Selasa, 01 Maret 2016

PANDANGAN TERHADAP ILMU TASAWUF

Muhammad sawDalam sebuah hadits, Rasulullah  s.a.w.  disebutkan  sebagai bersabda  bahwa  masa  kenabian  (nubuwwah)  dan rahmat akan disusul oleh masa kekhalifahan kenabian (Khilafat  nubuwwah) dan  rahmat,  sesudah  itu  masa kerajaan (mulk) dan rahmat, kemudian masa kerajaan (saja).1  Ibn  Taymiyyah  menjelaskan bahwa masa "kenabian dan rahmat" itu ialah, tentu saja, masa Nabi sendiri.  Sedangkan  masa  "kekhalifahan  kenabian  dan rahmat"  berlangsung  selama  tiga puluh tahun sesudah wafat Nabi s.a.w., yaitu sejak permulaan  kekhalifahan  Abu  Bakr, disusul  Umar  ibn  al-Khathtab, kemudian Utsman ibn 'Affan, dan  akhirnya  'Ali  ibn  Abi  Thalib.  Mereka  adalah  para pengganti  (khalifah)  Nabi  yang kelak dikenal sebagai para khalifah   yang   berpetunjuk   (al-khulafa    al-rasyidun). Sedangkan  masa  para  khalifah  yang  empat itu adalah masa "kerajaan dan rahmat."

Dari masa "kerajaan dan rahmat" itu, menurut Ibn  Taymiyyah, yang  terbaik  ialah masa "Raja" Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus. Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa di antara raja-raja tidak  ada  yang  menjalankan  kekuasaan  sebaik  Mu'awiyah. Dialah sebaik-baik raja Islam, dan  tindakannya  lebih  baik daripada tindakan para raja mana pun sesudahnya.2

Pandangan  Ibn Taymiyyah itu khas paham Sunni, terutama dari kalangan mazhab Hanbali. Malah, sesungguhnya, apa  pun  yang terjadi  pada  Mu'awiyah akan dianggap Ibn Taymiyyah sebagai tidak bisa dipersalahkan  begitu  saja,  karena  dia  adalah seorang  Sahabat  Nabi.  Lebih  jauh,  Ibn  Taymiyyah  masih mempunyai alasan untuk memuji anak Mu'awiyah,  yaitu  "Raja" Yazid   (yang  oleh  kaum  Syi'ah  dituding  sebagai  paling bertanggungjawab  atas   pembunuhan   amat   keji   terhadap al-Husayn,  cucunda Nabi), karena, kata Ibn Taymiyyah, Yazid adalah komandan tentara Islam  yang  pertama  memerangi  dan mencoba  merebut  Konstantinopel,  sementara  sebuah  hadits menyebutkan  adanya  sabda  Nabi:  "Tentara   pertama   yang menyerbu  Konstantinopel  diampuni  (oleh  Allah akan segala dosanya)."3

Tetapi pandangan Ibn Taymiyyah itu berbeda dengan  yang  ada pada banyak kelompok Islam yang lain, termasuk dari kalangan kaum Sunni sendiri. Mereka ini berpendapat  bahwa  Mu'awiyah tanpa  mengabaikan jasa-jasa yang telah diperbuatnya- adalah orang  yang   pertama   bertanggung-jawab   merubah   sistem kekhalifahan  yang  terbuka (pengangkatan pemimpin tertinggi Islam me]alui pemilihan) menjadi  sistem  kekhalifahan  yang tertutup  (pengangkatan  pemimpin  melalui  penunjukan  atau wasiat berdasarkan pertalian darah). Ini memang bisa disebut sistem  kerajaan  seperti  dimaksudkan  dalam hadits, tetapi Mu'awiyah dan para penggantinya, begitu pula  para  penguasa 'Abbasiyah,  menyebut  diri  mereka  masing-masing  Khalifah (dari Nabi), bukan raja. Namun tetap ada suatu  sistem  yang adil  telah  diganti  dengan  sistem  yang kurang adil, jika bukannya yang zalim.

Segi keadilan sistem kekhalifahan yang pertama  tidak  hanya ada dalam mekanisme penggantiannya melalui pemilihan, tetapi lebih-lebih lagi mereka itu dalam menjalankan kekuasaan  dan pemerintahan.  Penyebutan  para  pengganti Nabi yang pertama itu  sebagai  "berpetunjuk"  (al-rasyidun)  adalah  terutama berkenaan dengan kualitas pemerintahan mereka itu.4

Dalam  pandangan  banyak  orang  Muslim,  pemerintahan  masa kekhalifahan yang pertama adalah suatu bentuk kesalehan  dan rasa  keagamaan  yang mendalam, sedangkan para penguasa Bani Umayyah hanya tertarik kepada kekuasaan  itu  sendiri  saja. Kalaupun  tidak begitu tepat untuk masa Mu'awiyah (dan 'Umar ibn 'Abd al'Aziz) -sebagaimana argumen untuk  Mu'awiyah  itu telah  dikutip  dari  Ibn Taymiyyah di atas-penilaian serupa itu jelas dianggap  berlaku  untuk  keseluruhan  rezim  Bani Umayyah,  khususnya  sejak  kekuasaan  Marwan  ibn  al-Hakam (60-62 H/644-655 M).  Apalagi  Marwan  ini  pernah  menjabat sebagai  pembantu  utama  Khalifah  Utsman ibn 'Affan (22-35 H/644-656 M),  dan  diduga  keras  berada  dibalik  beberapa kebijakan 'Utsman yang mengundang fitnah besar dalam sejarah Islam  itu.  Karenanya,  sejak  saat  itu   tumbuh   oposisi keagamaan  kepada  rezim  Damaskus,  tidak  saja  oleh musuh tradisional kaum Umayyah yang terdiri dari  golongan  Syi'ah dan  Khawarij,  tetapi  juga oleh golongan Sunnah, yang kaum Umayyah ikut mendukung dan melindungi pertumbuhan awalnya.

Wujud oposisi keagamaan terhadap rezim Bani Umayyah itu yang paling terkenal ialah yang dilakukan oleh seorang tokoh yang amat saleh, yaitu Hasan dari Basrah (Hasan al-Bashri,  wafat 728   M).  Pada  masa  kekuasaan  Abd  al-Malik  ibn  Marwan (memerintah 685-705 M), Hasan pernah  menulis  surat  kepada Khalifah,   menuntut  agar  rakyat  diberi  kebebasan  untuk melakukan apa  yang  mereka  anggap  baik,  sehingga  dengan begitu  ada  tempat  bagi tanggung-jawab moral. Suratnya itu bernada  menggugat  praktek-praktek  zalim  penguasa  Umawi. Namun  Hasan  dibiarkan  bebas  oleh  pemerintah, disebabkan wibawa kepribadiannya yang saleh dan pengaruhnya  yang  amat besar kepada masyarakat luas.

(Letak dan Peran Mistisisme dalam Penghayatan Keagamaan Islam) oleh Dr. Nurcholish Madjid
Semoga Artikelnya Bermanfaat 

Jangan Lupa Like dan Share yahh.. Terima Kasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar