Senin, 29 Februari 2016

BENTANGAN-SEABAD BUKU ISLAM DI INDONESIA

Ali Imran
"Sejarah memang selalu ditentukan oleh pemikiran yang paling menonjol dari zamannya," tulis Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam (1991: 186). "Masa pencerahan (Aufklarung) abad kelima belas di Eropa juga ditandai oleh pemikiran yang paling menonjol di kalangan pemikir-pemikirnya, yaitu bagaimana peradaban dapat bertumpu pada pemikiran rasional, meskipun pada waktu itu para petani Eropa masih tetap hidup dalam alam mitos. Begitu pula sejarah seni lukis misalnya, juga selalu ditandai dengan munculnya aliran-aliran baru, meskipun tradisi lama masih tetap diteruskan. Jadi, untuk menandai suatu zaman, kita perlu melihat kecenderungan pemikiran yang paling signifikan yang tampak sebagai gejala terkuat dari zaman yang bersangkutan."
Pandangan Kuntowijoyo akan digunakan sebagai pijakan untuk membentangkan buku-buku Islam, yang terbit di Indonesia, selama 1900-2000. Batasan lain, buku-buku Islam yang dibentangkan, sebagian besar datanya, berasal dari studi literatur. Kemudian, penyusunan dilakukan secara kronologis dengan menampilkan buku-buku Islam yang ditulis oleh para pengarang yang berasal dari Indonesia. Pembabakan tidak secara ketat diterapkan sama untuk setiap masa. Pada tahun-tahun awal, pembabakannya lebih longgar dan panjang, sementara tahun-tahun mendekati 2000 lebih pendek dan padat.

1900-1928. Saat memasuki abad kedua puluh, buku-buku Islam yang terbit masih kental diwarnai oleh "Islam tradisional". Martin Van Bruinessen, dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (1995: 134), secara kasar mengklasifikasikan buku-buku Islam dalam beberapa kategori. Kategori utamanya adalah fiqih (20%), doktrin berupa akidah dan ushuluddin (17%), tata bahasa Arab tradisional (12%), kumpulan hadis (8%), tasawuf dan tarekat (7%), akhlak (6%), kumpulan doa dan wirid (6%), dan kisah para nabi, manaqib, dan sejenisnya (5%). Cara penyajian buku Islam pada awal abad kedua puluh ini kebanyakan menggunakan bahasa lokal (misalnya, bahasa Jawa atau Sunda) dan ditulis dengan huruf Arab (bukan dalam huruf Latin).
Menurut Van Bruinessen, salah seorang pengarang Jawa terkemuka pada akhir abad kesembilan belas adalah Saleh Darat (w. 1903). Dia menulis beberapa kitab syarah atas beberapa karya penting dalam bidang fiqih, akidah, dan tasawuf. Pengarang lain yang terkenal adalah K.H. Mahfuzh dari Termas (w. 1919), yang hidup dan mengajar di Makkah sekitar pergantian abad, yang menulis sangat mendalam mengenai fiqih dan ilmu hadis. Dalam perjalanan selanjutnya, dari kalangan ulama NU lahirlah seorang penulis yang produktif asal Rembang bernama K.H. Bisri Mustofa (1915-1977). Kiai Bisri ini menghasilkan dua puluhan buku termasuk sebuah karya tafsir yang berjumlah tiga jilid.

Penulis produktif lain pada masa ini dikenalkan oleh Ajip Rosidi. Dia adalah K.H. Hasan Mustapa, salah seorang sastrawan besar Sunda yang wafat pada 1930. Dalam Warisan Intelektual Islam Indonesia (1987: 79-102) yang disunting oleh A. Rifa'i Hasan, Ajip Rosidi mengatakan bahwa pengetahuan K.H. Hasan Mustapa tentang agama Islam dikagumi oleh ahli Islam asal Belanda, Prof. Dr. Snouck Hurgronje. Karya-karyanya, selain bercorak sastra atau dalam bahasa Sunda dikenal dengan nama dangding, amat diwarnai Islam karena mengacu ke tradisi puisi tasawuf. "Kalau diperhatikan dengan teliti, maka akan jelas bahwa, kecuali Bale Bandung yang merupakan kumpulan surat-menyurat Haji Hasan Mustapa dengan Kiai Kurdi, umumnya karya-karya Haji Hasan Mustapa berupa uraian tentang agama Islam atau adat kebiasaan orang Sunda," tulis Ajip Rosidi.

Pada masa ini juga mulai lahir buku-buku Islam yang dapat dikatakan sedikit diwarnai oleh "Islam modern". M. Dawam Rahardjo, dalam Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa (1993: 43-65), mengisahkan hal ini secara menarik. Proses terbangunnya "Islam modern" dimulai dengan tebentuknya organisasi pergerakan Boedi Oetomo pada 1908 dan kemudian dilanjutkan dengan pendirian organisasi massa Islam terbesar kedua setelah NU, Muhammadiyah, pada November 1912. Selama rentang waktu 1908-1912, embrio "Islam modern" yang pada saat awal melibatkan tiga isu besar---Islam, nasionalisme, dan sosialisme---diwadahi oleh Sarekat Islam yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto (1882-1934). Tokoh Sarekat Islam awal ini kemudian mengarang buku Islam dan Sosialisme.

1929-1970. Bau "Islam modern" semakin kuat menyengat memasuki masa kemerdekaan. Banyak penulis Islam lahir pada masa ini. Salah seorang yang dapat disebutkan di sini, dan merupakan tokoh kedua Sarekat Islam, adalah K.H. Agus Salim (1884-1954). Menurut M. Dawam Rahardjo (1993: 49), pada pertengahan 1928, K.H. Agus Salim terlibat perdebatan dengan Sukarno, mantan Presiden RI Pertama, mengenai nasionalisme. Dalam perdebatan itu, K.H. Agus Salim mengingatkan bahwa bila jiwa nasionalisme tidak mempunyai dasar-dasar agama, maka ia dapat berkembang menjadi ideologi agresif. Tulisan-tulisannya sendiri kemudian baru dikenal luas pada 1954, yang diterbitkan oleh Penerbit Tintamas, dengan judul Djedjak Langkah Hadji A. Salim: Pilihan Karangan, Utjapan dan Pendapat Beliau dari Dulu sampai Sekarang.

Menurut M. Dawam Rahardjo lebih jauh, pada rentang masa ini, muncul para penulis dari golongan ulama, seperti K.H. Munawar Cholil, Zainal Arifin Abbas, Hasbi Ash-Shiddieqy, Hamka, A. Hassan, Abubakar Aceh, Yusuf Sou'yb, dan Zainal Abidin Ahmad. Sementara itu, yang dapat digolongkan berasal dari intelektual adalah Bachrum Rangkuti, Dr. Prayana Suryadipura, Dr. Ahmad Ramali, Dr. Abu Hanifah, Mohammad Roem, dan Syafruddin Prawiranegara. Dan yang paling menarik adalah para penulis yang berasal dari madrasah dan pesantren, namun kemudian melanjutkan studi ke luar negeri. Dari golongan ini, yang terpenting adalah Mohammad Rasjidi, A. Mukti Ali, dan Harun Nasution.

Pada 1965, H.M. Rasjidi, yang dikenal sebagai guardian Islam, menulis buku Filsafat Agama. Kemudian, selain menulis Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, pada 1970-an, beliau menulis buku dengan judul yang sama persis dengan judul buku karya H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Menurut M. Dawam Rahardjo, ciri pemikiran H.M. Rasjidi ini seperti penyair-besar Chairil Anwar, yaitu mengekspresikan pandangan-pandangannya lewat para pemikir Barat, tetapi dengan tidak lupa membuat catatan-catatan kaki yang sifatnya mengoreksi interpretasi yang dianggapnya keliru.

Di samping H.M. Rasjidi, pada masa ini tampil pula Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981) dan Harun Nasution (1919-1998). Hamka, lewat roman-roman mengesankannya seperti Di Bawah Lindungan Ka`bah (1938) dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939), mampu mengguncang dunia kesusastraan Indonesia. Hamka, pada masa Orde Lama, sempat meringkuk di penjara. Selama di penjara, beliau berhasil menyelesaikan karya monumentalnya, Tafsir Al-Azhar. Sementara itu, Harun Nasution---yang oleh Greg Barton, dalam Gagasan Islam Liberal di Indonesia (1999: 449), dinilai (bersama A. Mukti Ali) "secara teguh mulai mendekati posisi neomodernis"---baru pada 1972 melahirkan karya pertamanya, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan. Setelah itu, baru muncul karya-karyanya yang lain, di antaranya, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974) dan Akal dan Wahyu dalam Islam (1982). Barulah pada 1995 terbit secara lengkap himpunan pemikirannya yang terentang dari 1970 hingga 1994: Islam Rasional.

1971-1995. Menurut Nurcholish Madjid, kesempatan yang lebih luas dan leluasa untuk membangun tradisi intelektual, serta peradaban dan kebudayaan Islam secara keseluruhan, baru diraih umat Islam Indonesia sejak kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini. Pendapat Cak Nur tersebut dilontarkan pada 1998. Jadi, tradisi intelektual umat Islam di Indonesia yang dapat dikatakan menyentuh pelbagai bidang kehidupan, baru mulai dibangun pada 1988. Sebelum 1988, tradisi intelektual tersebut kebanyakan hanya diisi oleh pemikiran-pemikiran yang bercorak fight against dan bersifat parsial.

Dalam rentang masa inilah, memang, buku-buku Islam yang terbit mulai menapaki masa transisi, yaitu dari "hanya melawan" sebuah pemikiran yang berseberangan dengan pemikiran Islam menuju suatu pemikiran yang lebih bersifat "komplementer". Keadaan ini diwakili dengan baik oleh pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid yang mulai digaungkan pada era 1970-an. Pada 1987, tulisan-tulisan Nurcholish Madjid itu dibukukan dengan judul Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan.

Sebelum karya-awal Cak Nur terbit, pada 1981 terbit sebuah buku Islam penting yang unik karena diangkat dari catatan harian. Buku tersebut---yang dikonstruksi menjadi buku setelah penulisnya wafat dan dipengantari A. Mukti Ali---berjudul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Buku ini sempat menyulut kontroversi. Lalu pada 1986, terbit pula satu buku Islam yang memiliki karakter khas, yaitu Islam antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni Bukan Muslim hasil suntingan Mochtar Pabottingi. Dan jauh sebelum karya Cak Nur dan Mochtar Pabottingi terbit, pada 1980 terbit buku berbobot yang diangkat dari disertasi penulisnya, yaitu Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 karya Deliar Noer.

1996-2000. Masa ini merupakan masa penting bagi perkembangan buku Islam di Indonesia. Selain pada masa ini Indonesia mengalami perubahan-perubahan dahsyat, terutama pada 1998-1999 yang di dalamnya terjadi krisis politik dan ekonomi, penerbitan buku ditantang oleh zaman baru yang bernama cyberspace. Buku-buku Islam tidak hanya harus bersaing dengan televisi dan media elektronik lain, tetapi juga dengan perangkat multimedia yang lebih canggih dan memiliki cara-cara penyajian materi yang lebih simpel, fun, dan efektif ketimbang buku.

Namun, dari data kasar yang ada, buku-buku Islam pun tak mau ketinggalan zaman. Pada rentang waktu ini, selain corak buku Islam yang telah dikembangkan sejak 1900 masih terus ada dan diterbitkan, para penulis baru ataupun lama mencoba berinteraksi dengan zaman baru. Alhamdulillah, beberapa buku Islam berbobot masih dapat terbit. Ali Audah, penerus Hamka, menerbitkan kumpulan pemikirannya, Dari Khazanah Dunia Islam (1999).

Salah satu buku yang dapat dikatakan mewakili masa ini adalah karya Alwi Shihab, kini Menteri Luar Negeri RI dalam Kabinet Gus Dur, berjudul Islam Inklusif, yang terbit pada akhir 1997. Inilah buku yang, tampaknya, ingin mengikuti semangat zaman internet: serbatransparan dan serbaglobal. Anak judul buku ini menunjukkan semangat tersebut, yaitu Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama.

Catatan
"Bentangan-Seabad Buku Islam di Indonesia" adalah tulisan asli Hernowo yang pernah dimuat di majalah Panji Masyarakat Edisi Milenium yang terbit pada minggu ketiga Januari 2000, dalam judul "Antara Buya dan Mustapa". Semoga bermanfaat untuk para pengunjung setia rubrik "Plong".

Silahkan di Like dan di share yah... Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar