan dua hal yang boleh dibilang identik. Dengan demikian, pergantian pemerintah dianggap melemahkan negara, pada gilirannya melemahkan stabilitas naional. Selama kita mengikuti kerancuan berpikir seperti ini, selama itu pula kita akan takut melihat pergantian pemerintahan. Jika kita takut dengan pergantian pemerintah yang dianggap 'terlalu asing' selama itu pula kita disandera oleh fakta, bukannya dirahkan kepada gambaran ideal kita mengenai negara yang kuat dengan stabilitas nasionalnya. Dengan demikian, maka kita pun akan mempertahankan pemerintahan yang lemah.

Sekarang kenyataan ini terjadi di depan mata kita sendiri dan membuat kita menerima saja pemerintahan yang labil yang kita miliki. Dan, ketika stabilitas nasional terganggu oleh 'sistem' yang keliru itu, maka jangan berharap akan ada perbaikan dalam sistem itu, KKN akan dapat dihilangkan, kedaulatan hukum dapat ditegakkan, dan perlakuan yang adil terhadap semua negara dapat diwujudkan di muka undang-undang.

Demikian pula sistem ekonomi yang ada tidak lagi memadai dengan kebutuhan kita, minimal orientasinya harus segera dibenahi. Sejak kemerdekaan, hampir seluruh kebijakan dan tindakan pemerintah di bidang ekonomi terkait hampir seluruhnya dengan kepentingan usaha besar dan raksasa. Kalau perlu, dengan membuka pintu lebar-lebar bagi usaha asing, tanpa pembatasan apa-apa. Dikombinasikan dengan birokrasi yang tidak jujur, keserakahan sebagian pengusaha di masa lampau, serta keengganan kita untuk melakukan pengawasan menyeluruh yang ketat, hasilnya adalah perekonomian yang 'berat ke atas'. Hal ini tampak, antara lain maraknya lapangan-lapangan terbang kita saat ini, yang menandakan kebangkitan ekonomi (economic recovery) hanya mulai terjadi di kalangan atas. Sebaliknya, kebanyakan rakyat di bawah yang merupakan mayoritas bangsa, sangat sulit untuk sekadar mencari makan saja. Jangan diharapkan moto Departemen Kesehatan (Depkes): 'Empat Sehat Lima Sempurna' dapat berjalan di kalangan mayoritas bangsa saat ini, ditambah dengan adanya kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik. Sangat menyedihkan!

Naiknya harga BBM dan tarif dasar listrik membuat jarak antara si kaya dan si miskin menjadi bertambah lebar. Ditambah dengan puluhan juta tenaga kerja yang menganggur dan terkena PHK, jelas bahwa kenaikan harga produk strategis tersebut yang segera diikuti kenaikan harga dan biaya barang-barang lain, mau tidak mau membuat sementara orang yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan negara dan bangsa kita, menjadi ketakutan akan adanya revolusi sosial (konflik horizontal) di negara kita. Jika hal itu terjadi maka hancurlah segala upaya selama ini untuk mendirikan sebuah bangsa dan negara yang bersatu, merdeka dan berdaulat penuh atas dirinya sendiri. Sungguh menyedihkan, hal seperti ini tidak pernah diperhitungkan sebelum diambil keputusan menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik. Belum lagi jika diingat, bahwa ekspor kita menurun tajam, TKI kita banyak yang dikembalikan dan pengawasan ketat oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund - IMF) atas Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang hampir-hampir saja melenyapkan kedaulatan kita sebagai bangsa.

Kalau hal-hal di atas dipikirkan secara mendalam, jelas bahwa mengenai perlunya pergantian pemerintahan harus kita pikirkan secara serius. Pemerintah sebuah bangsa sebesar negeri kita, tidak dapat dijalankan secara asal-asalan saja. Keseriusan menghadapi masalah, konsistensi dalam sikap maupun kemampuan mengendalikan pemerintah justru harus tampak dalam saat-saat ketika kita menghadapi krisis dimensional, seperti sekarang ini. Menjadi pertanyaan, dapatkah pemerintah yang berkuasa saat ini membimbing kita memenuhi dua tugas di bawah ini? Pertama, menyelesaikan krisis multidimensional yang bermuara pada keuntungan semua pihak. Kedua, mampukah pemerintah menghindari kemungkinan timbulnya kembali 'orientasi ke atas' yang membuat kita semakin tergantung kepada kapitalisme internasional. Penulis tidak mementang kapitalisme, melainkan jelas ia harus mengalami modifikasi yang sesuai dengan kebutuhan kita sebagai bangsa.

Hal lain yang bertentangan dengan pendapat jangan ada pergantian pemerintah sekarang, adalah wacana bahwa pemerintahan sekarang telah melanggar UUD 45 (konstitusi). Pertama, ketika Megawati Soekarnoputri mengundang hampir seluruh ketua umum partai politik ke rumahnya di Kebagusan pada minggu keempat Juli 2001, untuk mengadakan Sidang Istimewa MPR guna melengserkan presiden yang sah, tanpa ada kesalahan hukum. Sebuah penyelesaian politis atas sebuah kasus hukum, jelas melanggar konstitusi. Kedua, dengan mengadakan penjualan Indosat kepada pihak asing, yang jelas akan membahayakan keamanan dalam negeri kita sebagai bangsa. Karena dalam satelit yang dimiliki Indosat, terdapat kode-kode intelijen yang tidak boleh diketahui orang lain. Ketiga, kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik, jelas menambah kesengsaraan rakyat. Sudah jelas bahwa konstitusi diciptakan untuk melindungi kepentingan dan kebutuhan rakyat. Sebagai wacana bukankah ini menunjukkan perlunya pergantian pemerintahan dalam kehidupan bangsa kita? Gampang merumuskan, namun sulit melaksanakannya.

Jakarta, 27 Januari 2003
Opini haria Media Indonesia, 30 Januari 2003 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar