Selasa, 08 Maret 2016

PLURALISME : RAHMAT ATAU LAKNAT?

yushan

Di saat konflik horisontal merebak di berbagai wilayah negeri ini, kata damai dan perdamaian memang terasa sangat indah. Di mana-mana orang berbicara dan meneriakkan keinginan untuk mewujudkan perdamaian. Bahkan TNI, lembaga yang selama ini anggotanya dikenal kerap melakukan tindak kekerasan dan melanggar HAM, tak mau ketinggalan menyuarakan seruan damai, seperti nampak dari berbagai spanduk yang berbunyi, "Damai itu indah" di berbagai markas dan kantornya di Jakarta.

Sebagai sebuah bangsa dan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar serta sangat beragam (plural), Indonesia memang memiliki risiko konflik dan perpecahan yang cukup besar. Karenanya sangat wajar apabila ada sejumlah pihak tak bosan-bosannya berupaya merukunkan berbagai elemen masyarakat yang selama ini terjebak konflik, termasuk konflik antar ummat beragama di Maluku, Poso, dan wilayah lainnya.

Upaya itu dilakukan antara lain dengan melakukan dialog antar ummat beragama yang sudah diselenggarakan berkali-kali di berbagai tempat. Ada juga apel keagamaan, seperti yang diselenggarakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang kebanyakan anggotanya pemuda NU dan Unit Kegiatan Kerohanian Kristen (UKKK) Universitas Dr Soetomo Surabaya. Acara bertajuk 'Cinta Damai dan Persahabatan Antarumat Beragama' itu menampilkan pembicara lintas agama, seperti H. Ali Maschan Moesa, MSi (Ketua PWNU Jatim), Didik (Pastor Paroki Sidoarjo), serta I Made Gunartha (Ketua I Parisada Hindu Dharma Kota Surabaya).
Yang lebih jauh adalah doa bersama lintas agama, seperti yang dilakukan kalangan LSM dan mahasiswa di pelataran Gedung Pola, bundaran Tugu Selamat Datang (HI) Jakarta dan beberapa tempat lainnya, tahun-tahun silam.

Meski kegiatan seperti itu baru merebak sejak gerakan reformasi bergulir, rintisannya sudah berlangsung sejak lama berupa wacana kenisbian ajaran agama. Sejak 1970-an pemerintah Orde Baru melalui pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sudah mengajarkan siswa untuk berpartisipasi pada acara ritus ibadah agama yang tidak dianutnya. Lewat PMP pula digulirkan paham bahwa semua agama sama baiknya, sama-sama menyembah Tuhan dan sama-sama mengajarkan ummatnya berbuat kebajikan. Namun karena menuai banyak protes dari berbagai ormas Islam, bagian kontroversial itu akhirnya ditiadakan.

Selesai? Ternyata tidak. Meski tidak lagi diajarkan melalui PMP (kini berganti nama menjadi PPKN), wacana tersebut bergulir terus. Dimotori para cendekiawan dari berbagai IAIN dan Yayasan Paramadina, seperti (alm) Harun Nasution, Nucholish Madjid, Djohan Effendi, serta Komarudin Hidayat, berbagai pemikiran keagamaan yang meminjam istilah kalangan ini bercorak Neo-Modernisme terus ditumbuhsuburkan melalui berbagai tulisan di media massa dan forum-forum ilmiah.

Ada berbagai gagasan yang dilontarkan, seperti Islam Rasional, Islam Peradaban dan Islam Transformatif. Belakangan, sejak akhir 1990-an kemudian muncul gagasan Islam Inklusif, Islam Pluralis dan terakhir Islam Liberal.

Maret tahun ini Penerbit Paramadina menerbitkan buku berjudul Islam Pluralis, yang merupakan kumpulan tulisan Budhy Munawar-Rachman. Kemudian tengah bulan silam penerbit yang sama meluncurkan buku berjudul Wacana Islam Liberal. Buku terakhir ini merupakan kumpulan tulisan berbagai pemikir Islam bertaraf internasional yang disunting oleh Charles Kurzman, asisten profesor pada University of North Carolina. Di penulisnya terdapat nama antara lain Muhammad Iqbal, Chandra Muzaffar, Yusuf al-Qardhawi, Mohammad Natsir, Mehdi Bazargan, Benazir Bhutto, Fatima Mernissi, Mohamed Arkoun, Fazlur Rahman, dan Nurcholish Madjid.

Mohon masukan dan kritikan tentang Artikel ini karena jujur saja, sampai sekarang ini sayapun masih bimbang mengenai konsep pluralisme ini. secara pribadi, konsep pluralisme adalah sebuah perwujudan untuk membangun tali silatrrahim antar sesama ummat beraga agar terjalin kehidupan bahdatun Toyyibatun Wa robbul gafuur. Namun disisi lain juga berdampak buruk terhadap Islam sendiri, . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar