Selasa, 01 Maret 2016

TASAWUF SEBAGAI OLAH RUHANI


kabbahKetika Nabi muhammad s.a.w. disebut  sebagai  seorang  Rasul yang  paling  berhasil  dalam mewujudkan misi sucinya, bukti untuk mendukung penilaian itu ialah  hal-hal  yang  bersifat sosial-politis,  khususnya  yang  dalam  bentuk keberhasilan ekspansi-ekspansi militer. Dan  Nabi  Muhammad  s.a.w.  sama dengan  beberapa  Nabi yang lain seperti Musa dan Dawud a.s. adalah   seorang   "Nabi   Bersenjata"   (Armed    Prophet), sebagaimana  dikatakan  oleh sarjana sosiologi terkenal, Max Weber. Karena kenyataan itu, ada sementara ahli yang  hendak mereduksikan  misi  Nabi Muhammad s.a.w. sebagai tidak lebih daripada   suatu   gerakan    reformasi    sosial,    dengan program-program  seperti  pengangkatan  martabat  kaum lemah (khususnya  kaum  wanita  dan  budak),  penegakan  kekuasaan hukum,  usaha  mewujudkan  keadilan  sosial,  tekanan kepada persamaan umat manusia (egalitarisme), dan lain-lain.  Dalam pandangan  serupa  itu,  Nabi  Muhammad  s.a.w.  tidak  bisa disamakan dengan Nabi  'Isa  al-Masih,  karena  ajaran  Nabi Muhammad   tidak   banyak  mengandung  kedalaman  keruhanian pribadi. Tetapi Nabi Muhammad s.a.w. lebih mirip dengan Nabi Musa  a.s.  dan  para  rasul  dari  kalangan anak turun Nabi Ya'qub (Isra'il), yang mengajarkan tentang betapa pentingnya berpegang kepada hukum-hukum Taurat (Talmudic Law). Bahwa  Nabi  Muhammad  s.a.w  membawa  reformasi sosial yang monumental kiranya sudah jelas. Al-Qur an sendiri mengaitkan keimanan serta penerimaan seruan Nabi dengan usaha reformasi dunia (ishlah al-ardl).  Tetapi  di  berbagai  tempat  dalam al-Qur  an  juga  disebutkan bahwa tugas reformasi dunia itu tidak hanya dipunyai oleh Nabi Muhammad, melainkan juga oleh para  nabi  yang  lain.9  Dan  Nabi  Muhammad  memang  telah melaksanakannya  dengan  sukses  luar  biasa.   Salah   satu pengakuan  yang jujur dari pihak luar Islam atas sukses Nabi dalam membawa reformasi dunia ini ialah yang diberikan  oleh Michael  H. Hart. Dalam bukunya yang memuat urutan peringkat seratus orang yang paling  berpengaruh  dalam  sejarah  umat manusia,  Hart  menempatkan  Nabi  Muhammad  sebagai manusia nomor satu yang paling berpengaruh. Ia menegaskan:

   "Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam
   urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di
   dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin
   jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya
   berpegang kepada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad
   satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih
   sukses-sukses luar biasa ditilik dari ukuran agama
   maupun ruang lingkup duniawi."

Namun disamping itu al-Qur'an juga banyak menegaskan tentang pentingnya  orientasi  keruhanian yang bersifat ke dalam dan mengarah kepada pribadi. Justru sudah menjadi kesadaran para sarjana  Islam  sejak dari masa-masa awal bahwa Islam adalah agama pertengahan (wasath)  antara,  di  satu  pihak,  agama Yahudi  yang  legalistik  dan  banyak  menekankan  orientasi kemasyarakatan  dan,  di  pihak  lain,  agama  Kristen  yang spiritualistik dan sangat memperhatikan kedalaman olah serta pengalaman rohani serta membuat agama  itu  lembut.  Seperti dikatakan  Ibn  Taymiyyah,  "Syari'ah Taurat didominasi oleh ketegaran, dan Syari'ah Injil  didominasi  oleh  kelembutan; sedangkan Syari'ah al-Qur an menengahi dan meliputi keduanya itu."

Maka sebagai bentuk pertengahan dan sekaligus  antara  kedua agama  pendahuluannya  itu,  Islam  mengandung ajaran-ajaran hukum dengan orientasi kepada masalah-masalah  tingkah  laku manusia secara lahiriah seperti pada agama Yahudi, tapi juga mengandung ajaran-ajaran keruhanian  yang  mendalam  seperti pada  agama Kristen. Bahkan sesungguhnya antara keduanya itu tidak bisa dipisahkan, meskipun bisa dibedakan. Sebab ketika orang  Muslim  dituntut  untuk  tunduk  kepada  suatu  hukum tingkah laku  lahiriah,  ia  diharapkan,  malah  diharuskan, menerimanya dengan ketulusan yang terbit dari lubuk hatinya. Ia harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu  yang berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermin dalam susunan kitab-kitab fiqh, yang selalu  dimulai  dengan bab  pensucian  (thaharah)  lahir,  sebagai  awal  pensucian batin.

Walaupun begitu, tetap ada kemungkinan orang mengenali  mana yang   lebih   lahiriah,   dan   mana  pula  yang  batiniah. Sebenarnya, sudah sejak  zaman  Rasulullah  s.a.w.  sendiri, terdapat  kelompok  para  sahabat  Nabi  yang lebih tertarik kepada   hal-hal   yang   bersifat   lebih   batiniah   itu. Disebut-sebut,  misalnya,  kelompok  ahl  al-shuffah,  yaitu sejumlah sahabat  yang  memilih  hidup  sebagai  faqir,  dan sangat  setia kepada masjid. Tidak heran bahwa kelompok ini, dalam  literatur  kesufian,  sering  diacu  sebagai  teladan kehidupan saleh dikalangan para sahabat.

Al-Qur'an sendiri memuat berbagai firman yang merujuk kepada pengalaman spritual Nabi. Misalnya, lukisan tentang dua kali pengalaman  Nabi  bertemu  dan  berhadapan  dengan  Malaikat Jibril dan  Allah.  Yang  pertama  ialah  pengalaman  beliau ketika  menerima  wahyu  pertama  di gua Hira, di atas Bukit Cahaya (Jabal Nur). Dan yang kedua ialah  pengalaman  beliau dengan  perjalanan malam (isra ) dan naik ke langit (mi'raj) yang terkenal itu.  Kedua  pengalaman  Nabi  itu  dilukiskan dalam Kitab Suci demikian:

Demi bintang ketika sedang tenggelam. Sahabatmu sekalian itu tidaklah sesat ataupun menyimpang. Dan ia  tidaklah  berucap karena  menurut keinginan. Itu tidak lain adalah ajaran yang diwahyukan.  Diajarkan  kepadanya  oleh  Jibril  yang   kuat perkasa.  Yang  bijaksana,  dan  yang telah menampakkan diri secara sempurna. Yaitu ketika ia berada di puncak cakrawala. Kemudian  ia  pun mendekati, dan menghampiri. Hingga sejarak kedua ujung busur panah, atau lebih dekat lagi.  Lalu  Tuhan wahyukan  kepada  hamba-Nya wahyu yang dikehendaki. Tidaklah jiwa (Nabi) mendustakan yang dilihatnya sendiri. Apakah kamu semua  akan  membantahnya  tentang yang ia saksikan? Padahal sungguh ia telah menyaksikan  pada  lain  kesempatan.  Yaitu didekat  Pohon  Lotus, di alam penghabisan Di sebelahnya ada Surga tempat  kediaman.  Ketika  Pohon  Lotus  itu  diliputi cahaya tak terlukiskan. Penglihatan Nabi tidak bergoyah, dan tidak  pula  salah  arah.  Sungguh  ia   telah   menyaksikan tanda-tanda Tuhannya yang Agung tak terkira.

Bagi  kaum  Sufi,  pengalaman  Nabi  dalam  Isra-Mi'raj itu adalah sebuah contoh puncak  pengalaman  ruhani.  Justru  ia adalah  pengalaman ruhani yang tertinggi, yang bisa dipunyai oleh seorang Nabi. Namun kaum Sufi berusaha untuk meniru dan mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Sebab  inti pengalaman  itu  ialah  penghayatan  yang pekat akan situasi diri yang sedang berada di hadapan Tuhan, dan  bagaimana  ia "bertemu"  dengan  Dzat  Yang  Maha  Tinggi itu. "Pertemuan" dengan Tuhan adalah dengan sendirinya juga merupakan  puncak kebahagiaan,  yang  dilukiskan  dalam  sebuah hadits sebagai "sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata,  tak  terdengar oleh  telinga,  dan  tak terbetik dalam hati manusia." Sebab dalam "pertemuan" itu, segala rahasia kebenaran "tersingkap" (kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna (fana  )  dalam  Kebenaran.  Maka  Ibn   'Arabi,   misalnya, melukiskan  "metode" atau thariqah-nya sebagai perjalanan ke arah penyingkapan Cahaya  Ilahi,  melalui  pengunduran  diri (khalwah) dari kehidupan ramai.

(Letak dan Peran Mistisisme dalam
Penghayatan Keagamaan Islam)
oleh Dr. Nurcholish Madjid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar