Kamis, 03 Maret 2016
MALAM PENENTUAN LAILATUL QADAR
Sungguh, telah Kami turunkan (wahyu) ini pada malam yang Agung. Dan apa yang akan menjelaskan kepadamu apa Malam yang Agung itu? Malam yang Agung lebih baik dari seribu bulan. Ketika itu para malaikat dan ruh turun dengan izin Tuhan, menjalankan setiap perintah. Damai! Inilah, sampai terbit fajar. (Q. 97: 1-5)
Salah satu momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh kaum beriman dalam bulan Ramadlan ini adalah Laylat-u 'l-Qadr (secara populer dilafalkan "lailatul-qadar"). Secara harfiah, Laylat-u 'l-Qadr berarti "Malam Penentuan" atau "Malam Kepastian", jika kata-kata qadr difahami sebagai sama asal dengan kata-kata taqdir. Akan tetapi, ada juga yang mengartikan Laylat-u 'l-Qadr dengan "Malam Kemahakuasaan", yakni kemahakuasaan Tuhan, jika kata-kata qadr difahami sebagai sama asal dengan kata-kata al-Qadir, yang artinya "Yang Maha Kuasa", salah satu sifat Tuhan.
Dalam Al-Qur'an penyebutan dan gambaran ringkas tentang Laylat-u 'l-Qadr ini dikaitkan dengan malam diturunkannya Al-Qur'an, yaitu dalam surat Al-Qadr, di mana disebutkan bahwa Allah menurunkan Al-Qur'an pada Laylat-u 'l-Qadr yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan atau sekitar delapan puluh tahun (kurang lebih umur maksimal manusia). Disebutkan demikian, karena pada malam itu para malaikat turun, begitu juga Ruh (yang dalam hal ini ialah Ruh Kudus atau Jibril, malaikat pembawa wahyu Tuhan). Mereka turun dengan membawa ketentuan tentang segala perkara bagi seluruh alam, khususnya umat manusia. Malam itu adalah suatu kedamaian, hingga terbit fajar.
Muhammad Asad, dengan merujuk kepada Zamakhsyari (seorang otoritas klasik), memberi makna bahwa istilah "ruh" dalam Al-Qur'an sering digunakan dalam pengertian "wahyu Ilahi", karena wahyu itu, seperti halnya ruh atau jiwa, memberi kehidupan kepada hati yang mati dalam kebodohan (tidak tahu yang benar dan yang palsu), dan dalam agama wahyu itu mempunyai fungsi seperti ruh untuk badan. Asad juga menerangkan, dengan merujuk kepada Thabari, Zamakhsyari, Razi, dan Ibn Katsir, bahwa perkataan "ruh" yang secara harfiah berarti "jiwa" (atau "sukma") ini jelas menunjukkan pengertian "wahyu Ilahi" yang disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w., yaitu Al-Qur'an, yang dianugerahkan untuk membimbing manusia kepada kehidupan ruhani yang lebih intensif.
Yang dimaksud dengan ungkapan bahwa Allah menurunkan Al-Qur'an pada Laylat-u 'l-Qadr itu, menurut Ibn 'Abbas sebagaimana dikutip dalam Tafsir Ibn Katsir, ialah diturunkannya Al-Qur'an dalam bentuk keseluruhannya secara utuh dan sempurna dari al-Lawh al-Mahfuzh ("Loh Mahfuzh"--"Papan Yang Terjaga") ke Bayt al-'Izzah (Wisma Kemuliaan) di langit terendah (langit dunia), lalu diturunkan kepada Nabi s.a.w. secara rinci menurut kejadian-kejadian historis masa beliau selama dua puluh tiga tahun. Malam diturunkannya Al-Qur'an juga disebutkan di bagian lain dalam Al-Qur'an sebagai Malam yang diberkati (Laylah Mubarakah), yang juga ada dalam bulan Ramadlan (Q. 44: 3).
Dengan pengertian itulah. Laylat-u 'l-Qadr memang merupakan "Malam Penentuan" dan "Malam Kemahakuasaan Allah". Ini jelas sekali jika dikaitkan dengan apa arti kehadiran Al-Qur'an bagi umat manusia. Sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, khususnya sejarah agama-agama, Al-Qur'an tidak hanya mempengaruhi dan membawa perubahan kepada kaum Muslim saja, melainkan secara langsung atau tidak langsung juga mempengaruhi dan membawa perubahan kepada seluruh peradaban umat manusia.
Tentang itu, ada penafsiran mistis yang menarik sekali, yang dikemukakan oleh Abdullah Yusuf Ali, berkaitan dengan hikmah perbedaan pandangan tentang kapan sebenarnya Laylat-u 'l-Qadr itu dalam bulan Ramadlan. Ia lebih menafsirkannya sebagai momen mistis. Apalagi jika disebut bahwa malam itu lebih baik daripada seribu bulan, yang dapat diartikan tidak secara harfiah, melainkan sebagai simbolisasi bahwa Laylat-u 'l-Qadr<.I> itu "mengatasi waktu" (transcends time), karena sebagai Malam Penentuan dan Malam Kemahakuasaan Tuhan yang telah melenyapkan gelapnya kebodohan, dengan Wahyu-Nya, dalam semua perkara.
Untuk pandangannya ini, dan sebagai pengantar kepada terjemah dan komentarnya kepada surat Al-Qadr, Yusuf Ali menggubah syair yang indah sekali:
Memang penuh berkah Malam Kekuatan itu!
Ketika Berkah Wahyu Allah menembus
Kegelapan jiwa manusia
Segala Kekuatan dari dunia Ilahi
Menyampaikan Pesan Ampunan yang penuh pengertian yang dalam
Atas perintah Allah, dan memberkahi setiap ceruk
Dan sudut hati!
Semua keributan
Menjadi tenang dalam pengaruh Kedamaian sempurna
Sampai Malam fana ini digantikan oleh/Hari gemilang dalam dunia abadi!
Dari semua momen dalam hidup manusia, tentu ada satu momen yang menentukan hidup seseorang sepanjang umurnya. Momen itu dapat disebut sebagai "Momen Penentuan", sebanding dengan Laylat-u 'l-Qadr, bagi pribadi bersangkutan. Momen itu selalu dibarengi dengan suasana damai dan bahagia, yang merupakan dampak keruhanian karena merasakan hadirnya kebenaran yang ditemukan, dan karena itu, akan mempengaruhi seluruh hidupnya sepanjang umur.
Laylat-u 'l-Qadr, yang disebutkan dalam Al-Qur'an, adalah "Momen Penentuan" bagi manusia dan kemanusian universal. Bersamaan dengan itu, sebagai malam mistis penuh barkah keruhanian yang hening dan damai, Laylat-u 'l-Qadr dalam bulan Ramadlan dapat mewujudkan suasana batin pribadi yang suci dan damai, sebagai pertanda "intervensi Ilahi" kepada pribadi bersangkutan, berupa keyakinan yang diperbaharui dan diperteguh, mungkin bahkan ditemukan untuk pertama kali dalam hidup, tentang kebenaran dan kesucian.
Oleh karena itu, agama memberi arahan, agar setiap pribadi, dalam bulan suci Ramadlan yang penuh barkah ini, mencari Laylat-u 'l-Qadr<.I> yang mungkin dianugerahkan Allah khusus baginya--sama dengan turunnya para malai-kat dan "ruh" kepadanya yang membawa segala petunjuk kebenaran Ilahi dan kedamaian hidup selama-lamanya.
Laylat-u 'l-Qadr yang demikian itu, sebagai "malam penentuan" dan "malam kemahakuasaan Tuhan", memang mengatasi sang waktu, karena kebahagiaan yang diwujudkannya adalah abadi. Dan dapat sangat pribadi, sehingga saatnya pun dapat berbeda-beda dari seseorang ke orang lain. Oleh karena itulah, Nabi s.a.w. tidak menyebutkan kapan tepatnya malam itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar