Selasa, 01 Maret 2016

MASALAH KEABSAHAN TASAWUF




AlamMembicarakan    keabsahan   Tasawuf   dapat   mengisyaratkan pengambilan sikap penghakiman  (judgment)  dengan  implikasi yang  serius,  karena  menyangkut masalah sampai dimana kita bisa dan berhak  menilai  pengalaman  keruhanian  seseorang. Telah  disinggung  bahwa  mistisisme atau pengalaman mistis, tidak terkecuali yang ada pada kaum  Sufi,  selalu  mengarah kedalam, dan dengan sendirinya bersifat pribadi. Oleh karena itu pengalaman mistis hampir mustahil dikomunikasikan kepada orang lain, dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadi si empunya sendiri. Oleh karena itu  sering  terjadi  adanya tingkah  laku eksentrik dan "di luar garis," dan orang lain, lebih-lebih sesama Sufi sendiri, akan  memandangnya,  dengan penuh  pengertian,  jika  tidak  malah  kekaguman.  Berbagai cerita tentang "wali" yang berkelakuan aneh, seperti  banyak terdapat   di  berbagai  negeri  dan  daerah  Islam,  adalah kelanjutan dari persepsi mistis ini. Karena itu, bagi  mereka  yang  lebih  melihat  diri  mereka sebagai  pemegang ajaran standar akan cepat mengutuk tingkah laku aneh itu sebagai  tidak  lebih  daripada  keeksentrikan yang  absurd  tanpa  makna,  jika  bukannya kesintingan atau bahkan tarikan syetan yang sesat.

Kesesatan yang paling gawat, di mata ahl al-dhawahir,  ialah yang  ada  dalam  kawasan  teori  dan  pandangan dasar, yang mengarah  kepada  paham  "kesatuan   eksistensial"   (wahdat al-wujud).  Selain  berbagai  tokoh yang sudah dikenal umum, seperti  al-Hallaj  dan  Syekh  Siti  Jenar,  penganut   dan pengembang pandangan itu yang paling kaya namun "liar" ialah Ibn 'Arabi. Dalam  bukunya,  Fushush  al-Hikam,  Ibn  'Arabi berdendang  dalam sebuah syair yang bernada "gurauan" dengan Tuhan:

   Maka Ia (Tuhan)-pun memujiku, dan aku memuji-Nya,
     dan Ia menyembahku, dan aku pun menyembah-Nya.
   Dalam keadaan lahir aku menyetujui-Nya dan
     dalam keadaan hakiki aku menentang-Nya.
   Maka Ia pun mengenaliku namun aku tak mengenali-Nya
     lalu aku pun mengenali-Nya, maka aku pun menyaksikan-Nya
   Maka mana mungkin Ia tiada perlu,
     padahal aku menolong-Nya dan membahagiakan-Nya?
   Untuk inilah Kebenaran mewujudkan aku,
     sebab aku mengisi ilmu-Nya dan mewujudkan-Nya
   Begitulah, sabda telah datang kepada kita,
     dan telah dinyatakan dalam diriku segala maksudnya.

Ibn Arabi memang mengaku sebagai "kutub  para  wali"  (quthb al-awliya), bahkan pemungkasnya. Ia dituding oleh para ulama Syari'ah   sebagai   yang   paling   bertanggungjawab   atas penyelewengan-penyelewengan   dalam  Islam,  khususnya  yang terjadi di kalangan kaum Sufi. Namun bagi  para  pengikutnya dia adalah al-syaikh al-akbar (guru yang agung).
Kesulitan  memahami  literatur kesufian, seperti karya-karya Ibn Arabi ialah bahwa pengungkapan ide dan ajaran didalamnya sering   menggunakan  kata  kiasan  (matsal)  dan  pelambang (ramz). Karena itu ungkapan-ungkapan yang ada harus dipahami dalam  kerangka  interpretasi  metaforis  atau tafsir batini (ta'wil). Dan adalah ta'wil itu memang yang  menjadi  metode pokok  mereka dalam memahami teks-teks suci, baik Kitab Suci maupun Hadits Nabi.

Maka  meskipun  mereka  menggunakan  metode  ta'wil   mereka sebenarnya  tetap  berpegang  kepada sumber-sumber suci itu. Hanya saja,  sejalan  dengan  metode  mereka,  mereka  tidak memahami    sumber-sumber   itu   menurut   bunyi   lahiriah tekstualnya. Inilah pangkal kontroversi mereka  dengan  kaum Syari'ah.  Maka  tidak  jarang kaum Syari'ah mengutuk mereka sebagai sesat, seperti yang  dilakukan  oleh  Ibn  Taymiyyah terhadap Ibn Arabi.

Tapi,  dalam  semangat  empatik,  mungkin  justru pengalaman mistis kaum Sufi harus dipandang sebagai  bentuk  pengalaman keagamaan  yang sejati. Seperti pengalaman Nabi dalam Mi'raj yang  tak   terlukiskan,   sehingga   karenanya   juga   tak terkomunikasikan,    pengalaman   mistis   kaum   Sufi   pun sesungguhnya  berada   di   luar   kemampuan   rasio   untuk menggambarkannya.  Kaum  Sufi  gemar  mengatakan bahwa untuk bisa mengetahui apa hakikat pengalaman itu, seseorang  hanya harus  mengalaminya sendiri. Mereka mempunyai perbendaharaan yang kaya untuk melukiskan kenyataan  itu.  Misalnya,  tidak mungkinlah  menjelaskan  rasa manisnya madu jika orang tidak pernah mencicipinya sendiri.

Pengalaman mistis tertinggi  menghasilkan  situasi  kejiwaan yang   disebut  ekstase.  Dalam  perbendaharaan  kaum  Sufi, ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh  minuman  kebenaran.  Kebenaran  (al-haqq)  digambarkan sebagai minuman keras atau  khamar.  Bahkan  untuk  sebagian mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan "dlamir al-sya'n," yaitu kata-kata "an"  yang berarti  "bahwa"  dalam kalimat syahadat pertama, Asyhadu an la ilaha illa Llah" (Aku  bersaksi  bahwa  tidak  ada  Tuhan selain   Allah).  Pelukisan  ini  untuk  menunjukkan  betapa intensenya mereka menghayati Tauhid, sehingga  mereka  tidak menyadari apa pun yang lain selain Dia Yang Maha Ada.

Karena  itu,  suatu  pengalaman  mistis  mungkin  akan hanya sekali terjadi dalam hidup  seorang,  tanpa  bisa  diulangi. Inilah diumpamakan dengan turunnya "malam kepastian" (laylat al-qadar), yang dalam  al-Qur'an  disebutkan  sebagai  lebih baik dari seribu bulan. Artinya, seorang yang mengalami satu momen menentukan itu, ia akan terpengaruh  oleh  pesan  yang dibawa  seumur  hidupnya,  yaitu  sekitar  seribu bulan atau delapan puluh tahun. Karena itu  meskipun  suatu  pengalaman mistis   sebagai   suatu   kejadian  hanya  bersifat  sesaat (transitory),  namun  relevansinya  bagi  pembentukan   budi pekerti  akan bersifat abadi. Sebab dalam pengamalan intense sesaat itu orang berhasil  menangkap  suatu  kebenaran  yang utuh.   Kesadaran  akan  kebenaran  yang  utuh  itulah  yang menimbulkan rasa bahagia dan tenteram yang  mendalam,  suatu euphoria  yang tak terlukiskan. Dan itulah kemabukan mistis. Kemudian, suatu hal yang amat penting ialah  bahwa  euphoria itu  sekaligus  disertai dengan kesadaran akan posisi, arti, dan peran diri sendiri yang proporsional, yaitu "tahu  diri" (ma'rifat  al-nafs)15  yang  tidak  lebih  daripada  seorang makhluk yang harus tunduk-patuh  dan  pasrah  bulat  (islam) kepada  Sang  Maha  Pencipta (al-Khaliq). Maka seorang Sufi, karena kepuasannya akan pengetahuan tentang Kebenaran, tidak banyak menuntut dalam hidup ini. Ia puas (qana'ah) dan lepas dari harapan kepada sesama  makhluk.  Ia  bebas,  karena  ia merasa  perlu (faqir) hanya kepada Allah yang dapat ia temui di mana  saja  melalui  ibadat  dan  dzikir.  Ia  menghayati kehadiran   Tuhan  dalam  hidupnya  melalui  apresiasi  akan nama-nama  (kualitas-kualitas)  Tuhan  yang  indah  (al-asma al-husna),  dan  dengan  apresiasi itu ia menemukan keutuhan dan keseimbangan dirinya.

Hidup  penuh  sikap  pasrah  itu  memang  bisa   mengesankan kepasifan   dan   eskapisme.  Tapi  sebagai  dorongan  hidup bermoral, pengalaman mistis kaum Sufi  sebetulnya  merupakan suatu kedahsyatan. Karena itulah ajaran Tasawuf juga disebut sebagai  ajaran  akhlak.  Dan  akhlak  yang  hendak   mereka wujudkan  ialah yang merupakan "tiruan" akhlak Tuhan, sesuai dengan sabda Nabi yang mereka  pegang  teguh,  "Berakhlaqlah kamu semua dengan akhlaq Allah."

(Letak dan Peran Mistisisme dalam
Penghayatan Keagamaan Islam)
oleh Dr. Nurcholish Madjid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar