Berbicara soal agama berarti berbicara soal hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Agama merupakan bagian inheren dalam kehidupan manusia, yang tidak hanya menggerakkan wacana pemikiran dan selalu berada di langit tetapi juga menggerakkan sejarah kemanusiaan di bumi. Jadi, hakikat agama pada umumnya selalu merupakan suatu hakikat yang historis, yang selalu berjuang untuk melakukan perubahan dengan orientasi akhir untuk meninggikan derajat kemanusiaan.
Agama Islam tidak semata-mata sebagai realitas wahyu (normatif), tetapi juga sebagai realitas historis . Terbukti, dalam ilmu Al-Qur’an yang dikenal dengan istilah Asbabun-nuzul yang menceritakan tentang sejarah atau sebab-sebab turunnya sebuah ayat al-Qur’an yang tidak lepas dari keterlibatan manusia. Misalnya saja, sebab turunnya surah Al-Lahab dimana dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa pada suatu ketika Rasulullah saw, naik ke bukit shafa sambil berseru : “Mari berkumpul pada pagi hari ini !”Maka berkumpullah kaum Quraisy. Rasulullah bersabda : “Bagaimana pendapat kalian seandainya aku beri tahu bahwa musuh akan datang besok pagi atau petang, apakah kalian percaya kepadaku?” Kaum Quraisy menjawab:” Pasti kami percaya”. Rasulullah bersabda : Aku peringatkan kepada kalian bahwa siksaan Allah yang dahsyat akan datang”. Berkata Abu Lahab: “Celaka engkau ! apakah hanya untuk ini engkau kumpulkan kami? Maka turunlah ayat ini (Surat Al-Lahab : 1 s/d 5) berkenaan dengan peristiuwa itu yang melukiskan bahwa kecelakaan itu akan terkena kepada orang yang memfitnah dan menghalang-halangi Agama Allah. Inilah salah satu bukti bahwa normatifitas Lahir dari suasana historis tertertu. Artinya, wahyu yang melahirkan aspek-aspek normatif dalam Islam bukan muncul di ruang hampa tetapi di sekelilingnya sudah ada suasana sejarah yang melingkupi. Termasuk dalam mempersepsikan Tuhan.
Umat beragama dalam mempersepsikan Tuhan berbeda-beda, tercermin dalam sejarah teologi Agama-agama dimana kadangkala menimbulkan suatu ketegangan. Rumandi mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan persepsi tentang Tuhan pada umumnya terjadi pada tingkat derivatif. Pada tingkat yang paling dasar pada umumnya disepakati bahwa Tuhan Maha Esa, maha kuasa dan seteruasnya.2 Pertanyaan yang muncul kemudiaan adalah pernakah Tuhan memperkenalkan namanya sehingga Umat beragama dapat mengenalnya dan mengatakan bahwa Tuhan itu Maha Esa? Benarkah istilah yang dilontarkan oleh Erich Fromm bahwa, Tuhan tak bernama?
Erich Fromm sebagai seorang yang tak beragama setelah mengkaji kitab Perjanjian Lama tentang keberadaan satu Tuhan dan ketidakberadaan berhala mengatakan bahwa ternyata Tuhan itu tak bernama, yang digambarkan dalam dialog antara Tuhan dengan Musa. Tuhan memberikan dispensasi untuk beberapa permohonan Musa, yang menyatakan penyembah berhala Ibrani tidak akan mengerti bahasa kebebasan atau ide bahwa Tuhan menyatakan diri-Nya hanya sebagai Tuhan sejarah, tanpa menyebutkan nama,. “Aku adalah Tuhan ayahmu, Tuhan Ibrahim, Tuhan Isa, dan Tuhan Yakub” (Ex. 3:6). Tetapi Musa berpendapat bahwa kaum Ibrani tidak akan mempercayainya karena salah satu ciri utama berhala yang mereka anggap sebagai Tuhan adalah ia mempunyai nama, segala sesuatu harus bernama karena berada dalam waktu dan ruang. Tuhan mengenali ini dan akhirnya memberikan kelonggaran untuk pemahaman bangsa Ibrani. Dia memberikan nama pada diri-Nya dan berkata pada Musa “Aku adalah Aku”. Katakan hal ini pada orang Ibrani, Aku telah mengutusku padamu (Ex.3:14).3
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah maksud Tuhan bertitah seperti itu ? Wallahu a’lam bissawab. Mengapa seorang Erich Fromm yang Nyata-nyata tidak beragama berani mengeluarkan diktum bahwa “Tuhan tak bernama” ? Mampukah Fikiran dan bahasanya yang sangat terbatas menjangkau fikiran dan bahasa Tuhan? Belum tentu ke-Akuan yang Tuhan maksud sama dengan ke-Akuan yang Erich From maksudkan sebagai nama aneh. Ataukah, jangan-jangan diktum ini hanya digunakan untuk menjustifikasi ketidak beragamaannya. Dimana agama dipandang hanya sebagai candu masyarakat dan menjadi penghambat yang melahirkan keengganan untuk memeluk suatu agama/kepercayaan, karena di dalam agama, Tuhanlah yang merupakan ide sentral yang setiap hari di sembah dan dibela habis-habisan. Sedangkan manusia harus tunduk dan ditundukkan di hadapan Tuhan.
Menurut hemat saya untuk memahami Tuhan, selain dengan hati, kata dan konsep tidak dapat diabaikan, oleh karena kata dan konsep merupakan sarana akal satu-satunya, maka setiap langkah sadar menuju Tuhan haruslah dilakukan dengan bantuannya. Walaupun konsep-konsep tidak akan pernah dapat membawa pikiran sampai ke tujuannya namun ia akan dapat mewujudkan arah yang tepat.
Untuk merumuskan pikiran kita pada fokus pembicaraan ini, kita dapat mulai dengan langkah sederhana dengan sebuah nama. Nama merupakan simbol yang menentukan identitas kedirian. Nur Cholis Madjid mengatakan bahwa kebahagiaan tertinggi selalu bersifat rohani. Karena itu pada dasarnya tidak bisa diterangkan. Dan karena tidak bisa diterangkan, keterangan-keterangan melalui simbolisasi. Dan kebetulan manusia satu-satunya makhluk yang menciptakan simbol. Mengapa ada dorongan kesitu, karena manusia satu-satunya makhluk yang menghadapi makna hidup. Dan karena makna hidup itu sedemikian halusnya maka memerlukan simbolisasi.4
Simbol (‘nama’) yang digunakan umat Islam dalam menyebut kenyataan tertinggi yang menentukan makna hidupnya adalah Allah. Kata ini terbentuk dengan menggabungkan kata petunjuk al dengan kata Illah (Tuhan) artinya “Yang bersifat Esa”. Sifat utama yang dikaitkan dengan nama ini adalah Esa artinya Tuhan yang Satu dan pasti Satu bukan sesuatu Tuhan karena hanya ada satu Tuhan. Tuhan yang Esa. Demikianlah pandangan saya tentang Tuhan. Namun bahkan kata-kata inipun tidak dapat dianggap telah menjelaskan Tuhan secara harfiah, karena makna yang dikandungnya jika dipakai untuk kita (manusia) berbeda sama sekali dengan makna yang timbul bila diterapkan kepada Tuhan. Kata sama sekali tidak memahami bagaimana Tuhan yang murni itu, yang tak berhingga, dan mencakup segala-galanya. Seperti yang pernah dikatakan oleh Spinoza, Hakekat Tuhan yang disamakan dengan kata-kata kita adalah sama seperti menyamakan “bintang-anjing” (dog star) dengan anjing.
Jika ummat Islam menyebut nama Allah, bukanlah suatu perbuatan syirik lewat sosok suara yaitu nama, seperti yang diungkapkan oleh Erich Fromm, karena Allah sendirilah yang meneriakkan diri-Nya di hampir setiap halaman Al-Qur’an : “Tuhanmu adalah Allah Tuhan (Esa), Tiada Tuhan selain Allah, Tiada Illah selain Aku, yang hidup, yang abadi (ii : 158,255). Bahkan di dalam Al-Qur’an termaktub 99 Asmaul Husna (nama-nama Allah). Nama yang sekaligus merupakan sifat-sifat Allah dan berlaku hanya untuk Allah. Manusia, dilarang menggunakan nama Allah, untuk dirinya. Misalnya, Manusia tidak boleh bernama Ar-Rahman tetapi Abdul Rahman yang artinya Abdi Tuhan yang maha Pengasih, dan kata Rahman ini hanya berlaku bagi Tuhan karena hanya Dialah yang maha Pengasih.
Agama Tuhan tak bernama dalam masyarakat post teologi akan tersingkirkan jika mengacu pada pendapat Rumandi bahwa masyarakat Post-Teologi yaitu sebuah masyarakat yang tidak lagi menjadikan teologi sebagai “pembatas” antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Singkatnya masyarakat Post-Teologi berarti masyarakat yang sudah mampu melampaui simbol-simbol Theologi (beyod Theologi).5 Mengapa saya katakan demikian, karena pemikiran teologi Agama Tuhan tak Bernama selalu bersifat teo-sentris, dimana Tuhan menjadi pusat segala kekuatan dan kekuasaan sedangkan manusia harus tunduk dan ditundukkan di hadapan Tuhan bahkan namapun tidak boleh disandarkan pada Tuhan, karena merupakan salahsatu wujud pembangkangan terhadap ke-Esaan Tuhan (Musyrik). Tuhan merupakan ide sentral yang setiap hari disembah dibela habis-habisan, bahkan kalau perlu mengorbankan nyawa sekalipun itu adalah saudaranya sendiri.
Pahaman seperti ini menganggap bahwa teologi tidak ada kaitannya dengan realitas sosial. Keduanya adalah merupakan sesuatu yang terpisah sama sekali. Teologi adalah ke-Tuhanan sedangkan realitas sosial adalah wilayah kemanusiaan.
Menyadari hal ini, beberapa pemikir Islam seperti Farid Essack, seorang aktivis dan pemikir asal Afrika selatan secara serius mengkaji dimensi-dimensi
pembebasan dalam Al-Qur’an “Liberasion and Pluralism”(Oxoford : oneworrld Oxoford, 1997). Melalui karya tersebut Farid Essack ingin menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an adalah ajaran yang membebaskan. Namun ajaran tersebut justru dipahami secara sebaliknya oleh sebagian umat Islam terutama yang mengakui Tuhannya sebagai Tuhan tak bernama dimana dalam memahami Firman Tuhan hanya pada tataran tekstualnya saja, sehingga berdalih meninggikan derajat Tuhan boleh melakukan penindasan.
Karena itu tidak heran kalau mereka menjadikan teologi sebagai alat untuk melakukan “pembelaan” kepada Tuhan, meskipun Tuhan sebenarnya tidak butuh pembelaan manusia (kata Gusdur). Tuhan dibela atau tidak dibela oleh manusia dia tetap zat yang Maha Tinggi.
Visi pemahaman teologi demikian tentu saja meniscayakan adanya proses “pencairan” atas pengkotakan teologi yang diukir oleh sejarah. Maka menarik untuk mengadakan reliberasi atau revitalisasi pemaknaan teologi dan pada saat yang sama tetap melestarikan dinamika intelektualnya.
Untuk tetap Eksisnya agama Tuhan tak bernama, maka menarik untuk mengajukan model pembacaan (andaian) Rumandi tentang masyarakat post-teologi yaitu Pertama, teologi harus diletakkan dalam wilayah sekuler , atau dengan bahasa yang agak “vulgar” bisa di sebut “sekularisasi teologi” yaitu upaya menjadikan teologi untuk lebih dekat dengan permasalahan bumi, bawah, manusia, rakyat dan seterusnya.
Kedua, masyarakat post teologi juga menjauhkan dari klaim-klaim mematikan seperti “Islam” dan “kafir”, “beriman” dan “tidak beriman”, “surga dan neraka” dan seterusnya. Dengan demikian meskipun kita meyakini kebenaran doktrin teologi tertentu, namun hal itu tidak menjadi penghalang untuk membenarkan teologi orang lain. Bahkan jika pengkotakan teologi benar-benar “mencair”, maka orang tidak lagi bisa diidentifikasi atas dasar keyakinan teologinya. Seseorang tidak bisa lagi mendefenisikan dirinya sebagai penganut-penganut teologi tertentu, sehingga seseorang bisa saja pada saat tertentu menjadi Syi’ah, pada saat yang lain menjadi Sunni; pada suatu saat menjadi Asy’ariyah dan pada saat yang lain menjadi Mu’tazilah; pada saat tertentu mengikuti Qadariyah dan pada saat yang lain mengikuti Jabariah dan seterusnya. Gejala demikian sebenarnya, secara tidak disadari, sudah terjadi dalam kehidupan sehari-hari meskipun kalau ditunjukkan, banyak orang yang menolaknya.
Ketiga, merekonstruksi pemahaman teologi. Proses rekonstruksi teologi tersebut meniscayakan adanya keterbukaan sikap untuk menerima perubahan-perubahan pemikiran atas apa yang selama ini diyakini sebagai satu-satunya kebenaran.6
Dengan tiga kerangka landasan tersebut, maka menurut Rumandi sesuatu yang sangat mendesak dilakukan adalah merubah paradigma teologi. Perubahan paradigma ini menyangkut beberapa hal. Pertama, merubah paradigma teologi dari teosentris (Tuhan pusat segala sesuatu) menjadi lebih antroposentris (manusia pusat segala sesuatu). Jika paradigma pertama melihat urusan dunia sebagai urusan Tuhan, maka paradigma kedua melihat urusan dunia sebagai urusan manusia. Dengan kata lain “memanusiakan teologi” dan menteologikan manusia”. “Memanusiakan teologi” berarti menjadikan teologi mempunyai visi kemanusiaan; dan “menteologikan manusia” berarti menjadikan manusia sebagai basis pemahaman teologis. Kedua, merubah cara pandang terhadap dunia. Jika teologi konvensional melihat kenyataan dunia sebagai sesuatu yang menyatu dengan Tuhan sehingga selalu didekati dengan perspektif ke-Tuhan-an menjadi teologi yang melihat dunia sebagai sesuatu yang terpisah dengan Tuhan. Oleh karena itu dunia dipandang sebagai perspektif dunia, sehingga dunia tidak selalu didekati dengan perspektif Ilahi, meskipun yang bersifat Ilahi tidak dapat ditolak sama sekali.
Ketiga, merubah cara pandang terhadap alam dari sebagai “tanda” kehadiran Tuhan menjadi sebagai sarana atau instrumen untuk menyembah Ilahi. Keempat, menggeser cara pandang teologi yang menjadi individu sebagai fokus dan titik tolak dalam memandang kenyataan hidup menjadi lebih melihat komunitas sebagai pusat orientasi, fokus dan titik tolak dalam memandang kenyataan hidup. Konsekuensi dari hal ini, konsep kesalihan dengan sendirinya menjadi berubah, dari kesalihan ritual-individual, menjadi kesalihan sosial.7 Wallahu a’lam bissawab.
Sumber :
1 Cholid Uman, Asbabun Nuzul (Bandung; Citra Umbara, 1995) Cet. I
2 Rumandi, Masyarakat Post-Teologi, (Jakarta Timur; Mustika bahmid, 2002), Cet.I
3 Erich Fromm, Manusia Menjadi Tuhan, (Yokyakarta ; Jalasutra, 2003) Cet. II
4 Nurcholish Madjid, Manusia Memerlukan Simbol, dlm Falsafah, Mjlh Mingguan PANJIMAS, 13 – 25 Desember 2002, No.06/I
Silahkan di share dan jangan lupa likenya yah... heheh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar