Ketika Nabi muhammad s.a.w. disebut sebagai seorang Rasul yang paling berhasil dalam mewujudkan misi sucinya, bukti untuk mendukung penilaian itu ialah hal-hal yang bersifat sosial-politis, khususnya yang dalam bentuk keberhasilan ekspansi-ekspansi militer. Dan Nabi Muhammad s.a.w. sama dengan beberapa Nabi yang lain seperti Musa dan Dawud a.s. adalah seorang "Nabi Bersenjata" (Armed Prophet), sebagaimana dikatakan oleh sarjana sosiologi terkenal, Max Weber. Karena kenyataan itu, ada sementara ahli yang hendak mereduksikan misi Nabi Muhammad s.a.w. sebagai tidak lebih daripada suatu gerakan reformasi sosial, dengan program-program seperti pengangkatan martabat kaum lemah (khususnya kaum wanita dan budak), penegakan kekuasaan hukum, usaha mewujudkan keadilan sosial, tekanan kepada persamaan umat manusia (egalitarisme), dan lain-lain. Dalam pandangan serupa itu, Nabi Muhammad s.a.w. tidak bisa disamakan dengan Nabi 'Isa al-Masih, karena ajaran Nabi Muhammad tidak banyak mengandung kedalaman keruhanian pribadi. Tetapi Nabi Muhammad s.a.w. lebih mirip dengan Nabi Musa a.s. dan para rasul dari kalangan anak turun Nabi Ya'qub (Isra'il), yang mengajarkan tentang betapa pentingnya berpegang kepada hukum-hukum Taurat (Talmudic Law). Bahwa Nabi Muhammad s.a.w membawa reformasi sosial yang monumental kiranya sudah jelas. Al-Qur an sendiri mengaitkan keimanan serta penerimaan seruan Nabi dengan usaha reformasi dunia (ishlah al-ardl). Tetapi di berbagai tempat dalam al-Qur an juga disebutkan bahwa tugas reformasi dunia itu tidak hanya dipunyai oleh Nabi Muhammad, melainkan juga oleh para nabi yang lain.9 Dan Nabi Muhammad memang telah melaksanakannya dengan sukses luar biasa. Salah satu pengakuan yang jujur dari pihak luar Islam atas sukses Nabi dalam membawa reformasi dunia ini ialah yang diberikan oleh Michael H. Hart. Dalam bukunya yang memuat urutan peringkat seratus orang yang paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia, Hart menempatkan Nabi Muhammad sebagai manusia nomor satu yang paling berpengaruh. Ia menegaskan:
"Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam
urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di
dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin
jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya
berpegang kepada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad
satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih
sukses-sukses luar biasa ditilik dari ukuran agama
maupun ruang lingkup duniawi."
Namun disamping itu al-Qur'an juga banyak menegaskan tentang pentingnya orientasi keruhanian yang bersifat ke dalam dan mengarah kepada pribadi. Justru sudah menjadi kesadaran para sarjana Islam sejak dari masa-masa awal bahwa Islam adalah agama pertengahan (wasath) antara, di satu pihak, agama Yahudi yang legalistik dan banyak menekankan orientasi kemasyarakatan dan, di pihak lain, agama Kristen yang spiritualistik dan sangat memperhatikan kedalaman olah serta pengalaman rohani serta membuat agama itu lembut. Seperti dikatakan Ibn Taymiyyah, "Syari'ah Taurat didominasi oleh ketegaran, dan Syari'ah Injil didominasi oleh kelembutan; sedangkan Syari'ah al-Qur an menengahi dan meliputi keduanya itu."
Maka sebagai bentuk pertengahan dan sekaligus antara kedua agama pendahuluannya itu, Islam mengandung ajaran-ajaran hukum dengan orientasi kepada masalah-masalah tingkah laku manusia secara lahiriah seperti pada agama Yahudi, tapi juga mengandung ajaran-ajaran keruhanian yang mendalam seperti pada agama Kristen. Bahkan sesungguhnya antara keduanya itu tidak bisa dipisahkan, meskipun bisa dibedakan. Sebab ketika orang Muslim dituntut untuk tunduk kepada suatu hukum tingkah laku lahiriah, ia diharapkan, malah diharuskan, menerimanya dengan ketulusan yang terbit dari lubuk hatinya. Ia harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu yang berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermin dalam susunan kitab-kitab fiqh, yang selalu dimulai dengan bab pensucian (thaharah) lahir, sebagai awal pensucian batin.
Walaupun begitu, tetap ada kemungkinan orang mengenali mana yang lebih lahiriah, dan mana pula yang batiniah. Sebenarnya, sudah sejak zaman Rasulullah s.a.w. sendiri, terdapat kelompok para sahabat Nabi yang lebih tertarik kepada hal-hal yang bersifat lebih batiniah itu. Disebut-sebut, misalnya, kelompok ahl al-shuffah, yaitu sejumlah sahabat yang memilih hidup sebagai faqir, dan sangat setia kepada masjid. Tidak heran bahwa kelompok ini, dalam literatur kesufian, sering diacu sebagai teladan kehidupan saleh dikalangan para sahabat.
Al-Qur'an sendiri memuat berbagai firman yang merujuk kepada pengalaman spritual Nabi. Misalnya, lukisan tentang dua kali pengalaman Nabi bertemu dan berhadapan dengan Malaikat Jibril dan Allah. Yang pertama ialah pengalaman beliau ketika menerima wahyu pertama di gua Hira, di atas Bukit Cahaya (Jabal Nur). Dan yang kedua ialah pengalaman beliau dengan perjalanan malam (isra ) dan naik ke langit (mi'raj) yang terkenal itu. Kedua pengalaman Nabi itu dilukiskan dalam Kitab Suci demikian:
Demi bintang ketika sedang tenggelam. Sahabatmu sekalian itu tidaklah sesat ataupun menyimpang. Dan ia tidaklah berucap karena menurut keinginan. Itu tidak lain adalah ajaran yang diwahyukan. Diajarkan kepadanya oleh Jibril yang kuat perkasa. Yang bijaksana, dan yang telah menampakkan diri secara sempurna. Yaitu ketika ia berada di puncak cakrawala. Kemudian ia pun mendekati, dan menghampiri. Hingga sejarak kedua ujung busur panah, atau lebih dekat lagi. Lalu Tuhan wahyukan kepada hamba-Nya wahyu yang dikehendaki. Tidaklah jiwa (Nabi) mendustakan yang dilihatnya sendiri. Apakah kamu semua akan membantahnya tentang yang ia saksikan? Padahal sungguh ia telah menyaksikan pada lain kesempatan. Yaitu didekat Pohon Lotus, di alam penghabisan Di sebelahnya ada Surga tempat kediaman. Ketika Pohon Lotus itu diliputi cahaya tak terlukiskan. Penglihatan Nabi tidak bergoyah, dan tidak pula salah arah. Sungguh ia telah menyaksikan tanda-tanda Tuhannya yang Agung tak terkira.
Bagi kaum Sufi, pengalaman Nabi dalam Isra-Mi'raj itu adalah sebuah contoh puncak pengalaman ruhani. Justru ia adalah pengalaman ruhani yang tertinggi, yang bisa dipunyai oleh seorang Nabi. Namun kaum Sufi berusaha untuk meniru dan mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Sebab inti pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan situasi diri yang sedang berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia "bertemu" dengan Dzat Yang Maha Tinggi itu. "Pertemuan" dengan Tuhan adalah dengan sendirinya juga merupakan puncak kebahagiaan, yang dilukiskan dalam sebuah hadits sebagai "sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tak terbetik dalam hati manusia." Sebab dalam "pertemuan" itu, segala rahasia kebenaran "tersingkap" (kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna (fana ) dalam Kebenaran. Maka Ibn 'Arabi, misalnya, melukiskan "metode" atau thariqah-nya sebagai perjalanan ke arah penyingkapan Cahaya Ilahi, melalui pengunduran diri (khalwah) dari kehidupan ramai.
(Letak dan Peran Mistisisme dalam
Penghayatan Keagamaan Islam)
oleh Dr. Nurcholish Madjid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar