Jumat, 04 Maret 2016

KETIKA ISLAM BERKUASA

ISLAM
Di saat kekuasaan Soeharto tumbang, sebagian kita teringat kembali pada peristiwa kejatuhan rezim-rezim diktator sebelumnya. Terbayanglah bagaimana Ferdinand Marcos yang sangat berkuasa di Filipina dijatuhkan oleh kekuatan yang sulit diperhitungkan, yaitu Cory Aquino, seorang wanita, ibu rumah tangga biasa.

Kita juga diingatkan pada peristiwa jatuhnya Nicolae Ceausescu yang tumbang oleh rakyatnya sendiri secara mengenaskan. Demikian juga dengan jatuhnya Syah Reza Pahlevi. Semua diktator yang disebutkan di atas jatuh oleh kekuatan yang kurang diperhitungkan. Sama halnya dengan Soeharto.

Maka kita jadi tersambung dengan pernyataan sosiolog Muslim yang amat terkenal, Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah-nya. Ia menulis bahwa rezim, dinasti atau kekuasaan itu ibarat umur manusia. Ia lahir, dewasa, kemudian mati.
Bermacam-macam cara untuk berkuasa. Ada yang menggunakan cara kekerasan, baik melalui kudeta maupun revolusi sosial. Ada pula yang menggunakan cara-cara licik, yaitu dengan membonceng kekuatan atau kekuasaan orang lain. Secara riil mereka tidak memiliki apa-apa, tapi melalui berbagai rekayasa, kekuasaan itu akhirnya berada di tangannya.

Di samping ada beberapa usaha yang keras untuk mendapatkan kekuasaan melalui cara-cara yan tidak halal, ada pula orang yang mendapatkan kekuasaan karena kualitas dan kapabilitasnya. Ia tidak mencari-cari, apalagi memperebutkannya. Bahkan kekuasaan itu tidak pernah diinginkannya. Hanya karena amanat saja ia mau dan bersedia menerima kekuasaan itu.

Dalam sejarah, banyak kita dapati penguasa yang bertype seperti ini. Para nabi tidak pernah berambisi menempati posisi puncak dalam kepemimpinan ummatnya. Akan tetapi mereka diberi amanah oleh Allah sebagai Rasul dan pemimpin ummat, maka merekapun tak sanggup untuk menolaknya. Mereka terima kepemimpinan itu dengan sungguh-sungguh walaupun ummatnya sendiri banyak yang belum bisa menerima. Penolakan ummatnya atas kepemimpinan para nabi dan rasul ini bukan karena pribadi-pribadi mereka, tapi karena lebih banyak faktor ajaran yang dibawanya.

Selain nabi dan rasul, terdapat pula orang-orang shalih yang berkuasa. Mereka sama sekali tidak berambisi untuk menduduki kursi kepemimpinan, tapi tuntutan situasi dan kondisilah yang mengantarkan mereka menerima kedudukan itu. Khulafa'ur-Rasyidin adalah orang-orang shaleh yang menempati posisi ini. Jika ada kesan rivalitas kekuasaan di antara mereka sepeninggal Nabi, sesungguhnya itu hanya kesan belaka. Paling tidak hanya sebatas tanggung jawab semata.
Yang menarik dalam kaitan ni adalah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Meskipun ia bukan Khulafaur-Rasyidin, tapi para ahli sejarah menempatkannya sejajar dengan mereka. Kepemimpinannya yang singkat ternyata telah mengantarkan rakyatnya hidup lebih sejahtera.

Umar bin Abdul Aziz berkuasa setelah pamannya, Sulaiman meninggal dunia. Kedudukannya sebagai kepala negara memang didapatkan melalui garis keturunan atau warisan, tapi ia telah berhasil mendapatkan legitimasi dari rakyatnya. Sebelum ia terima kedudukan itu, ia kembalikan kekuasaan kepada pemiliknya, yaitu ummat atau masyarakatnya. Ia tidak mau menjadi pemimpin hanya karena faktor keturunan. Karena keshalehannya, juga kepiawaiannya dalam mengendalikan berbagai urusan, maka ia dipercayai rakyatnya untuk memimpin.

Tidak seperti raja-raja atau para penguasa sebelum dan sesudahnya, ia mengendalikan negara dengan semangat kesederhanaan. Ia tinggalkan semua yang berbau glamour. Ia memilih tetap hidup sederhana. Ketika para tukang kuda kerajaan membawa kuda-kuda pilihan untuknya sebagai kendaraan kerajaan, ia justru memerintahkan kepada mereka untuk melelangnya kepada masyarakat umum. Hasil lelang itu kemudian diserahkan kepada baitul maal.

Tidak hanya itu, istrinya yang mendapatkan harta warisan dan berbagai pemberian dari keluarga kerajaan diperintahkan pula untuk menyerahkannya kepada baitul maal. Demikian pula kaum kerabatnya, dirayunya agar bersedia melakukan hal yang sama. Dari hasil lelang dan pengembalian harta kepada baitul maal ini, maka terkumpullah dana yang tidak sedikit. Dana itu yang kemudian dipakai untuk modal menyejahterahkan masyarakat yang kurang mampu.

Langkahnya yang sangat reformatif tentu mengundang simpati dan dukungan masyarakat luas. Meskipun sebagian elite penguasa ada yang kurang puas dengan berbagai kebijakannya, tapi negara dalam keadaan aman, damai dan sejahtera. Tidak ada yang berani mengganggu, sebab mereka akan berhadapan langsung dengan kekuatan rakyatnya sendiri.

Karena ia berhasil mengangkat orang-orang yang shaleh, jujur dan cakap, serta efisien dalam kabinetnya, maka berbagai prasangka kelompok dapat diatasinya. Ia adalah bapak bagi rakyatnya, tapi tetap bisa bersikap tegas dan keras kepada siapa saja yang melanggar hukum. Rasa keadilannya yang tinggi membuatnya tidak segan-segan menghukum, bahkan memenjarakan kerabat dekatnya, seperti Yazid bin Muhallab dengan tuduhan penggelapan.

Bila ada penguasa muslim bersikap dan berwatak seperti ini, maka kepemimpinannya pasti akan abadi. Sejarah akan mencatatnya dengan tinta emas, dan generasi di belakangnya pasti akan selalu mengenang. Tidak sekadar menjadi pelajaran, tapi sekaligus teladan.

Akankah kepemimpnan sekarang ini berwatak sederhana, jujur, ikhlash, cakap dan efisien sebagaimana yang melekat pada diri Umar bin Abdul Aziz? Jarum sejarah masih berputar, waktu juga yang akan membuktikan. Kini saatnya kita tunggu sambil kita doakan, semoga Allah memberi kekuatan iman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar