Senin, 25 Maret 2013

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL

I.       PENDAHULUAN
Membahas tentang pendidikan tak ada habisnya, sepanjang sejarah pendidikan selau berkembang sesuai dengan kebutuhan para penikmatnya. Dalam perkembangannya tersebut tidak selalu berjalan mulus sebagaimana mestinya, selalu ada hal-hal yang menghambat kemajuan di bidanag pendidikan.
Bukan hanya pendidikan pada umumnya yang banyak mengalami problematika, hal tersebut juga terjadi dalam pendidikan islam di era global ini.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan diulas mengenai beberapa hal yang  berhubungan dengan masalah problematika pendiddikan islam di era global.

II.    RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai  hakikat pendidikan islam dan globalisasi, problematika pendidikan islam di era global, solusi pendidikan islam di era global dan orientasi pendidikan islam di era global.

III. PEMBAHASAN
    A.    Hakikat Pendidikan Islam dan  Globalisasi
1.      Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan adalah proses mempersiapkan masa depan anak didik dalam mencapai tujuan hidup secara efektif dan efisien.  Sedangkan Pendidikan Islam menurut para tokoh ialah sebagai berikut :
Pertama, menurut Ahmadi mendefinisikan Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yang sesuai dengan norma Islam. Kedua, menurut Syekh Musthafa Al-Ghulayani memaknai pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta belajar yang berguna bagi tanah air.
Dalam definisi diatas terlihat jelas bahwa pendidikan Islam itu membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya, baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak didik nantinya yang didasarkan pada hukum-hukum islam.[1]
2.      Dasar-dasar Pendidikan Islam
Menurut Samsul Nizar membagi dasar pendidikan islam menjadi tiga sumber, yaitu sebagai berikut :
a.       Al Qur’an
Al Qur’an adalah kalam Allah swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dalam bahasa arab guna menjalankan jalan hidup yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia (rahmatan lil ‘alamin), baik di dunia maupun di akhirat.
Al Qur’an sebagai petunjuk ( Hudan ) ditunjukkan dalam firmanNya :

ان هذا القرأن يهدى للتى هي أقوم ويبشر المؤمنين الذين يعملون الصلحت أن لهم أجرا كبيرا

Artinya :
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, (Al Israa’ ayat 9)

Pelaksanaan pendidikan islam harus senantiasa mengacu pada sumber yang termuat dalam Al Qur’an. Dengan berpegang pada nilai-nilai tertentu dalam Al Qur’an – teruatama dalam pelaksanaan pendidikan islam – umat islam akan mampu mengarahkan dan mengantarkan umat manusia menjadi kreatif dan dinamis serta mampu mencapai esensi nilai-nilai ubudiyah kepada khaliknya.[2]
b.      Sunnah
Keberadaan Sunnah Nabi tidak lain adalah sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum yang ada didalam Al Qur’an, sekaligus sebagai pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia dalam semua aspeknya. Eksistensinya merupakan sumber inspirasi ilmu pengetahuan yang berisikan keputusan dan penjelasan Nabi dari pesan-pesan illahiyah yang tidak terdapat didalam Al Qur’an, maupun yang terdapat didalam Al Qur’an tetapi masih memerlukan penjelasan lebih lanjut secara terperinci.[3]
c.       Ijtihad
Pentingnya Ijtihad tidak lepas dari kenyataan bahwa pendidikan Islam di satu sisi dituntut agar senantiasa sesuai dengan dinamika zaman dan IPTEK yang berkembang dengan cepat. Sementara disisi lain, dituntut agar tetap mempertahankan kekhasannya sebagai sebuah sistem pendidikan yang berpijak pada nilai-nilai agama. Ini merupakan masalah yang senantiasa menuntut Mujtahid Muslim di bidang pendidikan untuk selalu berijtihad sehingga teori pendidikan islam senantiasa relevan dengan tuntutan zaman dan kemajuan IPTEK.[4]
3.      Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, tujuan pendidikan islam menurut Al Qur’an meliputi (1) menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia diantara makhluk Allah lainnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini, (2) menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. (3) menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta, (4) menjelaskan hubungannya dengan Kholik sebagai pencipta alam semesta.[5]
4.      Hakikat Globalisasi
Globalisasi secara harfiah berasal dari kata global yang berarti sedunia atau sejagat. Menurut A. Qodry Azizi, menyebut bahwa era globalisasi berarti terjadinya pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama diseluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi, dan informasi yang merupakan hasil modernisasi di bidang teknologi.
Proses global ini pada hakikatnya bukan sekedar banjir barang, melainkan akan melibatkan aspek yang lebih luas, mulai dari keuangan, pemilikan modal, pasar, teknologi, daya hidup, bentuk pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran manusia.[6]
   B.     Problematika Pendidikan Islam di Era Global
Pendidikan Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal. Pertama, Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam sebagai nilai (value) yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan.[7]
Walaupun demikian, pendidikan islam tidak luput dari problematika yang muncul di era global ini. Terdapat dua faktor dalam problematika tersebut, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1.      Faktor Internal
a.       Relasi Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan pada dasarnya hanya satu, yaitu memanusiakan manusia, atau mengangkat harkat dan martabat manusia atau human dignity, yaitu menjadi khalifah di muka bumi dengan tugas dan tanggung jawab memakmurkan kehidupan dan memelihara lingkungan. Tujuan pendidikan yang selama ini diorientasikan memang sangat ideal bahkan, lantaran terlalu ideal, tujuan tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik.
Orientasi pendidikan, sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam konteks era sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi mengingat adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat indonesia. Hal ini patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek positif, dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan kehidupan yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan. Pendidikan cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan, kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya, moralitas, dan social movement (gerakan sosial) menjadi hilang.[8]
b.      Masalah Kurikulum
Sistem sentralistik terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya otoriter yang terkesan pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh keinginan pihak “atas”. Dalam system yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan muncul. Dalam bidang kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output pendidikan. Tilaar menyebutkan kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem manajemen yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan manusia robot. Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa kritikan kepada praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga seolah-olah kurikulum itu kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas pendidikan. Anak-anak terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.[9]
Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami perubahan-perubahan paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap dipertahankan. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran agama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur tengah, kepada pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama islam untuk mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara berfikir tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai islam.(3) perubahan dari tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum pendidikan islam yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum pendidikan islam ke arah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan Pendidikan Islam dan cara-cara mencapainya.[10]
c.       Pendekatan/Metode Pembelajaran
Peran guru atau dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas kompetensi siswa/mahasiswa. Dalam mengajar, ia harus mampu membangkitkan potensi guru, memotifasi, memberikan suntikan dan menggerakkan siswa/mahasiswa melalui pola pembelajaran yang kreatif dan kontekstual (konteks sekarang menggunakan teknologi yang memadai). Pola pembelajaran yang demikian akan menunjang tercapainya sekolah yang unggul dan kualitas lulusan yang siap bersaing dalam arus perkembangan zaman.
Siswa atau mahasiswa bukanlah manusia yang tidak memiliki pengalaman. Sebaliknya, berjuta-juta pengalaman yang cukup beragam ternyata ia miliki. Oleh karena itu, dikelas pun siswa/mahasiswa harus kritis membaca kenyataan kelas, dan siap mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita menyadari, hingga sekarang ini siswa masih banyak yang senang diajar dengan metode yang konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak ada tantangan untuk berfikir.
d.      Profesionalitas dan Kualitas SDM
Salah satu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak masa Orde Baru adalah profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih belum memadai. Secara kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya agaknya sudah cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih belum memenuhi harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih unqualified, underqualified, dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar kualitatif.[11]
e.       Biaya Pendidikan
Faktor biaya pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan tersendiri yang seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab atas persoalan ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam UUD 45 hasil amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal 20% dari APBN dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang belum terpenuhi. Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap 20% hingga tahun 2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis pendidikan.
2.      Faktor Eksternal
a.       Dichotomic
Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam beberapa aspek yaitu antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan Akal setara antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini mulai tampak pada masa-masa pertengahan. Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu pengetahuan islam zaman pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang tak berhenti antara hukum dan teologi untuk mendapat julukan sebagai mahkota semua ilmu.
b.      To General Knowledge
Kelemahan dunia pendidikan islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang membumi dan kurang selaras dengan dinamika masyarakat. Menurut Syed Hussein Alatas menyatakan bahwa, kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan, mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah intelektual. Ia menambahkan, ciri terpenting yang membedakan dengan non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan untuk berfikir dan tidak mampu untuk melihat konsekuensinya.
c.       Lack of Spirit of Inquiry
Persoalan besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan dunia pendidikan islam ialah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas merujuk kepada pernyataan The Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al Afghani, Menganggap rendahnya “The Intellectual Spirit” (semangat intelektual) menjadi salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam di Timur Tengah.
d.      Memorisasi
Rahman menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan bahwa, karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar untuk dapat menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang. Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing) daripada pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad pertengahan yang akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinal.
e.       Certificate Oriented
Pola yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab al’ilm, telah memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge oriented. Sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu, banyak lahir tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak konstribusi berharga, ulama-ulama encyclopedic, karya-karya besar sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada masa sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya.[12]

   C.     Solusi Pendidikan Islam di Era Global
Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif, dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Disamping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.[13]
Selain itu, program pendidikan harus diperbaharui, dibangun kembali atau dimoderenisasi sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya. Sedangkan solusi pokok menurut Rahman adalah pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis dalam sinaran dan terintegrasi dengan Islam harus segera dipercepat prosesnya. Sementara itu, menurut Tibi, solusi pokoknya adalah secularization, yaitu industrialisasi sebuah masyarakat yang berarti diferensiasi fungsional dari struktur sosial dan sistem keagamaannya.[14]
Berbagai macam tantangan tersebut menuntut para penglola lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan Islam untuk melakukan nazhar atau perenungan dan penelitian kembali apa yang harus diperbuat dalam mengantisipasi tantangan tersebut, model-model pendidikan Islam seperti apa yang perlu ditawarkan di masa depan, yang sekiranya mampu mencegah dan atau mengatasi tantangan tersebut. Melakukan nazhar dapat berarti at-taammul wa al’fahsh, yakni melakukan perenungan atau menguji dan memeriksanya secara cermat dan mendalam, dan bias berarti taqlib al-bashar wa al-bashirah li idrak al-syai’ wa ru’yatihi, yakni melakukan perubahan pandangan (cara pandang) dan cara penalaran (kerangka pikir) untuk menangkap dan melihat sesuatu, termasuk di dalamnya adalah berpikir dan berpandangan alternatif serta mengkaji ide-ide dan rencana kerja yang telah dibuat dari berbagai perspektif guna mengantisipasi masa depan yang lebih baik.[15]

    D.    Orientasi Pendidikan Islam Di Era Global
Menurut Ahmad Tantowi, dengan adanya era globalisasi ini perlu adanya rumusan orientasi pendidikan Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Orientasi tersebut ialah sebagai berikut :
1.      Pendidikan Islam sebagai Proses Penyadaran
Pendidikan Islam harus diorientasikan untuk menciptakan “kesadaran kritis” masyarakat. Sehingga dengan kesadaran kritis ini akan mampu menganalisis hubungan faktor-faktor sosial dan kemudian mencarikan jalan keluarnya. Hubungan antara kesadaran tersebut dengan pendidikan Islam dan globalisasi ialah agar umat Islam bisa melihat secara kritis bahwa implikasi-implikasi dari globalisasi bukanlah sesuatu yang given atau takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan, akan tetapi sebagai konsekuensi logis dari sistem dan struktur globalisasi itu sendiri.
2.      Pendidikan Islam sebagai Proses Humanisasi
Proses Humanisasi dalam pendidikan Islam dimaksudkan sebagai upaya mengembangkan manusia sebagai makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang dengan segala potensi (fitrah) yang ada padanya. Manusia dapat dibesarkan (potensi jasmaninya) dan diberdayakan (ptoensi rohaninya) agar dapat berdiri sendiri dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
3.      Pendidikan Islam sebagai Pembinaan Akhlak al-Karimah
Akhlak merupakan domain penting dalam kehidupan masyarakat, apalagi di era globalisasi ini. Tidak adanya akhlak dalam tata kehidupan masyarakat akan menyebabkan hancurnya masyarakat itu sendiri. Hal ini bisa diamati pada kondisi yang ada di negeri ini. Menurut Abuddin Nata, hal seperti ini pada awalnya hanya menerpa sebagian kecil elit politik (penguasa), tetapi kini ia telah menjalar kepada masyarakat luas, termasuk kalangan pelajar.
Bagi pendidikan Islam, masalah pembinaan akhlak sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Sebab akhlak memang merupakan misi utama agama Islam. Hanya saja, akibat penetrasi budaya sekuler barat, belakangan ini masalah pembinaan akhlak dalam institusi pendidikan Islam tampak lemah. Untuk itu, pendidikan Islam harus dikembalikan kepada fitrahnya sebagai pembinaan akhlaq al-karimah, dengan tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi penting lainnya yang harus dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal.
Pembinaan akhlak sebagai (salah satu) orientasi pendidikan Islam di era globalisasi ini adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebab eksis tidaknya suatu bangsa sangat ditentukan oleh akhlak masyarakatnya.[16]


[1]Isma’il SM, Strategi Pembelajaran Islam Berbasis PAIKEM : Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, (Semarang : Rasail, 2008), Cet. I, hlm. 34-36
[2]Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009), Cet. I, hlm. 15-16
[3]Ibid., hlm. 17
[4]Ibid., hlm. 21
[5]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), Cet. I, hlm. 36-37

[6]Ahmad Tantowi. hlm. 47-49
[7]Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009) Cet. I, hlm. 44-45.
[8]Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif : Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, (Yogyakarta : Teras, 2010), Cet. II, hlm. 20-21
[9]Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam : Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2004), Cet. I, hlm. 205-208
[10]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 11
[11]Musthofa Rembangy, hal. 28
[12]Abdul Wahid, Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam, (Semarang : Need’s Press, 2008), Cet. I, hlm. 14-23
[13]Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Jogjakarta : Gigraf Publishing, 2000) Cet. I, hlm. 90-91.
[14]Abdul Wahid, hlm. 27-28
[15]Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam : mengurai benang kusut dunia pendidikan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 86-89
[16]Ahmad Tantowi, Op. Cit., hlm. 90-104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar