Rabu, 02 Maret 2016

JIHAD PROPORSIONAL


Azyumardi Azra
Azyumardi Azra
Teror terhadap World Trader Center (WTC) New York dan Pentagon, yang diikuti dengan serangan Amerika Serikat dan sekutunya telah menimbulkan political repercussions yang cukup signifikan di tanah air. Gelombang demonstrasi, ancaman sweeping terhadap warga negara AS yang ada di Indonesia, himbauan untuk jihad ke Afghanistan, dan pemutusan hubungan diplomatik Indonesia AS, telah meningkatkan suhu politik di dalam negeri.
Bahkan sejumlah pengamat telah berbicara bahwa gelombang anti AS tersebut pada akhimya bertujuan untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Megawati. Asumsi yang sangat sumir ini didasarkan pada kenyataan, bahwa di antara mereka yang sangat gencar melakukan berbagai demonstrasi dan aksi anti Amerika terdapat kelompok-kelompok yang sejak semula menolak Megawati sebagai presiden dengan alasan gender, yakni bahwa dalam pemahaman mereka¬ Islam tidak mengizinkan perempuan menjadi pemimpin puncak.
Berbagai demonstrasi dan aksi anti Amerika dan sekutu sekutunya sedikit banyak telah menggeser citra Islam di Indonesia sebagai Islam yang lebih toleran, menekankan kedamaian dan perdamaian, harmoni, selalu menempuh jalan tengah moderat (ummatan washatan), atau bahkan digambarkan media massa internasional sebagai "Islam with a smiling face". Pergeseran citra ini dapat sedikit banyak mengubah pandangan dan harapan banyak kalangan, khususnya kalangan Islam internasional di negara negara lain, bahwa Islam Indonesia merupakan alternatif bagi kemajuan Islam di tengah peradaban dunia dan modernisme yang tak terelakkan. Islam di Indonesia dalam pandangan mereka adalah Islam yang kompatibel dengan modernisme, kemajuan sains dan teknologi, dan multikulturalisme.
Pada pihak lain, pemerintahan Presiden Megawati yang berhadapan dengan berbagai demontrasi dan aksi anti Amerika tersebut tersebut semula terlihat mengambil posisi yang sangat defensif, walaupun kemudian menjadi lebih tegas (firmer), baik terhadap AS maupun kelompok kelompok "garis keras" di dalam negeri. Terhadap AS, Presiden Megawati menyatakan tetap mendukung usaha internasional menghadapi terorisme   khususnya melalui badan badan internasional. Tetapi pada saat yang sama, Presiden Megawati juga menyatakan, bahwa operasi militer dengan alasan memerangi terorisme  yang kemudian turut mengorbankan banyak rakyat sipil  sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Dalam waktu yang sama, pemerintahan Presiden Megawati juga mengambil posisi dan sikap yang lebih tegas terhadap kelompok kelompok garis keras. Sikap tegas itu dimulai dengan "ancaman" mencabut kewarganegaraan mereka yang akan pergi ke Afghanistan dan bergabung dengan tentara Taliban sampai kepada tindakan keras polisi menghadapi demonstrasi pada hari libur Isra' Mi raj, dan bahkan menahan sejumlah orang (FPI Solo) dan memanggil pimpinan FPI, Habib Riziq Shihab ke kantor polisi.
Dengan sikap lebih tegas itu, gelombang demonstrasi dan sikap anti Amerika lainnya, serta tuntutan tuntutan kepada pemerintah Indonesia kelihatan menurun secara signifikan. Harus diakui, memang, tidak ada jaminan bahwa gelombang demonstrasi tidak akan mewabah lagi di waktu waktu mendatang, bukan hanya karena serangan AS yang terus berkelanjutan, tetapi juga karena isu isu lain yang berkaitan dengan Islam, seperti usul dan tekanan untuk pemasukan kembali "Piagam Jakarta" ke dalam UUD 1945, atau penerapan syariah Islam secara keseluruhan.
Memandang dampak yang telah terjadi dan yang mungkin berlanjut di hari hari datang terhadap kondisi politik dan ekonomi nasional, maka sebaiknya seluruh elemenl bisa melihat masalah konfrontasi AS dengan Bin Laden/Taliban secara lebih jernih, dingin dan obyektif dengan titik tolak kepentingan nasional. Juga perlu pengamatan yang lebih jernih tentang Bin Laden maupun rejim Taliban sendiri dilihat dari perspektif Islam di Indonesia. Dalam banyak segi pemahaman dan praktek keagamaan yang dianut Bin Laden maupun Taliban memiliki perbedaan yang mencolok dengan pemahaman dan praktek Islam umumnya di Indonesia.
Bahkan, pandangan dan praktek keagamaan Bin Laden dan Taliban —oleh kalangan garis keras Islam di Indonesia sendiri— disebut sebagai satu bentuk gerakan Khawarij yang menyempal dari mainstream Ahl al Sunnah wa al Jamaah yang diikutikaum Muslimin Indonesia umumnya. Kaum Muslimin Indonesia harus berusaha semaksimal mungkin menghindari kesan bahwa sikap anti Amerika identik dengan dukungan tanpa reserve terhadap Bin Laden dan Taliban. Sekarang ini, sementara kalangan pengamat asing keliru dengan menyebut terjadinya proses "Talibanisasi" di kalangan kaum Muslimin Indonesia. Langkah-¬langkah antisipatif terhadap gejala yang mencerminkan terjadinya proses "radiklisasi" di kalangan kelompok kelompok tertentu di Indonesia perlu diambil.
Solidaritas Islam (ukhuwwah Islamiyyah) memang sangat dianjurkan Islam, karena sebagaimana dikemukakan dalam ayat ayat al Qur'an dan hadits, setiap Muslim merupakan saudara bagi Muslim lainnya; penderitaan yang dialami seorang atau sekelompok Muslim lainnya merupakan juga penderitaan bagi Muslim lainnya. Tetapi ekspresi solidaritas Islam itu harus ditempatkan pada proporsinya. Dalam kerangka proporsionalitas itu, maka ukhuwah Islamiyah terhadap Muslim Aghanistan yang menjadi korban serangan AS tidak harus selalu dalam bentuk jihad (perang) bersama lama melawan AS. Berbagai constraints yang ada baik di dalam negeri sendiri dan di luarnegeri khususnya di Afghanistan, dan juga Pakistan  seharusnya mendorong ungkapan solidaritas Islam itu dalam bentuk lain, seperti pengumpulan dana, makanan, pakaian, obat obatan untuk membantu saudara saudara Muslim di Afghanistan.
Proporsionalitas ungkapan solidaritas Islam itu mestilah juga lebih berorientasi ke dalam. Keadaan ekonomi Indonesia yang masih terpuruk telah menjadikan kaum Muslimin sebagai korban yang paling menderita, apakah dalam bentuk merosotnya pendapatan maupun dalam bentuk pengangguran yang semakin meluas. Selain itu, sekitar 1,3 juta anak bangsa telah menjadi pengungsi di mana¬mana. Bisa dipastikan, sebagian besar mereka ini adalah kaum Muslimin. Ukhuwwah Islamiyah yang begitu menggelora belakangan ini haruslah juga ditujukan kepada mereka ini. Jika tidak, kita berarti lebih memberikan perhatian kepada "rumahtangga" orang lain, sementara rumahtangga kita sendiri yang berantakan, hampir dilupakan.
Memandang berbagai gejala yang kurang menggembirakan tersebut, maka sepatutnya para pemimpin organisasi organisasi besar mainstream seperti NU, Muhammadiyah, dan organisasi-¬organisasi besar lainnya mengambil sikap lebih pro aktif. Sikap pro-aktif itu bisa dilakukan dengan lebih sering melakukan dialog dengan kelompok kelompok garis keras untuk merumuskan sikap yang lebih proporsional dalam menyikapi berbagai perkembangan baik di dalam maupun luarnegeri yang mempengaruhi kaum Muslimin dan Islam. Para pemimpin mainstream Muslim juga harus lebih outspoken dan asertif untuk menyatakan kepada publik umumnya tentang sikap proporsional dalam meresponi dan menyikapi berbagai perkembangan tersebut.
Azyumardi Azra. Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar