Kamis, 03 Maret 2016

KONSEP TEOLOGIS

KALIGRAFI ALLAH

Perkataan teologi tidak berasal dari khazanah dan tradisi
agama Islam. Ia istilah yang diambil dari agama lain, yaitu
dari khazanah dan tradisi Gereja Kristiani. Hal ini tidaklah
dimaksudkan untuk menolak pemakaian kata teologi itu. Sebab
pemungutan suatu istilah dari khazanah dan tradisi agama lain
tidaklah harus dipandang sebagai sesuatu yang negatif, apalagi
jika istilah tersebut bisa memperkaya khazanah dan membantu
mensistematisasikan pemahaman kita tentang Islam.

Kata teologi sebagaimana dijelaskan dalam Encyclopaedia of
Religion and Religions berarti "ilmu yang membicarakan tentang
Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun seringkali
diperluas mencakup keseluruhan bidang agama." Dalam pengertian
ini agaknya perkataan teologi lebih tepat dipadankan dengan
istilah fiqih, dan bukan hanya dengan ilmu kalam atau ilmu
tauhid. Istilah fiqih di sini bukan dimaksudkan ilmu fiqih
sebagaimana kita pahami selama ini, melainkan istilah fiqih
seperti yang pernah digunakan sebelum ilmu fiqih lahir. Imam
Abu Hanifah, Bapak ilmu fiqih, menulis buku al-fiqh-u 'l-akbar
yang isinya bukan tentang ilmu fiqih, tapi justru tentang
aqidah yang menjadi obyek bahasan ilmu kalam atau tauhid.
Boleh jadi, ilmu fiqih seperti yang berkembang sekarang ini
dalam kerangka pemikiran Imam Abu Hanifah adalah al-fiqh-u
'l-ashghar. Sebab, keduanya baik ilmu kalam atau ilmu tauhid
maupun ilmu fiqih pada dasarnya adalah fiqih atau pemahaman
yang tersistematisasikan. Yang pertama, menyangkut bidang
ushuliyah (tentang yang prinsip atau yang pokok), sedangkan
yang kedua meyangkut bidang furu'iyah (detail atau cabang).
Akan tetapi perjalanan sejarah dan tradisi keilmuan Islam
telah menyingkirkan pengertian fiqih sebagaimana dipergunakan
Imam Abu Hanifah. Dengan menyinggung masalah ini, hanya ingin
dikatakan bahwa pemakaian istilah teologi mempunyai alasan
cukup kuat, sebab ia membantu kita memahami Islam secara lebih
utuh dan lebih terpadu.

Pijakan tulisan ini tentang teologi al-Qur'an. Kita tentu
sepakat bahwa ide sentral dalam teologi al-Qur'an adalah ide
tauhid. Pertanyaan yang perlu kita munculkan, bagaimana
sebaiknya kita memahami dan kemudian menghayati ide tauhid itu
dalam kehidupan kita sebagai muslim? Dalam pengalaman kita
--sekurang-kurangnya sebagian dari kita-- mengenal atau pernah
diberi pelajaran ilmu tauhid. Biasanya, dalam mempelajari ilmu
tersebut, pertama-tama kita diperkenalkan dengan apa yang
disebut sebagai "hukum akal." Hal ini bisa kita baca dalam
buku-buku ilmu tauhid, dari yang sangat tradisional hingga
yang termasuk modern seperti buku Risalah Tawhid karya
Muhammad Abduh, misalnya. Melalui kategori-kategori yang
dirumuskan sebagai hukum akal itu, yakni: wajib, mustahil dan
harus, kita diajak memahami tentang konsep ketuhanan dan
kenabian. Maka kita pun mengetahui sifat-sifat Tuhan dan
Nabi-nabi, baik yang dikategorikan sebagai sifat-sifat yang
wajib, sifat-sifat yang mustahil maupun sifat-sifat yang
harus. Masalah-masalah lain seperti kepercayaan tentang
malaikat, kitab-kitab wahyu, hari akhirat maupun qadla dan
qadar, adalah kelanjutan atau pelengkap dari kepercayaan
terhadap Tuhan dan Kenabian tersebut. Pembahasan tentang dan
di sekitar hal-hal inilah yang selama ini disebut sebagai ilmu
tauhid.

Jelas sekali pembahasan tentang teologi sebagaimana terdapat
dalam ilmu tauhid sangat intelektualistik sifatnya.
Lebih-lebih kalau kita memasuki pembahasan yang lebih rumit,
terutama ketika membicarakan sifat-sifat Tuhan, yang selama
ini dikenal sebagai "sifat dua puluh." Dalam membahas sifat
dua puluh itu, muncul berbagai konsep seperti sifat nafsiyah,
Salbiyah, ma'ani dan sifat ma'nawiyah. Juga dikemukakan
pembahasan tentang kaitan atau ta'alluq sifat-sifat Tuhan
dengan alam ini, dan muncullah konsep-konsep tentang ta'alluq
ma'iyah, ta'alluq ta'tsir, ta'alluq hukmiyah, ta'alluq bi
'l-quwwah, ta'alluq shuluhi qadim, ta'allaq tanjizi qadim,
ta'alluq tanjizi hadits. Kebanyakan dari kita tentu tidak
akrab dengan istilah-istilah atau konsep -konsep tersebut.

Dengan mengemukakan hal itu ingin diturunkkan betapa jauhnya
teologi yang dibahas dalam buku-buku ilmu tauhid dengan dunia
praktis, dengan problematika kemanusiaan. Teologi semacam itu
adalah teologi yang steril dan mandul. Ia tidak mempunyai
relevansi dengan realitas kehidupan kita. Teologi semacam itu
tidaklah membuahkan elan vital (gairah hidup). Ia tidak
melahirkan innerforce (kekuatan batin), moral maupun
spiritual, yang membuat kita bergairah dalam aksi untuk
membebaskan diri kita dan masyarakat sekitar kita dari segala
bentuk kemusyrikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar