Selasa, 01 Maret 2016

TASAWUF SEBAGAI GERAKAN OPOSISI DAN TARIK MENARIK ANTARA SYARI'AH DAN THARIQAH

TASAWUFTASAWUF SEBAGAI GERAKAN OPOSISI

Tidak dapat dibantah bahwa dari sekian banyak para nabi  dan rasul,  Nabi Muhammad s.a.w. adalah yang paling sukses dalam melaksanakan tugas. Ketika  beliau  wafat,  boleh  dikatakan seluruh   Jazirah  Arabia  telah  menyatakan  tunduk  kepada Madinah. Dan tidak lama setelah itu, di bawah pimpinan  para khalifah,  daerah  kekuasaan politik Islam dengan amat cepat meluas sehingga meliputi hampir seluruh  bagian  dunia  yang saat   itu  merupakan  pusat  peradaban  manusia,  khususnya kawasan inti yang terbentang dari Sungai Nil di barat sampai Sungai Amudarya (Oxus) di timur.

Sukses luar biasa di bidang militer dan politik itu membawa berbagai akibat yang sangat luas. Salah satunya ialah  bahwa sejak  dari  semula  terdapat perhatian yang amat besar pada kaum Muslim, khususnya  para  penguasa,  pada  bidang-bidang yang menyangkut masalah pengaturan masyarakat. Maka tidaklah mengherankan bahwa dari berbagai segi  agama  Islam,  bagian yang  paling awal memperoleh banyak penggarapan yang serius, termasuk penyusunannya menjadi sistem yang  integral,  ialah yang  berkenaan dengan hukum. Sedemikian rupa kuatnya posisi segi hukum dari ajaran agama itu, sehingga  pemahaman  hukum agama menjadi identik dengan pemahaman keseluruhan agama itu sendiri,   yaitu   "fiqh"   (yang   makna   asalnya    ialah "pemahaman"),  dan  jalan  hidup  berhukum  menjadi  identik dengan ke seluruhan jalan hidup yang benar, yaitu "syari'ah" (yang  makna  asalnya ialah "jalan"). Kata-kata ''syari'ah'' itu sebenarnya kurang lebih sama  maknanya  dengan  katakata "sabil," "shirath," "minhaj," "mansak" ("manasik"), "maslak" ("suluk") dan "thariqah" yang juga digunakan dalam al-Quran.

Sudah tentu hal tersebut tidak seluruhnya salah. Dalam suatu masyarakat  yang  sering  terancam  oleh  kekacauan   (Arab: fawdla,  yakni,  chaos) karena fitnah-fitnah (dimulai dengan pembunuhan 'Utsman), dan jika masyarakat itu meliputi daerah kekuasaan  yang  sedemikian luas dan heterogennya, kepastian hukum dan peraturan, serta ketertiban  dan  kemanan,  adalah nilai-nilai  yang  jelas  amat  berharga. Maka kesalehan pun banyak dinyatakan dalam ketaatan kepada ketentuan hukum, dan perlawanan kepada   penguasa,  khususnya  perlawanan  yang bersifat   keagamaan   (pious   opposition),   juga   selalu menyertakan tuntutan agar hukum ditegakkan.

Tetapi kesalehan  yang  bertumpu  kepada  kesadaran  hukum (betapapun  ia  tidak  bisa  diabaikan  sama  sekali  karena mempunyai  prioritas yang amat tinggi) akan banyak berurusan dengan  tingkah  laku  lahiriah  manusia  dan  hanya  secara parsial  saja  berurusan  dengan  hal-hai  batiniah.  Dengan kata-kata lain, orientasi  fiqh  dan  syari'ah  lebih  berat mengarah    kepada    eksoterisisme,    dengan   kemungkinan mengabaikan esoterisme yang lebih mendalam.
Maka demikian pula gerakan oposisi terhadap  praktek-praktek regimenter  pemerintahan  kaum  Umawi  di Damaskus. Sebagian bentuk oposisi itu terjadi karena dorongan  politik  semata, seperti  gerakan  oposisi orang-orang Arab Irak, karena para penguasa Damaskus lebih mendahulukan orang-orang Arab Syria. Tetapi  sebagian  lagi,  justru yang lebih umum, oposisi itu timbul karena pandangan bahwa kaum Umawi kurang  "relijius."

Tokoh  Hasan  dari  Basrah  yang  telah  disebutkan  di atas mewakili kelompok gerakan oposisi jenis ini. Ketokohan Hasan cukup  hebat,  sehingga  kelompok-kelompok  penentang  rezim Umayyah banyak yang mengambil  ilham  dan  semangatnya  dari Hasan,  yang  dianggap pendiri Mu'tazilah (Washil ibn 'Atha, yang  dianggap  pendiri  Mu'tazilah,  asalnya  adalah  murid Hasan),  begitu pula para 'ulama dengan orientasi Sunni, dan orang-orang  Muslim   dengan   kecenderungan   hidup   zuhud (asketik).  Mereka  yang  tersebut  terakhir  inilah,  sejak munculnya di Basrah, yang disebut kaum Sufi  (Shufi),  konon karena  pakaian  mereka  yang  terdiri dari bahan wol (Arab: shuf) yang kasar  sebagai  lambang  kezuhudan  mereka.  Dari kata-kata   shuf  itu  pula  terbentuk  kata-kata  tashawwuf (tasawuf), yaitu, kurang lebih, ajaran kaum Sufi.

Dalam  perkembangannya  lebih  lanjut,  Tasawuf  tidak  lagi bersifat  terutama sebagai gerakan oposisi politik. Meskipun semangat  melawan  atau  mengimbangi  susunan  mapan   da]am masyarakat  selalu merupakan ciri yang segera dapat dikenali dari  tingkah  laku  kaum  Sufi,  tetapi  itu  terjadi  pada dasarnya   karena  dinamika  perkembangan  gagasan  kesufian sendiri, yaitu setelah secara  sadar  sepenuhnya  berkembang menjadi mistisisme. Tingkat perkembangan ini dicapai sebagai hasil pematangan  dan  pemuncakan  rasa  kesalehan  pribadi, yaitu  perkembangan  ketika perhatian paling utama diberikan kepada kesadaran yang bersifat masalah historis dan  politis umat hanya secara minimal saja.


TARIK-MENARIK ANTARA SYARI'AH DAN THARIQAH

Perpisahan antara kedua orientasi keagamaan yang lahiri  dan batini   itu   kemudian  mewujudkan  diri  dalam  divergensi sistem-sistem penalaran  masing-masing  pihak  pendukungnya. Maka   dalam   kedua-duanya   kemudian  tumbuh  cabang  ilmu Keislaman yang berbeda satu dari  yang  lain,  bahkan  dalam beberapa  hal  tidak jarang bertentangan. Seolah-olah hendak berebut sumber legitimasi dari al-Qur'an,  maka  sebagaimana orientasi   keagamaan   eksoteris   yang   bertumpu   kepada masalah-masalah  kehukuman  itu  mengklaim   sebagai   paham keagamaan   (fiqh)   dan   jalan  kebenaran  (syari'ah)  par excellence,  orientasi  keagamaan  esoteris  yang   bertumpu kepada  masalah  pengalaman dan kesadaran ruhani pribadi itu juga mengklaim diri sebagai pengetahuan keagamaan (ma'rifah) dan jalan menuju kebahagiaan (thariqah) par excellence.
Akibatnya, polemik dan kontroversi antara keduanya pun tidak selamanya   bisa   dihindari.   Ibn   Taymiyyah,   misalnya, melukiskan pertentangan antara orientasi eksoteris dari kaum fiqh dengan orientasi esoteris dari kaum sufi sebagai serupa dengan  pertentangan  antara  kaum  Yahudi dan kaum Kristen. Dengan terlebih dahulu mengutip firman Allah  yang  artinya, "Kaum  Yahudi  berkata,  'Orang-orang  Kristen itu tidak ada apa-apanya,' dan kaum Kristen berkata,  'Orang-orang  Yahudi itu tidak ada apa-apanya'"5 Ibn Taymiyyah mengatakan:

"Anda dapatkan bahwa banyak dari kaum Fiqh, jika melihat kaum Sufi dan orang-orang yang beribadat (melulu), akan memandang mereka ini tidak ada apa-apanya, dan tidak mereka perhitungkan kecuali sebagai orang-orang bodoh dan sesat, sedangkan dalam tarekat mereka itu tidak berpegang kepada ilmu serta kebenaran sedikit pun. Dan Anda juga dapatkan banyak dari kaum Sufi serta orang-orang yang menempuh hidup sebagai faqir tidak menganggap apa-apa kepada Syari'ah dan ilmu (hukum); bahkan mereka menganggap bahwa orang yang berpegang kepada Syari'ah dan ilmu (hukum) itu terputus dari Allah, dan bahwa para penganutnya tidak memiliki apa-apa yang bermanfaat di sisi Allah."6

Ibn Taymiyyah tidak bermaksud menyalahkan  salah  satu  dari keduanya,  juga tidak hendak merendahkan sufi, sekalipun ia, sebagai  seorang  penganut  mazhab  Hanbali,  sangat   berat berpegang  kepada segi-segi eksoteris Islam seperti diwakili dalam Syari'ah. Karena itu, Ibn Taymiyyah mengatakan,
"Yang benar ialah bahwa apa pun yang berdasarkan Kitab dan Sunnah pada kedua belah pihak itu adalah benar. Dan apa pun yang bertentangan dengan Kitab Sunnah pada kedua belah pihak adalah batil."7

Tetapi terhadap pernyataan  Ibn  Taymiyyah  ini,  penyunting kitab Iqtidla memberi catatan demikian:
"Ini dengan asumsi bahwa ajaran kesufian itu ada kebenaran. Jika tidak, maka sebenarnya ajaran kesufian itu pada dasarnya adalah ciptaan sesudah generasi utama, yang dalam masa generasi itu hidup sebaik-baik umat dan para imam kebenaran pada umat itu. Sesungguhnya Allah, dengan Kitab-Nya dan petunjuk Nabi-Nya s.a.w. telah membuat kaum beriman tidak memerlukan apa yang ada dalam ajaran kesufian, yang dianggap orang mampu melembutkan hati dan membersihkannya."8

Dari   kutipan-kutipan   itu   dapat    didasarkan    betapa persimpangan jalan antara "kaum kebatinann (ahl al-bawathin) dan  "kaum  kezahiran"  (ahl  al-dhawahir)  dapat  meningkat kepada  batas-batas yang cukup gawat. Tetapi benarkah memang antara keduanya tidak terdapat titik pertemuan?

(Letak dan Peran Mistisisme dalam
Penghayatan Keagamaan Islam)
oleh Dr. Nurcholish Madjid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar