Terorisme dan jihad. Dua kata ini tidak henti-hentinya jadi bahan sorotan, sejak peristiwa penyerangan gedung WTC dan Pentagon 11 September lalu. Dua kata ini terus menghiasi media massa, dibahas dalam diskusi-diskusi dan seminar, digunjingkan di kaki lima, dalam bus kota, di masjid hingga pengajian kampung, di kamar-kamar kos mahasiswa, di kantor, dst.
Belum lama ini seorang rekan, dosen wanita di UGM, melabrak saya dengan pertanyaan yang lebih tepat disebut gugatan. Mengapa wajah Islam selalu mengerikan, identik dengan kekerasan? Mengapa begitu mudah mereka mengobarkan perang dengan dalih jihad? Tidak adakah wajah Islam yang teduh, yang damai sesuai kata Islam itu sendiri yang berarti kedamaian?
Kemudian ditunjuknya salah satu foto besar di halaman muka sebuah surat kabar nasional. Tampak sosok pejuang Taliban dengan pakaian khas, menghunus pedang. Pada bagian lain, foto seorang bocah Afgan ditampilkan sedang mengacungkan pistol. ''Saya ngeri, inikah yang dinamakan jihad?'' ujar dosen wanita tadi.
Cerita di atas barangkali mencerminkan stereotipe jihad dalam persepsi sebagian masyarakat kita. Jihad selalu diidentikkan dengan tindak kekerasan. Secara demikian, jihad --dalam benak mereka-- menjelma teror yang amat mencekam. Padahal, sesungguhnya tidak demikian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999), pengertian pertama tentang jihad adalah usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan.
Arti lain dari jihad, adalah usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga. Jihad juga berarti perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam. Jadi jelas, jihad memang tidak menafikan kekerasan atau peperangan. Tetapi itu bukan jalan satu-satunya untuk mengimplementasikan semangat jihad.
Spektrum jihad dalam ajaran Islam sebetulnya sangat luas. Sayangnya, dalam kenyataan tidak jarang orang melakukan simplifikasi makna jihad semata-mata untuk dijadikan alat pembenar bagi tindakannya yang justru melenceng dari konteks jihad itu sendiri. Kita ingat hal-hal yang menggelikan, misalnya ketika muncul seruan jihad demi seorang presiden yang kebetulan berasal dari kalangan kiai. Caranya pun khas; siap berdarah-darah dan mati untuk tujuan tersebut.
Distorsi makna jihad semacam itu yang terus dibesar-besarkan oleh media massa kita. Lihatlah, sepanjang pekan kemarin, koran-koran mem-blow up maraknya posko pendaftaran sukarelawan ke Afganistan. Pendaftarnya melimpah. Kita juga disuguhi berita-berita mengenai aksi sweeping warga Amerika di beberapa kota, yang boleh jadi dengan gampang orang menudingnya sebagai implementasi dari jihad.
Secara demikian, lengkaplah stigmatisasi atau pencitraan buruk mengenai jihad. Persis seperti sebutan "fundamentalis" yang acap ditudingkan pihak Barat terhadap kalangan Islam. Celakanya, hal yang sama juga sering terjadi di sini. Kontroversi mengenai seruan jihad MUI, saya kira sedikit banyak dipengaruhi oleh persepsi buruk kita tentang jihad. Dan, itulah stigmatisasi.
Seperti halnya jihad, istilah teroris atau terorisme pun sering begitu mudah dilekatkan pada seseorang, sekelompok orang, atau sebuah negara yang rajin menantang perang meski sekadar untuk membela kepentingan dasar rakyatnya. Stigmatisasi ini yang terus digembar-gemborkan Amerika, guna meraih simpati dan empati yang luas pascatragedi WTC dan Pentagon.
Dengan dalih membrantas terorisme, Amerika mengobarkan perang terhadap Afganistan yang dituduh menyembunyikan Osama bin Laden, tokoh yang paling diburu pihak Amerika. Kita sependapat penyerangan terhadap gedung WTC dan Pentagon yang menelan korban 10 ribu lebih warga sipil, adalah tindakan teror. Namun serangan Amerika yang semena-mena terhadap Afganistan, adalah "mbah"-nya teror.
Akhirnya, marilah kita belajar secara jernih dan proporsional melihat sebuah persoalan. Jangan kita terbawa arus pemikiran atau cara pandang yang dilandasi stigma-stigma.
Oleh ahmad syaify
Tidak ada komentar:
Posting Komentar