TASAWUF SEBAGAI GERAKAN OPOSISI
Tidak dapat dibantah bahwa dari sekian banyak para nabi dan rasul, Nabi Muhammad s.a.w. adalah yang paling sukses dalam melaksanakan tugas. Ketika beliau wafat, boleh dikatakan seluruh Jazirah Arabia telah menyatakan tunduk kepada Madinah. Dan tidak lama setelah itu, di bawah pimpinan para khalifah, daerah kekuasaan politik Islam dengan amat cepat meluas sehingga meliputi hampir seluruh bagian dunia yang saat itu merupakan pusat peradaban manusia, khususnya kawasan inti yang terbentang dari Sungai Nil di barat sampai Sungai Amudarya (Oxus) di timur.
Sukses luar biasa di bidang militer dan politik itu membawa berbagai akibat yang sangat luas. Salah satunya ialah bahwa sejak dari semula terdapat perhatian yang amat besar pada kaum Muslim, khususnya para penguasa, pada bidang-bidang yang menyangkut masalah pengaturan masyarakat. Maka tidaklah mengherankan bahwa dari berbagai segi agama Islam, bagian yang paling awal memperoleh banyak penggarapan yang serius, termasuk penyusunannya menjadi sistem yang integral, ialah yang berkenaan dengan hukum. Sedemikian rupa kuatnya posisi segi hukum dari ajaran agama itu, sehingga pemahaman hukum agama menjadi identik dengan pemahaman keseluruhan agama itu sendiri, yaitu "fiqh" (yang makna asalnya ialah "pemahaman"), dan jalan hidup berhukum menjadi identik dengan ke seluruhan jalan hidup yang benar, yaitu "syari'ah" (yang makna asalnya ialah "jalan"). Kata-kata ''syari'ah'' itu sebenarnya kurang lebih sama maknanya dengan katakata "sabil," "shirath," "minhaj," "mansak" ("manasik"), "maslak" ("suluk") dan "thariqah" yang juga digunakan dalam al-Quran.
Sudah tentu hal tersebut tidak seluruhnya salah. Dalam suatu masyarakat yang sering terancam oleh kekacauan (Arab: fawdla, yakni, chaos) karena fitnah-fitnah (dimulai dengan pembunuhan 'Utsman), dan jika masyarakat itu meliputi daerah kekuasaan yang sedemikian luas dan heterogennya, kepastian hukum dan peraturan, serta ketertiban dan kemanan, adalah nilai-nilai yang jelas amat berharga. Maka kesalehan pun banyak dinyatakan dalam ketaatan kepada ketentuan hukum, dan perlawanan kepada penguasa, khususnya perlawanan yang bersifat keagamaan (pious opposition), juga selalu menyertakan tuntutan agar hukum ditegakkan.
Tetapi kesalehan yang bertumpu kepada kesadaran hukum (betapapun ia tidak bisa diabaikan sama sekali karena mempunyai prioritas yang amat tinggi) akan banyak berurusan dengan tingkah laku lahiriah manusia dan hanya secara parsial saja berurusan dengan hal-hai batiniah. Dengan kata-kata lain, orientasi fiqh dan syari'ah lebih berat mengarah kepada eksoterisisme, dengan kemungkinan mengabaikan esoterisme yang lebih mendalam.
Maka demikian pula gerakan oposisi terhadap praktek-praktek regimenter pemerintahan kaum Umawi di Damaskus. Sebagian bentuk oposisi itu terjadi karena dorongan politik semata, seperti gerakan oposisi orang-orang Arab Irak, karena para penguasa Damaskus lebih mendahulukan orang-orang Arab Syria. Tetapi sebagian lagi, justru yang lebih umum, oposisi itu timbul karena pandangan bahwa kaum Umawi kurang "relijius."
Tokoh Hasan dari Basrah yang telah disebutkan di atas mewakili kelompok gerakan oposisi jenis ini. Ketokohan Hasan cukup hebat, sehingga kelompok-kelompok penentang rezim Umayyah banyak yang mengambil ilham dan semangatnya dari Hasan, yang dianggap pendiri Mu'tazilah (Washil ibn 'Atha, yang dianggap pendiri Mu'tazilah, asalnya adalah murid Hasan), begitu pula para 'ulama dengan orientasi Sunni, dan orang-orang Muslim dengan kecenderungan hidup zuhud (asketik). Mereka yang tersebut terakhir inilah, sejak munculnya di Basrah, yang disebut kaum Sufi (Shufi), konon karena pakaian mereka yang terdiri dari bahan wol (Arab: shuf) yang kasar sebagai lambang kezuhudan mereka. Dari kata-kata shuf itu pula terbentuk kata-kata tashawwuf (tasawuf), yaitu, kurang lebih, ajaran kaum Sufi.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, Tasawuf tidak lagi bersifat terutama sebagai gerakan oposisi politik. Meskipun semangat melawan atau mengimbangi susunan mapan da]am masyarakat selalu merupakan ciri yang segera dapat dikenali dari tingkah laku kaum Sufi, tetapi itu terjadi pada dasarnya karena dinamika perkembangan gagasan kesufian sendiri, yaitu setelah secara sadar sepenuhnya berkembang menjadi mistisisme. Tingkat perkembangan ini dicapai sebagai hasil pematangan dan pemuncakan rasa kesalehan pribadi, yaitu perkembangan ketika perhatian paling utama diberikan kepada kesadaran yang bersifat masalah historis dan politis umat hanya secara minimal saja.
TARIK-MENARIK ANTARA SYARI'AH DAN THARIQAH
Perpisahan antara kedua orientasi keagamaan yang lahiri dan batini itu kemudian mewujudkan diri dalam divergensi sistem-sistem penalaran masing-masing pihak pendukungnya. Maka dalam kedua-duanya kemudian tumbuh cabang ilmu Keislaman yang berbeda satu dari yang lain, bahkan dalam beberapa hal tidak jarang bertentangan. Seolah-olah hendak berebut sumber legitimasi dari al-Qur'an, maka sebagaimana orientasi keagamaan eksoteris yang bertumpu kepada masalah-masalah kehukuman itu mengklaim sebagai paham keagamaan (fiqh) dan jalan kebenaran (syari'ah) par excellence, orientasi keagamaan esoteris yang bertumpu kepada masalah pengalaman dan kesadaran ruhani pribadi itu juga mengklaim diri sebagai pengetahuan keagamaan (ma'rifah) dan jalan menuju kebahagiaan (thariqah) par excellence.
Akibatnya, polemik dan kontroversi antara keduanya pun tidak selamanya bisa dihindari. Ibn Taymiyyah, misalnya, melukiskan pertentangan antara orientasi eksoteris dari kaum fiqh dengan orientasi esoteris dari kaum sufi sebagai serupa dengan pertentangan antara kaum Yahudi dan kaum Kristen. Dengan terlebih dahulu mengutip firman Allah yang artinya, "Kaum Yahudi berkata, 'Orang-orang Kristen itu tidak ada apa-apanya,' dan kaum Kristen berkata, 'Orang-orang Yahudi itu tidak ada apa-apanya'"5 Ibn Taymiyyah mengatakan:
"Anda dapatkan bahwa banyak dari kaum Fiqh, jika melihat kaum Sufi dan orang-orang yang beribadat (melulu), akan memandang mereka ini tidak ada apa-apanya, dan tidak mereka perhitungkan kecuali sebagai orang-orang bodoh dan sesat, sedangkan dalam tarekat mereka itu tidak berpegang kepada ilmu serta kebenaran sedikit pun. Dan Anda juga dapatkan banyak dari kaum Sufi serta orang-orang yang menempuh hidup sebagai faqir tidak menganggap apa-apa kepada Syari'ah dan ilmu (hukum); bahkan mereka menganggap bahwa orang yang berpegang kepada Syari'ah dan ilmu (hukum) itu terputus dari Allah, dan bahwa para penganutnya tidak memiliki apa-apa yang bermanfaat di sisi Allah."6
Ibn Taymiyyah tidak bermaksud menyalahkan salah satu dari keduanya, juga tidak hendak merendahkan sufi, sekalipun ia, sebagai seorang penganut mazhab Hanbali, sangat berat berpegang kepada segi-segi eksoteris Islam seperti diwakili dalam Syari'ah. Karena itu, Ibn Taymiyyah mengatakan,
"Yang benar ialah bahwa apa pun yang berdasarkan Kitab dan Sunnah pada kedua belah pihak itu adalah benar. Dan apa pun yang bertentangan dengan Kitab Sunnah pada kedua belah pihak adalah batil."7
Tetapi terhadap pernyataan Ibn Taymiyyah ini, penyunting kitab Iqtidla memberi catatan demikian:
"Ini dengan asumsi bahwa ajaran kesufian itu ada kebenaran. Jika tidak, maka sebenarnya ajaran kesufian itu pada dasarnya adalah ciptaan sesudah generasi utama, yang dalam masa generasi itu hidup sebaik-baik umat dan para imam kebenaran pada umat itu. Sesungguhnya Allah, dengan Kitab-Nya dan petunjuk Nabi-Nya s.a.w. telah membuat kaum beriman tidak memerlukan apa yang ada dalam ajaran kesufian, yang dianggap orang mampu melembutkan hati dan membersihkannya."8
Dari kutipan-kutipan itu dapat didasarkan betapa persimpangan jalan antara "kaum kebatinann (ahl al-bawathin) dan "kaum kezahiran" (ahl al-dhawahir) dapat meningkat kepada batas-batas yang cukup gawat. Tetapi benarkah memang antara keduanya tidak terdapat titik pertemuan?
Tidak dapat dibantah bahwa dari sekian banyak para nabi dan rasul, Nabi Muhammad s.a.w. adalah yang paling sukses dalam melaksanakan tugas. Ketika beliau wafat, boleh dikatakan seluruh Jazirah Arabia telah menyatakan tunduk kepada Madinah. Dan tidak lama setelah itu, di bawah pimpinan para khalifah, daerah kekuasaan politik Islam dengan amat cepat meluas sehingga meliputi hampir seluruh bagian dunia yang saat itu merupakan pusat peradaban manusia, khususnya kawasan inti yang terbentang dari Sungai Nil di barat sampai Sungai Amudarya (Oxus) di timur.
Sukses luar biasa di bidang militer dan politik itu membawa berbagai akibat yang sangat luas. Salah satunya ialah bahwa sejak dari semula terdapat perhatian yang amat besar pada kaum Muslim, khususnya para penguasa, pada bidang-bidang yang menyangkut masalah pengaturan masyarakat. Maka tidaklah mengherankan bahwa dari berbagai segi agama Islam, bagian yang paling awal memperoleh banyak penggarapan yang serius, termasuk penyusunannya menjadi sistem yang integral, ialah yang berkenaan dengan hukum. Sedemikian rupa kuatnya posisi segi hukum dari ajaran agama itu, sehingga pemahaman hukum agama menjadi identik dengan pemahaman keseluruhan agama itu sendiri, yaitu "fiqh" (yang makna asalnya ialah "pemahaman"), dan jalan hidup berhukum menjadi identik dengan ke seluruhan jalan hidup yang benar, yaitu "syari'ah" (yang makna asalnya ialah "jalan"). Kata-kata ''syari'ah'' itu sebenarnya kurang lebih sama maknanya dengan katakata "sabil," "shirath," "minhaj," "mansak" ("manasik"), "maslak" ("suluk") dan "thariqah" yang juga digunakan dalam al-Quran.
Sudah tentu hal tersebut tidak seluruhnya salah. Dalam suatu masyarakat yang sering terancam oleh kekacauan (Arab: fawdla, yakni, chaos) karena fitnah-fitnah (dimulai dengan pembunuhan 'Utsman), dan jika masyarakat itu meliputi daerah kekuasaan yang sedemikian luas dan heterogennya, kepastian hukum dan peraturan, serta ketertiban dan kemanan, adalah nilai-nilai yang jelas amat berharga. Maka kesalehan pun banyak dinyatakan dalam ketaatan kepada ketentuan hukum, dan perlawanan kepada penguasa, khususnya perlawanan yang bersifat keagamaan (pious opposition), juga selalu menyertakan tuntutan agar hukum ditegakkan.
Tetapi kesalehan yang bertumpu kepada kesadaran hukum (betapapun ia tidak bisa diabaikan sama sekali karena mempunyai prioritas yang amat tinggi) akan banyak berurusan dengan tingkah laku lahiriah manusia dan hanya secara parsial saja berurusan dengan hal-hai batiniah. Dengan kata-kata lain, orientasi fiqh dan syari'ah lebih berat mengarah kepada eksoterisisme, dengan kemungkinan mengabaikan esoterisme yang lebih mendalam.
Maka demikian pula gerakan oposisi terhadap praktek-praktek regimenter pemerintahan kaum Umawi di Damaskus. Sebagian bentuk oposisi itu terjadi karena dorongan politik semata, seperti gerakan oposisi orang-orang Arab Irak, karena para penguasa Damaskus lebih mendahulukan orang-orang Arab Syria. Tetapi sebagian lagi, justru yang lebih umum, oposisi itu timbul karena pandangan bahwa kaum Umawi kurang "relijius."
Tokoh Hasan dari Basrah yang telah disebutkan di atas mewakili kelompok gerakan oposisi jenis ini. Ketokohan Hasan cukup hebat, sehingga kelompok-kelompok penentang rezim Umayyah banyak yang mengambil ilham dan semangatnya dari Hasan, yang dianggap pendiri Mu'tazilah (Washil ibn 'Atha, yang dianggap pendiri Mu'tazilah, asalnya adalah murid Hasan), begitu pula para 'ulama dengan orientasi Sunni, dan orang-orang Muslim dengan kecenderungan hidup zuhud (asketik). Mereka yang tersebut terakhir inilah, sejak munculnya di Basrah, yang disebut kaum Sufi (Shufi), konon karena pakaian mereka yang terdiri dari bahan wol (Arab: shuf) yang kasar sebagai lambang kezuhudan mereka. Dari kata-kata shuf itu pula terbentuk kata-kata tashawwuf (tasawuf), yaitu, kurang lebih, ajaran kaum Sufi.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, Tasawuf tidak lagi bersifat terutama sebagai gerakan oposisi politik. Meskipun semangat melawan atau mengimbangi susunan mapan da]am masyarakat selalu merupakan ciri yang segera dapat dikenali dari tingkah laku kaum Sufi, tetapi itu terjadi pada dasarnya karena dinamika perkembangan gagasan kesufian sendiri, yaitu setelah secara sadar sepenuhnya berkembang menjadi mistisisme. Tingkat perkembangan ini dicapai sebagai hasil pematangan dan pemuncakan rasa kesalehan pribadi, yaitu perkembangan ketika perhatian paling utama diberikan kepada kesadaran yang bersifat masalah historis dan politis umat hanya secara minimal saja.
TARIK-MENARIK ANTARA SYARI'AH DAN THARIQAH
Perpisahan antara kedua orientasi keagamaan yang lahiri dan batini itu kemudian mewujudkan diri dalam divergensi sistem-sistem penalaran masing-masing pihak pendukungnya. Maka dalam kedua-duanya kemudian tumbuh cabang ilmu Keislaman yang berbeda satu dari yang lain, bahkan dalam beberapa hal tidak jarang bertentangan. Seolah-olah hendak berebut sumber legitimasi dari al-Qur'an, maka sebagaimana orientasi keagamaan eksoteris yang bertumpu kepada masalah-masalah kehukuman itu mengklaim sebagai paham keagamaan (fiqh) dan jalan kebenaran (syari'ah) par excellence, orientasi keagamaan esoteris yang bertumpu kepada masalah pengalaman dan kesadaran ruhani pribadi itu juga mengklaim diri sebagai pengetahuan keagamaan (ma'rifah) dan jalan menuju kebahagiaan (thariqah) par excellence.
Akibatnya, polemik dan kontroversi antara keduanya pun tidak selamanya bisa dihindari. Ibn Taymiyyah, misalnya, melukiskan pertentangan antara orientasi eksoteris dari kaum fiqh dengan orientasi esoteris dari kaum sufi sebagai serupa dengan pertentangan antara kaum Yahudi dan kaum Kristen. Dengan terlebih dahulu mengutip firman Allah yang artinya, "Kaum Yahudi berkata, 'Orang-orang Kristen itu tidak ada apa-apanya,' dan kaum Kristen berkata, 'Orang-orang Yahudi itu tidak ada apa-apanya'"5 Ibn Taymiyyah mengatakan:
"Anda dapatkan bahwa banyak dari kaum Fiqh, jika melihat kaum Sufi dan orang-orang yang beribadat (melulu), akan memandang mereka ini tidak ada apa-apanya, dan tidak mereka perhitungkan kecuali sebagai orang-orang bodoh dan sesat, sedangkan dalam tarekat mereka itu tidak berpegang kepada ilmu serta kebenaran sedikit pun. Dan Anda juga dapatkan banyak dari kaum Sufi serta orang-orang yang menempuh hidup sebagai faqir tidak menganggap apa-apa kepada Syari'ah dan ilmu (hukum); bahkan mereka menganggap bahwa orang yang berpegang kepada Syari'ah dan ilmu (hukum) itu terputus dari Allah, dan bahwa para penganutnya tidak memiliki apa-apa yang bermanfaat di sisi Allah."6
Ibn Taymiyyah tidak bermaksud menyalahkan salah satu dari keduanya, juga tidak hendak merendahkan sufi, sekalipun ia, sebagai seorang penganut mazhab Hanbali, sangat berat berpegang kepada segi-segi eksoteris Islam seperti diwakili dalam Syari'ah. Karena itu, Ibn Taymiyyah mengatakan,
"Yang benar ialah bahwa apa pun yang berdasarkan Kitab dan Sunnah pada kedua belah pihak itu adalah benar. Dan apa pun yang bertentangan dengan Kitab Sunnah pada kedua belah pihak adalah batil."7
Tetapi terhadap pernyataan Ibn Taymiyyah ini, penyunting kitab Iqtidla memberi catatan demikian:
"Ini dengan asumsi bahwa ajaran kesufian itu ada kebenaran. Jika tidak, maka sebenarnya ajaran kesufian itu pada dasarnya adalah ciptaan sesudah generasi utama, yang dalam masa generasi itu hidup sebaik-baik umat dan para imam kebenaran pada umat itu. Sesungguhnya Allah, dengan Kitab-Nya dan petunjuk Nabi-Nya s.a.w. telah membuat kaum beriman tidak memerlukan apa yang ada dalam ajaran kesufian, yang dianggap orang mampu melembutkan hati dan membersihkannya."8
Dari kutipan-kutipan itu dapat didasarkan betapa persimpangan jalan antara "kaum kebatinann (ahl al-bawathin) dan "kaum kezahiran" (ahl al-dhawahir) dapat meningkat kepada batas-batas yang cukup gawat. Tetapi benarkah memang antara keduanya tidak terdapat titik pertemuan?
(Letak dan Peran Mistisisme dalam
Penghayatan Keagamaan Islam)
oleh Dr. Nurcholish Madjid
Penghayatan Keagamaan Islam)
oleh Dr. Nurcholish Madjid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar