Timbulnya sekularisasi ilmu pengetahuan bukannya tidak menghadapi tantangan. Tantangan tersebut muncul dari kaum agama (gereja). Galileo (lahir thn. 1564) dipandang sebagai pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan, ia mendapat hukuman pada musim dingin tahun 1633 karena mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandanga gereja. Galileo memperkokoh pandangan Copernicus (1473-1543) bahwa matahari adalah pusat jagad raya. Pandangan ini didasarkan pada fakta empiris melalui observasi dan eksperimen. Sedangkan pandangan gereja, bahwa bumi adalah pusat jagad raya (geosentrisme) didasarkan pada informasi Bibel. Galileo dihukum, menandai sebagai pahlawan ilmu pengetahuan, menjadi tonggak sejarah kelahiran ilmu pengetahua yang memisahkan diri dari doktrin gereja (agama). Kreadibilitas gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot sehingga semakin mempersubur tumbuhnya pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahuan menuju ilmu pengetahuan sekular.
Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologi membuang segala yang bersifat religius dan mitis, karena dipandang tidak relevan dalam ilmu. Mitos dan religi disejajarkan dan dipandang sebagai prailmu yang hanya bergayut dengan intuisi (dunia rasa). Alam dan realitas sosial ( termasuk fenomena ekonomi, budaya dan sejarah) didemitologisasikan, didesakralisasikan dan disterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit. Semuanya dibawa ke dalam konteks “ruang dan waktu” (saeculum, yang menjadi asal usul kata sekuler). Dalam pandangan sekuler, di alam ini tidak ada yang sakral melainkan semuanya profan. Jadi, sekularisme juga bermakna desakralisasi. Perspektif yang digunakan adalah alam dan relitas sosial mempunyai hukum-hukum yang intern dalam dirinya dengan prinsip hubungan sebab akibat mekanis. Peranan “Ilahy” dieksklusifkan karena dipandang tidak realistik. Sekularisme ilmiah memandang bahwa alam ini tidak mempunyai “tujuan” dan “maksud”, karena alam adalah benda mati yang netral. Tujuan dan orientasi alam ditentuka oleh manusia. Pandangan ini menyebabkan manusia dengan segala daya yang dimiliki mengeksploitasikan alam untuk kepentingan manusia semata dengan mengabaikan ekosistem alam, sehingga pada akhirnya alam memberi reaksi yang bisa berakibat mencelakakan manusia.
Dari segi metodologi ilmiah, sekularisasi ilmu pengetahuan menggunakan epistemologi rasionalisme dan empiris. Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat pengetahuan yang obyektif karena dapat melihat realitas yang konstan, tidak berubah-ubah seperti halnya realitas empiris. Sebaliknya, empris memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman). Kedua bentuk epistemologi tersebut disintesakan oleh Immanuel Kant, dimana keduanya memiliki porsi tugas masing-masing yang saling melengkapi. Sintesa tersebut semakin memperkokoh landasan ilmu-ilmu sekuler.
Dalam epistemologi sekularisme, manusia sebagai subyek pencari ilmu harus mengambil jarak (distansi) dari obyek yang ditelaah. Intervensi subyek ke dalam obyek akan menghilangkan netralitas ilmu yang dihasilkan. Manusia (subyek) dalam hal ini tidak lagi mempunyai wewenang melakukan pemaknaan atas ilmu yang dihasilkan. Ilmu lalu menjadi semacam “makhluk hidup” yang tidak diintervensi ekosistemnya. Jadi, ilmu diproduksi oleh manusia, dibesarkan oleh manusia lalu dikokohkan menjadi rigorous science (ilmu yang ketat), karena itu ia lalu menjadi sebuah “disiplin”, karena demikian ketatnya aturan adalah ilmu. Sebagai disiplin, ilmu mempunyai aturan-aturan yang ketat untuk menjadi sebuah pengetahuan yang solid. Sebagai disiplin, ilmu mempertahankan keobyektifannya. Obyektif berarti lepas dari pre-disposisi dan praanggapan (prejudice) subyek (manusia). Keterlibatan agama, pandangan hidup, tradisi dan segala yang bersifat normatif dihindarkan untuk menjaga kekokohan ilmu sebagai realitas yang independen, otonom dan obyektif.
Sekularisasi ilmu pengetahuan mula-mula pada Imu-ilmu alam ( Natural sciences), kemudian pada Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences) lalu memasuki Ilmu-ilmu Agama. Orang mula-mula meletakkan basis bagi sekularisasi Ilmu-ilmu agama ini adalah Josef von Hammer-Purgstall (1774-1856), seorang lepasan Vienna Oriental Academy, seorang penerjemah bahasa Arab, Turki dan Persia ke dalam beberapa bahasa Eropa. Hammer-Purgstall menganalisis agama secara deskriptif yang didasarkan pada fakta-fakta empirik5 dan dilepaskan dari porosnya yang asasi sebgaai wahyu Tuhan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Max Muller, ia meneliti agama secara saintifik dengan pendekatan historis.
Sekularisasi ilmu pengetahuan mula-mula pada Imu-ilmu alam ( Natural sciences), kemudian pada Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences) lalu memasuki Ilmu-ilmu Agama. Orang mula-mula meletakkan basis bagi sekularisasi Ilmu-ilmu agama ini adalah Josef von Hammer-Purgstall (1774-1856), seorang lepasan Vienna Oriental Academy, seorang penerjemah bahasa Arab, Turki dan Persia ke dalam beberapa bahasa Eropa. Hammer-Purgstall menganalisis agama secara deskriptif yang didasarkan pada fakta-fakta empirik5 dan dilepaskan dari porosnya yang asasi sebgaai wahyu Tuhan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Max Muller, ia meneliti agama secara saintifik dengan pendekatan historis.
Max Muller maupun juga Hammer-Purgstall hidup dimasa kejayaan Historisme yang menolak realitas transhistoris. Fenomena keagamaan dicari asal usulnya bukan dari Tuhan yang transhistoris tetapi dari fakta empiris, misalnya : Fakta sosiologis seperti yang dilakukan oleh Emile Durkheim dan fakta psikologis seperti yang dilakukan oleh sigmund Freud. Lahirnya historisme dan semakin meluasnya pendekatan positivistik secara praktis studi agama bercorak sekuler. Seperti halnya pendekatan historisme, pendekatan positivistik menolak fakta-fakta metafisis dan meta-empiris. Positivisme memandang bahwa dalam ilmu pengetahuan tidak ada sesuatu yang “keramat” , segala fakta dibawa ke gelanggang pemikiran untuk dianalisis dengan terlebih dahulu membuang segala apa yang disebut “suci” (holy) dalam agama maupun dalam tradisi sosial Positivisme sebagai anak kandung empirisme berkembang semakin ekstrim. Dalam empirime masih mengakui pengalaman rohani dan relitas spiritual walaupun tidak dilibatkan dalm ilmu pengetahuan. Tetapi dalam positivisme, realitas spritual dan metafisis ditolak sama Sekali . Satu-satunya realitas yang diakui adalah relitas empirik-sensual. Studi agama yang sudah terbebaskan dari porosnya yang asasi sebagai kebenaran dari Tuhan, itulah yang menjadi studi agama sekuler.
Konsekuensi dari epistemologi sekuler pada segi aksiologinya adalah ilmu itu bebas nilai (value free of sciences) atau ilmu netral nilai. Nilai ilmu hanya diberikan oleh manusia pemakainya. Memasukkan nilai ke dalam ilmu menyebabkan ilmu itu “memihak” dan dengan demikian menghilangkan obyektifitasnya.
Kelompok ilmu pengetahuan ilmu sosial yang mendukung ilmu bebas nilai dewasa ini antara lain Psikologi Behaviorisme, Psikologi Genetik, Sosiologi Strukturalisme-fungsional dan sebagainya.
Tokoh yang paling gigih mempertahankan ilmu bebas nilai antara lain Auguste Comte dala filsafat Positivismenya dan di abad ke-20 Max Weber memperkokoh ilmu bebas nilai itu penting bagi pemilik ilmu.
Nurcholish Madjid salah seorang pemikir Muslim di Indonesia juga memandang bahwa ilmu pengetahuan itu netral “ Ilmu Pengetahuan baik yang alamiah maupun yang sosial adalah netral. Artinya tidak mengandung nilai (bebas nilai) kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang memiliki dan menguasainya. Akan tetapi dalam studi Islam, pemikiran keagamaan beliau saring diwarnai oleh perspektif teologis. Sehingga produk ilmu agama yang dihasilkan tidak netral, melainkan memihak pada nilai Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar