David C. Dakake
Temple University, USA
Pendapat bahwa ‘filsafat Islam’ tidak sepenuhnya Islami tetapi pada dasarnya hanya merupakan ‘filsafat Yunani’ yang ditulis dalam bahasa Arab, masih tetap menjadi pandangan umum di kalangan mazhab Barat sampai saat ini. Namun ternyata, pandangan ini lebih sering disampaikan tanpa adanya pengujian yang cukup terhadap tradisi-tradisi filosof Muslim yang datang belakangan, khususnya yang berhubungan dengan ‘Mazhab Isfahan.’ Padahal, kebanyakan studi dalam pengajaran mazhab Isfahan ini lebih banyak berfokus pada issu-issu besar seperti metafisika, ontologi, kosmologi, dan lain-lain. Sayangnya, hanya sedikit penjelasan yang pernah ditulis tentang berbagai praksis religius (tradisi ritual keagamaan) yang menunjukkan dengan jelas karakter-karakter Islam dalam tradisi filsafat yang terakhir ini. Untuk itu, kami mengupayakan tulisan ini sebagai salah satu sumbangan dalam proses pembuktian kemurnian ajaran Islam di dalam filsafat Muslim terakhir dengan memfokuskan pada pemahaman Mulla Sadra terhadap doktrin-doktrin Alquran tentang Sirâth serta bagaimana seseorang dapat secara praksis (mempersiapkan diri untuk) menuju kehidupan akhirat setelah kehidupan dunia ini. Mulla Sadra telah memberikan kepada kita penjelasan-penjelasan mengenai masalah ini di dalam kitab-kitabnya, al-Asfar, al-Tafsir al-Kabar dan al-Hikmah al-‘Arsyiyyah, dimana Sadra mengajarkan praktek-prakter spiritual bagi seseorang yang ingin berjalan kepada Tuhan, tentunya dengan merujuk kepada nilai-nilai ajaran Alquran serta ajaran para Imam as. Di dalam kitab-kitab tersebut, Mulla Sadra menghubungkan jiwa manusia dengan kemampuan fitrahnya yang mampu konsisten pada sirâth dengan kehidupan di hari kemudian melalui ketaatannya kepada segala hukum Islam dan para Imam as. Namun, ketaatan yang esensial ini bukanlah satu-satunya syarat yang dengannya seseorang bisa menempuh sirâth, ketaatan ini hanyalah sebuah tumpuan saja. Untuk dapat bergerak ke tingkat yang lebih tinggi, seseorang membutuhkan kemampuan khusus untuk melihat keluasan dan kebesaran sirâth yang hanya bisa disaksikan melalui cahaya kebenaran sejati dan penyingkapan ruhani. Dengan cara ini, praktek-praktek agama eksoteris (the exoteric religion) dan penyaksian melalui agama dan keyakinan dihubungkan di dalam doktrin “Sirâth” yang membuktikan kemurnian karakter Islam di dalam perjalanan spiritual yang diajarkan oleh filsafat Mulla Sadra.
Dalam berbagai studi, filsafat sering diartikan sebagai pencarian yang bersifat mental. Anggapan ini menjadi umum sejak masa renaissance – di dalam konteks filsafat Barat – sebagai pencarian kebijaksanaan (sophos). Istilah ini mengalami degradasi makna yang sebenarnya dari “kebajikan” aktif (yaitu “philo” atau “cinta” yang bermula dari pemaknaan Phytagoras terhadap semua kearifan sejati). Dengan kata lain, filsafat telah mengalami desakralisasi secara gradual dan kemudian terlepas dari wilayah perbincangan kearifan yang sesungguhnya.
Trend sejarah filsafat Barat berbeda dengan sejarah filsafat Islam. Di dalam sejarah filsafat Islam, orang cenderung melihat dari arah yang berlawanan. Dengan kata lain, pemikiran-pemikiran filosofis awal yang diserap oleh budaya Islam lebih cenderung “Yunani.” Tetapi tentu saja, bukan berarti bahwa para filosof Muslim awal melupakan nilai-nilai agama (Islam), tetapi tema-tema yang mereka bicarakan – misalnya dalam kasus al-Madinah al-Fadhilah-nya al-Farabi – benar-benar merupakan tema-tema filsafat Yunani, khususnya dalam tema organisasi sosial. Namun, T. Izutzu telah memberikan catatan yang berbeda dengan kecenderungan pendapat umum, bahwa ternyata filsafat Islam tidak mengalami keterputusan pada abad ke-12 setelah kematian Ibn Rusyd. Bagi Izutzu, abad 12 justru menjadi permulaan filsafat Islam yang sebenarnya, yakni sebuah filsafat yang dirujukkan kepada Alquran atau nilai-nilai keIslaman, 1) suatu bangunan filsafat yang disebut oleh Henry Corbin sebagai “filsafat nubuwwah” (the prophetic philosophy) di dalam Islam. 2) Pandangan ini cenderung dilupakan oleh banyak tokoh, misalnya M. Fakhri di dalam A History of Islamic Philosophy (Columbia University Press, 1983) yang jika tidak disanggah oleh yang lainnya, seperti D. Gutas dalam karyanya Avicenna and Aristotelian Tradition (E.J. Brill, 1988). Dalam pandangan kami, mungkin perwujudan yang terpenting dari ‘filsafat Islam’ yang sebenarnya dapat ditemukan dalam karya-karya Sadr al-Din al-Syirazi (m. 1640) yang lebih dikenal dengan nama Mulla Sadra. Komposisi-komposisi filosofis Mulla Sadra telah menggabungkan antara teori dan “praksis,” yakni metafisika dan nilai-nilai kebaikan yang dalam hal ini mengacu pada ajaran Islam murni dan bukan pada filsafat Yunani, yakni suatu ajaran yang didasarkan pada konsep tentang Sirâth al-Mustaqim, petunjuk ke jalan yang lurus.
Mungkin, konsep yang paling prinsip di dalam filsafat Mulla Sadra adalah doktrin tentang gerakan substansial (al-harakah al-jawhariyyah). Di dalam doktrin ini, Sadra memberikan sebuah pengajaran yang disebutnya bukan konsep yang baru, tetapi telah diajarkan oleh beberapa filosof sebelum Socrates. Doktrin ini menyinggung suatu gerakan esensial semua maujud di bawah tingkatan realitas-realitas dasar (the archetypal realities) (yaitu bentuk-bentuk Platonic ) atau al-a’yan al-tsabita). ) Dalam prinsip ini, Mulla Sadra mengatakan bahwa semua eksistensi mengalami suatu gerakan yang konstan di dalam sifat-sifat dasarnya tanpa perlu dorongan yang diturunkan dari “lingkaran” surgawi. Melalui gerakan substansial inilah, semua maujud di alam ini “menjadi”, yakni wujudnya secara terus menerus menguat atau malah melemah, dan gerakan substansial ini adalah suatu gerakan atau aliran wujud yang melintasi realitas surgawi (the heavenly archetypes). Dalam pandangan Sadra, perbedaan antara manusia dan selainnya di dalam gerakan substansial adalah dalam hal atribut-atribut atau kualitas-kualitasnya, misalnya intelijensi atau keindahan yang merupakan konsekuensi derajar dan kekuatan wujud yang berbeda dari keduanya. Oleh karena itu, seseorang bukan hanya dapat mengatakan bahwa beberapa orang lebih cerdas atau secara pisik lebih baik daripada sekelompok orang lainnya, tetapi “memang” sekelompok orang itu lebih baik daripada yang lainnya, tergantung kepada intensitas gerakan wujud di dalam diri mereka.
Tentu saja, tujuan dari para filosof adalah kebenaran, setidaknya dalam pandangan filsafat tradisional. Di dalam filsafat Mulla Sadra, “wujud”, “realitas” dan kebenaran memiliki keterikatan satu sama lain. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana seseorang dapat mencapai kebenaran atau realitas? Bagaimana seseorang dapat memperkuat gerakan substansial wujudnya agar gerakan tersebut merefleksikan kebenaran? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, semuanya harus dirujukkan kepada nilai ajaran Islam, khususnya ajaran para Imam as. ) Mulla Sadra merujuk pada Alquran dan hadits dalam menjelaskan “jalan” untuk menguatkan wujud seseorang; dan dalam penjelasan ini, Mulla Sadra menggabungkan metafisika dengan praksis Islam yang pendalamannya tidak ditemukan dalam filosof Muslim awal seperti al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina. Tulisan ini ingin mengambarkan sisi kemanusiaan doktrin Mulla Sadra, dan juga untuk memberikan bukti-bukti yang jelas dari sifat-sifat dan nilai-nilai Islam murni yang menjadi rujukan pengajaran dari tokoh besar atau sejarah filsafat “Arab” yang belakangan. Kami berharap dapat menunjukkan bahwa jauh dari anggapan adanya penyusunan ulang pikiran-pikiran Yunani, filsafat Islam – setidaknya dalam kasus Mulla Sadra – justru telah mengembangkan bahasa-bahasa filosofisnya sendiri berdasarkan ajaran Islam, sebuah sistem pemikiran yang kemudian mensucikan wacana filsafat melalui pencapaian kebenaran pada jalan Sirâth al-Mustaqim.
Kita harus memulai pembahasan ini dengan kajian lanjutan tentang tema gerakan substansial. Mulla Sadra menghubungkan gerakan substansial ini dengan “perintah penciptaan” (existentiating command) Tuhan. Bagi Mulla Sadra, gerakan substansial adalah aliran wujud yang inheren di dalam perintah meng-ada yang diberikan oleh Sang Pencipta dimana semua wujud melaluinya dengan berbagai keadaan yang berbeda-beda, baik di dunia ini maupun di alam akhirat. Perintah Tuhan ini bersifat permanen dan tidak bisa ditolak oleh makhluk. Semua “wujud” harus mengikuti perintah ini, dan perintah itu sendiri sesuai dengan yang difirmankan Tuhan di dalam Alquran, QS. 16:40, “Kun fa ya kun,” (Ketika Allah berfirman, “Jadilah!”, maka jadilah ia). Secara teknis, hukum ini disebut al-hukm al-takwini (existentiating judgment, hukum penciptaan) di dalam terminologi filsafat Mulla Sadra. 3) Di samping itu, selain gerakan substansial ini, masih ada gerakan lain yang menyertainya. Sebagai lanjutan dari perintah penciptaan yang didasarkan pada gerakan substansial, terdapat perintah kedua yang disampaikan oleh Tuhan. Hukum ini disebut al-hukm al-tadwini (recorded jugdment, hukum tertulis), 4) yang di dalam ajaran Islam mengacu pada Kitab Allah atau Sunnatullah, yakni hukum yang mengatur segala sesuatu yang diperbolehkan dan yang dilarang seperti yang diterangkan oleh wahyu. Perintah ini, berbeda dengan hukum penciptaan yang bersifat universal terhadap semua maujud, hanya berhubungan dengan makhluk yang mempunyai kehendak yakni manusia, 5) dan meskipun manusia diperintahkan untuk taat, namun ketaatan itu bukanlah sesuatu yang dipersyaratkan secara ontologis berdasarkan kebebasan yang diberikan kepada manusia untuk bisa memilih apakah ingin taat ataupun mengingkari hukum tersebut. Sekali lagi, Mulla Sadra menjelaskan dengan sangat lugas bahwa “hukum tertulis” mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap gerakan substansial manusia, dan bahwa “hukum penciptaan” tergantung kepada agama dan kehendak untuk mengikuti ajaran agama tersebut.
Disinilah, di dalam perbincangan tentang “perbuatan yang baik,” yakni tentang apa yang bisa kita sebut sebagai kebaikan atau praktik keagamaan, kita bisa mulai mempelajari suatu metode dimana Mulla Sadra benar-benar telah memisahkan bangunan filsafatnya dari pemikiran Yunani. Setelah itu, kita juga akan mencoba untuk menentukan dimana elemen-elemen praksis Islam yang kita singgung dalam pendahuluan tulisan ini, kita memasuki tujuan puncak filsafat Mulla Sadra. Pertama-tama, kita akan menguji beberapa ide dasar filsafat Yunani dalam beberapa persoalan-persoalan praktis yang dapat kita perhadapkan dengan apa yang diajarkan oleh Mulla Sadra, agar kita dapat menunjukkan sifat-sifat keIslaman yang murni di dalam filsafat Mulla Sadra tersebut.
Bagi filosof-filosof besar Yunani (dan kita akan hanya merujuk kepada Phytagoras, Plato dan Aristoteles), filsafat dan kebajikan mempunyai hubungan yang sangat erat, jika tidak bisa dikatakan sama. Bagi mereka, tidak ada filsafat tanpa adanya kebajikan, khususnya tidak ada filsafat tanpa adanya kesederhanaan, keteraturan dan kehidupan yang selalu punya sandaran. Kita dapat melihat secara jelas ajaran ini dalam “Ayat-ayat Emas”nya Phytagoras, tempat dimana dia menerangkan prinsip-prinsip hidup yang harus dijalani murid-muridnya. Prinsip-prinsip ini memerlukan, sebagai tambahan terhadap pemujaan kepada para dewa, semua bentuk kesederhanaan dan kerendahhatian, atau yang mungkin dapat kita sebut “keteraturan” di dalam semua aspek kehidupan sehari-hari dan keteraturan dalam berhubungan dengan orang lain. Demikian juga Plato, dia telah menjelaskan beberapa ajaran yang sama di dalam bukunya “Republik” pada bab XIV, tempat dimana Plato menjelaskan keharusan untuk mempertahankan suatu keharmonisan antara fakultas berpikir, yakni “elemen ruhiyyah” dari sifat dasar manusia, dengan kebiasaan-kebiasaan ragawi di dalam diri pribadi setiap orang, bahwa kebiasaan hidup manusia ditentukan dan diseimbangkan oleh kekuatan berfikir tersebut, “…..(seperti) menata rumah seseorang dengan penataan yang baik….menyusun ketiga komponen tadi seperti susunan nada musik yang menghasilkan irama yang menyejukkan.” 6) Aritoteles juga menekankan pentingnya hidup dalam “kesederhanaan” dan “kesabaran,” 7) sehingga diperlukan suatu usaha untuk menciptakan keharmonisan seluruh aspek-aspek kemanusiaan yang kondusif dan terbaik, yakni dengan melakukan kontemplasi rasional. Bagi semua filosof ini, kebaikan atau kebenaran adalah bentuk keharmonisan rasional yang bisa mencegah perbuatan yang berlebihan; dan tentu saja, tema-tema ini menunjukkan elemen-elemen esensial kebenaran dan kebaikan di dalam filsafat Yunani demi mencapai apa yang disebut oleh Aristoteles sebagai udaiuovia atau kebahagiaan hakiki.
Ketika kita memperbandingkan antara pemikiran Yunani dan filsafat Mulla Sadra, kita tidak melihat pengulangan dari tema-tema tersebut di atas. Tak bisa dipungkiri, kesederhanaan dan rasionalitas juga ada dalam pemikiran Mulla Sadra; namun sebagai contoh, defenisi mendasar “kesederhanaan” telah ditransformasikan oleh Mulla Sadra ke dalam konteks ajaran Alquran yang juga mencakup ajaran para Imam as. Demikian juga, Mulla Sadra telah menurunkan nilai “rasionalitas” yang dianggap sebagai fakultas tertinggi yang menjadi syarat kemampuan manusia, seperti yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa rasionalitas adalah mencapai “tempat mulia” yang “Tuhan selalu berada di dalamnya.” 8) Mulla Sadra kemudian mengganti “rasionalitas” yang dipuja-puja ini dengan keyakinan (iman) dan cahaya pengetahuan sejati (ma’rifah).
Tema filsafat Mulla Sadra yang dengan sangat jelas mentransendenkan nilai-nilai kesederhanaan dan rasionalitas di dalam filsafat Yunani adalah penjelasan Mulla Sadra tentang sirâth, suatu istilah di dalam Alquran yang berarti “jalan” atau “jembatan” yang terbentang dari kedua tepi neraka yang hanya dengan melewatinya manusia bisa masuk ke dalam surga. Seperti halnya di dalam filsafat Yunani yang mengatakan bahwa tidak ada filsafat tanpa adanya kebaikan – sebagaimana halnya seseorang bisa juga mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan teoritis tanpa adanya pengetahuan praktis yang membangun kondisi-kondisi dasar sebuah teori – filsafat Mulla Sadra juga sangat tergantung kepada pembentukan aktif perbuatan-perbuatan baik yang justru memperkuat bangunan filsafat tersebut. Bagi Mulla Sadra, pembentukan aktif perbuatan baik ini adalah dinul Islam. Di dalam doktrin Mulla Sadra tentang sirâth, alasan yang paling mendasar dalam penekanan terhadap pentingnya nilai-nilai kebaikan adalah pemahaman Islam yang menganggap bahwa perjalanan jiwa dalam menempuh sirâth pada kehidupan akhirat nanti adalah untuk menyingkapkan suatu kualitas atau kebahagiaan kehidupan tertinggi yang belum pernah dirasakan oleh manusia di dunia ini.
Tetapi sirâth bukan hanya suatu jalan yang akan ditempuh oleh jiwa di kehidupan berikutnya. Sirâth juga adalah jalan agama yang hakiki, seperti yang dikatakan oleh Mulla Sadra bahwa “Sirâth adalah suatu bentuk yang di dalamnya petunjuk diwujudkan selama engkau hidup di dunia ini.” 9) Bentuk lain petunjuk ini adalah Muslim yang sejati. Untuk memperjelas masalah ini, kita harus memperluas pembahasan topik tentang gerak (al-harakah) seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Kami telah menyebutkan bahwa di dalam ontologi kosmos Mulla Sadra, terdapat perintah penciptaan dan perintah tertulis. Kami juga telah menyebutkan bahwa yang berhubungan dengan perintah penciptaan itu adalah gerakan substansial (al-harakah al-jauhariyyah) yang memberikan wujud kepada semua makhluk. Tetapi menurut Mulla Sadra, ada gerakan lain yang berhubungan dengan perintah tertulis Allah walaupun gerakan ini lebih tepat jika dikatakan tergantung kepada pilihan manusia dibanding kehendak Allah itu sendiri. Gerakan ini disebut di dalam filsafat Mulla Sadra dengan beberapa istilah yang berbeda-beda, misalnya al-harakah al-iradiyyah (willful motion, gerakan kehendak), al-harakah al-‘aradiyyah (accidental motion, gerakan aksidental), al-harakah al-ikhtiyariyyah (voluntary motion, gerakan ikhtiar), yakni gerakan yang lahir dari jiwa yang ingin kembali kepada Tuhan dengan cara yang diridhaiNya. Dalam membicarakan gerakan ini, Mulla Sadra di dalam al-Asfar dengan jelas menghubungkan gerakan ini dengan syariat Islam, Mulla Sadra mengatakan:
“…..(gerakan itu) adalah gerakan aksidental (al-‘aradiyyah) berdasarkan suatu wujud jiwa dalam hubungannya dengan semangat agama (ba’its dini), dan gerakan ini adalah jalan tauhid, juga jalan bagi orang-orang yang mengakui keesaan Allah (muwahhidun) dari golongan para nabi (anbiya’), kekasih-kekasih Allah (awliya’), serta orang-orang yang mengikuti mereka (atba’). Inilah yang telah difirmankan oleh Allah: ‘Dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus’” 10)
Disini, disamping menekankan pengaruh pengamalan ajaran agama Islam, Sadra juga membicarakan gerakan ini sebagai gerakan “aksidental” yang dilakukan oleh seseorang. Sadra menjelaskan masalah ini untuk menekankan landasan ontologisnya, yakni bahwa gerakan tersebut tergantung kepada kondisi aksidental (yaitu pilihan manusia untuk berbuat baik atau tidak, untuk mengamalkan ajaran Islam atau tidak). Secara teknis diistilahkan bahwa, semua aksiden bisa meng-ada dan bisa juga tidak.
Sebagai pelengkap terhadap keharusan mengikuti jalan tauhid dan ajaran para Nabi, Mulla Sadra juga sering mengutip hadits para Imam as untuk memperjelas pandangannya tentang doktrin Sirâth. Di dalam al-Hikmah al-Arsyiyyah, Mulla Sadra mengutip ahadits walawiyyah berikut:
Abu ‘Abdullah as bersabda: “Sirâth adalah jalan menuju pengetahuan sejati terhadap Allah Yang Maha Agung. Jalan tersebut ada dua, satu berada di dunia ini dan satunya lagi berada di alam akhirat. Adapun jalan yang ada di dunia ini adalah para Imam yang harus ditaati; barangsiapa yang mengenalnya dengan sebenar-benar pengenalan dan mengikuti ajarannya dengan ketaatan yang kuat, maka dia akan dapat melalui Sirâth yang menjadi jembatan antara kedua tepi neraka di hari akhir nanti.”
Imam Ja’far as juga diriwayatkan bahwa ketika menjelaskan tentang firman Allah Swt ‘Tunjukilah kami jalan yang lurus’ (QS 1:6), Imam Ja’far as mengatakan: “Sirâth itu adalah amirul mukminin (‘Ali Ibn Abi Thalib as) dan pengetahuan hakiki yang dimilikinya.”
Juga diriwayatkan dari para Imam as bahwa mereka berkata: “Kami adalah pintu menuju Tuhan, dan kamilah jalan yang lurus.” 11)
Mulla Sadra menggunakan hadits-hadits di atas serta hadits-hadits lainnya, baik di dalam al-Hikmah al-Arsyiyyah maupun dalam kitab tafsirnya (tentang QS. 1:6), untuk memperkuat pandangannya bahwa “semua jiwa pada satu sisi merupakan ‘jalan’ menuju alam akhirat, dan pada sisi yang lain jiwa itulah yang melintasi jalan tersebut.” 12) Tetapi isu penting yang perlu kita perhatikan dalam penjelasan ini adalah, bahwa Mulla Sadra merasa perlu untuk membenarkan pandangannya tentang Sirâth dengan merujuk kepada ajaran para Imam as. Pada bagian yang lain di dalam al-Hikmah al-Arsyiyyah, dimana Mulla Sadra membicarakan perihal kemampuan manusia untuk mencapai pengetahuan tentang jiwa yang hakiki (ma’rifat al-nafs) – bahwa jiwa seperti yang telah kita sebutkan adalah “sesuatu” yang berjalan pada Sirâth dan sekaligus bisa menjadi substansi dari Sirâth itu sendiri – Mulla Sadra bahkan mewajibkan secara kategoris untuk mengikuti ajaran para Imam as.
Pengetahuan hakiki (ma’rifah) ini hanya dapat dicapai melalui iluminasi relung cahaya kenabian, melalui kepengikutan pada cahaya wahyu dan kenabian, serta melalui lentera kitab dan riwayat dari Jalan Para Imam as yang sampai kepada kita, pemimpin orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan kesempurnaan. 13)
Oleh karena itu, tidak bisa diragukan berdasarkan persyaratan praktis umum bahwa Mulla Sadra menyuruh mengikuti petunjuk-petunjuk di atas bagi siapa saja yang ingin mengikuti filsafatnya. Bagi Mulla Sadra, syarat tersebut adalah mengikuti petunjuk syariah Islam dan bimbingan dan para Imam as, dan bukan berdasarkan pemikiran-pemikiran filsafat Yunani.
Jelas bahwa perjalanan total manusia dalam melintasi sirâth didasarkan pada gerakan ikhtiyar yang ditentukan oleh intensitas ketaatannya pada agama Allah dan kepatuhannya kepada para Imam as. Lebih dari itu, Mulla Sadra bahkan memberikan penjelasan khusus mengenai masalah ini. Pada mulanya, Sadra hanya menjelaskan bahwa dengan berpegang pada praksis dan nilai ajaran Islam, kita akan akan mampu melewati sirâth di hari akhir, sebuah tema yang sangat penting dalam pembahasan masalah sirâth ini. Kemudian dengan mengutip ayat Alquran, Mulla Sadra mengatakan bahwa sirath, yang benar-benar mewujud di alam akhirat, memiliki dua aspek: “lebih tajam daripada pedang” dan “lebih kecil daripada rambut.” Mulla Sadra mengatakan bahwa kedua aspek sirath ini berturut-turut adalah fakultas praktis (the practical faculty) dan fakultas berpikir (the speculative faculty) yang ada pada manusia. Kedua fakultas ini berhubungan dengan pembagian pengetahuan ke dalam pengetahuan praktis dan pengetahuan teoritis menurut Aristoteles, walaupun sebenarnya tidak ada perbedaan yang cukup penting dalam hubungan ini. Di dalam kitab al-Asfar, Mulla Sadra menjelaskan fakultas praktis dan hubungannya dengan kesempurnaan perbuatan (manusia), suatu penjelasan yang mirip dengan penjelasan Plato. Mulla Sadra mengatakan:
Dan untuk fakultas praktis: di dalam pengaturan tiga kekuatan, yakni indra, nafsu amarah (irascible), dan penilaian…..fakultas praktis membawa jiwa pada suatu perimbangan di antara keadaan-keadaan yang berlebihan…. (dan) ketiadaan keadaan yang berlebih-lebihan yang disebut keadilan (justice) adalah awal keterhindaran (khalas) dari api neraka. 14)
Penjelasan ini menunjukkan adanya pengutipan ajaran-ajaran filsafat Yunani tentang ajaran kesederhanaan dan keadilan khususnya yang terdapat di dalam Republik-nya Plato. Namun tentu saja, pengutipan ini harus dilihat dari sudut pandang:
1. Penjelasan Mulla Sadra tentang konsep kesederhanaan dan keadilan tersebut di atas adalah penjelasan yang berhubungan dengan ajaran Islam.
2. Tema-tema tentang kesederhanaan, kerendahhatian (temperance, hilm) keseimbangan (mizan), keadilan (‘adl) dan lain-lain, semuanya telah disebutkan dalam jumlah yang sangat banyak di dalam Alquran, Hadits dan syari’ah. Tentu saja, bahasa yang digunakan oleh Mulla Sadra dalam penjelasan ini sama dengan bahasa di dalam ajaran filsafat Yunani, namun sangat jelas dipahami bahwa ajaran filsafat Yunani bukanlah ajaran Islam.
Hal ini akan lebih jelas ketika kita melihat kalimat terakhir kutipan di atas dan bagaimana Mulla Sadra memandang kesederhanaan atau “ketiadaan keadaan yang berlebih-lebihan” hanya sebagai salah satu bagian saja dari perjalanan jiwa yang berhasil melalui Sirath di hari akhirat. Seperti yang akan kita lihat nanti, sebagai pelengkap bagi syarat-syarat kesederhaan, perjalanan menempuh Sirath ini juga masih memerlukan syarat-syarat lain yang lebih penting artinya, yakni keyakinan (iman) dan pengenalan hakiki (ma’rifat).
Mulla Sadra mengatakan dalam kutipan di atas bahwa “ketiadaan keadaan yang berlebih-lebihan” merupakan “awal kesuksesan (melewati sirath).” Dalam penjelasan ini, Mulla Sadra ingin mengatakan bahwa kesederhanaan dalam perbuatan hanyalah salah satu bagian dari sirath. Tentu saja, hal ini bukanlah suatu jaminan seperti yang disebutkan di dalam Alquran, yang juga Mulla Sadra pasti memahaminya, bahwa setiap orang yang berdiri di atas sirath di hari akhir sudah pasti akan sampai ke surga. Alquran menjelaskan kepada kita bahwa akan banyak orang yang terjatuh dari sirath di hari akhir nanti. Dengan demikian, jelas bahwa ketika seseorang telah mencapai sirath, hal itu bukan berarti bahwa dia akan mampu melewatinya dengan selamat sampai ke surga. Mulla Sadra memperjelas masalah ini dengan mengatakan bahwa ketiadaan keadaan yang berlebih-lebihan hanyalah “awal kesuksesan (melewati sirath).” Bagi Mulla Sadra, ketiadaan keadaan yang berlebih-lebihan hanya memperkenankan kita untuk “berdiri” di atas sirath, bukan suatu syarat yang dengannya kita dapat melewati sirath tersebut. Untuk memberikan penjelasan yang lebih luas, ide tentang kesederhanaan yang hanya sebagai permulaan juga dijelaskan oleh Mulla Sadra dalam penjelasannya yang lain tentang “Jalan Dunia Ini.”
“Jalan dunia ini” adalah wujud dari pencapaian keharmonisan pisik dan kesederhanaan hidup di antara keadaan yang berlebihan dan keadaan yang berkekurangan, dan pada penggunaan kekuatan indra, nafsu dan penilaian di dalam fakultas praktis. Dengan pencapaian ini, seseorang tidak hanya terhindar dari kemalasan dan kelalaian, tetapi membawanya ke dalam ke-tawadhu’-an dan kerendahhatian; tidak hanya menghindarkannya dari sikap gegabah, kejenuhan dan ketakutan, tetapi membawanya pada semangat; dan tidak hanya menghindarkannya dari kelicikan dan kegilaan, tetapi menjadikannya hati-hati dan bijaksana….Sekarang, kesederhanaan di antara pengaruh buruk dari kekuatan-kekuatan tersebut merupakan ketiadaannya di dalam jiwa. Dengan jalan ini, jiwa akan menjadi seolah-olah tidak ada lagi keterkaitan dengan sifat-sifat pisik dari keterhubungannya dengan raga, dan jiwa seolah-olah sudah tidak berada lagi di dunia ini……Dan kemudian jiwa akan menjadi seperti cermin yang dipersiapkan (tasta’iddu) untuk menerima manifestasi diri dari bentuk Wujud Sejati. 15)
Sekali lagi, disini kita melihat bahwa kesederhanaan di dalam sikap dan perbuatan hanyalah sebagai permulaan, suatu persiapan untuk menuju perjalanan spiritual yang sebenarnya. Dan juga sekali lagi dikatakan, bahwa kesederhanaan dalam sikap hanya dapat dicapai dengan mengikuti syari’ah dan ketaatan kepada para Imam as. Mulla Sadra melanjutkan,
Dan bahwa (kesiapan yang diperoleh dari kesederhanaan) hanya dapat dicapai melalui kepatuhan kepada hukum-hukum agama (syari’ah) dan ketaatan kepada para Imam as yang harus diikuti – bahwa yang dimaksud dengan “Jalan di Dunia ini” adalah para Imam as. 16)
Namun, harus dicatat bahwa meskipun Sadra menekankan perlunya persiapan jiwa dengan nilai-nilai kesederhanaan, tetapi Mulla Sadra tidak memberikan penjelasan secara rinci tahapan-tahapan perjalanan jiwa ketika meninggalkan alam dunia menuju sirath di hari akhir. Mulla Sadra hanya mengatakan kepada kita (1) bahwa jiwa tersebut dipersiapkan untuk menerima wujud sejati yang sebelumnya belum dimilikinya, dan (2) bahwa jiwa partikular tersebut mungkin tidak akan mengalami rasa sakit karena perpisahan dengan kehidupan dunia ketika dia harus melanjutkan perjalanannya dari alam dunia ini menuju alam akhirat.
Alasan mengapa Mulla Sadra tidak menjelaskan tahapan-tahapan perjalanan yang akan dilalui oleh jiwa yang sederhana dan taat kepada syari’at Islam pada kehidupan akhirat nanti adalah karena tahapan tersebut tergantung kepada syarat-syarat lain yang lebih dari sekedar “kesederhanaan” saja. Dalam hal ini, jiwa memerlukan suatu petunjuk khusus yang bukan hanya dengan melakukan perbuatan baik dan ketaatan pada perintah. Jiwa membutuhkan petunjuk yang datang dari dalam, dari iman dan pengenalan hakiki (ma’rifat), yang disebut oleh Mulla Sadra berfungsi sebagai cahaya-cahaya sepanjang tingkatan-tingkatan eskatologis jiwa yang berbeda-beda setelah mencapai sirath di hari akhir. Dari sini menjadi jelas bahwa defenisi Mulla Sadra tentang makna kesederhanaan tidak sesederhana dengan defenisi masalah ini di dalam filsafat Yunani, Sadra mendefenisikannya dalam konteks ajaran Islam, syari’at dan pandangan para Imam as. Apa yang akan kita tunjukkan sebenarnya adalah, bahwa posisi ajaran kesederhanaan di dalam filsafat Mulla Sadra juga ditentukan oleh ajaran Islam, khususnya nilai-nilai Alquran yang menempatkan iman di atas perbuatan-perbuatan baik. Disini kita melihat Mulla Sadra membedakan secara klasik antara siapa yang disebut “muslim” dan siapa yang disebut “mukmin.” Ketaatan kepada hukum dan aturan hanya akan membawa seseorang kepada pintu kebenaran, hanya “mempersiapkan” seseorang untuk memasuki kebenaran itu. Untuk dapat memasuki kebenaran, memasuki surga dan menyaksikan keberadaan Allah, seseorang membutuhkan iman dan pengetahuan batin. Kedua hal ini merupakan faktor esensial dari fakultas manusia yang kedua menurut Mulla Sadra, yakni fakultas berfikir yang akan menjadi perhatian kita.
Fakultas berfikir di dalam filsafat Mulla Sadra adalah fakultas yang berhubungan dengan kualitas kedua dari dua kualitas sirath seperti yang disebutkan di dalam Alquran, yakni “yang lebih tipis daripada rambut.” 17) Fakultas ini juga menjadi sumber dari apa yang diistilahkan oleh Mulla Sadra “pemahaman-pemahaman yang teliti” (precise insights, al-anzar al-daqiqah) yang “di dalam ketelitian dan kehalusannya lebih tipis daripada rambut,” 18) itulah karenanya fakultas ini dapat membantu seseorang yang memilikinya untuk dapat melintasi sirath yang sangat tipis itu. Namun, pemahaman ini jangan dirancukan dengan aktivitas rasional murni pikiran untuk memahami bentuk-bentuk universal dari bentuk-bentuk partikular yang menjadi instrumen untuk mengetahui sesuatu di dalam sains Aristotelian. Dalam pandangan Mulla Sadra, pemahaman ini menggabungkan elemen-elemen ketelitian rasional di dalam intuisi spiritual dan iman. Mulla Sadra mengatakan,
Sirath itu mempunyai dua aspek: salah satunya adalah lebih tipis daripada rambut dan yang lainnya adalah lebih tajam daripada pedang. Penyimpangan dari aspek pertama akan menyebabkan keterlepasan dari fitrah, (seperti yang difirmankan oleh Allah), “Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat benar-benar menyimpang dari jalan (yang lurus).” (QS. 23:74) 19)
Di dalam kutipan ini, Mulla Sadra menunjukkan hubungan antara keyakinan atau iman dan kualitas sirath yang “lebih tipis daripada rambut.” Imanlah yang bisa membantu seseorang untuk tetap bisa berdiri di atas sirath dan untuk melanjutkan perjalanannya (menuju surga). Dengan demikian, kesederhanaan dalam perbuatan dan ketaatan (kepada para Imam as) hanyalah kemampuan jiwa untuk dapat menyeberangi neraka. Namun dalam pandangan Mulla Sadra, ada sesuatu yang sangat bernilai bagi jiwa dalam kondisi ini namun tidak bisa dicapainya, yakni bahwa jiwa tidak dapat memperoleh kesempurnaan sejati jika hanya berdasarkan pada kesederhanaan perbuatan dan sikap saja. Mulla Sadra menyinggung masalah ini ketika membicarakan istilah ‘adalah, yang di dalam istilah teknis Mulla Sadra merujuk pada kesederhanaan dalam seluruh aspek kearifan praktis (practical wisdom). Sadra mengatakan, “’Adalah merupakan kesempurnaan sejati, sebab kesempurnaan sejati ini berada di dalam cahaya pengetahuan serta kekuatan iman dan ma’rifat.” 20) Dalam hal ini, nasib terburuk bagi orang yang telah melakukan perbuatan baik tanpa adanya iman adalah terjatuh dari sirath dan masuk ke dalam neraka, seperti yang difirmankan oleh Allah di dalam Alquran QS. 23:74.
Dan bagi mereka yang memiliki iman, hal itu berarti bahwa fakultas berfikirnya digunakan dengan baik (dalam semua tingkatan). Mereka melintasi perjalanan dari para Nabi, shadiqun (orang-orang yang benar), ‘abidun (golongan hamba yang taat), orang-orang yang beriman serta golongan-golongan di antara mereka. 21) Mulla Sadra mengatakan bahwa setiap kelompok ini mempunyai “cahaya” mereka sendiri yang dengannya mereka bisa melewati sirath untuk bertemu dengan Allah, “orang-orang beriman tidak akan bisa bertemu dengan Allah kecuali dengan kekuatan cahaya dan pemahaman mereka.” 22) Mulla Sadra juga mengatakan bahwa cahaya-cahaya ini mempunyai kualitas yang sesuai dengan intensitas iman dan kedalaman ma’rifat mereka. Mulla Sadra mengatakan, “derajat orang-orang beriman akan berbeda karena perbedaan cahaya-cahaya pengetahuan (ma’rifat) serta kekuatan keyakinan dan iman mereka.” 23) Bagi Mulla Sadra, cahaya-cahaya inilah yang menerangi persepsi orang-orang beriman. Sadra menjelaskan bahwa sekelompok orang yang beriman mungkin saja mempunyai cahaya yang redup, sementara kelompok yang lain memiliki cahaya yang terang benderang.
….di antara mereka ada yang diberikan cahaya sebesar gunung….(sementara yang lain) diberikan cahaya seperti pohon palm di tangan kanannya….sampai yang terakhir dari mereka adalah seseorang yang diberikan cahaya yang memancar dari ibu jari kakinya yang besar. Cahaya itu memancar sesaat kemudian padam, dan ketika cahaya itu memancar di depan kakinya, dia kemudian berjalan, dan ketika cahaya itu padam, maka dia hanya akan berdiri di kegelapan. 24)
Oleh karena itu, tanpa cahaya iman dan keyakinan, perjalanan melintasi Sirath menjadi hal yang tidak mungkin. Perjalanan yang berhasil tidak dapat dicapai hanya dengan perbuatan baik saja, karena ketika seseorang sampai pada sirath di hari akhir nanti, tanpa adanya cahaya iman dan keyakinan, dia tidak akan punya penerang yang membantunya melihat jalan yang harus dilaluinya.
Sebagai simpulan, keseluruhan diskusi Mulla Sadra tentang keberhasilan dan kegagalan perjalanan jiwa di dunia dan di akhirat tergantung pada eskatologi Islam dan nilai-nilai kebaikan yang berhubungan dengan ajaran Islam dan kepengikutan kepada para Imam as. Oleh karena itu, sangat sulit dikatakan bahwa filsafat Mulla Sadra bukanlah filsafat Islam. Meskipun Mulla Sadra kelihatan banyak mengadopsi beberapa elemen formal dari filsafat Yunani, misalnya penekanan terhadap kesederhanaan perbuatan, perbedaan antara gerakan aksidental dan gerakan substansial, dan adanya fakultas berfikir dan fakultas praktis, namun Mulla Sadra mendefenisikan ulang elemen-elemen ini dalam konteks ajaran Islam tentang nilai kemanusiaan, fungsi iman dan persepsi, serta balasan yang akan diterima oleh jiwa di hari akhir nanti.
Temple University, USA
Pendapat bahwa ‘filsafat Islam’ tidak sepenuhnya Islami tetapi pada dasarnya hanya merupakan ‘filsafat Yunani’ yang ditulis dalam bahasa Arab, masih tetap menjadi pandangan umum di kalangan mazhab Barat sampai saat ini. Namun ternyata, pandangan ini lebih sering disampaikan tanpa adanya pengujian yang cukup terhadap tradisi-tradisi filosof Muslim yang datang belakangan, khususnya yang berhubungan dengan ‘Mazhab Isfahan.’ Padahal, kebanyakan studi dalam pengajaran mazhab Isfahan ini lebih banyak berfokus pada issu-issu besar seperti metafisika, ontologi, kosmologi, dan lain-lain. Sayangnya, hanya sedikit penjelasan yang pernah ditulis tentang berbagai praksis religius (tradisi ritual keagamaan) yang menunjukkan dengan jelas karakter-karakter Islam dalam tradisi filsafat yang terakhir ini. Untuk itu, kami mengupayakan tulisan ini sebagai salah satu sumbangan dalam proses pembuktian kemurnian ajaran Islam di dalam filsafat Muslim terakhir dengan memfokuskan pada pemahaman Mulla Sadra terhadap doktrin-doktrin Alquran tentang Sirâth serta bagaimana seseorang dapat secara praksis (mempersiapkan diri untuk) menuju kehidupan akhirat setelah kehidupan dunia ini. Mulla Sadra telah memberikan kepada kita penjelasan-penjelasan mengenai masalah ini di dalam kitab-kitabnya, al-Asfar, al-Tafsir al-Kabar dan al-Hikmah al-‘Arsyiyyah, dimana Sadra mengajarkan praktek-prakter spiritual bagi seseorang yang ingin berjalan kepada Tuhan, tentunya dengan merujuk kepada nilai-nilai ajaran Alquran serta ajaran para Imam as. Di dalam kitab-kitab tersebut, Mulla Sadra menghubungkan jiwa manusia dengan kemampuan fitrahnya yang mampu konsisten pada sirâth dengan kehidupan di hari kemudian melalui ketaatannya kepada segala hukum Islam dan para Imam as. Namun, ketaatan yang esensial ini bukanlah satu-satunya syarat yang dengannya seseorang bisa menempuh sirâth, ketaatan ini hanyalah sebuah tumpuan saja. Untuk dapat bergerak ke tingkat yang lebih tinggi, seseorang membutuhkan kemampuan khusus untuk melihat keluasan dan kebesaran sirâth yang hanya bisa disaksikan melalui cahaya kebenaran sejati dan penyingkapan ruhani. Dengan cara ini, praktek-praktek agama eksoteris (the exoteric religion) dan penyaksian melalui agama dan keyakinan dihubungkan di dalam doktrin “Sirâth” yang membuktikan kemurnian karakter Islam di dalam perjalanan spiritual yang diajarkan oleh filsafat Mulla Sadra.
Dalam berbagai studi, filsafat sering diartikan sebagai pencarian yang bersifat mental. Anggapan ini menjadi umum sejak masa renaissance – di dalam konteks filsafat Barat – sebagai pencarian kebijaksanaan (sophos). Istilah ini mengalami degradasi makna yang sebenarnya dari “kebajikan” aktif (yaitu “philo” atau “cinta” yang bermula dari pemaknaan Phytagoras terhadap semua kearifan sejati). Dengan kata lain, filsafat telah mengalami desakralisasi secara gradual dan kemudian terlepas dari wilayah perbincangan kearifan yang sesungguhnya.
Trend sejarah filsafat Barat berbeda dengan sejarah filsafat Islam. Di dalam sejarah filsafat Islam, orang cenderung melihat dari arah yang berlawanan. Dengan kata lain, pemikiran-pemikiran filosofis awal yang diserap oleh budaya Islam lebih cenderung “Yunani.” Tetapi tentu saja, bukan berarti bahwa para filosof Muslim awal melupakan nilai-nilai agama (Islam), tetapi tema-tema yang mereka bicarakan – misalnya dalam kasus al-Madinah al-Fadhilah-nya al-Farabi – benar-benar merupakan tema-tema filsafat Yunani, khususnya dalam tema organisasi sosial. Namun, T. Izutzu telah memberikan catatan yang berbeda dengan kecenderungan pendapat umum, bahwa ternyata filsafat Islam tidak mengalami keterputusan pada abad ke-12 setelah kematian Ibn Rusyd. Bagi Izutzu, abad 12 justru menjadi permulaan filsafat Islam yang sebenarnya, yakni sebuah filsafat yang dirujukkan kepada Alquran atau nilai-nilai keIslaman, 1) suatu bangunan filsafat yang disebut oleh Henry Corbin sebagai “filsafat nubuwwah” (the prophetic philosophy) di dalam Islam. 2) Pandangan ini cenderung dilupakan oleh banyak tokoh, misalnya M. Fakhri di dalam A History of Islamic Philosophy (Columbia University Press, 1983) yang jika tidak disanggah oleh yang lainnya, seperti D. Gutas dalam karyanya Avicenna and Aristotelian Tradition (E.J. Brill, 1988). Dalam pandangan kami, mungkin perwujudan yang terpenting dari ‘filsafat Islam’ yang sebenarnya dapat ditemukan dalam karya-karya Sadr al-Din al-Syirazi (m. 1640) yang lebih dikenal dengan nama Mulla Sadra. Komposisi-komposisi filosofis Mulla Sadra telah menggabungkan antara teori dan “praksis,” yakni metafisika dan nilai-nilai kebaikan yang dalam hal ini mengacu pada ajaran Islam murni dan bukan pada filsafat Yunani, yakni suatu ajaran yang didasarkan pada konsep tentang Sirâth al-Mustaqim, petunjuk ke jalan yang lurus.
Mungkin, konsep yang paling prinsip di dalam filsafat Mulla Sadra adalah doktrin tentang gerakan substansial (al-harakah al-jawhariyyah). Di dalam doktrin ini, Sadra memberikan sebuah pengajaran yang disebutnya bukan konsep yang baru, tetapi telah diajarkan oleh beberapa filosof sebelum Socrates. Doktrin ini menyinggung suatu gerakan esensial semua maujud di bawah tingkatan realitas-realitas dasar (the archetypal realities) (yaitu bentuk-bentuk Platonic ) atau al-a’yan al-tsabita). ) Dalam prinsip ini, Mulla Sadra mengatakan bahwa semua eksistensi mengalami suatu gerakan yang konstan di dalam sifat-sifat dasarnya tanpa perlu dorongan yang diturunkan dari “lingkaran” surgawi. Melalui gerakan substansial inilah, semua maujud di alam ini “menjadi”, yakni wujudnya secara terus menerus menguat atau malah melemah, dan gerakan substansial ini adalah suatu gerakan atau aliran wujud yang melintasi realitas surgawi (the heavenly archetypes). Dalam pandangan Sadra, perbedaan antara manusia dan selainnya di dalam gerakan substansial adalah dalam hal atribut-atribut atau kualitas-kualitasnya, misalnya intelijensi atau keindahan yang merupakan konsekuensi derajar dan kekuatan wujud yang berbeda dari keduanya. Oleh karena itu, seseorang bukan hanya dapat mengatakan bahwa beberapa orang lebih cerdas atau secara pisik lebih baik daripada sekelompok orang lainnya, tetapi “memang” sekelompok orang itu lebih baik daripada yang lainnya, tergantung kepada intensitas gerakan wujud di dalam diri mereka.
Tentu saja, tujuan dari para filosof adalah kebenaran, setidaknya dalam pandangan filsafat tradisional. Di dalam filsafat Mulla Sadra, “wujud”, “realitas” dan kebenaran memiliki keterikatan satu sama lain. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana seseorang dapat mencapai kebenaran atau realitas? Bagaimana seseorang dapat memperkuat gerakan substansial wujudnya agar gerakan tersebut merefleksikan kebenaran? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, semuanya harus dirujukkan kepada nilai ajaran Islam, khususnya ajaran para Imam as. ) Mulla Sadra merujuk pada Alquran dan hadits dalam menjelaskan “jalan” untuk menguatkan wujud seseorang; dan dalam penjelasan ini, Mulla Sadra menggabungkan metafisika dengan praksis Islam yang pendalamannya tidak ditemukan dalam filosof Muslim awal seperti al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina. Tulisan ini ingin mengambarkan sisi kemanusiaan doktrin Mulla Sadra, dan juga untuk memberikan bukti-bukti yang jelas dari sifat-sifat dan nilai-nilai Islam murni yang menjadi rujukan pengajaran dari tokoh besar atau sejarah filsafat “Arab” yang belakangan. Kami berharap dapat menunjukkan bahwa jauh dari anggapan adanya penyusunan ulang pikiran-pikiran Yunani, filsafat Islam – setidaknya dalam kasus Mulla Sadra – justru telah mengembangkan bahasa-bahasa filosofisnya sendiri berdasarkan ajaran Islam, sebuah sistem pemikiran yang kemudian mensucikan wacana filsafat melalui pencapaian kebenaran pada jalan Sirâth al-Mustaqim.
Kita harus memulai pembahasan ini dengan kajian lanjutan tentang tema gerakan substansial. Mulla Sadra menghubungkan gerakan substansial ini dengan “perintah penciptaan” (existentiating command) Tuhan. Bagi Mulla Sadra, gerakan substansial adalah aliran wujud yang inheren di dalam perintah meng-ada yang diberikan oleh Sang Pencipta dimana semua wujud melaluinya dengan berbagai keadaan yang berbeda-beda, baik di dunia ini maupun di alam akhirat. Perintah Tuhan ini bersifat permanen dan tidak bisa ditolak oleh makhluk. Semua “wujud” harus mengikuti perintah ini, dan perintah itu sendiri sesuai dengan yang difirmankan Tuhan di dalam Alquran, QS. 16:40, “Kun fa ya kun,” (Ketika Allah berfirman, “Jadilah!”, maka jadilah ia). Secara teknis, hukum ini disebut al-hukm al-takwini (existentiating judgment, hukum penciptaan) di dalam terminologi filsafat Mulla Sadra. 3) Di samping itu, selain gerakan substansial ini, masih ada gerakan lain yang menyertainya. Sebagai lanjutan dari perintah penciptaan yang didasarkan pada gerakan substansial, terdapat perintah kedua yang disampaikan oleh Tuhan. Hukum ini disebut al-hukm al-tadwini (recorded jugdment, hukum tertulis), 4) yang di dalam ajaran Islam mengacu pada Kitab Allah atau Sunnatullah, yakni hukum yang mengatur segala sesuatu yang diperbolehkan dan yang dilarang seperti yang diterangkan oleh wahyu. Perintah ini, berbeda dengan hukum penciptaan yang bersifat universal terhadap semua maujud, hanya berhubungan dengan makhluk yang mempunyai kehendak yakni manusia, 5) dan meskipun manusia diperintahkan untuk taat, namun ketaatan itu bukanlah sesuatu yang dipersyaratkan secara ontologis berdasarkan kebebasan yang diberikan kepada manusia untuk bisa memilih apakah ingin taat ataupun mengingkari hukum tersebut. Sekali lagi, Mulla Sadra menjelaskan dengan sangat lugas bahwa “hukum tertulis” mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap gerakan substansial manusia, dan bahwa “hukum penciptaan” tergantung kepada agama dan kehendak untuk mengikuti ajaran agama tersebut.
Disinilah, di dalam perbincangan tentang “perbuatan yang baik,” yakni tentang apa yang bisa kita sebut sebagai kebaikan atau praktik keagamaan, kita bisa mulai mempelajari suatu metode dimana Mulla Sadra benar-benar telah memisahkan bangunan filsafatnya dari pemikiran Yunani. Setelah itu, kita juga akan mencoba untuk menentukan dimana elemen-elemen praksis Islam yang kita singgung dalam pendahuluan tulisan ini, kita memasuki tujuan puncak filsafat Mulla Sadra. Pertama-tama, kita akan menguji beberapa ide dasar filsafat Yunani dalam beberapa persoalan-persoalan praktis yang dapat kita perhadapkan dengan apa yang diajarkan oleh Mulla Sadra, agar kita dapat menunjukkan sifat-sifat keIslaman yang murni di dalam filsafat Mulla Sadra tersebut.
Bagi filosof-filosof besar Yunani (dan kita akan hanya merujuk kepada Phytagoras, Plato dan Aristoteles), filsafat dan kebajikan mempunyai hubungan yang sangat erat, jika tidak bisa dikatakan sama. Bagi mereka, tidak ada filsafat tanpa adanya kebajikan, khususnya tidak ada filsafat tanpa adanya kesederhanaan, keteraturan dan kehidupan yang selalu punya sandaran. Kita dapat melihat secara jelas ajaran ini dalam “Ayat-ayat Emas”nya Phytagoras, tempat dimana dia menerangkan prinsip-prinsip hidup yang harus dijalani murid-muridnya. Prinsip-prinsip ini memerlukan, sebagai tambahan terhadap pemujaan kepada para dewa, semua bentuk kesederhanaan dan kerendahhatian, atau yang mungkin dapat kita sebut “keteraturan” di dalam semua aspek kehidupan sehari-hari dan keteraturan dalam berhubungan dengan orang lain. Demikian juga Plato, dia telah menjelaskan beberapa ajaran yang sama di dalam bukunya “Republik” pada bab XIV, tempat dimana Plato menjelaskan keharusan untuk mempertahankan suatu keharmonisan antara fakultas berpikir, yakni “elemen ruhiyyah” dari sifat dasar manusia, dengan kebiasaan-kebiasaan ragawi di dalam diri pribadi setiap orang, bahwa kebiasaan hidup manusia ditentukan dan diseimbangkan oleh kekuatan berfikir tersebut, “…..(seperti) menata rumah seseorang dengan penataan yang baik….menyusun ketiga komponen tadi seperti susunan nada musik yang menghasilkan irama yang menyejukkan.” 6) Aritoteles juga menekankan pentingnya hidup dalam “kesederhanaan” dan “kesabaran,” 7) sehingga diperlukan suatu usaha untuk menciptakan keharmonisan seluruh aspek-aspek kemanusiaan yang kondusif dan terbaik, yakni dengan melakukan kontemplasi rasional. Bagi semua filosof ini, kebaikan atau kebenaran adalah bentuk keharmonisan rasional yang bisa mencegah perbuatan yang berlebihan; dan tentu saja, tema-tema ini menunjukkan elemen-elemen esensial kebenaran dan kebaikan di dalam filsafat Yunani demi mencapai apa yang disebut oleh Aristoteles sebagai udaiuovia atau kebahagiaan hakiki.
Ketika kita memperbandingkan antara pemikiran Yunani dan filsafat Mulla Sadra, kita tidak melihat pengulangan dari tema-tema tersebut di atas. Tak bisa dipungkiri, kesederhanaan dan rasionalitas juga ada dalam pemikiran Mulla Sadra; namun sebagai contoh, defenisi mendasar “kesederhanaan” telah ditransformasikan oleh Mulla Sadra ke dalam konteks ajaran Alquran yang juga mencakup ajaran para Imam as. Demikian juga, Mulla Sadra telah menurunkan nilai “rasionalitas” yang dianggap sebagai fakultas tertinggi yang menjadi syarat kemampuan manusia, seperti yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa rasionalitas adalah mencapai “tempat mulia” yang “Tuhan selalu berada di dalamnya.” 8) Mulla Sadra kemudian mengganti “rasionalitas” yang dipuja-puja ini dengan keyakinan (iman) dan cahaya pengetahuan sejati (ma’rifah).
Tema filsafat Mulla Sadra yang dengan sangat jelas mentransendenkan nilai-nilai kesederhanaan dan rasionalitas di dalam filsafat Yunani adalah penjelasan Mulla Sadra tentang sirâth, suatu istilah di dalam Alquran yang berarti “jalan” atau “jembatan” yang terbentang dari kedua tepi neraka yang hanya dengan melewatinya manusia bisa masuk ke dalam surga. Seperti halnya di dalam filsafat Yunani yang mengatakan bahwa tidak ada filsafat tanpa adanya kebaikan – sebagaimana halnya seseorang bisa juga mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan teoritis tanpa adanya pengetahuan praktis yang membangun kondisi-kondisi dasar sebuah teori – filsafat Mulla Sadra juga sangat tergantung kepada pembentukan aktif perbuatan-perbuatan baik yang justru memperkuat bangunan filsafat tersebut. Bagi Mulla Sadra, pembentukan aktif perbuatan baik ini adalah dinul Islam. Di dalam doktrin Mulla Sadra tentang sirâth, alasan yang paling mendasar dalam penekanan terhadap pentingnya nilai-nilai kebaikan adalah pemahaman Islam yang menganggap bahwa perjalanan jiwa dalam menempuh sirâth pada kehidupan akhirat nanti adalah untuk menyingkapkan suatu kualitas atau kebahagiaan kehidupan tertinggi yang belum pernah dirasakan oleh manusia di dunia ini.
Tetapi sirâth bukan hanya suatu jalan yang akan ditempuh oleh jiwa di kehidupan berikutnya. Sirâth juga adalah jalan agama yang hakiki, seperti yang dikatakan oleh Mulla Sadra bahwa “Sirâth adalah suatu bentuk yang di dalamnya petunjuk diwujudkan selama engkau hidup di dunia ini.” 9) Bentuk lain petunjuk ini adalah Muslim yang sejati. Untuk memperjelas masalah ini, kita harus memperluas pembahasan topik tentang gerak (al-harakah) seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Kami telah menyebutkan bahwa di dalam ontologi kosmos Mulla Sadra, terdapat perintah penciptaan dan perintah tertulis. Kami juga telah menyebutkan bahwa yang berhubungan dengan perintah penciptaan itu adalah gerakan substansial (al-harakah al-jauhariyyah) yang memberikan wujud kepada semua makhluk. Tetapi menurut Mulla Sadra, ada gerakan lain yang berhubungan dengan perintah tertulis Allah walaupun gerakan ini lebih tepat jika dikatakan tergantung kepada pilihan manusia dibanding kehendak Allah itu sendiri. Gerakan ini disebut di dalam filsafat Mulla Sadra dengan beberapa istilah yang berbeda-beda, misalnya al-harakah al-iradiyyah (willful motion, gerakan kehendak), al-harakah al-‘aradiyyah (accidental motion, gerakan aksidental), al-harakah al-ikhtiyariyyah (voluntary motion, gerakan ikhtiar), yakni gerakan yang lahir dari jiwa yang ingin kembali kepada Tuhan dengan cara yang diridhaiNya. Dalam membicarakan gerakan ini, Mulla Sadra di dalam al-Asfar dengan jelas menghubungkan gerakan ini dengan syariat Islam, Mulla Sadra mengatakan:
“…..(gerakan itu) adalah gerakan aksidental (al-‘aradiyyah) berdasarkan suatu wujud jiwa dalam hubungannya dengan semangat agama (ba’its dini), dan gerakan ini adalah jalan tauhid, juga jalan bagi orang-orang yang mengakui keesaan Allah (muwahhidun) dari golongan para nabi (anbiya’), kekasih-kekasih Allah (awliya’), serta orang-orang yang mengikuti mereka (atba’). Inilah yang telah difirmankan oleh Allah: ‘Dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus’” 10)
Disini, disamping menekankan pengaruh pengamalan ajaran agama Islam, Sadra juga membicarakan gerakan ini sebagai gerakan “aksidental” yang dilakukan oleh seseorang. Sadra menjelaskan masalah ini untuk menekankan landasan ontologisnya, yakni bahwa gerakan tersebut tergantung kepada kondisi aksidental (yaitu pilihan manusia untuk berbuat baik atau tidak, untuk mengamalkan ajaran Islam atau tidak). Secara teknis diistilahkan bahwa, semua aksiden bisa meng-ada dan bisa juga tidak.
Sebagai pelengkap terhadap keharusan mengikuti jalan tauhid dan ajaran para Nabi, Mulla Sadra juga sering mengutip hadits para Imam as untuk memperjelas pandangannya tentang doktrin Sirâth. Di dalam al-Hikmah al-Arsyiyyah, Mulla Sadra mengutip ahadits walawiyyah berikut:
Abu ‘Abdullah as bersabda: “Sirâth adalah jalan menuju pengetahuan sejati terhadap Allah Yang Maha Agung. Jalan tersebut ada dua, satu berada di dunia ini dan satunya lagi berada di alam akhirat. Adapun jalan yang ada di dunia ini adalah para Imam yang harus ditaati; barangsiapa yang mengenalnya dengan sebenar-benar pengenalan dan mengikuti ajarannya dengan ketaatan yang kuat, maka dia akan dapat melalui Sirâth yang menjadi jembatan antara kedua tepi neraka di hari akhir nanti.”
Imam Ja’far as juga diriwayatkan bahwa ketika menjelaskan tentang firman Allah Swt ‘Tunjukilah kami jalan yang lurus’ (QS 1:6), Imam Ja’far as mengatakan: “Sirâth itu adalah amirul mukminin (‘Ali Ibn Abi Thalib as) dan pengetahuan hakiki yang dimilikinya.”
Juga diriwayatkan dari para Imam as bahwa mereka berkata: “Kami adalah pintu menuju Tuhan, dan kamilah jalan yang lurus.” 11)
Mulla Sadra menggunakan hadits-hadits di atas serta hadits-hadits lainnya, baik di dalam al-Hikmah al-Arsyiyyah maupun dalam kitab tafsirnya (tentang QS. 1:6), untuk memperkuat pandangannya bahwa “semua jiwa pada satu sisi merupakan ‘jalan’ menuju alam akhirat, dan pada sisi yang lain jiwa itulah yang melintasi jalan tersebut.” 12) Tetapi isu penting yang perlu kita perhatikan dalam penjelasan ini adalah, bahwa Mulla Sadra merasa perlu untuk membenarkan pandangannya tentang Sirâth dengan merujuk kepada ajaran para Imam as. Pada bagian yang lain di dalam al-Hikmah al-Arsyiyyah, dimana Mulla Sadra membicarakan perihal kemampuan manusia untuk mencapai pengetahuan tentang jiwa yang hakiki (ma’rifat al-nafs) – bahwa jiwa seperti yang telah kita sebutkan adalah “sesuatu” yang berjalan pada Sirâth dan sekaligus bisa menjadi substansi dari Sirâth itu sendiri – Mulla Sadra bahkan mewajibkan secara kategoris untuk mengikuti ajaran para Imam as.
Pengetahuan hakiki (ma’rifah) ini hanya dapat dicapai melalui iluminasi relung cahaya kenabian, melalui kepengikutan pada cahaya wahyu dan kenabian, serta melalui lentera kitab dan riwayat dari Jalan Para Imam as yang sampai kepada kita, pemimpin orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan kesempurnaan. 13)
Oleh karena itu, tidak bisa diragukan berdasarkan persyaratan praktis umum bahwa Mulla Sadra menyuruh mengikuti petunjuk-petunjuk di atas bagi siapa saja yang ingin mengikuti filsafatnya. Bagi Mulla Sadra, syarat tersebut adalah mengikuti petunjuk syariah Islam dan bimbingan dan para Imam as, dan bukan berdasarkan pemikiran-pemikiran filsafat Yunani.
Jelas bahwa perjalanan total manusia dalam melintasi sirâth didasarkan pada gerakan ikhtiyar yang ditentukan oleh intensitas ketaatannya pada agama Allah dan kepatuhannya kepada para Imam as. Lebih dari itu, Mulla Sadra bahkan memberikan penjelasan khusus mengenai masalah ini. Pada mulanya, Sadra hanya menjelaskan bahwa dengan berpegang pada praksis dan nilai ajaran Islam, kita akan akan mampu melewati sirâth di hari akhir, sebuah tema yang sangat penting dalam pembahasan masalah sirâth ini. Kemudian dengan mengutip ayat Alquran, Mulla Sadra mengatakan bahwa sirath, yang benar-benar mewujud di alam akhirat, memiliki dua aspek: “lebih tajam daripada pedang” dan “lebih kecil daripada rambut.” Mulla Sadra mengatakan bahwa kedua aspek sirath ini berturut-turut adalah fakultas praktis (the practical faculty) dan fakultas berpikir (the speculative faculty) yang ada pada manusia. Kedua fakultas ini berhubungan dengan pembagian pengetahuan ke dalam pengetahuan praktis dan pengetahuan teoritis menurut Aristoteles, walaupun sebenarnya tidak ada perbedaan yang cukup penting dalam hubungan ini. Di dalam kitab al-Asfar, Mulla Sadra menjelaskan fakultas praktis dan hubungannya dengan kesempurnaan perbuatan (manusia), suatu penjelasan yang mirip dengan penjelasan Plato. Mulla Sadra mengatakan:
Dan untuk fakultas praktis: di dalam pengaturan tiga kekuatan, yakni indra, nafsu amarah (irascible), dan penilaian…..fakultas praktis membawa jiwa pada suatu perimbangan di antara keadaan-keadaan yang berlebihan…. (dan) ketiadaan keadaan yang berlebih-lebihan yang disebut keadilan (justice) adalah awal keterhindaran (khalas) dari api neraka. 14)
Penjelasan ini menunjukkan adanya pengutipan ajaran-ajaran filsafat Yunani tentang ajaran kesederhanaan dan keadilan khususnya yang terdapat di dalam Republik-nya Plato. Namun tentu saja, pengutipan ini harus dilihat dari sudut pandang:
1. Penjelasan Mulla Sadra tentang konsep kesederhanaan dan keadilan tersebut di atas adalah penjelasan yang berhubungan dengan ajaran Islam.
2. Tema-tema tentang kesederhanaan, kerendahhatian (temperance, hilm) keseimbangan (mizan), keadilan (‘adl) dan lain-lain, semuanya telah disebutkan dalam jumlah yang sangat banyak di dalam Alquran, Hadits dan syari’ah. Tentu saja, bahasa yang digunakan oleh Mulla Sadra dalam penjelasan ini sama dengan bahasa di dalam ajaran filsafat Yunani, namun sangat jelas dipahami bahwa ajaran filsafat Yunani bukanlah ajaran Islam.
Hal ini akan lebih jelas ketika kita melihat kalimat terakhir kutipan di atas dan bagaimana Mulla Sadra memandang kesederhanaan atau “ketiadaan keadaan yang berlebih-lebihan” hanya sebagai salah satu bagian saja dari perjalanan jiwa yang berhasil melalui Sirath di hari akhirat. Seperti yang akan kita lihat nanti, sebagai pelengkap bagi syarat-syarat kesederhaan, perjalanan menempuh Sirath ini juga masih memerlukan syarat-syarat lain yang lebih penting artinya, yakni keyakinan (iman) dan pengenalan hakiki (ma’rifat).
Mulla Sadra mengatakan dalam kutipan di atas bahwa “ketiadaan keadaan yang berlebih-lebihan” merupakan “awal kesuksesan (melewati sirath).” Dalam penjelasan ini, Mulla Sadra ingin mengatakan bahwa kesederhanaan dalam perbuatan hanyalah salah satu bagian dari sirath. Tentu saja, hal ini bukanlah suatu jaminan seperti yang disebutkan di dalam Alquran, yang juga Mulla Sadra pasti memahaminya, bahwa setiap orang yang berdiri di atas sirath di hari akhir sudah pasti akan sampai ke surga. Alquran menjelaskan kepada kita bahwa akan banyak orang yang terjatuh dari sirath di hari akhir nanti. Dengan demikian, jelas bahwa ketika seseorang telah mencapai sirath, hal itu bukan berarti bahwa dia akan mampu melewatinya dengan selamat sampai ke surga. Mulla Sadra memperjelas masalah ini dengan mengatakan bahwa ketiadaan keadaan yang berlebih-lebihan hanyalah “awal kesuksesan (melewati sirath).” Bagi Mulla Sadra, ketiadaan keadaan yang berlebih-lebihan hanya memperkenankan kita untuk “berdiri” di atas sirath, bukan suatu syarat yang dengannya kita dapat melewati sirath tersebut. Untuk memberikan penjelasan yang lebih luas, ide tentang kesederhanaan yang hanya sebagai permulaan juga dijelaskan oleh Mulla Sadra dalam penjelasannya yang lain tentang “Jalan Dunia Ini.”
“Jalan dunia ini” adalah wujud dari pencapaian keharmonisan pisik dan kesederhanaan hidup di antara keadaan yang berlebihan dan keadaan yang berkekurangan, dan pada penggunaan kekuatan indra, nafsu dan penilaian di dalam fakultas praktis. Dengan pencapaian ini, seseorang tidak hanya terhindar dari kemalasan dan kelalaian, tetapi membawanya ke dalam ke-tawadhu’-an dan kerendahhatian; tidak hanya menghindarkannya dari sikap gegabah, kejenuhan dan ketakutan, tetapi membawanya pada semangat; dan tidak hanya menghindarkannya dari kelicikan dan kegilaan, tetapi menjadikannya hati-hati dan bijaksana….Sekarang, kesederhanaan di antara pengaruh buruk dari kekuatan-kekuatan tersebut merupakan ketiadaannya di dalam jiwa. Dengan jalan ini, jiwa akan menjadi seolah-olah tidak ada lagi keterkaitan dengan sifat-sifat pisik dari keterhubungannya dengan raga, dan jiwa seolah-olah sudah tidak berada lagi di dunia ini……Dan kemudian jiwa akan menjadi seperti cermin yang dipersiapkan (tasta’iddu) untuk menerima manifestasi diri dari bentuk Wujud Sejati. 15)
Sekali lagi, disini kita melihat bahwa kesederhanaan di dalam sikap dan perbuatan hanyalah sebagai permulaan, suatu persiapan untuk menuju perjalanan spiritual yang sebenarnya. Dan juga sekali lagi dikatakan, bahwa kesederhanaan dalam sikap hanya dapat dicapai dengan mengikuti syari’ah dan ketaatan kepada para Imam as. Mulla Sadra melanjutkan,
Dan bahwa (kesiapan yang diperoleh dari kesederhanaan) hanya dapat dicapai melalui kepatuhan kepada hukum-hukum agama (syari’ah) dan ketaatan kepada para Imam as yang harus diikuti – bahwa yang dimaksud dengan “Jalan di Dunia ini” adalah para Imam as. 16)
Namun, harus dicatat bahwa meskipun Sadra menekankan perlunya persiapan jiwa dengan nilai-nilai kesederhanaan, tetapi Mulla Sadra tidak memberikan penjelasan secara rinci tahapan-tahapan perjalanan jiwa ketika meninggalkan alam dunia menuju sirath di hari akhir. Mulla Sadra hanya mengatakan kepada kita (1) bahwa jiwa tersebut dipersiapkan untuk menerima wujud sejati yang sebelumnya belum dimilikinya, dan (2) bahwa jiwa partikular tersebut mungkin tidak akan mengalami rasa sakit karena perpisahan dengan kehidupan dunia ketika dia harus melanjutkan perjalanannya dari alam dunia ini menuju alam akhirat.
Alasan mengapa Mulla Sadra tidak menjelaskan tahapan-tahapan perjalanan yang akan dilalui oleh jiwa yang sederhana dan taat kepada syari’at Islam pada kehidupan akhirat nanti adalah karena tahapan tersebut tergantung kepada syarat-syarat lain yang lebih dari sekedar “kesederhanaan” saja. Dalam hal ini, jiwa memerlukan suatu petunjuk khusus yang bukan hanya dengan melakukan perbuatan baik dan ketaatan pada perintah. Jiwa membutuhkan petunjuk yang datang dari dalam, dari iman dan pengenalan hakiki (ma’rifat), yang disebut oleh Mulla Sadra berfungsi sebagai cahaya-cahaya sepanjang tingkatan-tingkatan eskatologis jiwa yang berbeda-beda setelah mencapai sirath di hari akhir. Dari sini menjadi jelas bahwa defenisi Mulla Sadra tentang makna kesederhanaan tidak sesederhana dengan defenisi masalah ini di dalam filsafat Yunani, Sadra mendefenisikannya dalam konteks ajaran Islam, syari’at dan pandangan para Imam as. Apa yang akan kita tunjukkan sebenarnya adalah, bahwa posisi ajaran kesederhanaan di dalam filsafat Mulla Sadra juga ditentukan oleh ajaran Islam, khususnya nilai-nilai Alquran yang menempatkan iman di atas perbuatan-perbuatan baik. Disini kita melihat Mulla Sadra membedakan secara klasik antara siapa yang disebut “muslim” dan siapa yang disebut “mukmin.” Ketaatan kepada hukum dan aturan hanya akan membawa seseorang kepada pintu kebenaran, hanya “mempersiapkan” seseorang untuk memasuki kebenaran itu. Untuk dapat memasuki kebenaran, memasuki surga dan menyaksikan keberadaan Allah, seseorang membutuhkan iman dan pengetahuan batin. Kedua hal ini merupakan faktor esensial dari fakultas manusia yang kedua menurut Mulla Sadra, yakni fakultas berfikir yang akan menjadi perhatian kita.
Fakultas berfikir di dalam filsafat Mulla Sadra adalah fakultas yang berhubungan dengan kualitas kedua dari dua kualitas sirath seperti yang disebutkan di dalam Alquran, yakni “yang lebih tipis daripada rambut.” 17) Fakultas ini juga menjadi sumber dari apa yang diistilahkan oleh Mulla Sadra “pemahaman-pemahaman yang teliti” (precise insights, al-anzar al-daqiqah) yang “di dalam ketelitian dan kehalusannya lebih tipis daripada rambut,” 18) itulah karenanya fakultas ini dapat membantu seseorang yang memilikinya untuk dapat melintasi sirath yang sangat tipis itu. Namun, pemahaman ini jangan dirancukan dengan aktivitas rasional murni pikiran untuk memahami bentuk-bentuk universal dari bentuk-bentuk partikular yang menjadi instrumen untuk mengetahui sesuatu di dalam sains Aristotelian. Dalam pandangan Mulla Sadra, pemahaman ini menggabungkan elemen-elemen ketelitian rasional di dalam intuisi spiritual dan iman. Mulla Sadra mengatakan,
Sirath itu mempunyai dua aspek: salah satunya adalah lebih tipis daripada rambut dan yang lainnya adalah lebih tajam daripada pedang. Penyimpangan dari aspek pertama akan menyebabkan keterlepasan dari fitrah, (seperti yang difirmankan oleh Allah), “Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat benar-benar menyimpang dari jalan (yang lurus).” (QS. 23:74) 19)
Di dalam kutipan ini, Mulla Sadra menunjukkan hubungan antara keyakinan atau iman dan kualitas sirath yang “lebih tipis daripada rambut.” Imanlah yang bisa membantu seseorang untuk tetap bisa berdiri di atas sirath dan untuk melanjutkan perjalanannya (menuju surga). Dengan demikian, kesederhanaan dalam perbuatan dan ketaatan (kepada para Imam as) hanyalah kemampuan jiwa untuk dapat menyeberangi neraka. Namun dalam pandangan Mulla Sadra, ada sesuatu yang sangat bernilai bagi jiwa dalam kondisi ini namun tidak bisa dicapainya, yakni bahwa jiwa tidak dapat memperoleh kesempurnaan sejati jika hanya berdasarkan pada kesederhanaan perbuatan dan sikap saja. Mulla Sadra menyinggung masalah ini ketika membicarakan istilah ‘adalah, yang di dalam istilah teknis Mulla Sadra merujuk pada kesederhanaan dalam seluruh aspek kearifan praktis (practical wisdom). Sadra mengatakan, “’Adalah merupakan kesempurnaan sejati, sebab kesempurnaan sejati ini berada di dalam cahaya pengetahuan serta kekuatan iman dan ma’rifat.” 20) Dalam hal ini, nasib terburuk bagi orang yang telah melakukan perbuatan baik tanpa adanya iman adalah terjatuh dari sirath dan masuk ke dalam neraka, seperti yang difirmankan oleh Allah di dalam Alquran QS. 23:74.
Dan bagi mereka yang memiliki iman, hal itu berarti bahwa fakultas berfikirnya digunakan dengan baik (dalam semua tingkatan). Mereka melintasi perjalanan dari para Nabi, shadiqun (orang-orang yang benar), ‘abidun (golongan hamba yang taat), orang-orang yang beriman serta golongan-golongan di antara mereka. 21) Mulla Sadra mengatakan bahwa setiap kelompok ini mempunyai “cahaya” mereka sendiri yang dengannya mereka bisa melewati sirath untuk bertemu dengan Allah, “orang-orang beriman tidak akan bisa bertemu dengan Allah kecuali dengan kekuatan cahaya dan pemahaman mereka.” 22) Mulla Sadra juga mengatakan bahwa cahaya-cahaya ini mempunyai kualitas yang sesuai dengan intensitas iman dan kedalaman ma’rifat mereka. Mulla Sadra mengatakan, “derajat orang-orang beriman akan berbeda karena perbedaan cahaya-cahaya pengetahuan (ma’rifat) serta kekuatan keyakinan dan iman mereka.” 23) Bagi Mulla Sadra, cahaya-cahaya inilah yang menerangi persepsi orang-orang beriman. Sadra menjelaskan bahwa sekelompok orang yang beriman mungkin saja mempunyai cahaya yang redup, sementara kelompok yang lain memiliki cahaya yang terang benderang.
….di antara mereka ada yang diberikan cahaya sebesar gunung….(sementara yang lain) diberikan cahaya seperti pohon palm di tangan kanannya….sampai yang terakhir dari mereka adalah seseorang yang diberikan cahaya yang memancar dari ibu jari kakinya yang besar. Cahaya itu memancar sesaat kemudian padam, dan ketika cahaya itu memancar di depan kakinya, dia kemudian berjalan, dan ketika cahaya itu padam, maka dia hanya akan berdiri di kegelapan. 24)
Oleh karena itu, tanpa cahaya iman dan keyakinan, perjalanan melintasi Sirath menjadi hal yang tidak mungkin. Perjalanan yang berhasil tidak dapat dicapai hanya dengan perbuatan baik saja, karena ketika seseorang sampai pada sirath di hari akhir nanti, tanpa adanya cahaya iman dan keyakinan, dia tidak akan punya penerang yang membantunya melihat jalan yang harus dilaluinya.
Sebagai simpulan, keseluruhan diskusi Mulla Sadra tentang keberhasilan dan kegagalan perjalanan jiwa di dunia dan di akhirat tergantung pada eskatologi Islam dan nilai-nilai kebaikan yang berhubungan dengan ajaran Islam dan kepengikutan kepada para Imam as. Oleh karena itu, sangat sulit dikatakan bahwa filsafat Mulla Sadra bukanlah filsafat Islam. Meskipun Mulla Sadra kelihatan banyak mengadopsi beberapa elemen formal dari filsafat Yunani, misalnya penekanan terhadap kesederhanaan perbuatan, perbedaan antara gerakan aksidental dan gerakan substansial, dan adanya fakultas berfikir dan fakultas praktis, namun Mulla Sadra mendefenisikan ulang elemen-elemen ini dalam konteks ajaran Islam tentang nilai kemanusiaan, fungsi iman dan persepsi, serta balasan yang akan diterima oleh jiwa di hari akhir nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar