Senin, 29 Februari 2016

PENGHAYATAN MAKNA IBADAH PUASA

Buka Puasa
PENGHAYATAN MAKNA IBADAH PUASA
Sebagai Pendidikan Tentang Kesucian serta
Tanggung Jawab Pribadi dan Kemasyarakatan
oleh Nurcholish Madjid

Dari berbagai ibadah dalam  Islam,  puasa  di  bulan  Ramadhan barangkali   merupakan   ibadat  wajib  yang  paling  mendalam bekasnya pada jiwa seorang Muslim. Pengalaman  selama  sebulan dengan  berbagai  kegiatan  yang menyertainya seperti berbuka, tarawih dan makan sahur senantiasa  membentuk  unsur  kenangan yang  mendalam  akan  masa kanak-kanak di hati seorang Muslim. Maka  ibadah  puasa  merupakan  bagian  dari  pembentuk   jiwa keagamaan  seorang Muslim, dan menjadi sarana pendidikannya di waktu kecil dan seumur hidup. Semua bangsa Muslim  menampilkan corak keruhanian yang sama selama berlangsungnya puasa, dengan beberapa variasi tertentu dari satu ke lainnya. Maka  kekhasan bangsa   kita  dalam  menyambut  dan  menjalani  ibadah  puasa Ramadhan telah pula menjadi perhatian  orang  Muslim  Arab  di akhir   abad   yang   lalu.  Seorang  sarjana  bernama  Riyadl menyebutkan  bahwa  di  Jawa  (yang  dicampuradukkan   olehnya sebagai  bagian  dari India) para pemeluk Islam mempunyai cara yang khas dalam menyambut dan menjalani ibadah  puasa.  Mereka itu, kata Prof. Riyadl.
    pergi ke masjid beramai-ramai di saat tenggelam matahari untuk shalat Maghrib dan berbuka puasa, kemudian melakukan shalat 'isya dan tarawih diteruskan dengan membaca al-Qur'an (tadarrus) setiap malam satu juz' sehingga mereka dapat menghatamkan Kitab Suci itu pada suatu malam di bulan suci. Dan dalam berbuka puasa mereka makan bersama suatu jenis makanan nasional yang menyerupai tha'miyyah (sejenis kue) pada kita, tetapi terbuat dari kacang polong dan bukannya dari kacang buncis. [1]
Dari penuturan sederhana itu maka  tidak  terlalu  salah  jika kita  kaum  Muslim  Indonesia  mempunyai  kesan yang amat khas tentang bulan Ramadhan, agaknya  lebih  dari  kaum  Muslim  di negeri-negeri  lain.  Bulan Ramadhan merupakan bulan keagamaan dengan intensitas yang tinggi, yang bakal  meninggalkan  kesan mendalam  pada mereka yang terlibat. Kekhasan suasana Ramadhan pada bangsa  kita  tercermin  juga  dalam  suasana  Hari  Raya Lebaran atau 'Idul-Fitri yang khas Indonesia. Maka sudah tentu akan baik sekali jika kita  memahami  berbagai  hikmah  ibadah puasa yang kita jalankan selama bulan itu.
PUASA DI ANTARA BERBAGAI UMAT
Sebelum kita membicarakan hikmah ibadah  yang  khas  ini,  ada baiknya  kita menyempatkan diri menengok sejenak ke masa lalu, guna memperoleh sedikit bahan perbandingan  tentang  bagaimana puasa itu dijalankan oleh berbagai golongan manusia.
Firman   Allah   berkenaan   dengan   kewajiban  kaum  beriman menjalankan ibadah puasa menyebutkan adanya  kewajiban  serupa atas  manusia  sebelum  mereka:  "Wahai  sekalian  orang  yang beriman! Diwajibkan atas kamu  sekalian  berpuasa  sebagaimana telah   diwajibkan   atas   mereka  sebelum  kami,  agar  kamu bertaqwa."  [2]  Ini  menunjukkan  adanya  ibadat  puasa  pada umat-umat sebelum Nabi Muhammad s.a.w.
Menurut  para  ahli,  puasa merupakan salah satu bentuk ibadat yang paling mula-mula  serta  yang  paling  luas  tersebar  di kalangan  umat  manusia.  Bagaimana puasa itu dilakukan, dapat berbeda-beda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu tempat  ke  tempat  yang  lain.  Bentuk puasa yang umum selalu berupa sikap menahan diri dari  makan  dan  minum  serta  dari pemenuhan  kebutuhan biologis. Juga ada puasa berupa penahanan diri  dari  bekerja,  malah  dari  berbicara.   Puasa   berupa penahanan  diri  dari  berbicara  dituturkan  dalam  al-Qur'an pernah dijalankan  oleh  Maryam,  ibunda  Nabi  Isa  al-Masih. Karena  terancam akan diejek oleh masyarakatnya bahwa ia telah melakukan suatu perbuatan  keji  (sebab  ia  telah  melahirkan seorang  putera tanpa ayah), maka Allah memerintahkannya untuk melakukan puasa (shawm) dengan tidak berbicara kepada siapapun juga. Firman Allah berkenaan dengan hal ini:
... Lantaran itu, makanlah dan minumlah (wahai Maryam), serta tenangkanlah dirimu; Dan jika terjadi engkau melihat seseorang, maka katakan kepadanya, 'Sesungguhnya aku berjanji (nadzar) untuk melakukan puasa (shawm) kepada Yang Maha Pengasih. Karena itu hari ini aku tidak akan berbicara kepada siapapun jua. [3]
Jadi pokok amalan (lahiriah) puasa ialah pengingkaran  jasmani dan   ruhani   secara  sukarela  dari  sebagian  kebutuhannya, khususnya  dari  kebutuhan  yang  menyenangkan.   Pengingkaran jasmani  dari  kebutuhannya,  yaitu  makan  dan  minum,  dapat beraneka ragam. Kaum Muslim berpuasa dengan menahan diri  dari makan  dan  minum  itu  secara  mutlak  (artinya, semua bentuk makanan dan minuman  dihindari,  tanpa  kecuali),  sejak  dari fajar  sampai  terbenam  matahari.  Tetapi  ada umat lain yang berpuasa  dengan  menghindari  beberapa  jenis  makanan   atau minuman  tertentu  saja.  Konon  kaum Sabean (al-Shabi'un) dan para pengikut Manu  (al-Manuwiyyun),  yaitu  kelompok-kelompok keagamaan  di  Timur Tengah kuna, khususnya di Mesopotamia dan Persia,  adalah  umat-umat  yang  menjalankan   puasa   dengan menghindari  jenis  tertentu makanan dan minuman itu. Demikian pula halnya dengan kaum Kristen, khususnya kaum Kristen  Timur di Asia Barat dan Mesir.
Dari  segi  waktu  pun  terdapat  keanekaragaman  dalam amalan berpuasa. Ada umat yang menjalankan puasa hanya untuk sebagian siang,  atau  seluruh  siang,  atau siang dan malam sekaligus. Bahkan juga ada yang menjalankannya hanya  untuk  malam  hari. Karena  itu  sebagian dari para ahli tafsir dalam Islam merasa perlu meneranghan hikmah puasa siang hari  saja  seperti  yang dijalankan   oleh  kaum  Muslim.  Maka  al-Jurjawi,  misalnya, memandang bahwa puasa di siang hari adalah  yang  lebih  utama daripada  di  malam  hari,  karena  lebih berat. Ini dikaitkan dengan ketentuan, menurut sebuah Hadist  Nabi,  bahwa  "Ibadat yang  paling  utama  ialah  yang paling mengigit (ahmaz yakni, paling berat)",  dan  bahwa  "Sebaik-baik  amalan  ialah  yang paling menggigit." [4] Nampak bahwa ibadah puasa memang sangat berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah  (exercise),  yaitu latihan  keruhanian,  sehingga  semakin berat semakin baik dan utama, karena semakin kuat membekas pada jiwa dan  raga  orang yang melakukannya.
Berkenaan  dengan  puasa  di  bulan  Ramadhan, disebutkan oleh al-Jurjawi bahwa sebagian  ahli  tafsir  Yahudi  dan  Kristen, namun  kemudian  mereka tinggalkan. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk mendukung pandangan serupa itu, kecuali  barangkali untuk  orang-orang  Yahudi  dan Kristen Arab di Jazirah Arabia karena terpengaruh atau meneruskan  adat  kebiasaan  setempat. Sebab ada petunjuk bahwa berpuasa di bulan Ramadhan itu banyak dilakukan oleh berbagai suku Arab di zaman Jahiliah, khususnya suku  Quraisy.  Dan  memang  banyak  amalan yang disyari'atkan dalam  Islam  telah  pula   disyari'atkan   kepada   umat-umat sebelumnya,   sebagaimana   diisyaratkan  dalam  firman  Allah tersebut  di  atas,  sebagaimana  juga   jelas   bahwa   Islam mengukuhkan  sebagian  ibadat  sebelum Islam, seperti beberapa amalan tertentu dalam haji, setelah semuanya  itu  dibersihkan dari unsur-unsur yang tidak sejalan dengan Tawhid. [5]
Berdasarkan  itu  semua  dapat dikatakan bahwa puasa merupakan salah satu mata rantai  yang  menunjukkan  segi  kesinambungan atau  kontinuitas  agama-agama. Dalam hal Islam, puasa menjadi salah satu bukti bahwa  agama  itu  merupakan  kelanjutan  dan penyempurnaan  dari  agama-agama  Allah  yang telah diturunkan kepada   umat-umat   sebelumnya.   Segi   kesinambungan   atau kontinuitas  Islam dengan agama-agama sebelumnya itu merupakan hal yang dengan sangat  kukuh  dijelaskan  dalam  Kitab  Suci, yaitu  dalam  perspektif  bahwa  peran Nabi Muhammad saw ialah tidak lain meneruskan dan menggenapkan misi suci para Nabi dan Rasul sebelumnya sepanjang sejarah:
    Sesungguhnya Kami (Allah) telah mewahyukan (ajarkan) kepada engkau (Muhammad) sebagaimana telah Kami wahyukan kepada Nuh dan kepada para Nabi sesudahnya, dan yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub serta anak cucunya, dan kepada 'Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman; sedangkan kepada Dawud telah Kami berikan Kitab Zabur.
Juga kepada para Rasul yang telah Kami kisahkan mereka itu kepada engkau sebelum ini, serta kepada para Rasul yang tidak Kami kisahkan mereka itu kepada Engkau. Dan sungguh Allah telah berbicara (langsung) dengan Musa.
Yaitu para Rasul yang membawa kegembiraan dan ancaman, agar tidak lagi ada alasan bagi manusia atas Allah sesudah para Rasul itu. Allah itu Maha Mulia dan Maha Bijaksana.
Namun Allah bersaksi bahwa apa yang diturunkan kepada engkau itu ia turunkan dengan pengetahuanNya, begitu pula para malaikat pun semuanya bersaksi. Dan (sebenarnya) cukuplah Allah sebaga saksi. [6]

PUASA, KESUCIAN DAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI
Sebuah Hadits menuturkan tentang adanya  firman  Tuhan  (dalam bentuk  Hadits Qudsi): "Semua amal seorang anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya kecuali puasa,  sebab  puasa  itu  adalah untuk-Ku,  dan  Aku-lah  yang  akan  memberinya  pahala."  [7] Berkaitan dengan ini Ibn al-Qayyim al-Jawzi memberi penjelasan bahwa puasa itu
     ... adalah untuk Tuhan seru sekalian Alam, berbeda dari amal-amal yang lain. Sebab seseorang yang berpuasa tidak melakukan sesuatu apa pun melainkan meninggalkan syahwatnya, makanannya dan minumannya demi Sesembahannya (Ma'bududu, yakni,Tuhan-NM). Orang itu meninggalkan segala kesenangan dan kenikmatan dirinya karena lebih mengutamakan cinta Allah dan ridla-Nya. Puasa itu rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang orang lain tidak mampu melongoknya. Sesama hamba mungkin dapat melihat seseorang yang berpuasa meninggalkan segala sesuatu yang membatalkan makan, minum, dan syahwatnya demi Sesembahannya, maka hal itu merupakan perkara yang tidak dapat diketahui sesama manusia. Itulah hakikat puasa.[8]
     Jadi salah satu  hakikat  ibadah  puasa  ialah  sifatnya  yang pribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara seorang manusia dengan Tuhannya. Dan segi  kerahasiaan  itu  merupakan letak  seorang  manusia  dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan itu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu sendiri  terkait  erat  dengan makna keikhlasan dan ketulusan. Antara  puasa  yang  sejati  dan  puasa  yang  palsu  hanyalah dibedakan  oleh,  misalnya, seteguk air yang dicuri minum oleh seseorang ketika ia berada sendirian.
Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian  kesadaran  akan adanya  Tuhan  yang Maha Hadir (Ompnipresent), dan yang mutlak tidak pernah lengah sedikitpun dalam  pengawasan-Nya  terhadap segala  tingkah laku hamba-hamba-Nya. Puasa adalah penghayatan nyata akan makna firman bahwa "Dia (Allah)  itu  bersama  kamu dimana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa akan segala sesuatu yang kamu perbuat." [9] "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat;  maka  ke  mana  pun  kamu  menghadap, di sanalah Wajah Allah." [10] "Sungguh Kami (Allah) telah menciptakan  manusia, dan  Kami  mengetahui  apa  yang  dibisikkan oleh hatinya Kami lebih dekat kepadanya daripada urat  lehernya  sendiri."  [11] "Ketahuilah   olehmu  sekalian  bahwa  Allah  menyekat  antara seseorang dan hatinya sendiri..." [12]
 Di atas telah dikutip penjelasan seorang pemikir klasik  Islam (Salaf)  yang  hidup  sekitar  tujuh abad yang lalu, yaitu Ibn Qayyim al-Jawzi (wafat pada tahun 751  H).  Penjelasan  serupa juga  dikemukakan  oleh  'Ali  Ahmad al-Jurjawi, seorang tokoh pemikir Islam di Zaman  Modern  dari  Mesir.  Dalam  uraiannya tentang hikmah puasa, antara lain ia katakan:
Puasa adalah sebagian dari sepenting-penting syar'I (manifestasi religiositas) dan seagung-agung qurbat  (amalan mendekatkan diri kepada Tuhan). Bagaimana tidak, padahal puasa itu adalah rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang tidak termasuki oleh sikap pamrih. Seseorang (yang berpuasa) menahan dirinya dari syahwatnya dan kesenangannya sebulan penuh, yang dibalik itu ia tidak mengharapkan apa apa kecuali Wajah Allah Ta' ala. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Dia. Maka hamba itu mengetahui bahwa Allah mengawasinya dalam kerahasiaan (privacy)-nya dan dalam keterbukaan -  (publicity)-nya. Maka ia pun merasa malu kepada Tuhan Yang Maha Agung itu untuk melanggar larangan-larangan-Nya, dengan mengakui dosa, kezaliman, dan pelanggaran larangan (yang pernah ia lakukan). Ia merasa malu kepada Allah jika nampak oleh-Nya, bahwa ia mengenakan baju kecurangan, penipuan dan kebohongan. Karena itu ia tidak berpura-pura, tidak mencari muka, dan tidak pula bersikap mendua (munafik). Ia tidak menyembunyikan persaksian kebenaran karena takut kekuasaan seorang pemimpin atau pembesar. [13]
Dari penjelasan itu tampak bahwa sesungguhnya inti  pendidikan Ilahi  melalui  ibadah  puasa  ialah  penanaman dan pengukuhan kesadaran   yang   sedalam-dalamnya    akan    ke-MahaHadir-an (omnipresence)  Tuhan.  Adalah  kesadaran  ini  yang melandasi ketaqwaan atau  merupakan  hakikat  ketaqwaan  itu,  dan  yang membimbing  seseorang  ke  arah  tingkah  laku  yang  baik dan terpuji. Dengan begitu dapat diharapkan ia akan tampil sebagai seorang   yang  berbudi  pekerti  luhur,  ber-akhlaq  karimah. Kesadaran  akan  hakikat  Allah  yang  Maha  Hadir   itu   dan konsekuensinya  yang  diharapkan  dalam  tingkah laku manusia, digambarkan dengan kuat sekali dalam Kitab Suci:
"Tidak tahukah engkau bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di seluruh langit dan segala sesuatu yang ada di bumi?! Sama sekali tidak ada suatu bisikan dari tiga orang, melainkan Dia adalah Yang Keempat; dan tidak dari empat orang, melainkan Dia adalah Yang Kelima; dan tidak dari lima orang, melainkan Dia adalah Yang Keenam; dan tidak lebih sedikit daripada itu ataupun lebih banyak, melainkan Dia beserta mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan membeberkan apa yang telah mereka perbuat itu di Hari Kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Tahu akan segala sesuatu." [14]
     Sekali lagi, dari keterangan di atas itu  tampak  bahwa  puasa adalah   suatu   ibadat   yang   berdimensi  kerahasiaan  atau keprivatan (privacy) yang amat  kuat.  Dari  situ  juga  dapat ditarik  pengertian  bahwa puasa adalah yang pertama dan utama merupakan  sarana   pendidikan   tanggungjawab   pribadi.   Ia bertujuan  mendidik  agar kita mendalami keinsyafan akan Allah yang selalu menyertai dan mengawal kita dalam setiap saat  dan tempat.
     Atas dasar keinsyafan itu hendaknya kita tidak menjalani hidup
ini dengan santai, enteng dan remeh,  melainkan  dengan  penuh kesungguhan  dan  keprihatinan. Sebab apapun yang kita perbuat akan  kita  pertanggungjawabkan  kepada  Khaliq  kita   secara pribadi.    Tentang    betapa   dimensi   pribadi   (personal) tanggungjawab kita dalam Pengadilan Tuhan di Hari Akhirat itu, Kitab  Suci  al-Qur'an  memberi  gambaran  amat  kuat  sebagai berikut:
Wahai sekalian umat manusia! Bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu, dan waspadalah terhadap hari ketika seorang orang tua tidak dapat menolong anaknya, dan tidak pula seorang anak dapat menolong orang tuanya sedikitpun jua. Sesungguhnya janji Allah itu benar (pasti terjadi), maka janganlah sampai kehidupan duniawi (kehidupan rendah) memperdayamu sekalian, dan jangan pula tentang (wajib patuh kepada) Allah itu kamu sekalian sampai terpedaya oleh apapun yang dapat memperdaya. [15]
Waspadalah kamu sekalian terhadap hari ketika tidak seorang pun dapat membantu orang lain, dan ketika perantaraan tidak dapat diterima, dan tidak pula tebusan bakal diambil, dan mereka semuanya tidak akan dibela. [l6]
Ini semuanya sudah tentu  sejajar  dengan  berbagai  penegasan dalam  Islam  bahwa  manusia  dihargai  dalam  pandangan Allah menurut amal perbuatannya berdasarkan taqwanya,  suatu  ajaran tentang   orientasi  prestasi  yang  tegas,  dalam  pengertian pandangan bahwa penghargaan kepada seseorang didasarkan kepada apa   yang   dapat   diperbuat  dan  dicapai  oleh  seseorang. Sebaliknya Islam melawan orientasi prestise,  yaitu  pandangan yang    mendasarkan    penghargaan   kepada   seseorang   atas pertimbangan segi-segi  askriptif  seperti  faktor  keturunan, daerah,  warna  kulit,  bahasa  dll.  Orientasi seperti faktor keturunan,  daerah,  warna  kulit,  bahasa,   dll.   Orientasi prestasi  berdasarkan  kerja  ini  kemudian  dikukuhkan dengan ajaran tentang tanggung jawab yang bersifat mutlak pribadi  di Akhirat kelak.

PUASA DAN TANGGUNGJAWAB KEMASYARAKATAN
Sebegitu  jauh  kita telah mencoga melihat hikmah ibadah puasa sebagai sarana pendidikan Ilahi untak menanamkan tanggungjawab pribadi.  Tetapi justru pengertian "tanggungjawab" itu sendiri mengisyaratkan  adanya  aspek  sosial  dalam  perwujudan  pada kehidupan  nyata  di dunia ini. Dan sesungguhnya tanggungjawab sosial adalah sisi lain dari mata uang logam yang  sama,  yang sisi pertamanya ialah tanggungjawab pribadi. Ini berarti bahwa dalam kenyataannya kedua jenis tanggungjawab  itu  tidak  bisa dipisahkan,  sehingga  tiadanya  salah satu dari keduanya akan mengakibatkan peniadaan yang lain.
Oleh karena itu para ulama senantiasa menekankan  bahwa  salah satu  hikmah  ibadah  puasa  ialah  penanaman rasa solidaritas sosial. Dengan mudah hal itu dibuktikan dalam kenyataan  bahwa ibadah puasa selalu disertai dengan anjuran untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya,  terutama  perbuatan  baik  dalam   bentuk tindakan  menolong  meringankan beban kaum fakir miskin, yaitu zakat, sedekah, infaq, dll.
Dari sudut  pandangan  itulah  kita  harus  melihat  kewajiban membayar  zakat fitrah pada bulan Ramadhan, terutama menjelang akhir bulan suci itu.  Seperti  diketahui,  fithrah  merupakan konsep  kesucian  asal  pribadi  manusia, yang memandang bahwa setiap individu dilahirkan dalam keadaan suci  bersih.  Karena itu  zakat  fitrah  merupakan  kewajiban  pribadi  berdasarkan kesucian  asalnya,  namun  memiliki  konsekuensi  sosial  yang sangat langsung dan jelas. Sebab, seperti halnya dengan setiap zakat atau  "sedekah"  (shadagah,  secara  etimologis  berarti "tindakan  kebenaran") pertama-tama dan terutama diperuntukkan bagi golongan fakir-miskin  serta  mereka  yang  berada  dalam kesulitan  hidup  seperti  al-riqab  (mereka yang terbelenggu, yakni, para budak; dalam istilah modern dapat  berarti  mereka yang terkungkung oleh "kemiskinan struktural") dan al-gharimun (mereka yang terbeban berat hutang), serta ibn al-sabil (orang yang  terlantar dalam perjalanan), demi usaha ikut meringankan beban  hidup  mereka.  Sasaran  zakat  yang  lain  pun   masih berkaitan dengan kriteria bahwa zakat adalah untuk kepentingan umum atau sosial, seperti  sasaran  amil  atau  panitia  zakat sendiri,  kaum  mu'allaf, dan sabil-Allah ("sabilillah", jalan Allah),   kepentingan    masyarakat    dalam    artian    yang seluas-luasnya.
Sebenarnya  dimensi  sosial  dari hikmah puasa ini sudah dapat
ditarik dan difahami dari tujuannya sendiri dalam Kitab  Suci, yaitu  taqwa.  Dalam  memberi penjelasan tentang taqwa sebagai tujuan puasa  itu,  Syeikh  Muhammad  'Abduh  menunjuk  adanya kenyataan  bahwa orang-orang kafir penyembah berhala melakukan puasa (menurut cara mereka masing-masing) dengan tujuan  utama "membujuk" dewa-dewa agar jangan marah kepada mereka atau agar senang kepada mereka dan "memihak" mereka dalam  urusan  hidup mereka  di  dunia  ini.  Ini sejalan dengan kepercayaan mereka bahwa dewa-dewa itu akan mudah dibujuk dengan jalan penyiksaan diri sendiri dan tindakan mematikan hasrat jasmani. Cara  pandang  kaum  musyrik  itu  merupakan konseknensi faham mereka  tentang  Tuhan  sebagai  yang  harus  didekati  dengan sesajen,   berupa   makanan  atau  lainnya  (termasuk  manusia sendiri) yang "disajikan" kepada  Tuhan.  Altar  di  kuil-knil bangsa  Inka  di  banyak  bagian  Amerika  Selatan, umpamanya, menunjukkan adanya praktek  "ibadat"  mendekati  Tuhan  dengan sesajen    berupa   korban   manusia.   Demikian   pula   pada bangsa-bangsa  lain,  praktek  serupa  juga   tercatat   dalam sejarah,   seperti  pada  bangsa-bangsa  Mesir  kuna,  Romawi, Yunani, India, dll.
     Hal  itu  tentu  berbeda  dengan  ajaran  agama  Tawhid   yang mengajarkan  manusia  untuk tunduk-patuh dan pasrah sepenuhnya (Islam kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam agama  ini  diajarkan bahwa Tuhan tidaklah didekati dengan sesajen seperti pada kaum pagan atau musyrik, melainkan dengan amal perbuatan yang baik, yang membawa manfaat dan faedah kepada diri sendiri dan kepada sesama  manusia  dalam  masyarakat:  "Maka  barangsiapa  ingin berjumpa  dengan  Tuhannya,  hendaknyalah ia berbuat baik, dan janganlah   dalam   berbakti   kepada    Tuhannya    itu    ia memperserikatkan-Nya dengan seseorang siapapun juga." [17]
Berkaitan  dengan  ini,  Islam  memang mengenal ajaran tentang ibadah korban. Tetapi, sesuai dengan nama ibadah  itu,  korban (qurban)  adalah tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun pendekatan itu terjadi bukan karena materi  korban  itu  dalam arti  sebagai  sesajen,  melainkan karena taqwa yang ada dalam jiwa pelakunya. Dan taqwa dalam ibadah  korban  itu  tercermin dalam  kegunaan  nyata yang ada di belakangnya, yaitu tindakan meringankan beban anggota masyarakat  yang  kurang  beruntung: "Tidaklah  bakal  sampai  kepada  Allah daging korban itu, dan tidak pula darahnya! Tetapi yang bakal sampai kepada-Nya ialah taqwa dari kamu." [18]
Maka begitu pula dengan puasa. Yang mempunyai nilai pendekatan kepada Allah bukanlah penderitaan  lapar  dan  dahaga  itu  an sich,  melainkan  rasa taqwa yang tertanam melalui hidup penuh prihatin  itu.  Dengan   perkatauan   lain,   Tuhan   tidaklah memerlukan  puasa kita seperti keyakinan mereka yang memandang Tuhan sebagai obyek sesajen atau sakramen. Puasa adalah  untuk kebaikan  diri  kita sendiri baik sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat yang lebih luas.
Sekarang, seperti halnya iman yang tidak dapat dipisahkan dari amal  saleh,  tali  hubungan  dengan  Allah  (habl min Allah - "hablum minallah") yang tidak dapat dipisahkan  dari  hubungan dengan  sesama  manusia  (habl min al-nas -"hablum minannas"), taqwa pun tidak dapat dipisahkan dari budi pekerti luhur (husn al-khuluq   atau   al-akhlaq  al  karimah).  Ini  antara  lain ditegaskan Rasulullah dalam sebuah Hadits: "Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan budi pekerti luhur." [19]
Ibadah puasa selama sebulan  itu  diakhiri  dengan  Hari  Raya
Lebaran  atau  Idul Fitri (Id-al-fithr, "Siklus Fitrah"), yang menggambarkan tentang saat  kembalinya  fitrah  atau  kesucian asal  manusia  setelah  hilang karena dosa selama setahun, dan setelah pensucian diri dosa itu melalui puasa.  Dalam  praktek yang  melembaga dan mapan sebagai adat kita semua, manifestasi dari Lebaran itu ialah sikap-sikap  dan  perilaku  kemanusiaan yang  setulus-tulusnya  dan setinggi-tingginya. Dimulai dengan pembayaran zakat fitrah yang dibagikan  kepada  fakir  miskin, diteruskan dengan bertemu sesama anggota umat dalam perjumpaan besar pada shalat Id, kemudian  dikembangkan  dalam  kebiasaan terpuji bersilaturahmi kepada sanak kerabat dan teman sejawat, keseluruhan manifestasi Lebaran itu menggambarkan dengan jelas aspek  sosial  dari  hasil ibadah puasa. Adalah bersyukur atas nikmat-karunia yang merupakan hidayah Allah  kepada  kita  itu maka  pada  hari  Lebaran kita dianjurkan untuk memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan kita. Petunjuk Nabi dalam berbagai Hadits  mengarahkan  agar  pada hari Lebaran tidak seorang pun tertinggal dalam bergembira dan berbahagia,  tanpa  berlebihan dan melewati batas.
Karena  itu  zakat  fitrah  sebenarnya  lebih banyak merupakan
peringatan simbolik tentang kewajiban atas anggota  masyarakat untuk  berbagi  kebahagiaan dengan kaum yang kurang beruntung, yang terdiri dari para fakir  miskin.  Dari  segi  jumlah  dan jenis  materialnya  sendiri,  zakat  fitrah  mungkin  tidaklah begitu berarti. Tetapi, sama dengan ibadah korban  yang  telah disinggung  di atas, yang lebih asasi dalam zakat fitrah ialah maknanya  sebagai  lambang   solidaritas   sosial   dan   rasa perikemanusiaan.  Dengan  perkataan  lain, zakat fitrah adalah lambang  tanggung-jawab  kemasyarakatan  kita  yang  merupakansalah  satu  hasil  pendidikan  ibadah  puasa,  dan  yang kita menifestasikan secara spontan.
Tetapi, sebagai simbol dan lambang, zakat fitrah harus  diberi substansi  lebih  lanjut  dan  lebih besar dalam seluruh aspek hidup kita sepanjang tahun, berupa komitmen batin serta  usaha mewujudkan  masyarakat  yang  sebaik-baiknya,  yang berintikan nilai Keadilan Sosial. Inilah antara lain makna  firman  Allah berkenaan dengan Hari Raya Lebaran:
Hendaknya kamu sekalian sempurnakan hitungan (hari berpuasa sebulan) itu, dan hendaknya pula kamu bertakbir mengagungkan Allah atas karunia hidayah dan diberikan oleh-Nya kepadamu sekalian, dan agar supaya kamu sekalian bersyukur. [20]
"Min-al-'Aidin wa-'l-Fa'izin"  (semoga  kita  semua  tergolong mereka yang  kembali  ke fitrah kita --dan yang menang—atas nafsu-egoisme kita).

CATATAN KAKI
 1. Syeikh 'Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu, 2 jilid (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), Jil. 1, hh. 233-4.
 2. QS. al-Baqarah/2:183
3. QS. Maryam/19:26.
4. al-Jurjawi, h 227
5. Lihat, Ibid, h.h. 232-3
6. QS. al-Nisa'/4:163-6.
7. Lihat al-Jurjawi, h. 228. Hadits dengan makna yang sama juga dikutip oleh al-Sayyid Muhammad Husayn al-Thaba'thabati dalam Al Mizan fi Tafsir al-Qur'an, 21 jilid (Beirut: Mu'assat al-A'lami, 1403/1983), jil. 2, h 25. Al- Thaba'thabati juga memberikan uraian dengan nada dan makna yang sama dengan al-Jawzi dan al-Jurjawi.
8. Abu 'Abd-Allah ibn al-Qayyim al-Jawzi, Zad al-Ma'ad fi Huda Khayr al-Ibad, 4 jilid (Beirut: Dar al-Fikr, 1392/1973), Jil. I, h 154.
9. QS. al-Hadid/57:4.
10. QS. al-Baqarah/2 :183.
11. QS. Qaf/50:16.
12. QS. al-Anfal/8:24.
13. al-Jurjawi, h 212.
14. QS. al-Mujadalah/58:7
15. QS. Luqman/31:33.
16. QS. al-Baqarah/2:48 dan 123).
17. QS. al-Kahf718:110.
18. QS. al-Hajj/22:37.
19. Hadits shahih, riwayat al-Tarmidzi dan al-Hakim  (Lihat Bulugh al-maram, Hadits No. 1561)
20. QS. al-Baqarah/2:185
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

BERMAKRIFAT DENGAN MEMAHAMI NAMA-NAMA DAN SIFAT-SIFAT ALLAH

Al-QuranJalan lain dalam mencapai makrifat kepada Allah swt. ialah memahami nama-nama Allah Taala yang baik-baik serta sifat-sifat-Nya yang luhur dan tinggi. Jadi nama-nama dan sifat-sifat itulah yang merupakan perantara yang digunakan oleh Allah Taala agar makhluk-Nya dapat bermakrifat pada-Nya. Inilah yang dapat dianggap sebagai saluran yang dari situ hati manusia dapat mengenal Allah Taala secara spontan. Malah itu pulalah yang dapat menggerakkan cara penemuan yang hakiki dan membuka alam yang amat luas terhadap kerohanian guna menyaksikan cahaya Allah swt.
Nama-nama itu adalah yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya, “Katakanlah, ‘Serulah Allah atau serulah Rahman. Mana saja nama Tuhan yang kamu semua seru, Dia adalah mempunyai nama-nama yang baik.’" (Q.S. Al-Isra:110)
Dengan nama-nama itulah yang kita semua diperintah untuk menyerunya. Allah Taala berfirman, “Bagi Allah adalah nama-nama yang baik, maka serulah dengan menggunakan nama-nama itu.” (Q.S. Al-A’raf:180)
Adapun jumlah nama-nama Allah yang baik (asmaul husna) itu ada sembilan puluh sembilan nama. Imam Bukhari, Muslim dan Tirmizi meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Allah itu mempunyai sembilan puluh sembilan nama. Barangsiapa menghafalnya ia masuk surga. Sesungguhnya Allah itu Maha Ganjil (tidak genap) dan cinta sekali pada hal yang ganjil (tidak genap).” (H.R. Ibnu Majah)
 
1.    Imam Tirmizi memberikan tambahan dalam riwayatnya sebagai berikut, “Sembilan puluh sembilan nama Allah Taala yaitu:
2.    Allah: Lafal yang Maha Mulia yang merupakan nama dari zat Ilahi yang Maha Suci serta wajib adanya yang berhak memiliki semua macam pujian dan sanjungan. Adapun nama-nama lain, maka setiap nama itu menunjukkan suatu sifat Tuhan yang tertentu dan oleh sebab itu bolehlah dianggap sebagai sifat bagi lafal yang Maha Mulia ini (yakni Allah) atau boleh dijadikan sebagai kata beritanya.
3.    Arrahmaan: Maha Pengasih, pemberi kenikmatan yang agung-agung, pengasih di dunia.     
4.     Arrahiim: Maha Penyayang, pemberi kenikmatan yang pelik-pelik, penyayang di akhirat.
5.    Almalik: Maha Merajai, mengatur kerajaan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya sendiri.
6.     Alqudduus: Maha Suci, tersuci dari segala cela dan kekurangan.
7.     Assalaam: Maha Penyelamat, pemberi keamanan dan kesentosaan pada seluruh makhluk-Nya.
8.     Almukmin: Maha Pemelihara keamanan, yakni siapa yang bersalah dari makhluk-Nya itu benar-benar akan diberi siksa, sedang kepada yang taat akan benar-benar dipenuhi janji-Nya dengan pahala yang baik.
9.    Almuhaimin: Maha Penjaga, memerintah dan melindungi segala sesuatu.
10.    Al’aziiz: Maha Mulia, kuasa dan mampu untuk berbuat sekehendak-Nya.
11.    Aljabbaar: Maha Perkasa, mencukupi segala kebutuhan, melangsungkan segala perintah-Nya serta memperbaiki keadaan seluruh hamba-Nya.
12.    Almutakabbir: Maha Megah, menyendiri dengan sifat keagungan dan kemegahan-Nya.
13.    Alkhaalik: Maha Pencipta, mengadakan seluruh makhluk tanpa asal, juga yang menakdirkan adanya semua itu.
14.    Albaari’: Maha Pembuat, mengadakan sesuatu yang bernyawa yang ada asal mulanya.
15.    Almushawwir: Maha Pembentuk, memberikan gambaran atau bentuk pada sesuatu yang berbeda dengan lainnya. (Jadi Alkhaalik adalah mengadakan sesuatu yang belum ada asal mulanya atau yang menakdirkan adanya itu. Albaari’ ialah mengeluarkannya dari yang sudah ada asalnya, sedang Almushawwir ialah yang memberinya bentuk yang sesuai dengan keadaan dan keperluannya).
16.    Alghaffaar: Maha Pengampun, banyak pemberian maaf-Nya dan menutupi dosa-dosa dan kesalahan.
17.    Alqahhaar: Maha Pemaksa, menggenggam segala sesuatu dalam kekuasaan-Nya serta memaksa segala makhluk menurut kehendak-Nya.
18.    Alwahhaab: Maha Pemberi, banyak kenikmatan dan selalu memberi karunia.
19.    Arrazzaaq: Maha Pemberi rezeki, membuat berbagai rezeki serta membuat pula sebab-sebab diperolehnya.
20.    Alfattaah: Maha Membukakan, yakni membuka gudang penyimpanan rahmat-Nya untuk seluruh hamba-Nya.
21.    Al’aliim: Maha Mengetahui, yakni mengetahui segala yang maujud ini dan tidak ada satu benda pun yang tertutup oleh penglihatan-Nya.
22.    Alqaabidl: Maha Pencabut, mengambil nyawa atau mempersempit rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
23.    Albaasith: Maha Meluaskan, memudahkan terkumpulnya rezeki bagi siapa yang diinginkan oleh-Nya.
24.    Alkhaafidl: Maha Menjatuhkan, yakni terhadap orang yang selayaknya dijatuhkan karena akibat kelakuannya sendiri dengan memberinya kehinaan, kerendahan dan siksaan.
25.    Arraafi’: Maha Mengangkat, yakni terhadap orang yang selayaknya diangkat kedudukannya karena usahanya yang giat yaitu yang termasuk golongan kaum yang bertakwa.
26.    Almu’iz: Maha Pemberi kemuliaan, yakni kepada orang yang berpegang teguh pada agama-Nya dengan memberinya pertolongan dan kemenangan.
27.    Almudzil: Maha Pemberi kehinaan, yakni kepada musuh-musuh-Nya dan musuh umat Islam seluruhnya.
28.    Assamii’: Maha Mendengar.
29.    Albashiir: Maha Melihat.
30.    Alhakam: Maha Menetapkan hukum, sebagai hakim yang memutuskan yang tidak seorang pun dapat menolak keputusan-Nya, juga tidak seorang pun yang kuasa merintangi kelangsungan hukum-Nya itu.
31.    Al’adl: Maha Adil, serta sangat sempurna dalam keadilan-Nya itu.
32.    Allathiif: Maha Halus, yakni mengetahui segala sesuatu yang samar-samar, pelik-pelik dan kecil-kecil.
33.    Alkhabiir: Maha Waspada.
34.    Alhaliim: Maha Penghiba, penyantun yang tidak tergesa-gesa melakukan kemarahan dan tidak pula gegabah memberikan siksaan.
35.    Al’azhiim: Maha Agung, yakni mencapai puncak tertinggi dari keagungan karena bersifat dengan segala macam sifat kebesaran dan kesempurnaan.
36.    Alghafuur: Maha Pengampun, banyak pengampunan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
37.    Asysyakuur: Maha Pembalas yakni memberikan balasan yang banyak sekali atas amalan yang kecil dan tidak berarti.
38.    Al’aliy: Maha Tinggi, yakni mencapai tingkat yang setinggi-tingginya yang tidak mungkin digambarkan oleh akal pikiran siapa pun dan tidak dapat dipahami oleh otak yang bagaimana pun pandainya.
39.    Alkabiir: Maha Besar, yang kebesaran-Nya tidak dapat diikuti oleh pancaindera atau pun akal manusia.
40.    Alhafiiz: Maha Pemelihara yakni menjaga segala sesuatu jangan sampai rusak dan goncang. Juga menjaga segala amal perbuatan hamba-hamba-Nya, sehingga tidak akan disia-siakan sedikit pun untuk memberikan balasan-Nya.
41.    Almuqiit: Maha Pemberi kecukupan, baik yang berupa makanan tubuh atau pun makanan rohani.
42.    Alhasiib: Maha Penjamin, yakni memberikan jaminan kecukupan kepada seluruh hamba-Nya. Juga dapat diartikan Maha Menghisab amalan hamba-hamba-Nya pada hari kiamat.
43.    Aljaliil: Maha Luhur, yang memiliki sifat-sifat keluhuran karena kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
44.    Alkariim: Maha Pemurah, mulia hati dan memberi siapa pun tanpa diminta atau sebagai penggantian dari sesuatu pemberian.
45.    Arraqiib: Maha Peneliti, yang mengamat-amati gerak-gerik segala sesuatu dan mengawasinya.
46.    Almujiib: Maha Mengabulkan, yang memenuhi permohonan siapa saja yang berdoa pada-Nya.
47.    Alwaasi’: Maha Luas, yakni bahwa rahmat-Nya itu merata kepada segala yang maujud dan luas pula ilmu-Nya terhadap segala sesuatu.
48.    Alhakiim: Maha Bijaksana yakni memiliki kebijaksanaan yang tertinggi kesempurnaan ilmu-Nya serta kerapian-Nya dalam membuat segala sesuatu.
49.    Alwaduud: Maha Pencinta, yang menginginkan segala kebaikan untuk seluruh hamba-Nya dan pula berbuat baik pada mereka itu dalam segala hal-ihwal dan keadaan.
50.    Almajiid: Maha Mulia, yakni yang mencapai tingkat teratas dalam hal kemuliaan dan keutamaan.
51.    Albaa’its: Maha Membangkitkan, yakni membangkitkan para rasul, membangkitkan semangat dan kemauan, juga membangkitkan orang-orang yang telah mati dari masing-masing kuburnya nanti setelah tibanya hari kiamat.
52.    Asysyahiid: Maha Menyaksikan atau Maha Mengetahui keadaan semua makhluk.
53.    Alhaq: Maha Haq, Maha Benar yang kekal dan tidak akan berubah sedikit pun.
54.    Alwakiil: Maha Memelihara penyerahan, yakni memelihara semua urusan hamba-hamba-Nya dan apa-apa yang menjadi kebutuhan mereka itu.
55.    Alqawiy: Maha Kuat, yaitu yang memiliki kekuasaan yang sesempurna-sempurna.
56.    Almatiin: Maha Kokoh atau Perkasa, yakni memiliki keperkasaan yang sudah sampai dipuncaknya.
57.    Alwaliy: Maha Melindungi, yakni melindungi serta menertibkan semua kepentingan makhluk-Nya karena kecintaan-Nya yang sangat pada mereka itu dan pemberian pertolongan-Nya yang tidak terbatas pada keperluan mereka.
58.    Alhamiid: Maha Terpuji, yang memang sudah selayaknya untuk memperoleh pujian dan sanjungan.
59.    Almuhshi: Maha Penghitung, yang tidak satu pun tertutup dari pandangan-Nya dan semua amalan itu pun diperhitungkan sebagaimana wajarnya.
60.    Almubdi’: Maha Memulai, yang melahirkan sesuatu yang asalnya tidak ada dan belum maujud.
61.    Almu’iid: Maha Mengulangi, yakni menumbuhkan kembali setelah lenyapnya atau setelah rusaknya.
62.    Almuhyii: Maha Menghidupkan, yakni memberikan daya kehidupan pada setiap sesuatu yang berhak hidup.
63.    Almumiit: Yang Mematikan, yakni mengambil kehidupan (ruh) dari apa-apa yang hidup, lalu disebut mati.
64.    Alhay: Maha Hidup, kekal pula hidup-Nya itu.
65.    Alqayyuum: Maha Berdiri sendiri, baik Dzat-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya. Juga membuat berdiri apa-apa yang selain Dia. Dengan-Nya pula berdiri langit dan bumi ini.
66.    Alwaajid: Maha kaya, dapat menemukan apa saja yang diinginkan oleh-Nya, maka tidak membutuhkan pada suatu apa pun karena sifat kaya-Nya yang mutlak.
67.    Almaajid: Maha Mulia, (sama dengan nomor 49 yang berbeda hanyalah tulisannya. Ejaan sebenarnya nomor 49 Almajiid sedangkan nomor 66 ini Almaajid).
68.    Alwaahid: Maha Esa.
69.    Ashshamad: Maha Dibutuhkan, yakni selalu menjadi tujuan dan harapan orang di waktu ada hajat keperluannya.
70.    Alqaadir: Maha Kuasa.
71.    Almuqtadir: Maha Menentukan.
72.    Almuqaddim: Maha Mendahulukan, yakni mendahulukan sebagian benda dari yang lainnya dalam perwujudannya, atau dalam kemuliaan, selisih waktu atau tempatnya.
73.    Almu’akhkhir: Maha Mengakhirkan atau Membelakangkan.
74.    Alawwal: Maha Pertama, Dahulu sekali dari semua yang maujud.
75.    Alaakhir: Maha Penghabisan, Kekal terus setelah habisnya segala sesuatu yang maujud.
76.    Azhzhaahir: Maha Nyata, yakni menyatakan dan menampakkan wujud-Nya itu dengan bukti-bukti dan tanda-tanda ciptaan-Nya.
77.    Albaathin: Maha Tersembunyi, tidak dapat dimaklumi zat-Nya sehingga tidak seorang pun dapat mengenal zat-Nya itu.
78.    Alwaalii: Maha Menguasai, menggenggam segala sesuatu dalam kekuasaan-Nya dan menjadi milik-Nya.
79.    Almuta’aalii: Maha Suci, terpelihara dari segala kekurangan dan kerendahan.
80.    Albar: Maha Dermawan, banyak kebaikan-Nya dan besar kenikmatan yang dilimpahkan-Nya.
81.    Attawwaab: Maha Penerima tobat, memberikan pertolongan kepada orang-orang yang bermaksiat untuk melakukan tobat lalu Allah akan menerimanya.
82.    Almuntaqim: Maha Penyiksa, kepada orang yang berhak untuk memperoleh siksa-Nya.
83.    Al’afuw: Maha Pemaaf, pelebur kesalahan orang yang suka kembali untuk meminta maaf pada-Nya.
84.    Arra-uuf: Maha Pengasih, banyak rahmat dan kasih sayang-Nya.
85.    Maalikulmulk: Maha Menguasai kerajaan, maka segala perkara yang berlaku di alam semesta, langit, bumi dan sekitarnya serta yang dibaliknya alam semesta itu semuanya sesuai dengan kehendak dan iradat-Nya.
86.    Dzuljalaali wal ikraam: Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan. Juga zat yang mempunyai keutamaan dan kesempurnaan, pemberi karunia dan kenikmatan yang amat banyak dan melimpah ruah.
87.    Almuqsith: Maha Mengadili, yakni memberikan kemenangan pada orang-orang yang teraniaya dari tindakan orang-orang yang menganiaya dengan keadilan-Nya.
88.    Aljaami’: Maha Mengumpulkan, yakni mengumpulkan berbagai hakikat yang telah bercerai-berai dan juga mengumpulkan seluruh umat manusia pada hari pembalasan.
89.    Alghaniy: Maha Kaya, maka tidak membutuhkan apa pun dari yang selain zat-Nya sendiri, tetapi yang selain-Nya itu amat membutuhkan kepada-Nya.
90.    Almughnii: Maha Pemberi kekayaan yakni memberikan kelebihan yang berupa kekayaan yang berlimpah-limpah kepada siapa saja yang dikehendaki dari golongan hamba-hamba-Nya.
91.    Almaani’: Maha Membela atau Maha Menolak, yaitu membela hamba-hamba-Nya yang saleh dan menolak sebab-sebab yang menyebabkan kerusakan.
92.    Adldlaar: Maha Pemberi bahaya, yakni dengan menurunkan siksa-siksa-Nya kepada musuh-musuh-Nya.
93.    Annaafi’: Maha Pemberi kemanfaatan, yakni merata kebaikan yang dikaruniakan-Nya itu kepada semua hamba dan negeri.
94.    Annuur: Maha Bercahaya yakni menonjolkan zat-Nya sendiri dan menampakkan untuk yang selain-Nya dengan menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya.
95.    Alhaadi: Maha Pemberi petunjuk, yaitu memberikan jalan yang benar kepada segala sesuatu agar langsung adanya dan terjaga kehidupannya.
96.    Albadii’: Maha Pencipta yang baru, sehingga tidak ada contoh dan yang menyamai sebelum keluarnya ciptaan-Nya itu.
97.    Albaaqii: Maha Kekal, yakni kekal hidup-Nya untuk selama-lamanya.
98.    Alwaarits: Maha Pewaris, yakni kekal setelah musnahnya seluruh makhluk.
99.    Arrasyiid: Maha Cendekiawan, yaitu memberi penerangan dan tuntunan pada seluruh hamba-Nya dan yang segala peraturan-Nya itu berjalan menurut ketentuan yang digariskan oleh kebijaksanaan dan kecendikiawanan-Nya.
100.    Ashshabuur: Maha Penyabar yang tidak tergesa-gesa memberikan siksaan dan tidak pula cepat-cepat melaksanakan sesuatu sebelum waktunya.
Dalam kitab Addinul Islami disebutkan sebagai berikut: “Nama-nama Allah yang baik-baik (asmaul husna) yang tercantum dalam Alquran yaitu:
1.    Nama-nama yang berhubungan dengan zat Allah Taala, yakni:
a.    Alwaahid (Maha Esa)
b.    Alahad (Maha Esa)
c.    Alhaq (Maha Benar)
d.    Alqudduus (Maha Suci)
e.    Ashshamad (Maha dibutuhkan)
f.    Alghaniy (Maha Kaya)
g.    Alawwal (Maha Pertama)
h.    Alaakhir (Maha Penghabisan).
i.    Alqayyuum (Maha Berdiri Sendiri).
2.    Nama-nama yang berhubungan dengan penciptaan, yakni:
a.    Alkhaalik (Maha Menciptakan)
b.    Albaari’ (Maha Pembuat)
c.    Almushawwir (Maha Pembentuk)
d.    Albadii’ (Maha Pencipta yang baru)
3.    Nama-nama yang berhubungan dengan sifat kecintaan dan kerahmatan, selain dari lafal Rab (Tuhan), Rahman (Maha Pengasih) dan Rahim (Maha Penyayang), yakni:
a.    Arra-uuf (Maha Pengasih)
b.    Alwaduud (Maha Pencinta)
4.    C. Allathiif (Maha Halus)
a.    Alhaliim (Maha Penghiba)
b.    Al’afuw (Maha Pemaaf)
c.    Asysyakuur (Maha Pembalas, Pemberi karunia)
d.    Almukmin (Maha Pemelihara keamanan)
e.    Albaar (Maha Dermawan)
f.    Rafi’ud darajat (Maha Tinggi derajat-Nya)
g.    Arrazzaaq (Maha Pemberi rezeki)
h.    Alwahhaab (Maha Pemberi)
i.    Alwaasi’ (Maha luas)
5.    Nama-nama yang berhubungan dengan keagungan serta kemuliaan Allah Taala yakni:
a.    Al’azhiim (Maha Agung)
b.    Al’aziiz (Maha Mulia)
6.    C. Al’aliy (Maha Tinggi)
a.    Almuta’aalii (Maha Suci)
b.    Alqawiy (Maha Kuat)
c.    Alqahhaar (Maha Pemaksa)
d.    Aljabbaar (Maha Perkasa)
e.    Almutakabbir (Maha Megah)
f.    Alkabiir (Maha Besar)
g.    Alkariim (Maha Pemurah)
h.    Alhamiid (Maha Terpuji)
i.    Almajiid (Maha Mulia)
j.    Almatiin (Maha Kuat)
k.    Azhzhaahir (Maha Nyata)
l.    Zuljalaali wal ikraam (Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan)
7.    Nama-nama yang berhubungan dengan ilmu Allah Taala, yakni:
a.    Al’aliim (Maha Mengetahui)
b.    Alhakiim (Maha Bijaksana)
8.    C. Assamii’ (Maha Mendengar)
a.    Alkhabiir (Maha Waspada)
b.    Albashiir (Maha Melihat)
c.    Asysyahid (Maha Menyaksikan)
d.    Arraqiib (Maha Meneliti)
e.    Albaathin (Maha Tersembunyi)
f.    Almuhaimin (Maha Menjaga)
9.    Nama-nama yang berhubungan dengan kekuasaan Allah serta caranya mengatur segala sesuatu, yakni:
a.    Alqaadir (Maha Kuasa)
b.    Alwakiil (Maha Memelihara penyerahan)
10.    C. Alwaliy (Maha Melindungi)
a.    Alhaafizh (Maha Pemelihara)
b.    Almalik (Maha Merajai)
c.    Almaalik (Maha Memiliki)
d.    Alfattaah (Maha Pembuka)
e.    Alhasiib (Maha Penjamin)
f.    Almuntaqim (Maha Penyiksa)
g.    Almuqiit (Maha Pemberi kecukupan)
11.    Ada pula nama-nama yang tidak disebutkan dalam nas Alquran tetapi merupakan sifat-sifat yang erat kaitannya dengan sifat atau perbuatan Allah Taala yang tercantum dalam Alquran, yakni:
a.    Alqaabidl (Maha Pencabut)
b.    Albaasith (Maha Meluaskan)
12.    C. Arraafi` (Maha Mengangkat)
a.    Almu’iz (Maha Pemberi kemuliaan)
b.    Almudzil (Maha Pemberi kehinaan)
c.    Almujiib (Maha Mengabulkan)
d.    Albaa’its (Maha Membangkitkan)
e.    Almuhshii (Maha Penghitung)
f.    Almubdi’ (Maha Memulai)
g.    Almu’iid(Maha Mengulangi)
h.    Almuhyii (Maha Menghidupkan)
i.    Almumiit (Maha Mematikan)
j.    Maalikulmulk (Maha Menguasai kerajaan)
k.    Aljaami’ (Maha Mengumpulkan)
l.    Almughnii (Maha Pemberi kekayaan)
m.    Almu’thii (Maha Pemberi)
n.    Almaani’ (Maha Membela, Maha Menolak)
o.    Alhaadii (Maha Pemberi Petunjuk)
p.    Albaaqii (Maha Kekal)
q.    Alwaarits (Maha Pewaris).
13.    Ada pula nama-nama Allah Taala yang diambil dari makna atau pengertian nama-nama yang terdapat dalam Alquran, yakni:
a.    Annuur (Maha Bercahaya)
b.    Ashshabuur (Maha Penyabar)
c.    Arrasyiid (Maha Cendekiawan)
d.    Almuqsith (Maha Mengadili)
14.    e Alwaalii (Maha Menguasai)
a.    Aljaliil (Maha Luhur)
b.    Al’adl (Maha Adil)
c.    Alkhaafidl (Maha Menjatuhkan)
d.    Alwaajid (Maha Kaya)
e.    Almuqaddim (Maha Mendahulukan)
f.    Almu-akhkhir (Maha Mengakhirkan)
g.    Adldlaar (Maha Pemberi bahaya)
h.    Annaafi’ (Maha Pemberi kemanfaatan)
15.    Dengan nama-nama di atas dirangkaikan pula sifat-sifat:
a.    Takallum (Berfirman) dan
b.    Iradat (Berkehendak)

BENTANGAN-SEABAD BUKU ISLAM DI INDONESIA

Ali Imran
"Sejarah memang selalu ditentukan oleh pemikiran yang paling menonjol dari zamannya," tulis Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam (1991: 186). "Masa pencerahan (Aufklarung) abad kelima belas di Eropa juga ditandai oleh pemikiran yang paling menonjol di kalangan pemikir-pemikirnya, yaitu bagaimana peradaban dapat bertumpu pada pemikiran rasional, meskipun pada waktu itu para petani Eropa masih tetap hidup dalam alam mitos. Begitu pula sejarah seni lukis misalnya, juga selalu ditandai dengan munculnya aliran-aliran baru, meskipun tradisi lama masih tetap diteruskan. Jadi, untuk menandai suatu zaman, kita perlu melihat kecenderungan pemikiran yang paling signifikan yang tampak sebagai gejala terkuat dari zaman yang bersangkutan."
Pandangan Kuntowijoyo akan digunakan sebagai pijakan untuk membentangkan buku-buku Islam, yang terbit di Indonesia, selama 1900-2000. Batasan lain, buku-buku Islam yang dibentangkan, sebagian besar datanya, berasal dari studi literatur. Kemudian, penyusunan dilakukan secara kronologis dengan menampilkan buku-buku Islam yang ditulis oleh para pengarang yang berasal dari Indonesia. Pembabakan tidak secara ketat diterapkan sama untuk setiap masa. Pada tahun-tahun awal, pembabakannya lebih longgar dan panjang, sementara tahun-tahun mendekati 2000 lebih pendek dan padat.

1900-1928. Saat memasuki abad kedua puluh, buku-buku Islam yang terbit masih kental diwarnai oleh "Islam tradisional". Martin Van Bruinessen, dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (1995: 134), secara kasar mengklasifikasikan buku-buku Islam dalam beberapa kategori. Kategori utamanya adalah fiqih (20%), doktrin berupa akidah dan ushuluddin (17%), tata bahasa Arab tradisional (12%), kumpulan hadis (8%), tasawuf dan tarekat (7%), akhlak (6%), kumpulan doa dan wirid (6%), dan kisah para nabi, manaqib, dan sejenisnya (5%). Cara penyajian buku Islam pada awal abad kedua puluh ini kebanyakan menggunakan bahasa lokal (misalnya, bahasa Jawa atau Sunda) dan ditulis dengan huruf Arab (bukan dalam huruf Latin).
Menurut Van Bruinessen, salah seorang pengarang Jawa terkemuka pada akhir abad kesembilan belas adalah Saleh Darat (w. 1903). Dia menulis beberapa kitab syarah atas beberapa karya penting dalam bidang fiqih, akidah, dan tasawuf. Pengarang lain yang terkenal adalah K.H. Mahfuzh dari Termas (w. 1919), yang hidup dan mengajar di Makkah sekitar pergantian abad, yang menulis sangat mendalam mengenai fiqih dan ilmu hadis. Dalam perjalanan selanjutnya, dari kalangan ulama NU lahirlah seorang penulis yang produktif asal Rembang bernama K.H. Bisri Mustofa (1915-1977). Kiai Bisri ini menghasilkan dua puluhan buku termasuk sebuah karya tafsir yang berjumlah tiga jilid.

Penulis produktif lain pada masa ini dikenalkan oleh Ajip Rosidi. Dia adalah K.H. Hasan Mustapa, salah seorang sastrawan besar Sunda yang wafat pada 1930. Dalam Warisan Intelektual Islam Indonesia (1987: 79-102) yang disunting oleh A. Rifa'i Hasan, Ajip Rosidi mengatakan bahwa pengetahuan K.H. Hasan Mustapa tentang agama Islam dikagumi oleh ahli Islam asal Belanda, Prof. Dr. Snouck Hurgronje. Karya-karyanya, selain bercorak sastra atau dalam bahasa Sunda dikenal dengan nama dangding, amat diwarnai Islam karena mengacu ke tradisi puisi tasawuf. "Kalau diperhatikan dengan teliti, maka akan jelas bahwa, kecuali Bale Bandung yang merupakan kumpulan surat-menyurat Haji Hasan Mustapa dengan Kiai Kurdi, umumnya karya-karya Haji Hasan Mustapa berupa uraian tentang agama Islam atau adat kebiasaan orang Sunda," tulis Ajip Rosidi.

Pada masa ini juga mulai lahir buku-buku Islam yang dapat dikatakan sedikit diwarnai oleh "Islam modern". M. Dawam Rahardjo, dalam Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa (1993: 43-65), mengisahkan hal ini secara menarik. Proses terbangunnya "Islam modern" dimulai dengan tebentuknya organisasi pergerakan Boedi Oetomo pada 1908 dan kemudian dilanjutkan dengan pendirian organisasi massa Islam terbesar kedua setelah NU, Muhammadiyah, pada November 1912. Selama rentang waktu 1908-1912, embrio "Islam modern" yang pada saat awal melibatkan tiga isu besar---Islam, nasionalisme, dan sosialisme---diwadahi oleh Sarekat Islam yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto (1882-1934). Tokoh Sarekat Islam awal ini kemudian mengarang buku Islam dan Sosialisme.

1929-1970. Bau "Islam modern" semakin kuat menyengat memasuki masa kemerdekaan. Banyak penulis Islam lahir pada masa ini. Salah seorang yang dapat disebutkan di sini, dan merupakan tokoh kedua Sarekat Islam, adalah K.H. Agus Salim (1884-1954). Menurut M. Dawam Rahardjo (1993: 49), pada pertengahan 1928, K.H. Agus Salim terlibat perdebatan dengan Sukarno, mantan Presiden RI Pertama, mengenai nasionalisme. Dalam perdebatan itu, K.H. Agus Salim mengingatkan bahwa bila jiwa nasionalisme tidak mempunyai dasar-dasar agama, maka ia dapat berkembang menjadi ideologi agresif. Tulisan-tulisannya sendiri kemudian baru dikenal luas pada 1954, yang diterbitkan oleh Penerbit Tintamas, dengan judul Djedjak Langkah Hadji A. Salim: Pilihan Karangan, Utjapan dan Pendapat Beliau dari Dulu sampai Sekarang.

Menurut M. Dawam Rahardjo lebih jauh, pada rentang masa ini, muncul para penulis dari golongan ulama, seperti K.H. Munawar Cholil, Zainal Arifin Abbas, Hasbi Ash-Shiddieqy, Hamka, A. Hassan, Abubakar Aceh, Yusuf Sou'yb, dan Zainal Abidin Ahmad. Sementara itu, yang dapat digolongkan berasal dari intelektual adalah Bachrum Rangkuti, Dr. Prayana Suryadipura, Dr. Ahmad Ramali, Dr. Abu Hanifah, Mohammad Roem, dan Syafruddin Prawiranegara. Dan yang paling menarik adalah para penulis yang berasal dari madrasah dan pesantren, namun kemudian melanjutkan studi ke luar negeri. Dari golongan ini, yang terpenting adalah Mohammad Rasjidi, A. Mukti Ali, dan Harun Nasution.

Pada 1965, H.M. Rasjidi, yang dikenal sebagai guardian Islam, menulis buku Filsafat Agama. Kemudian, selain menulis Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, pada 1970-an, beliau menulis buku dengan judul yang sama persis dengan judul buku karya H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme. Menurut M. Dawam Rahardjo, ciri pemikiran H.M. Rasjidi ini seperti penyair-besar Chairil Anwar, yaitu mengekspresikan pandangan-pandangannya lewat para pemikir Barat, tetapi dengan tidak lupa membuat catatan-catatan kaki yang sifatnya mengoreksi interpretasi yang dianggapnya keliru.

Di samping H.M. Rasjidi, pada masa ini tampil pula Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981) dan Harun Nasution (1919-1998). Hamka, lewat roman-roman mengesankannya seperti Di Bawah Lindungan Ka`bah (1938) dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939), mampu mengguncang dunia kesusastraan Indonesia. Hamka, pada masa Orde Lama, sempat meringkuk di penjara. Selama di penjara, beliau berhasil menyelesaikan karya monumentalnya, Tafsir Al-Azhar. Sementara itu, Harun Nasution---yang oleh Greg Barton, dalam Gagasan Islam Liberal di Indonesia (1999: 449), dinilai (bersama A. Mukti Ali) "secara teguh mulai mendekati posisi neomodernis"---baru pada 1972 melahirkan karya pertamanya, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan. Setelah itu, baru muncul karya-karyanya yang lain, di antaranya, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974) dan Akal dan Wahyu dalam Islam (1982). Barulah pada 1995 terbit secara lengkap himpunan pemikirannya yang terentang dari 1970 hingga 1994: Islam Rasional.

1971-1995. Menurut Nurcholish Madjid, kesempatan yang lebih luas dan leluasa untuk membangun tradisi intelektual, serta peradaban dan kebudayaan Islam secara keseluruhan, baru diraih umat Islam Indonesia sejak kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini. Pendapat Cak Nur tersebut dilontarkan pada 1998. Jadi, tradisi intelektual umat Islam di Indonesia yang dapat dikatakan menyentuh pelbagai bidang kehidupan, baru mulai dibangun pada 1988. Sebelum 1988, tradisi intelektual tersebut kebanyakan hanya diisi oleh pemikiran-pemikiran yang bercorak fight against dan bersifat parsial.

Dalam rentang masa inilah, memang, buku-buku Islam yang terbit mulai menapaki masa transisi, yaitu dari "hanya melawan" sebuah pemikiran yang berseberangan dengan pemikiran Islam menuju suatu pemikiran yang lebih bersifat "komplementer". Keadaan ini diwakili dengan baik oleh pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid yang mulai digaungkan pada era 1970-an. Pada 1987, tulisan-tulisan Nurcholish Madjid itu dibukukan dengan judul Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan.

Sebelum karya-awal Cak Nur terbit, pada 1981 terbit sebuah buku Islam penting yang unik karena diangkat dari catatan harian. Buku tersebut---yang dikonstruksi menjadi buku setelah penulisnya wafat dan dipengantari A. Mukti Ali---berjudul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Buku ini sempat menyulut kontroversi. Lalu pada 1986, terbit pula satu buku Islam yang memiliki karakter khas, yaitu Islam antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni Bukan Muslim hasil suntingan Mochtar Pabottingi. Dan jauh sebelum karya Cak Nur dan Mochtar Pabottingi terbit, pada 1980 terbit buku berbobot yang diangkat dari disertasi penulisnya, yaitu Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 karya Deliar Noer.

1996-2000. Masa ini merupakan masa penting bagi perkembangan buku Islam di Indonesia. Selain pada masa ini Indonesia mengalami perubahan-perubahan dahsyat, terutama pada 1998-1999 yang di dalamnya terjadi krisis politik dan ekonomi, penerbitan buku ditantang oleh zaman baru yang bernama cyberspace. Buku-buku Islam tidak hanya harus bersaing dengan televisi dan media elektronik lain, tetapi juga dengan perangkat multimedia yang lebih canggih dan memiliki cara-cara penyajian materi yang lebih simpel, fun, dan efektif ketimbang buku.

Namun, dari data kasar yang ada, buku-buku Islam pun tak mau ketinggalan zaman. Pada rentang waktu ini, selain corak buku Islam yang telah dikembangkan sejak 1900 masih terus ada dan diterbitkan, para penulis baru ataupun lama mencoba berinteraksi dengan zaman baru. Alhamdulillah, beberapa buku Islam berbobot masih dapat terbit. Ali Audah, penerus Hamka, menerbitkan kumpulan pemikirannya, Dari Khazanah Dunia Islam (1999).

Salah satu buku yang dapat dikatakan mewakili masa ini adalah karya Alwi Shihab, kini Menteri Luar Negeri RI dalam Kabinet Gus Dur, berjudul Islam Inklusif, yang terbit pada akhir 1997. Inilah buku yang, tampaknya, ingin mengikuti semangat zaman internet: serbatransparan dan serbaglobal. Anak judul buku ini menunjukkan semangat tersebut, yaitu Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama.

Catatan
"Bentangan-Seabad Buku Islam di Indonesia" adalah tulisan asli Hernowo yang pernah dimuat di majalah Panji Masyarakat Edisi Milenium yang terbit pada minggu ketiga Januari 2000, dalam judul "Antara Buya dan Mustapa". Semoga bermanfaat untuk para pengunjung setia rubrik "Plong".

Silahkan di Like dan di share yah... Terima kasih.

ALAM SEMESTA BUKTI ADANYA ALLAH SWT.

awanSebenarnya wujud Allah sudah nyata, bahkan suatu hakikat yang tidak perlu lagi diragukan persoalannya, tidak ada alasan mengingkarinya. Wujud Allah Taala sudah terang bagaikan terangnya matahari yang bersinar, juga sudah jelas sejelas-jelasnya bagaikan cahaya fajar di waktu pagi yang cerah. Semua yang ada di lingkungan alam semesta ini dapat menjadi bukti wujudnya Tuhan bahkan benda-benda yang terdapat di sekitar alam semesta dan unsur-unsurnya dapat pula membuktikan bahwa benda-benda itu pasti ada pencipta dan pengaturnya

Perhatikanlah alam cakrawala yang ada di atas kita yang di dalamnya terlihat pula matahari, bulan, bintang dan sebagainya, demikian pula bumi dengan semua isinya baik berupa manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda padat, adanya hubungan yang erat dengan perimbangan yang pelik yang merapikan susunan di antara alam-alam yang beraneka warna serta yang menguatkan keadaan masing-masing. Semuanya merupakan tanda dan bukti wujudnya Allah swt. Selain menunjukkan adanya Zat Allah swt. juga membuktikan keesaan dan ke Maha Kuasaan-Nya menciptakannya. Kiranya tidak tergambar sama sekali dalam akal pikiran siapa pun bahwa benda-benda itu terjadi tanpa ada yang menciptakan sebagaimana juga halnya tidak mungkin tergambar bahwa sesuatu ciptaan tidak ada yang membuatnya.

Manakala akal memustahilkan ada kapal terbang melayang-layang di udara atau kapal selam menyelam di dasar lautan tanpa ada pembuatnya, akal akan menetapkan secara pasti mustahil alam semesta yang amat indah permai ini ada tanpa ada yang menciptakan serta mengatur segala urusannya. Sementara itu dapat kita kemukakan tiga macam teori yang bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengemukakan sebab asal mula adanya alam semesta ini. Kiranya tidak mungkin ada teori lain di balik ketiga macam yang kami sebutkan di bawah ini.

Pertama. Alam semesta terjadi dari tidak ada kemudian ada dengan sendirinya.

Kedua. Ada suatu jauhar (sel) inti yang merupakan sumber dari segala sesuatu yang terdapat di alam semesta yang molek ini.

Ketiga. Ada yang mengadakan, yang menciptakan atau yang membuatnya.

Marilah kita mengupas persoalan ini dengan menguraikan teori di atas satu persatu.

Teori pertama jelas keliru dan salah jika ditilik secara sepintas dari asas atau pokoknya. Ingatlah bahwa suatu pengaruh (musabbab) pasti erat hubungannya dengan sebabnya, adanya suatu konklusi pasti erat pula hubungannya dengan premis atau landasan pemikirannya.

Apakah kiranya patut dalam gambaran akal pikiran kita, bahwa ada sesuatu pengaruh, tanpa ada sebab yang mempengaruhinya. Patutkah ada suatu hasil tanpa permulaan atau ada konklusi tanpa ada premis? Jadi timbulnya alam semesta dari tidak ada sama saja artinya dengan mengatakan adanya pengaruh tanpa sebab atau adanya hasil tanpa ada permulaan atau adanya konklusi tanpa ada premis. Jadi seolah-olah alam semesta ini ada sendiri dan muncul, lepas sama sekali dari adanya sebab, seperti pembuat.

Bahwa adanya benda-benda dari dirinya sendiri, lepas sama sekali dari sebab, adalah suatu hal yang amat mustahil baik dipandang dari segi akal atau kejadian yang lazim. Sebabnya ialah karena adanya benda-benda dari dirinya sendiri terlepas sama sekali dari sebab-sebabnya adalah memenangkan segi adanya dan mengalahkan segi tidak adanya, tanpa bukti yang dapat digunakan untuk memenangkannya padahal memenangkan dengan cara yang demikian ini adalah mustahil sekali.

Renungkanlah! Andai kata kita mengatakan bahwa alam semesta ini ada dengan sendirinya terlepas sama sekali dari sebab-sebabnya, maka ucapan semacam ini sama saja dengan mengatakan bahwa ketiadaan itulah yang merupakan sebab keberadaannya. Patutkah ini dalam pikiran kita. Itulah sebabnya, maka teori pertama di atas sangat keliru dan meleset, sebab selamanya tidak dapat dibuktikan bahwa ketiadaan menjadi sebab adanya alam. Tanpa adanya benda, tentu tidak mungkin dapat memberikannya. Inilah yang dimaksud oleh ayat Alquran yang berbunyi, “Merekakah yang diciptakan dari tiadanya sesuatu, ataukah mereka sendiri yang menciptakan? Atau merekalah yang menciptakan langit dan bumi? (Tidak), melainkan mereka tidak yakin dalam kepercayaannya." (Q.S. Ath-Thur:35-36)

Maksudnya apakah orang-orang itu diciptakan tanpa ada penciptanya? Artinya apakah mereka itu sendiri yang menciptakan diri mereka sendiri, sehingga tidak membutuhkan pihak lain yang menciptakan mereka? Hal ini jelas mustahil, tidak mungkin atau tidak masuk sama sekali dalam akal pikiran yang sehat.

Selanjutnya mari kita tinjau teori kedua, teori ini lebih tersesat dan lebih keliru lagi jika dibandingkan dengan yang pertama, sebab jauhar (sel) tidak mungkin dapat menimbulkan susunan yang serapi ini, sebagaimana yang kita saksikan. Tidak pula dapat muncul kekuatan dan keindahan sebagaimana yang kita lihat. Coba bayangkan, apakah benda inti atau sel yang bagaimana pun juga keadaannya dapat menciptakan atau membedakan ciptaannya antara jenis lelaki dan perempuan, jantan dan betina, juga dapat mempertautkan antara kedua jenis itu dengan rukun seindah ini? Apakah patut sel itu yang membuat bumi ini dengan segala sesuatu yang ada di situ, baik manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan atau benda padat? Apakah sel itu dapat menggantungkan bumi kita ini di cakrawala, juga menjalankannya mengelilingi sumbunya yang sama sekali tidak pernah menggeser dari jalannya sekali pun hanya sekedar sehelai rambut, padahal sudah berjalan berjuta-juta tahun lamanya? Apakah sel itu pula menggerakkan jalannya bintang-bintang dan planet-planet yang sedemikian besar dan banyak dan perjalanannya sangat cepat, benar-benar mengherankan, tanpa pernah tabrakan sama sekali antara satu dengan yang lain? Patutkah kiranya dalam akal pikiran kita sel dapat mewujudkan atau membuat unsur-unsur lain yang merupakan sumber alam semesta? Patutkah sel itu yang mengatur demikian rapi dan cermat seluruh yang ada di jagat raya ini, menetap sampai suatu masa yang dikehendaki oleh Allah Taala dan masih sanggup menetap untuk selama-lamanya jika Allah Taala menghendakinya pula?

Coba renungkan! Patutkah semua yang tersebut di atas itu terjadi sendiri? Sebenarnya, spesifik, hal ihwal dan bentuk benda atom yang amat kecil sekalipun sudah sangat membingungkan akal pikiran dan menakjubkan para ilmuan, karena menilik susunannya yang demikian rapi dan indah. Pendek kata susunannya sangat ajaib, bahkan hubungan yang terjadi antara bagian yang satu dengan bagian lainnya benar-benar membuat setiap orang yang menyaksikannya terpesona. Coba bayangkan hal itu! Apakah layak adanya susunan, rangkaian dan hubungan itu berlaku dengan kekuasaan sel sebagai benda mati?

Cobalah perhatikan ucapan para ilmuwan yang bergelut dalam studi atom, apa yang mereka katakan?

Tentang benda atom, para sarjana mengatakan, “Sesuatu benda itu tersusun dari beberapa buah atom dan atom ini tidak dapat dilihat sekali pun dengan menggunakan mikroskop yang terkuat. Untuk membayangkan betapa kecilnya atom ini, bolehlah kita membayangkan bahwa apabila kita menyusun secara rapi sekali atom demi atom, ditumpuk satu dengan lainnya, jika kita berhasil menyusun sebanyak seratus juta buah atom, panjangnya baru kira-kira sehelai benang sutera. Sebagai ilustrasi dapat kita kemukakan bahwa dalam setetes air laut terdapat lima puluh juta buah atom emas murni.

Atom tersusun dari unit, yang di sekitarnya berkeliling listrik yang bermuatan negatif yang disebut elektron. Pengelilingnya membentuk tata surya yang membulat. Antara setiap dua buah elektron terdapat ruang kosong mirip kekosongan ruang angkasa antara beberapa planet dengan matahari. Ini jika ditilik dari segi bentuk perkiraan jarak jauhnya. Timbangan dari unit terringan dapat mencapai 1850 kali timbangan elektron. Jika dua puluh ribu elektron disusun secara rapi antara satu dengan lainnya, maka panjang daerahnya adalah seperti panjang daerah atom itu. Dengan perkataan lain, bahwa perimbangan antara unit dengan atom itu adalah bagaikan kepala tongkat bila dibandingkan dengan sebuah rumah yang berukuran sedang.

Elektron itu berputar mengelilingi unit dalam suatu susunan yang menyerupai susunan planet di waktu mengelilingi matahari, hanya sajini lebih banyak pemberian pengaruhnya tetapi lebih sedikit penentuan batasnya daripada susunan falak-falak planet itu. Jika sekiranya suatu benda yang terdiri dari unit-unit atom itu disusun satu dengan lainnya, tanpa ada ruang kosong di antara unit dan elektron-elektron itu, maka timbangannya sama dengan sepotong uang dua ketip di sekitar 40 juta ton.

Adapun unit itu sendiri terdiri dari listrik yang bermuatan positif yang dinamakan proton. Jumlahnya sama dengan jumlah listrik yang bermuatan negatif yakni elektron yang berkeliling di sekitar unit itu sendiri.

Di luar proton itu terdapat pula listrik-listrik lain yang bermuatan netral, inilah yang disebut netron. Sekiranya kita dapat menguraikan ikatan ini yakni ikatan yang ada antara proton dan netron atau lebih jelas lagi, andai kata kita dapat menyediakan jalan untuk melenyapkan sebuah netron dari kumpulan netron-netron yang mengelilingi proton itu, jika kita dapat memecahkannya, pasti akan menimbulkan suatu kekuatan yang dahsyat sekali. Orang yang mula-mula memecahkan ini ialah Profesor Einstein. Kekuatan itu sama dengan himpunan dalam perempatan kecepatan sinar yang diperkirakan dengan sentimeter setiap detik, demikian peliknya susunan atom itu. Selanjutnya jika kita berpindah dari persoalan atom dan kita menengadahkan kepala ke atas sebentar untuk melihat matahari, maka kita mendapatkan suatu keajaiban yang lebih luar biasa lagi.

Resapkanlah apa yang dikemukakan oleh para sarjana kosmografi bahwa matahari adalah benda bulat berbentuk bola yang penuh berisi zat api yang jauh lebih dahsyat dan lebih dapat membakar dari semua api yang ada di bumi.

Matahari lebih besar daripada bumi, lebih dari sejuta kali, jauhnya dari kita diperkirakan kira-kira 92.500.000 mil. Sekalipun demikian keadaan matahari itu, ia tidak lain hanya sebuah bintang saja dan bukan termasuk dalam golongan bintang yang terbesar. Ada suatu persoalan yang musykil tetapi amat menakjubkan yaitu pemecahan terakhir yang dilakukan akal pikiran para ahli falak dan sarjana-sarjana perbintangan.

Sebagaimana diketahui dari ilmu pembentukan lapisan bumi terdapat sebuah uraian yang menyatakan bahwa matahari secara terus-menerus tetap memancarkan ukuran atau kadar panasnya, selama berjuta-juta tahun. Jika panas yang diberikan adalah hasil dari pembakaran, maka apakah sebabnya matahari tidak pernah kehabisan bahan bakar padahal sudah dipakai sejak berjuta-juta tahun yang lampau? Dengan keterangan ini jelas rasanya bahwa jalan pembakaran yang berlangsung pada matahari itu tidaklah sebagaimana yang lazim kita ketahui, sebab andai kata proses pembakaran itu seperti yang ada di bumi, maka untuk menerangi jagat ini hanya cukup untuk digunakan selama 6000 tahun saja, setelah itu pasti akan habis daya panasnya.

Mengenai manfaat yang diberikan oleh matahari kepada kita semua, dapat kita ketahui bahwa matahari bukan hanya sebagai sumber cahaya dan api saja, tetapi matahari juga merupakan sumber dari susunan tata surya dan sumber kehidupan kita. Bukankah matahari yang menguapkan air lautan kemudian mengangkatnya ke atas dan berubah menjadi awan dan selanjutnya berubah menjadi hujan dan turun di atas permukaan bumi. Kemudian timbul saluran air sungai besar dan kecil yang dapat mengairi sawah ladang kita, lalu menumbuhkan tanam-tanaman. Selain itu matahari juga meniupkan angin, menyebabkan timbulnya gelombang lautan dan menjadikan udara menjadi bersih. Ia pula yang menggerakkan kapal dan perahu di tengah samudra besar, bahkan ia pula yang menjalankan kendaraan-kendaraan, memutar mesin-mesin letup dan lain-lain lagi. Betul bahwa mesin-mesin itu dijalankan oleh arang batu, tetapi bukankah arang batu itu berasal dari panas cahaya yang terpendam sejak bertahun-tahun yang lampau. Setelah lama tersimpan baru dapat diambil manfaatnya oleh manusia di kemudian hari.

Ringkasnya, andaikata tidak ada matahari, pasti tidak akan ada kehidupan bagi binatang dan tumbuh-tumbuhan. Binatang-binatang menjadi bersemangat karena panas matahari, burung-burung pun bersiul setelah tampak sinarnya, mengucapkan tasbih serta memahasucikan Zat Yang Maha Menciptakannya. Juga karena panas dan sinar matahari itu pula tanam-tanaman tumbuh, pohon-pohon menjadi kian hari kian bertambah besar, bunga-bunga pun muncul, buah-buahan pun menjadi masak, dan banyak lagi realita lain yang ditimbulkan.

Kita semua berutang budi pada matahari, karena kita terpaksa menggantungkan hasil makan dan minum kita semua kepadanya. Itulah sebab adanya kita di atas permukaan bumi ini.

Jika kita sekalian sudah puas melihat keindahan dan kedahsyatan matahari, maka mari kini kita melihat ke benda lain. Kita akan menemukan bahwa sedekat-dekat bintang yang ada di samping bumi kita ini setelah matahari sama dengan 260.000 kali jauh matahari dari kita.

Ini dianggap sebagai bintang yang tersuram cahayanya kalau ditilik dari galaksi Bimasakti yang oleh orang-orang kuno disebutkan dengan nama “Jalan penanaman”. Bahkan tata surya yang terdiri dari berbagai bintang yang merupakan tata surya kita ini hanya dianggap sebagai sebuah atom kecil saja, jika dibandingkan dengan gugusan Bimasakti itu, sebab isi kandungannya sebanyak seratus juta bintang yang terpencar dan tersebar luas seolah-olah bagaikan suatu bidang yang luas secara nisbi.

Pengarang buku Ilmu Falak Umum yang bernama Herbert Spenser Jones berkata, “Cahaya memakan waktu selama seratus ribu tahun untuk dapat sampai antara kedua tepi gugusan bintang-bintang Bimasakti. Sebagaimana dimaklumi bahwa cahaya berjalan dengan kecepatan 176.000 mil per detik atau 300.000 kilometer. Berdasarkan uraian ini, maka ketentuan cahaya setahun sama dengan sepuluh bilyun kilometer. Padahal apa yang dikenal dengan nama gugusan bintang-bintang Bimasakti yang sudah mencapai ukuran sebagaimana diuraikan di atas, akal pikiran manusia sudah pasti tidak akan meraihnya, kiranya tidak lain hanyalah salah satu dari sekian banyak susunan yang ada di alam cakrawala yang sama sekali tidak dapat dihitung.”

Masih ada yang tertinggal yang perlu kita maklumi yakni bahwa sedekat-dekat tata surya yang mendampingi tata surya kita ini jauhnya tujuh ratus ribu tahun cahaya. Kini setelah kita mengetahui dan memahami uraian di atas, mari kita renungkan kemudian bertanya, “Apakah mungkin diterima akal bahwa semua keadaan semacam susunan tata surya dan lain-lain itu timbul hanya dari sel atau dengan jalan proses yang ditumbuhkan oleh sel belaka? Sesungguhnya pendapat yang mengatakan bahwa sel itu permulaan adanya alam semesta, yang sedemikian itu sungguh-sungguh tidak dapat tergambar oleh akal yang sehat, tidak pula cocok dengan ilmu pengetahuan yang hakiki dan agaknya tidak seorang pun yang akan mengatakannya melainkan jika ia telah kehilangan ciri khas yang membedakan antara manusia dengan yang bukan manusia. Manusia semacam ini rasanya sudah tidak dapat menemukan kebenaran dan tidak pula dapat membedakan sesuatu dari yang lainnya.”

Seorang filosof bangsa Jerman, bernama Edward Harenman wakil dari Syopenhor berkata dalam bukunya yang bernama Aliran Darwin, “Sebenarnya pendapat yang menetapkan ketidaksengajaan dalam alam semesta ini yang dianut oleh pengikut Darwinisme adalah suatu pendapat yang sama sekali tidak dapat dibuktikan. Itu hanyalah disebabkan karena adanya angan-angan salah yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam penyelidikan ilmu pengetahuan.”

Profesor Von Bayer dari Jerman dalam bukunya yang berjudul Kedangkalan Aliran Darwin mengatakan, “Apabila golongan Darwinisme melancarkan suara sekeras-kerasnya bahwa memang tidak ada kesengajaan dalam pembuatan atau penciptaan alam semesta ini, atau dengan kata lain bahwa alam ini terjadi hanya karena suatu proses kebetulan belaka yang semata-mata terpimpin oleh kedaruratan yang buta, maka saya berkeyakinan bahwa salah satu kewajiban saya ialah saya harus menyatakan di sini apa yang telah menjadi keyakinan dan kepercayaan saya dalam persoalan ini. Keyakinan saya itu adalah sebagai kebalikan sama sekali dari yang tersebut di atas. Saya berpendapat bahwa semua kedaruratan inilah justru yang membuktikan bahwa di sana ada berbagai tujuan yang luhur dan besar."

Imam Muhammad Farid Wajdi, rahimahullah, setelah menguraikan ini, di akhir katanya menyebutkan, “Jika sekiranya kita dapat merasa puas dengan beratus-ratus puncak ilmu pengetahuan dan filsafat mengenai pendapat tidak adanya unsur kesengajaan dalam penciptaan alam semesta dan jagat raya ini, maka tentulah kita tidak diharuskan untuk mengikuti yang itu lebih dari apa yang sudah jelas tertera dalam nas-nas agama (dalil naqal).” Oleh sebab itu, manakala sudah tetap bahwa penciptaan alam semesta ini memang karena adanya kesengajaan, maka tetap pulalah perihal adanya Tuhan yang mengatur dan bijaksana dari jalan yang sama-sama dapat dirasakan.”

Dengan demikian tidak ada jalan lain untuk membantah atau mengingkarinya dan ini tepat sekali dengan apa yang difirmankan oleh Allah Taala, “Apakah dalam Zat Allah masih ada keragu-raguan, yaitu Tuhan Maha Pencipta langit dan bumi?" (Q.S. Ibrahim:10)

Kini kita kembali kepada perbincangan mengenai tiga macam teori di muka. Jika yang pertama dan yang kedua sudah dapat diyakinkan ketidakbenarannya, sebab memang nyata-nyata keluar dari areal yang dapat diterima oleh akal pikiran serta cara penyelidikan dan ilmu pengetahuan, maka tidak ada lain yang dapat digunakan sebagai pegangan kecuali teori yang ketiga. Adapun isi dari teori ini ialah bahwa jagat raya yang maujud ini pasti ada penciptanya dan pengaturnya. Inilah yang pasti sesuai dengan akal pikiran serta cara penelitian yang sehat. Pendapat semacam itu pula yang menyebabkan Socrates mempercayai serta beriman kepada Allah, juga yang dapat menundukkan Aristophanes yang mengingkari adanya tuhan. Keduanya pernah mengadakan suatu polemik yang kami kutip sebagai berikut:

Socrates: Adakah orang-orang yang mengherankan Tuan karena kepandaian mereka atau karena keindahan karyanya?

Aristophanes: Ya ada, seperti dalam hal sajak atau puisi saya sangat kagum kepada syair-syair cerita dari Homero, dalam bidang lukisan kepada Zoxes dan dalam hal pembuatan patung kepada Polextic.

Socrates: Pencipta-pencipta manakah yang kiranya patut lebih dikagumi, apakah pencipta gambar-gambar yang tidak dapat memberi akal dan kehidupan ataukah pencipta makhluk yang mampu memberinya akal pikiran serta kehidupan?

Aristophanes: Tentu saja patut lebih dikagumi pencipta makhluk yang dapat merasakan kenikmatan dan memiliki akal pikiran serta kehidupan. Tetapi itu terjadi sebagai hasil dari kebetulan belaka!

Socrates: Apakah kiranya patut dianggap sebagai hal yang kebetulan, jika sekiranya anggota-anggota tubuh ini digunakan untuk maksud dan tujuan tertentu. Misalnya mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk mencium, lidah untuk merasakan. Lihat pula seperti mata ini di sekitarnya terdapat berbagai penjagaan, karena sangat sensitif dan sangat lemah. Oleh karena itu di waktu tidur pasti tertutup atau di waktu ada keperluan, dilindungi pula dengan bulu mata dan alis di atasnya. Demikian pula telinga, di dalamnya diberi suatu alat penerima yang dapat menampung segenap macam suara dan masih banyak lagi contoh yang lain. Cobalah tuan pikirkan, patutkah itu semua terjadi sebagai hasil dari kebetulan? Selain itu dapat pula dikemukakan adanya kecondongan dalam hati untuk mempunyai keturunan, begitu pula perasaan iba dan kasih sayang yang ada di dalam kalbu setiap ibu terhadap anaknya, padahal suatu hal yang amat jarang sekali bahwa seorang ayah atau ibu dapat menerima balasan atau keuntungan dari anaknya. Sementara itu bagaimana hal-ihwal seorang bayi yang dengan sendirinya lalu dapat memperoleh pengertian untuk menyusu dan cara menyusunya, sebentar setelah ia dilahirkan. Apakah menurut pendapat Tuan hal itu semua terlaksana hanya sebagai hasil yang didapat secara kebetulan?

Aristophanes: Tentunya bukan karena kebetulan. Yah, saya baru mengerti sekarang dengan secara pasti bahwa di sana memang ada petunjuk akan adanya penciptaan. Tetapi yang pasti ialah bahwa yang menciptakan itu tentu bersifat sangat agung sekali, yang mencintai akan adanya segala yang hidup. Namun masih ada yang membingungkan otak saya mengapa kita semua tidak dapat melihat yang menciptakan itu?

Socrates: Kalau begitu kita sudah menemukan titik yang sama yaitu mengakui adanya pencipta yang agung dan mencintai kehidupan di alam semesta ini. Tentang persoalan mengapa kita tidak dapat melihat pencipta itu, maka saya ingin mendapat jawaban Tuan, apakah Tuan merasa mempunyai nyawa, sebab kalau Tuan tidak bernyawa, tentunya Tuan sudah mati. Punyakah atau tidak?

Aristophanes: Ya, tentu saja saya punya. Mengapa?

Socrates: Jika demikian sudah mudah pemecahannya. Mengapa Tuan sendiri tidak dapat melihat nyawa yang menguasai diri Tuan sendiri. Jadi kalau Tuan tidak pernah melihat nyawa Tuan, apakah ini berarti kita boleh mengatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang timbul dari diri Tuan itu adalah semata-mata disebabkan karena secara kebetulan semua tanpa ada pemikiran sebelumnya?

Sampai di sini selesailah percakapan kedua orang ahli filsafat itu, yang sungguh-sungguh berfaedah untuk diresapkan dan direnungkan dalam-dalam. Maha Benar Allah swt. yang berfirman, “Dan setengah daripada tanda-tanda (ayat-ayat) mengenai adanya Allah ialah malam dan siang, serta matahari dan bulan. Janganlah kamu semua bersujud kepada matahari atau kepada bulan. Tetapi bersujudlah kepada Allah yang Maha Menciptakan semuanya itu, jika kamu semua benar-benar menyembah-Nya.” (Q.S. Fushshilat:37)
(Silahkan di Like dan di Share .. Terima Kasih)

MUHAMAD MENGAJARKAN SOSIALISME JAUH SEBELUM KARL MARX

Bakti Sosial
Menurut "Buku putih" (G.30-S Pemberontakan PKI) yang diterbitkan oleh Sekneg pada tahun 1994, bahwa pertentangan di dalam tubuh SI mencapai puncaknya pada Kongres Nasional VI SI bulan Oktober 1921 di Surabaya.

Fraksi komunis yang dipimpin oleh Semaun dan Tan Malaka berusaha me-ngendalikan dan tokoh SI, H.Agus Salim menjawab semua argumen Semaun dan Tan Malaka dengan mengatakan bahwa, "Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan  menguasai jalannya Kongres, tapi usaha mereka ini ditentang oleh seorang sosialisme sejak seribu dua ratus tahun sebelum Karl Marx" (hal: 11).

Sangat sayang, H. Agus Salim tidak menjelaskan isi ajaran Sosialisme yang diberikan Nabi Muhammad tsb dan juga tidak menjelaskan mengapa setelah 14 abad lamanya, ajaran sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad itu belum membumi.

Ajaran sosialisme dari Nabi Muhammad tsb tentu bersumber dari Al-Qur’an. Marilah kita kaji ayat-ayat yang terdapat dalam Al Quran dan tanggapan sementara tokoh-tokoh agama Islam terhadap sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad tsb.

KONSEP KEADILAN KOLEKTIF

Islam pada dasarnya merupakan agama pembebasan, ujar Mansour Fakih dalam tulisannya "Mencari Teologi untuk Kaum Tertindas". Seperti diketahui di Mekkah pada zaman Nabi lahir, adalah salah satu pusat perdagangan dan transaksi komersial internasional.
Keadaan ini melahirkan Mekkah menjadi pusat kapitalisme, yakni terbentuk karena proses korporasi antar suku, yang menguasai dan memonopoli perdagangan kawasan Bizantium. Watak kapitalisme yang mengakumulasikan kapital dan memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini, berjalan melawan norma suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat dari budaya kapitalisme tsb, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Mekkah, yakni semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin.

Dalam konteks inilah sesungguhnya Muhammad lahir. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa perlawanan terhadap Muhammad oleh kaum kapitalis Mekkah, sebenarnya lebih karena ketakutan terhadap doktrin egalitarian yang dibawakan oleh Muhammad.
Oleh karena itu persoalan yang timbul antara kelompok elite Mekkah dan Muhammad sebenarnya, bukan seperti yang banyak diduga umat Islam, yakni hanya persoalan "keyakinan agama", akan tetapi lebih bersumber pada ketakutan terhadap konsekuensi sosial ekonomi, dari doktrin Muhammad yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan dan monopoli harta.

Dalam kaitan ini sesungguhnya misi utama Muhammad adalah dalam rangka membebaskan masyarakat dari segala bentuk penindasan dan ketidak adilan. Dalam perspektif teologi kaum tertindas, ujar Mansour Fakih, peran seorang Rasul seperti Muhammad, Isa dan yang lain adalah sebagai seorang pembebas kaum tertindas. Musa, misalnya, sebagaimana Muhammad juga, tugas utamanya adalah membebaskan bangsa Israil dari penindasan dan eksploitasi yang dilakukan Firaun. Watak dari teologi pembebasan untuk kaum tertindas ini, selanjutnya juga telah dikembangkan oleh kelompok Khawarij.

Merekalah yang pertama-tama dalam sejarah Islam mengembangkan doktrin demokrasi dan sosialisme agama. Kebangkitan gerakan Khawarij juga dilatar belakangi oleh fenomena kontradiksi ekonomi yang muncul dalam bentuk persoalan kepemimpinan dan masyarakat.

Kontradiksi ini melahirkan kelompok Khawarij, suatu aliran yang menekankan pada konsep keadilan kolektif. Konsep keadilan kolektif inilah yang jadi asal muasal pandangan sosialistis dalam Islam (hal: 172-173, dalam buku "Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam", 1989) Sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad tsb tentu adalah sosialisme yang hendak membebaskan kaum tertindas dan menjadikan kaum tertindas tsb sebagai pemimpin di bumi dan itu adalah tingkat rendah dari masyarakat Tauhidi (ummat yang satu, tanpa kelas-kelas ).


SOSIALISME DALAM AL-QU’RAN

Ajaran-ajaran sosialisme dari Nabi Muhammad SAW tentu berdasarkan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Quran. AL Quran cukup jelas mengutuk orang-orang yang menumpuk-numpuk harta, hendak menjadikan kaum tertindas dan miskin (mustadhafin) menjadikan pemimpin di bumi dan mewarisi bumi, guna menuju ummat yang satu (tauhidi). Marilah kita cermati ayat-ayat tsb.

a. TERKUTUKLAH ORANG-ORANG YANG MENUMPUK-NUMPUK HARTA
Bahwa Islam menentang sistem kapitalisme cukup gamblang diwakili oleh Surat al Humazah ayat 1-4. Dimana dikatakan: Celakalah, azablah untuk tiap-tiap orang pengumpat dan pencela. Yang menumpuk-numpuk harta benda dan menghitung-hitungnya. Ia mengira, bahwa hartanya itu akan mengekalkannya (buat hidup di dunia). Tidak, sekali-kali tidak, sesungguhnya dia akan
ditempatkan ke dalam neraka (hutamah).
Menjadi pertanyaan: dari mana mereka peroleh harta yang mereka tumpuk-tumpuk tsb? Tentu tidak hanya dari hasil keringatnya sendiri, melainkan juga dari hasil keringat orang lain, dengan melalui berbagai cara yang tidak halal.
Padahal surat Al Baqarah ayat 188 dengan tegas mengatakan: "Janganlah sebagian kamu memakan harta orang lain dengan yang batil (tiada hak) dan (jangan) kamu bawa kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang dengan berdosa, sedang kamu mengetahuinya".

Juga cukup jelas surat Al An'am ayat 145 mengatakan haram memakan darah yang mengalir. Haram memakan darah yang mengalir itu bukan hanya secara harfiah, misalnya melukai sebagian kulit seseorang kemudian dihirup darahnya yang mengalir di tempat yang dilukai tsb, tetapi yang lebih mendalam ialah menghisap atau memeras tenaga kerja orang lain untuk keuntungan dirinya.
Seperti yang dilakukan kaum kapitalis terhadap kaum buruhnya. Kaum buruhnya tidak akan bisa diperas atau dihisapnya, sekiranya darahnya tidak-mengalir lagi dalam tubuhnya. Jadi, menghisap tenaga kerja kaum buruh, adalah sama dengan memakan darah yang mengalir dalam tubuh kaum buruh tersebut.

Menurut HOS Tjokroaminoto melalui bukunya "Islam dan Sosialisme" yang ditulisnya pada bulan November 1924 di Maitarat, bahwa menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang mestinya (dengan seharusnya) menjadi bahagian lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan –semua perbuatan yang serupa itu (oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan "meerwaarde" (nilai lebih -pen) adalah dilarang dengan sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan "riba" belaka.

Dengan begitu maka nyatalah agama Islam memerangi kapitalisme sampai pada "akarnya", membunuh kapitalisme mulai dari pada benihnya. Oleh karena pertama-tama sekali yang menjadi dasarnya kapitalisme, yaitu memakan keuntungan meerwaarde sepanjang fahamnya Karl Marx dan "memakan riba", sepanjang fahamnya Islam (hal:17)

b.YANG TERTINDAS HENDAK DI JADIKAN PEMIMPIN
Bahwa agama Islam itu adalah agama pembebasan bagi kaum tertindas dan miskin,jelas sekali dikemukakan surat Al Qashash ayat 5 dan 6 yang berbunyi: "Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (mustadhafin atau dhuafa) di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi.

Dan kami tegakkan kedudukan mereka di bumi." Dari ayat ini jelas sekali bahwa Tuhan secara terbuka memihak kepada kaum mustadhafin dalam perjuangannya melawan kaum mustakbirin (para tiran, angkuh dan kaya). Tuhan tidak bersikap netral dalam pertentangan antara kaum tertindas melawan kaum penindas.
Bila kaum mustadhafin sudah menjadi pemimpin di bumi, maka tentu telah tertutup jalan bagi kaum mustakbirin melakukan penindasan lagi terhadap kaum Mustadhafin dan itulah Sosialisme Islam.

Menurut Asghar Ali Engineer melalui bukunya "Islam dan Pembebasan" bahwa pertarungan antara mustadhafin dan mustakbirin itu akan terus berlangsung, hingga Din Allah yang berbasis pada Tauhid menyatakan semua rakyat (tanpa perbedaan lagi antara mustadhafin dan mustakbirin, orang-orang yang menindas dan orang-orang yang tertindas, kaya dan miskin) sehingga menjadi suatu masyarakat "tanpa kelas".

Dari perspektif ini jelaslah bahwa Al Quran menghadirkan suatu teologi pembebas dan dengan demikian membuat teologi yang sebelumnya mengabdi kepada kelompok penguasa yang eksploitatif menjadi teologi pembebasan. Sayangnya, Islam dalam fase-fase berikutnya, justru mendukung kemapanan itu.

Tugas generasi baru Islam lah untuk merekonstruksi lagi teolosi Islam revolusioner transformatif dan membebaskan itu (hal: l4). Penilaian Asghar Ali Engineer yang terakhir ini sejalan dengan penilaian Ulil Abshar Abdallah melalui bukunya "Membakar Rumah Tuhan".

Menurut Ulil Abshar Abdallah bahwa persis hal ini dengan apa yang terjadi pada agama Islam: semula menjadi agama emansipatoris yang membawa aspirasi pembebasan dan perubahan, sekarang menjadi agama yang diperalat guna melegitimasi suatu tatanan (status quo) (1999, hal: 44).

c.MASYARAKAT TAUHIDI TANPA KELAS-KELAS
Cukup jelas Tuhan melalui surat Al Mukminun ayat 52 mengatakan: "Sesungguhnya ini, ummat kamu, ummat yang satu dan Aku Tuhanmu, sebab itu takutlah kepada Ku." Menurut Mansour Fakih dalam tulisannya "Mencari Teologi untuk Kaum Tertindas", bahwa doktrin tauhid adalah tema pokok setiap teologi dalam Islam. Tauhid dalam teologi pembaharuan, berkisar sekitar ke-Esaan Tuhan, dengan penolakan terhadap penafsiran terhadap Tuhan.

Tauhid dalam perspektif "teologi kaum tertindas" lebih ditekankan kepada keesaan ummat manusia. Dengan kata lain doktrin Tauhid menolak segenap bentuk diskriminasi dalam bentuk warna kulit, kasta ataupun kelas.

Konsep masyarakat Tauhidi adalah suatu konsep penciptaan masyarakat tanpa kelas (hal: 173). Dalam masyarakat Tauhidi ini, ummat benar-benar satu, tidak dibedakan lagi karena kedudukan sosial, karena jenis kelamin, karena warna kulit dsb. Dan itu adalah sama dengan masyarakat komunis.

Masyarakat Tauhidi ini, adalah tingkat yang lebih tinggi dari masyarakat yang dijanjikan Tuhan: "Akan menjadikan kaum mustadhafin menjadi pemimpin di bumi dan mewarisi bumi." Untuk bisa membuminya isi surat Al Qashash ayat 5-6 sebagai langkah awal menuJu masyarakat Tauhidi (ummat yang satu), maka kaum mustadhafin harus mengamalkan Surat Al Ra'du ayat 11, yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah tiada mengubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka." Menurut petunjuk Al Quran tsb, bila kaum Mustadhafin (tertindas dan miskin) tidak mengubah keadaan diri mereka, tidak berjuang melepaskan belenggu yang dililitkan mustakbirin di leher dan di kakinya, maka mereka tetap akan tertindas dan miskin. Kaum mustadhafin tidak akan berubah keadaannya, bila mereka hanya mengharap belas kasihan kaum mustakbirin.

Kaum mustakbirin tidak akan dengan sukarela melepaskan belenggu yang mereka pasungkan pada leher dan kaki mustadhafin. Perjuangan melepaskan belenggu dari tubuh kaum mustadhafin adalah perjuangan kelas dalam bahasa Karl Marx, "usaha kaum" dalam bahasa Ar Ra'du ayat 11. Malahan supaya kaum mustadhafin ini bisa bebas dari penindasan, Tuhan memperingatkan ummat Islam melalui surat An Nisa ayat 75: "Mengapa kamu tiada mau berperang di jalan Allah dan (membela) orany-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan-perempuan, dan kanak-kanak yang semuanya berdoa: "Ya, Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri yang zalim penduduknya dan berilah kami perlindungan dari sisiMu, dan berilah kami penolong dari sisiMu".

Dengan demikian jelas bahwa berjuang (berperang) diizinkan Al Quran untuk mengakhiri kezaliman dan untuk melindungi orang-orang yang lemah dari penindasan orang-orang kuat. Al Quran tidak mengizinkan berperang untuk memaksa seseorang memeluk agama Islam.
Hal itu dengan tegas telah dikatakan Tuhan: "La ikraha fi al Din" (tidak ada paksaan dalam agama). Malah surat Al Kafirun dengan tegas mengatakan: "Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan engkau tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku".


TITIK PERTEMUAN ISLAM DAN KOMUNISME

AK Pringgodigdo SH dalam bukunya "Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia" mengemukakan bahwa H. Misbach, seorang komunis keagamaan 76 tahun yang lalu, di depan Kongres PKI di Bandung pada tanggal 4 Maret 1925 menunjukkan dengan ayat-ayat Al Quran, hal-hal yang bercocokan antara komunisme dan Islam (antaranya, kedua memandang sebagai kewajiban, menghormati hak-hak manusia dan bahwa keduanya berjuang terhadap penindasan) dan diterangkannya juga, bahwa seseorang yang tidak menyetujui dasar-dasar komunis, mustahil ia seorang Islam sejati; dosanya itu adalah lebih besar lagi, kalau orang memakai agama Islam sebagai selimut untuk mengkayakan diri sendiri.

Komunisme menghendaki lenyapnya kelas-kelas manusia (hal: 28). Seorang Bung Karno melalui tulisannya "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme" mengatakan: "Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme musuh marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula"; "Islamis yang "fanatik" dan memerangi marxisme, adalah Islamis yang tak kenal larangan-larangan agamanya sendiri"; "Hendaknya kaum itu sama ingat, bahwa pergerakannya itu dengan pergerakan marxis, banyak persesuaian cita-cita, banyaklah persamaan tuntutan-tuntutan" (DBR, hal: 12-15-14).

H. Agus Salim benar bahwa Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan Sosialisme seribu dua ratus tahun sebelum Karl MarX. Karena Manifes Komunis yang terbit pada tahun 1848 adalah hasil studi Karl Mark tentang perkembangan sistem masyarakat sebelumnya. Tentu juga termasuk, baik secara langsung atau tidak, Sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad tsb.

Karena tujuan yang hendak dicapai Islam dengan komunis sama-sama masyarakat tanpa kelas (Tauhidi-komunis) dan hal itu akan terwujud melalui tingkatan masyarakat sosialis (mustadhafin menjadi pemimpin di bumi). Masyarakat sosialis baru terwujud atas "usaha kaum" atau perjuangan kelas, maka sudah pada tempatnya kerjasama komunis untuk merebutnya.

Hanya saja kaum kapitalis (mustakbirin) berkepentingan mencegah terjadinya kerjasama Islam dan komunis, agar kaum kapitalis tetap dapat berkuasa. Karena Sosialisme adalah ajaran Nabi Muhammad SAW sendiri, maka semestinya setiap yang mengaku Muhammad itu adalah Rasullullah, ia akan memperjuangkan untuk adanya sosialisme itu. Itu sebagai langkah awal untuk membuminya masyarakat Tauhidi di Indonesia. Karena itu terasa aneh, karena dewasa ini di Indonesia, tidak ada satu partai yang memakai bendera Islam yang mengibarkan panji-panji Sosialisme. Malah ada yang menentang Sosialisme.

Hal itu sudah disinyalir oleh Ulil Abshar Abdalla bahwa ada orang Islam yang diperalat guna melegitimasi suatu tatanan (status quo).

Sesungguhnya orang yang mengaku Islam, tetapi tidak berjuang untuk membumikan masyarakat Tauhidi (ummat yang satu), tentu dipertanyakan keIslamannya: apakah mereka benar-benar pengikut Nabi Muhammad Saw, atau tidak? Jika ya, tentu mereka akan mendukung tegaknya masyarakat Tauhidi tsb. Bila tidak, soalnya menjadi lain.

ALAM TULUS
Penulis

(Jangan Lupa di Like and di Share.. Terima Kasih..)